BerandaKhazanah Al-QuranInilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Inilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Seberkas cahaya mampu menerangi kegelapan. Cahaya bagi kehidupan umat manusia amatlah penting peranannya. Tanpa cahaya, bagaimana mungkin manusia dan alam seisinya berdialektika satu sama lain. Ibn al-Haitsam, ilmuwan muslim berkelahiran Basrah adalah orang pertama yang concern pada penelitian tentang cahaya. Dan tulisan kali ini akan mengurai tentang cahaya dalam al-Quran.

Hanan Dowidar dan Ahmad Salem melukiskan sosok fisikawan abad ke-11 ini dengan “Albeit Almuzlim”, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai “camera obscura”(perangkat yang menjadi dasar (underlying) fotografi). Ibn Haitsam banyak melakukan riset tentang cahaya dan telah menginspirasi saintis Barat, sebut saja Roger Bacon dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.

Di dalam Al-Quran sendiri, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyitir cahaya, di antaranya adalah dau’, nur, siraj, dan sebagainya. Pada pembahasan ini kita akan mengulas tiga istilah cahaya dalam Al-Quran. Simak penjelasannya.

Baca juga: Tafsir Surah al-Takatsur dan Fenomena Membanggakan Diri

Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Tidak dapat diingkari bahwa Al-Quran (Q.S. al-Nur [24]: 35, Q.S. al-Furqan [25]: 61, Q.S. Yunus [10]: 5) telah menginspirasi banyak penemuan ilmuwan muslim, seperti al-Kindi, Ibn al-Haitsam, Ibn Sina, dan sebagainya dalam bidang ilmu sains termasuk fisika tentang berbagai diaspora cahaya di mana ada yang berbentuk optik, spektrum, refleksi (pemantulan), dan refraksi (pembiasan) cahaya.

Bahkan, matahari (al-syams) dengan nur (cahaya atau sinar) memiliki keterkaitan yang cukup dekat. Dalam Al-Quran sendiri, kedua istilah tersebut diulang sampai 33 kali. Namun, jika ditilik lebih jauh sebenarnya ada tiga istilah berbeda yang digunakan untuk menunjukkan kata cahaya atau sinar, yaitu nur, diya’ atau dau’ dan siraj.

Kata nur, misalnya, dijumpai pada Q.S. Yunus [10]: 5, Q.S. al-Nur [24]: 35, Q.S. al-Furqan [25]: 61 dan Q.S. Nuh [71]: 16. Sedangkan kata diya’ pada Q.S. Yunus [10]: 5 dan siraj dalam Q.S. al-Furqan [25]: 61, Q.S. Nuh [71]: 16 dan Q.S. al-Naba’ [78]: 13. Berikut penjelasannya.

Baca juga: Inilah Enam Fungsi Energi Matahari Menurut Tafsir

Dau’ atau Diya’

Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran, kata diya’ merupakan bentuk jama’ dari dhau’ yang bermakna sesuatu yang terpancar dari benda-benda yang bercahaya. Dhau’ berbeda dari nur. Dhau’ adalah pancaran yang bersumber dari sesuatu yang bersinar, sedangkan nur merupakan pancaran yang bersumber dari lainnya.

Hal ini termaktub dalam Q.S. Yunus [10]: 5,

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). (Q.S. Yunus [10]: 5)

Merujuk ayat di atas, matahari yang memancarkan sinar atau cahaya dari dirinya disebut diya’, sedangkan cahaya bulan yang berasal dari yang lain disebut nur. Al-Quran menyebut kata diya’ sebanyak tiga kali dalam bentuk jama’, yakni pada Q.S. Yunus [10]: 5, Q.S. al-Anbiya [21]: 48, dan Q.S. al-Qashash [28]: 71.

Jika dalam bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi) sebagaimana disampaikan Tafsir Ilmi Kemenag, disebutkan sebanyak dua kali, yakni pada Q.S. al-Baqarah [2]: 17 dan 20. Jika dalam bentuk kata kerja sekarang (fi’il mudhari’) sebanyak satu kali, yakni Q.S. al-Nur [21]: 35 seperti yang dikemukakan Amin al-Khuliy dalam al-Mu’jam (4/128).

Baca juga: Bom Bunuh Diri Tinjauan Tafsir Maqashidi

Sumber lain, Hasyiah al-Jamal, misalnya seperti yang dikutip Tantawy bahwa cahaya atau sinar matahari disebut diya’ karena mengandung cahaya yang sangat kokoh dan lebih sempurna ketimbang nur atau cahaya yang sinarnya lebih lemah. Pada ayat di atas keduanya disebutkan secara berbeda agar manusia bisa membedakan antara siang dan malam. Tantawy dalam al-Tafsir al-Wasith (1/2080) menuturkan bahwa hal ini menunjukkan sinar matahari mempunyai endurance strong (daya tahan yang lebih kuat) dan lebih sempurna daripada cahaya rembulan.

Nur

Istilah kedua adalah nur. Ada tiga kata turunan dari term nur ini yaitu nar, nur dan munir. Kata nar, misalnya, disebutkan sebanyak 145 kali seperti yang disampaikan Tafsir Ilmi Kemenag. Kata nar sendiri bermakna kobaran api yang menimbulkan panas dan membakar. Mayoritas kata ini digunakan untuk menggambarkan api neraka di akhirat nanti. Terkadang kata ini diikuti dengan istilah “jahannam”.

Istilah selanjutnya adalah nur, kata ini disebutkan 43 kali dalam Al-Quran. Kata ini memiliki berbagai makna di antaranya (1) sinar atau cahaya yang bersumber dari benda yang bersinar atau bercahaya. Sinar ini berlaku di dunia maupun di akhirat. (2) keyakinan terhadap kebenaran dan petunjuk. Biasanya beriringan dengan kata “dzulumat”, yakni keraguan (min al-dzulumat ila al-nur, dari keraguan atau kegelapan menuju kepada keyakinan atau terang benderang).

Sebagian ulama mengartikan nur sebagai keimanan dan dzulumat sebagai bentuk-bentuk syirik. Makna ketiga (3) adalah pengetahuan, hakikat dan bukti-bukti yang mendatangkan keyakinan dan kemantapan dalam berakidah, menghilangkan keraguan, serta kesesatan dalam berakidah. Makna keempat (4) ialah kitab suci samawi yang menghapus keraguan dan menerangi jalan.

Makna kelima (5), nur bermakna nabi yang datang dengan membawa risalah. Jadi nur bisa juga bermakna kenabian dan agama. Terakhir (6), nur berarti munawwir artinya penerang sekaligus sumber cahaya. Adapun istilah munir bermakna jelas atau terang, kata ini disebutkan enam kali dalam Al-Quran.

Siraj

Istilah ketiga adalah siraj. Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah (3/122) menjelaskan siraj terambil dari kata saraja yang berarti baik, indah, hiasan. Lampu (misbah) disebut siraj karena keindahan dan gemerlapan cahayanya yang dipancarkannya. Siraj juga diartikan lampu yang menyala pada malam hari dengan sumbu dan minyak. Siraj juga berarti segala sesuatu yang bersinar, bentuk jamaknya adalah suruj.

Al-Quran menyebut kata siraj setidaknya tiga kali. Adakalanya Rasulullah Muhammad saw disebut siraj, pun demikian juga matahari. Kata siraj terdapat dalam Q.S. al-Furqan [25]: 61, Q.S. Nuh [71]: 16 dan Q.S. al-Naba [78]: 13, dan satu di antaranya bermakna Nabi saw, yaitu pada Q.S. al-Ahzab [33]: 46. Rasul saw disebut siraj karena dilukiskan bak lampu yang bersinar dan menjadi lentera di tengah kegelapan.

Kesimpulan

Ketiga istilah di atas menunjukkan bahwa kata diya’, siraj dan nur digunakan untuk menjelaskan sifat cahaya yang ditimbulkan oleh matahari dan bulan sebagaimana juga disampaikan dalam Tafsir Ilmi Kemenag. Jadi, tatkala menyebut sifat matahari, Al-Quran menggunakan term diya’ atau siraj. Sebab kata diya mengandung pengertian bersinar karena dirinya sendiri atau memancarkan cahaya dari dzatiahnya sendiri.

Baca juga: Arti Kata Tabaarakallah dan Penjelasannya dalam Al-Qur’an

Sedangkan siraj bermakna pelita, yakni sesuatu yang memancarkan sinar yang kemudian menjadi sumber cahaya. Abdullah Yusuf Ali dalam Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary menjelaskan kata diya’ memiliki arti shining glory atau splendour and glory of brightness yang berarti terang-benderang. Sementara siraj, ia istilahkan dengan lamp, yaitu lampu, pelita, atau sumber cahaya. Jadi, diya’ dan siraj memiliki makna serupa, yakni memancarkan cahaya atau sinar dari dirinya sendiri karena ia sendiri adalah sumber cahaya atau sinar itu sendiri.

Adapun kata nur merujuk pada bulan yang bercahaya. Masih tetap Abdullah Yusuf Ali, ia memaknai nur dengan ligh of beauty (cahaya indah). Dalam term yang lain, nur sebagai sesuatu yang bercahaya karena pantulan sinar. Dengan demikian, nur lebih tepat diterjemahkan menjadi “cahaya” atau “bercahaya”. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU