BerandaKhazanah Al-QuranMeneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid

Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid

Di akhir bulan maulid Nabi Muhammad saw, masih relevan dan akan terus relevan bagi kita untuk menyegarkan ingatan tentang seluk beluk perjalanan dan akhlak Nabi Muhammad saw.

Memperbaharui komitmen kita untuk mengikuti dan mencontoh akhlak Nabi Saw adalah sebuah keniscayaan bagi kita. Semua itu diungkapkan kembali pada momentum maulid agar senantiasa dapat dijadikan pegangan dalam menempuh perjalanan hidup kita.

Memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan momentum yang sangat baik untuk menyegarkan kembali segala tuntunan yang telah diberikan oleh Rasulullah dan segala sifat yang telah ditunjukkannya kepada kita melalui hadis dan sunahnya, baik sebagai anggota dan individu dalam masyarakat maupun sebagai seorang pemimpin masyarakat. Beliau adalah panutan dan teladan bagi umatnya, baik dalam ucapan maupun perbuatannya.

Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh Allah dalam Al-Quran, Surat Al-Ahzab Ayat 21 yang berbunyi:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Keteladanan akhlak Nabi Saw telah ditunjukkan sepanjang hidupnya. Rasulullah saw menunjukkan keteladanan yang multidimensi. Tidak hanya setelah diangkat dan diutus sebagai Rasul, bahkan sejak awal sewaktu beliau masih usia kanak-kanak dan muda belia.

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Keteladanan akhlak Nabi saw yang multidimensi itu telah ditunjukkannya pula dalam berbagai perilaku kehidupan, baik dalam statusnya sebagai ayah, sebagai suami, sebagai panglima perang, sebagai kepala negara, maupun dalam statusnya sebagai anggota masyarakat.

Perilaku yang terpuji  dan akhlak Nabi yang ditunjukkan itu sesuai dengan makna nama yang disandang beliau. Kata “محمد” dalam bahasa Arab mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas. محمد berarti “seseorang yang senantiasa dipuji dan mendapat pujian karena kebaikan dan kebajikannya, yaitu pujian yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat”.

Makna yang dalam bagi nama itu telah ditunjukkan oleh beliau dalam perilaku dan prikehidupan beliau yang selalu mendapat pujian, tidak hanya oleh kawan dan sahabat beliau, tetapi juga oleh lawan dan musuh beliau.

Nama “Muhammad” ketika itu merupakan nama yang tidak populer, bahkan asing di kalangan orang-orang Arab Quraisy. Para ahli sejarah mengungkapkan bahwa nama itu merupakan nama yang amat baru di kalangan orang-orang Quraisy.

Pada umumnya orang-orang Quraisy ketika itu memberi nama anak-anak mereka dengan nama-nama yang di dalamnya mengandung makna keberanian dan kepahlawanan, seperti nama أسد (yang berarti “singa”), فهد (yang berarti “macan tutul”), dan نمر (yang berarti “harimau”). Nama-nama seperti itu sangat populer di kalangan orang-orang Quraisy ketika itu dan ini dimaksudkan agar anak-anak yang menyandang nama-nama itu memiliki sifat-sifat keberanian.

Gambaran kepribadian akhlak Nabi saw yang utuh dan sangat terpuji tergambar dari berbagai sikap dan perilaku yang telah ditunjukkan beliau semasa hidupnya. Di waktu kecil, beliau telah menunjukkan sifat-sifat yang khas yang berbeda dengan anak dan pemuda semasanya.

Rasulullah tidak pernah melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya, tidak pernah memberikan pengorbanan untuk berhala-berhala itu, tidak pernah meminum khamar, dan tidak pernah melakukan hal-hal lain yang menurutnya bertentangan dengan jiwanya.

Allah Swt telah menunjukkan kepadanya sejak kecil jalan-jalan yang suci yang harus ditempuh dan dilakukan oleh seseorang yang akan diangkat menjadi calon pemimpin besar dan Nabi yang terakhir untuk semua umat sesudahnya hingga akhir zaman. Sejak kecil beliau tidak hanya menunjukkan kepribadian yang sangat terpuji terhadap dirinya sendiri, tetapi juga sangat terpuji terhadap sesamanya.

Baca Juga: Tafsir At-Taubah 128; Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Para ahli sejarah menyatakan bahwa di mata kaumnya, beliau adalah orang yang memiliki sopan santun yang paling tinggi, paling baik akhlaknya, paling baik pergaulannya dengan tetangga, berkata yang benar, sangat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan keji dan kotor, paling tinggi rasa kasihnya terhadap sesama, dan paling bertanggung jawab.

Sejak masa kanak-kanak itu, beliau dianugerahi jiwa dan semangat kemandirian yang sangat tinggi dalam bekerja. Seperti kita ketahui, ayahnya meninggal sebelum beliau dilahirkan, ibunya meninggal pada saat beliau berumur 6 tahun, yaitu umur yang masih sangat muda untuk ditinggal pergi oleh kedua orang tua.

Mulai saat itu, Muhammad menjadi yatim piatu, tanpa ayah dan tanpa ibu. Dalam keadaan yatim-piatu itu, tanggung jawab untuk membina Muhammad jatuh ke tangan kakeknya, Abdul Muttalib yang telah memberikan dukungan yang besar dan pembinaan yang tidak kalah pentingnya, hingga beliau berumur 8 tahun. Masa-masa kehidupan yang dilalui oleh Rasulullah sesudah itu, sesudah meninggalnya Abdul Muththalib, berada dalam pembinaan dan asuhan Paman beliau, Abu Thalib, yang juga telah memberikan bimbingan dan dukungan yang besar pula.

Semoga bermanfaat.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...