Segala jenis perintah dan larangan dari Allah swt tidaklah melewati batas kemampuan yang dimiliki oleh hamba-Nya. Semua telah diatur oleh Allah agar perintah dan larangan yang telah ditetapkan tidak menjadi beban bagi manusia. Hal ini bisa dilihat melalui ayat-ayat yang menjelaskan tentang rukhsah atau keringanan bagi umat Islam yang terkendala melakukan kewajiban syariat tertentu. Salah satunya adalah rukhsah untuk tidak berpuasa.
Dalam ilmu ushul fiqih dikatakan bahwa rukhsah memberikan pengecualian dari pirinsip umum karena adanya kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dharurat). Sesuai dengan faktor kebolehannya, maka rukhsah terbatas pada kadar kebutuhan atau keterpaksaannya saja. Dalam hal puasa, terdapat beberapa orang dalam kategori ini yang mendapatkan dispensasi atau rukhsah. Siapa sajakah mereka?
Allah swt telah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 184)
Baca juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183
Puasa apa yang ada rukhsahnya?
Petunjuk yang tertera pada ayat di atas adalah redaksi ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu). Redaksi ini masih memungkinkan beberapa pengertian, bisa berarti sehari, dua hari, tiga hari, bahkan seminggu atau sebulan. Dalam tafsir al-Bahrul Muhith karya Abu Hayyan dijelaskan, maksud dari beberapa hari tertentu tersebut adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa ‘Asyura yang sebelumnya diwajibkan. Ini berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas dan Atha’.
Namun, pendapat yang lebih diterima adalah pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Menurutnya, hari-hari (wajibnya berpuasa) yang dimaksud adalah bulan ramadhan. Alasannya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan puasa yang hukumnya wajib bagi umat Islam selain puasa bulan ramadhan. Ini ditunjukkan dengan bunyi ayat selanjutnya yang berarti, “Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia…” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Dipahami dari penjelasan at-Thabari tersebut, redaksi syahru ramadhan pada ayat 185 surat al-Baqarah adalah penafsiran dari redaksi ayat sebelumnya yakni ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu). Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh mayoritas ulama. Maka, puasa yang terdapat rukhsah bagi orang-orang yang berada dalam kondisi al-hajat dan ad-dharurat berdasarkan ayat di atas adalah puasa ramadhan.
Baca juga: Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah
Orang-orang yang mendapat rukhsah puasa
- Orang yang sedang sakit. Kondisi sakit yang yang mendapat keringanan adalah sakit parah yang membahayakan tubuh, menambah parah penyakit, atau khawatir memperlambat kesembuhan. Orang ini yang oleh al-Qurthubi disebut sebagai orang yang mampu berpuasa damun disertai dharar (bahaya) dan masyaqqah (kesulitan), maka lebih diutamakan untuk berbuka.
- Orang yang bepergian (musafir). Safar atau perjalanan yang dilakukan harus sebelum waktu fajar. Artinya, jika perjalanannya pada tengah hari, maka tidak mendapat rukhsah puasa. Kemudian, jarak perjalanan yang ditempuh untuk mengambil rukhsah puasa adalah jarak yang sama dengan perjalanan yang boleh untuk qashar shalat. menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad adalah kurang lebih 16 farsakh/89 km.
- Orang tua renta, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, serta perempuan hamil dam menyusui. Mereka tersebut menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad adalah orang yang masuk dalam kategori wa ‘alalladzina yuthiqunahu fidyatun (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah).
Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan
Dua kategori pertama memiliki kewajiban untuk mengganti puasanya di lain hari dan tidak disyaratkan berturut-turut sesuai puasa yang ditinggalkan. Sedangkan kategori terakhir, diwajibkan membayar fidyah saja tanpa mengganti puasa, kecuali untuk ibu hamil dan menyusui. Untuk kedua perempuan ini, jika merasa khawatir terhadap anaknya, maka dibebankan fidyah dan qadha’. Tetapi, jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja atau dirinya serta sang anak, maka cukup dengan qadha’. Wallahu a’lam[]