Sebagian orang tua ketika memasuki usia senja memiliki sensivitas psikologis yang tinggi ketika menghadapi gerak-gerik maupun ucapan orang-orang di sekitarnya. Ditinjau dari aspek psikologis, memang benar adanya bahwa orang tua memiliki emosional daya reponsif yang sensitif.
Dilansir dari cnnindonesia.com, mengutip pernyataan ahli saraf Yuda Turana, bahwa stressor sosial lebih banyak menumpuk pada orang lansia dibandingkan mereka yang berusia masih belia. Sehingga tidak mengherankan jika seorang anak perlu memperluas kesabaran dalam menghadapi orang tuanya. Menanggapi kondisi demikian, hendaknya seorang anak berhati-hati dalam berucap dan berperilaku di hadapan orang tua sebagai salah satu tindakan berbakti kepada mereka.
Sikap ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dalam kisahnya, saat ia sedang berdialog dengan ayahnya yang mengancam dirinya dengan perlakuan kasar. Meski demikian, Nabi Ibrahim tetap kukuh dan berdiri pada pendiriannya tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kepada ayahnya. Lebih tepatnya kisah ini dapat kita baca pada Q.S. Maryam [19]: 46-47 berikut.
قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا – ٤٦ قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّه كَانَ بِيْ حَفِيًّا – ٤٧
(46) Dia (bapaknya) berkata, “Apakah kamu membenci tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika tidak berhenti (mencela tuhan yang kusembah), engkau pasti akan kurajam. Tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (47) Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku.”
Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim
Pada ayat ini, Nabi Ibrahim dicercas pertanyaan oleh ayahnya, Azar, berkenaan dengan ikut campurnya Nabi Ibrahim terhadap apa yang disembah oleh ayahnya, bahkan diancam rajam baginya. Padahal, upaya Nabi Ibrahim tersebut adalah bentuk dakwah supaya ayahnya beserta kaumnya menyembah Allah dan meninggalkan menyembah berhala yang tidak berdaya.
Ancaman rajam oleh Azar kepada putranya, Ibrahim, oleh al-Ṭabari ditafsirkan bukan melempar dengan batu seperti yang dipahami pada umumnya. Melainkan melemparkan kata-kata yang buruk atau makian. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suddi, bahwa ayat araghībun anta ‘an ālihatī yā Ibrāhīmu lain lam tantahi la’arjumannak adalah berupa lemparan hinaan, makian, bukan bebatuan (Tafsīr al-Ṭabarī, 18/205).
al-Baghawi menukil pendapat al-Kalbi, Muqātil, dan al-Ḍaḥḥāk, bahwa ayahnya Ibrahim mengancam dengan menghina dan mencaci-makinya (Ibrahim) sebagai upaya agar ia menjauh dari ayahnya (Tafsīr al-Baghawī, 5/234).
Baca juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Ya’kub
Lantas, apa reaksi Nabi Ibrahim atas perbuatan ayahnya? Nabi Ibrahim justru membalas perkataan ayahnya dengan ucapan: salāmun ‘alaika, saastaghfiru laka rabbī. Al-Baghawi memaknai kalimat salāmun ‘alaika sebagai bentuk perdamaian dengan ayahnya. Ibrahim tidak membalas cercaan ayahnya dan tidak menimpakan balasan yang buruk bagi ayahnya. Dikatakan juga bahwa ucapan tersebut merupakan bentuk salam kebaikan dan kelembutan sebagai bentuk jawaban bijak kepada orang-orang yang memang belum memiliki kepahaman (Tafsīr al-Baghawī, 5/235).
Az-Zuhaili mengatakan bahwa ucapan salāmun ‘alaika oleh Nabi Ibrahim kepada ayahnya tersebut merupakan salam perpisahan, sebab ucapan ayahnya yang menginginkan ia pergi menjauh darinya. Ia tidak menimpakan celaka kepada ayahnya atas ancaman yang diucapkan. Justru ia mendoakan ayahnya agar diberikan ampunan oleh Allah atas perbuatannya menyembah berhala (Tafsīr al-Munīr, 16/103).
Baca juga: Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Alquran
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan bentuk sikap hormat kepada orang tua, baik melalui perkataan maupun perlakuan. Oleh karenanya, dianjurkan bagi seorang anak untuk berhati-hati dalam menghadapi orang tua dalam menyantuninya, baik ucapan ataupun tindakan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berakhlak mulia, menjaga perasaan, dan senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengundang kejengkelan dan kekecewaan yang didatangkan darinya.
Dalam Islam, berlaku mulia terhadap orang tua adalah bernilai ibadah agung. Berbakti kepada orang tua tidak cukup dengan mencukupkan kebutuhannya. Lebih dari itu, seorang anak hendaknya bersikap santun, seperti menghindari menyakiti fisik maupun psikis, dan mengecewakan mereka. Wallāhu a’lamu.