BerandaUlumul QuranKaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Setiap ayat Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya senantiasa memiliki kandungan pesan ilahi, baik berupa hikmah, hukum, maupun nasihat. Untuk mengetahui makna dan fungsi pesan ilahi tersebut, maka dibutuhkan sebuah perangkat yang disebut dengan ulumul Qur’an dan kaidah-kaidah penafsiran, khususnya juga kaidah asbabun nuzul.

Salah satu cabang ilmu Al-Qur’an yang sering dikaji dan dijadikan pisau analisis oleh para ulama tafsir terhadap ayat Al-Qur’an adalah Asbab al-Nuzul. Sederhananya, Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunya ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.

Dalam proses implementasinya, kajian Asbabun Nuzul tersebut memiliki beberapa kaidah yang digunakan untuk membantu dalam pemaknaan teks ayat dan pengambilan ketetapan hukum dari sebuah ayat Al-Qur’an.


Baca juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69


Kaidah Asbabun Nuzul

Para ulama klasik telah memberikan banyak khazanah kajian Asbabun Nuzul, mulai dari definisi, klasifikasi, hingga kaidah yang digunakan dalam memahami ayat Al-Qur’an. Apabila terdapat ayat yang memiliki redaksi umum, dan juga memiliki sabab yang berlaku untuk umum, ataupun sebaliknya. Maka mayoritas ulama menjadikan yang umum tetap pada keumumanya dan yang khusus tetap pada kekhususanya.

Namun, bagaimana jika terdapat ayat Al-Qur’an yang memiliki sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum? Apakah yang dijadikan pedoman itu keumuman lafal atau justru kekhususan sebab? Disinilah letak perbedaan pandangan antar para ulama. Dalam kitab al-Madkhal li Dirasah al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Abu Syahbah, dijelaskan bahwa kedua kelompok ulama tersebut berbeda pendapat pada penerapan dua kaidah berikut:

Pertama, kaidah yang mementingkan redaksi ayat, kaidah ini diikuti oleh jumhur ulama, yaitu:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”

Wujud implementasi kaidah ini terdapat dalam Q.S. al-Mujadilah [58]: 2-4 tentang hukum dhihar. Ayat tersebut memiliki konteks khusus yaitu tentang Khaulah binti Tsa’labah yang diumpamakan oleh Aus ibn al-Shamit (suaminya) seperti punggung ibunya. Namun, karena redaksi ayat tersebut menggunakan ism maushul berupa kata alladzina, maka ayat tersebut diberlakukan umum.


Baca juga: At-Tibyan Fi Adab Hamalat Al-Quran, Pengantar Petunjuk Adab Berinteraksi dengan Al-Quran


Hal ini dikarenakan ism maushul termasuk bagian dari shiyagh al-’umum (redaksi yang berlaku umum). Oleh karena itu, ayat tersebut berlaku tidak hanya bagi Khaulah, tetapi juga terhadap semua perempuan yang mengalami perlakuan yang sama dengan Khaulah.

Kedua, kaidah yang mengedepankan kekhususan sebab, sebagaimana diikuti oleh sebagian ulama, yaitu:

العِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ

“yang dijadikan pedoman ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”

 Ulama yang menggunakan pendekatan kaidah kedua ini berargumentasi bahwa sebuah lafal dapat dibatasi oleh kekhususan sebab turunya ayat tersebut. Maka dari itu hukum dhihar dalam Q.S. al-Mujadilah [58]: 2-4 berlaku khusus untuk Khaulah binti Tsa’labah. Begitupun juga hukum li’an dalam Q.S. al-Nur [24]: 6-9 berlaku khusus untuk Hilal ibn Umayyah.

Adapun hukum bagi yang orang yang memiliki perlakuan yang sama seperti dua konteks tersebut, maka hukum tersebut tidak ditetapkan dari lafal ayat. Tetapi ditetapkan berdasarkan pendekatan qiyas (analogi) atau melalui ijtihad berdasarkan kaidah ushul fikih Hukmiy ala al-Wahid Hukmiy ala al-Jama’ah (keberlakuan hukum terhadap seseorang juga diberlakukan kepada masyarakat luas).


Baca juga: 3 Keutamaan Sikap Adil Menurut Al-Quran Yang Penting Diketahui


Pandangan Imam Suyuthi

Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur yaitu al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menjelaskan kaidah pertama lebih tepat untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan para Sahabat terbiasa menggunakan dalil keumuman ayat untuk memahami sebuah hukum. Keumuman Al-Qur’an maupun Hadis tidak bisa dikhususkan hanya pada orang-orang tertentu yang terlibat dalam konteks turunya ayat. Sehingga apabila ditemui ayat yang memiliki konteks khusus namun redaksinya umum, maka yang dijadikan dalil pijakan pertama adalah keumuman ayat.

Hal senada juga disampaikan Imam Zamakhsyari ketika menerangkan surah al-Humazah, ia berkata “boleh saja sebab turunya surat ini bersifat khusus, tetapi ancaman yang ada pada surah ini bersifat umum, agar setiap orang yang berperilaku buruk seperti itu mendapat ancaman yang sama, dan hal tersebut juga berfungsi sebagai bentuk sindiran”

Namun, apabila terdapat ayat yang turun memiliki konteks khusus dan lafal ayatnya tidak menunjukkan keumuman, maka ayat itu dibatasi pada konteks khusus tersebut. Sebagai contoh dalam Q.S. al-Lail [92]: 17-18. Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini tidak berlaku umum dan hanya berkaitan khusus dengan sahabat Nabi yang bernama Abu Bakar al-Shiddiq.

Mungkin sepintas kaidah yang mementingkan kekhususan sabab, terlihat lebih kontekstual. Tetapi Quraish Shihab mengingatkan bahwa tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul. Ayat-ayat yang memiliki konteks historis tertentu jumlahnya sangat terbatas. Sebagian dari yang terbatas tersebut juga masih terdapat beberapa riwayat tidak shahih, ditambah lagi satu ayat terkadang mempunyai dua atau lebih riwayat asbab al-nuzul atau dikenal dengan pengulangan turunya ayat (tikrar al-nuzul). Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...