Pada surah Yasin, ada dua asmaulhusna yang terlihat kontradiktif disebut beriringan dalam satu ayat, yaitu al-‘Aziz dan ar-Rahim. Masing-masing dua kata ini disebut dua kali. Pertama, al-‘Aziz disebut bersamaan dengan ar-Rahim, terletak di ayat 5. Sedangkan di ayat 38, al-‘Aziz diiringi dengan kata al-‘Alim. Adapun kata ar-Rahim, selain disebut di ayat 5, kata ini juga disebut di ayat 58.
Di asmaulhusna memang ada beberapa nama Allah yang terkesan kontradiktif, ini semua tidak lain merupakan kemahasempurnaan Allah, namun jika dua sifat yang kontradiktif itu berkumpul dalam satu ayat, sangat mungkin ada pesan tersirat di balik itu yang coba disampaikan. Dalam konteks surah Yasin ini, kira-kira apa pesan yang ingin disampaikan melalui penyebutan asmaulhusna tersebut?
Baca Juga: Habib Al-Najar, Tokoh dalam Kisah di Surah Yasin
Asmaulhusna: Wasilah Mengenal Allah
Salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mengenali sifat-sifatNya. Sifat-sifat Allah itu terdapat pada nama-nama Allah yang baik (Asma al-Husna). Dilihat dari kesejarahannya, Imam al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul (h. 501), menyampaikan sebuah riwayat tentang turunnya surah al-Ikhlas, bahwa orang-orang musyrik pernah meminta kepada Nabi Muhammad untuk mengenalkan Tuhan yang disembahnya, lalu kemudian Allah memerintahkan Nabi untuk mengenalkan dan menyatakan nama dan sifat-Nya, dengan menurunkan QS. Al-Ikhlash [112]: 1-4.
Keterangan ini terkonfirmasi secara praktis-psikologis, misalnya, dengan memerhatikan apa yang dideskripsikan oleh Imam al-Qusyairi dalam mukadimah kitabnya, Syarh Asma‘ al-Husna (h.9), Imam al-Qusyairi menyampaikan alasan dan motivasinya untuk mengkaji secara dalam tentang Asma‘ al-Husna dan makna-maknanya. Menurutnya, setelah mendalami makna-makna Asma‘ al-Husna, beliau dapat merasakan pancaran makna nama-nama Allah dalam jiwanya, dan hal itu belum pernah diketahuinya sebelumnya, sehingga, Imam al-Qusyari mewajibkan dirinya untuk menzikirkannya, mentasbihkannya, dalam rangka ketaatan, kecintaan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 37-40
Al-‘Aziz pada Q.S. Yasin [36]: 4, 38 dan Independensi Tuhan
Secara umum al-‘Aziz berarti Maha Perkasa, namun dalam perinciannya, menurut Sa’id bin ‘Ali al-Qahthani dalam Syarh Asma Allah al-Husna Fi Dhaw‘i al-Kitab wa al-Sunnah (h. 93-97), al-‘Aziz memiliki tiga makna keperkasaan, yaitu: (1) ‘Izzat al-Quwwah, yaitu keperkasaan dalam makna kekuatan Allah, yang sama sekali tidak tergantung kepada siapapun; (2) ‘Izzat al-Imtina’, Zat Allah Yang Maha Kaya dan tidak memerlukan siapapun; (3) ‘Izzat al-Qahrah, Allah memiliki kekuatan yang dominan, segala sesuatu berada dalam dominasi-Nya, semua tunduk pada kebesaran-Nya, segala makhluk berada dalam kuasa-Nya, tiada daya dan upaya, kecuali hanya milik Allah.
Sifat Allah al-‘Aziz, terhubung dengan sifat-sifat yang lain, yang juga merupakan nama kebesaran-Nya, seperti: al-Dharr (Yang Maha Memudaratkan), al-Nafi’ (Yang Maha Memberi Manfaat), al-Mu’thi (Yang Maha Memberi) dan al-Mani’ (Yang Maha Mencegah). Imam al-Qusyairi menambahkan dalam Syarh Asma‘ al-Husna (h. 87), al-‘Aziz juga mengandung sifat al-Qadir (Yang Maha Kuasa) dan al-Qawiy (Yang Maha Kuat).
Jalinan makna al-‘Aziz yang kompleks dan terikat dengan nama-nama Allah lainnya, tersemat dalam ayat tentang turunnya Alquran. Yaitu surah Yasin [36]: 5, sebagai berikut:
تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ
“(Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
Al-‘Aziz pada ayat kelima ini, diiringi dengan nama Allah lainnya, yaitu ar-Rahim. Bentuk ini biasa disebut sebagai muqtaran (ganda), yaitu penyebutan dua nama Allah dalam satu ayat tertentu. Makna al-‘Aziz pada ayat ini, menurut Imam al-Khazin dalam tafsir Lubab al-Ta‘wil Fi Ma’ani al-Tanzil (juz 4, h. 3) adalah otoritas dan kewenangan tertinggi, yaitu Allah, yang telah menjadikan Alquran sebagai bentuk cinta-Nya kepada semua makhluk. Namun demikian, sifat al-‘Aziz Allah, tidak bisa dimaknai sebagai ketergantungan Allah kepada yang dicintai-Nya, karena tentu saja, itu menyalahi makna al-‘Aziz itu sendiri, yang independen, berdiri sendiri, serta tidak bergantung pada apapun dan siapapun juga.
Makna lain dari al-‘Aziz yang dikaitkan dengan turunnya Alquran itu, juga memiliki keterikatan dengan tema-tema yang terkandung di dalam Alquran, secara khusus pada surah Yasin. Kalau dikaji secara tematis, sifat Allah al-‘Aziz bersesuaian dengan tema utama Yasin yang berkaitan tentang: janji dan ancaman Allah, bukti-bukti kekuasaan Allah, serta pendustaan dan pembangkangan penduduk Antiokhia kepada Allah.
Independensi kemahaperkasaan Allah yang terlihat pada asma-Nya, al-‘Aziz pada surah Yasin ditujukkan pada dua hal, pertama, penurunan Alquran yang berada di bawah otoritasnya yang mutlak. Sifat-Nya al-‘Aziz memberi penekanan tentang kepastian-kepastian yang membuktikan kuasa-Nya, baik yang terjadi di dunia (seperti kisah penentangan penduduk Antiokhia) ataupun yang akan terjadi di akhirat.
Fakta-fakta dari kemahaperkasaan Allah itu, sebagian, secara historis, bisa dibuktikan, misalnya kebinasaan penduduk Antiokhia karena menentang para utusan Allah. Bukti nyata lainnya, adalah berkaitan dengan kekuasaan-Nya pada alam raya yang diciptakan-Nya. Selain hal itu, terdapat pula bukti yang menunjukkan sifat Allah al-‘Aziz, yaitu kepastian janji dan ancaman-Nya di akhirat kelak. Dengan demikian, kemahaperkasaan Allah yang terkandung dalam nama-Nya, al-‘Aziz, adalah suatu kenyataan yang bisa dibuktikan di dunia pada satu sisi, dan kepastian di akhirat yang dijanjikan, pada sisi lainnya.
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58
Ar-Rahim pada QS. [36]: 5, 58 dan Keterikatan Makna Asmaulhusna
Al-‘Aziz menemukan konteksnya dalam surah Yasin, melalui kemahaperkasaan-Nya yang tergambar dalam kandungan ayat-ayatnya. Pertanyaannya, apakah kemahaperkasaan Allah itu berdiri sendiri? Ternyata tidak. Terdapat Asma’ al-Husna yang mengiringi al-‘Aziz, yaitu ar-Rahim pada QS. Yasin [36]: 4 dan al-‘Alim pada QS. Yasin [36]: 38. Apa makna keduanya dalam surah Yasin? Maknanya adalah kemahaperkasaan Allah itu terjalin dan berkelindan dengan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) dan al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui).
Dengan demikian, turunnya Alquran, selain karena kemahaperkasaan-Nya, juga karena kasih dan sayang-Nya. Hal ini senada dengan pendapat Imam al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma’an a-Tanzil (juz 4, h. 3) yang menyatakan bahwa turunnya Alquran itu merupakan bentuk cinta dan kasih sayang Allah kepada semua makhluk-Nya. Selain itu, Allah Yang Maha Penyayang (ar-Rahim) menurunkan Alquran melalui malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad yang juga adalah pribadi yang penuh kasih.
Penggambaran ar-Rahim lebih jauh, secara sufistik, dinarasikan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 166), Alquran yang diturunkan Allah, tidak lain adalah wujud kasih dan sayang-Nya untuk membangunkan manusia dari “tidur yang membuat lalai” dan dari “kantuk yang membuat lupa”.
Deskripsi ini tidak jauh beda dengan narasi sufistik Imam Ahmad bin ‘Umar, dalam Tafsir al-Ta’wilat al-Najmiyyah fi Tafsir al-Isyari al-Shufi (juz 5, h. 136) mempertegas ayat kelima dari surah Yasin dan mengisyaratkan kasih sayang dan kearifan-Nya, yang menjadikan Alquran sebagai “Tali Allah” bagi orang yang sedang berusaha mendekat kepadaNya.
Hubungan korelatif lainnya, adalah antara sifat Allah al-‘Aziz dan al-‘Alim pada QS. Yasin (36): 38 yang menandai arti penting kemahatahuan Allah dibalik kemahaperkasaan-Nya. Argumentasi untuk ayat ini adalah sebagaimana disebutkan dalam ayat, yaitu tentang matahari yang beredar di jalurnya, semuanya tersusun rapi dalam peredarannya, berkeseimbangan (tidak saling berlawanan) sehingga menjadi dasar yang pasti dalam pembagian perhitungan tahun. Melalui ayat ini dapat dipahami bahwa, kemahaperkasaan Allah itu tidak semata-mata karena Allah Kuasa, tetapi juga terdapat pengetahuan Allah yang tidak terbatas (al-‘Alim).
Adapun ar-Rahim di ayat 58, sifat ini disebut dalam ruang lingkup eskatologis, yaitu sifat ar-Rahim Allah yang ditujukan kepada para penghuni surga. Mereka memperoleh salam dari Allah Yang Maha Penyayang,
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
(Kepada mereka dikatakan,) “Salam sejahtera” sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
Sifat ar-Rahim yang dialamatkan kepada orang-orang beriman merupakan aspek implikatif dari keteguhan pada jalan iman. Hal itu berkebalikan dengan pengingkaran-pengingkaran, seperti yang dilakukan oleh penduduk Antiokhia.
Ar-Rahim seperti dinyatakan oleh Abi Ishaq Ibrahim al-Zujjaj dalam Tafsir Asma’ Allah al-Husna (h. 28), bahwa ar-Rahim adalah rahmat Allah yang secara khusus untuk para hamba-Nya yang beriman. Bagi mereka yang beriman, Allah akan memberikan ganjaran yang tiada terputus.
Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 110, Asmaulhusna, dan Kisah di Balik Nama Rahman
Asmaulhusna dan Pencerahan Iman
Temuan penting dari kajian tentang al-‘Aziz dan ar-Rahim pada surah Yasin adalah keterikatan sifat-sifat Allah itu dengan kenyataan dan keghaiban, kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sifat-sifat Allah itu, sebagiannya telah terjadi dan terbukti, misalnya, al-‘Aziz dan kenyataan sifat-Nya pada kebinasaan penduduk Antiokhia dan balasan yang mereka peroleh di akhirat. Begitu juga, tentang bukti kemahaperkasaan Allah atas alam raya.
Ar-Rahim dan kenyataan sifat Allah pada turunnya Alquran sebagai bentuk kasih dan sayang-Nya kepada umat manusia, serta balasan surga bagi orang-orang yang beriman. Pemahaman, perenungan dan penghayatan Asma’ al-Husna pada surah Yasin, akan menghadirkan kesadaran dan pencerahan keimanan yang realistik dan historis, tentu juga, yang bersifat eskatologis di akhirat kelak. Dengan memahami Asma’ al-Husna pada surah Yasin, sifat-sifat Allah menjadi semakin dekat, nyata dan dapat dirasakan oleh hati, serta diterima oleh akal. Wallah a’lam