BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiMenelisik Makna Ta’lim dalam Pendidikan Islam

Menelisik Makna Ta’lim dalam Pendidikan Islam

Pendidikan sering kali diterminologikan ke dalam tiga istilah, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Sebagaimana penjelasan pada artikel sebelumnya yang mengulas makna tarbiyah, maka pembahasan kali ini kita hendak mengulas makna ta’lim. Ta’lim secara sederhana didefinisikan sebagai proses transfer of knowlegde (transfer ilmu pengetahuan) yang mencakup domain kognisi peserta didik. Selengkapnya mari kita simak pembahasan di bawah ini.

Pengertian Ta’lim

Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan kata ta’lim berasal dari kata ‘allama, yang berasal dari kata ‘alima, artinya pencapaian pengetahuan yang sebenarnya. Kata ‘allama bermakna menjadikan orang lain yang asalnya tidak tahu menjadi mengetahui. Dalam pendapat yang lain dikatakan kata ta’lim berasal dari ‘allama, yang kata dasarnya ‘alima artinya mengetahui.

Selanjutnya kata ‘alima bertransformasi menjadi a’lama dan terkadang berubah menjadi ‘allama yang artinya proses transformasi dan transmisi ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 31,

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” (Q.S. al-Baqarah [2]: 31)

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran menafsirkan ayat di atas dengan menukil qaul Abu Ja’far bahwa di antara para ahli takwil terdapat ikhtilaf (berbeda pendapat). Dikatakan Ibn Abbas, sebagaimana diceritakan Abu Kuraib, Utsman bin Sa’id, Basyar bin ‘Imarah, dari Abi Rauq, dari al-Dhahhak, dari Ibn Abbas bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam berupa asma’-Nya (nama-nama-Nya), nama-nama itu adalah sesuatu yang akan diketahui oleh manusia yaitu al-insan (manusia), binatang melata (dabbah), ardhun (bumi), sahlun (daratan), bahr (lautan), jabal (gunung), himarah (keledai) dan yang serupa dengan itu semua. Mujahid mengakatan ismun kulli syai’ (nama-nama segala sesuatu).

Adapun al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan tiga term dalam konteks ayat tersebut dengan mengutip sabda Nabi saw,

سائل العلماء وخالط الحكماء وجالس الكبراء

“Bertanyalah kepada para ulama, campurilah (bergaulah) dengan orang-orang yang bijaksana, dan duduklah (bertemanlah) dengan para sesepuh, tokoh, pembesar atau yang lebih tua dari kalian”.

Dalam riwayat al-Tabrani dari Abi Hunaifah, “jalisu al-kubara’, wa sa-ilu al-ulama, wa khalitu al-hukama’”. Menurut al-Razi, dalam ketiga term tersebut Rasulullah saw menjelaskan secara terminologis dan operasional betapa pentingnya pergaulan seseorang dalam rangka ta’lim. Pertama, a’lim. Al-Razi menjelaskan orang yang alim ialah mereka yang mengetahui hukum-hukum Allah (bi ahkamillah) dengan memadukan antara penalaran rasio maupun panca indera, mereka itulah yang bersama Allah dan mencintai Allah. Maka bertanyalah kepada ulama jika kalian mengalami kesulitan (fa amara bimusa-alatihim ‘indal hajati ilallah istiftai minhum).

Kedua, hukama’. Hukama’ adalah orang-orang yang mengenal, maka hendaknya kalian bergaul dengan hukama’ ini, demikian kata al-Razi (al-alimuna billahi alladzina la ya’lamuna awamirillahi fa amara bimukhalathatihim). Ketiga, al-kubara. Al-Kubara ialah orang-orang besar atau kapasitas intelektualnya dan akhlaknya mumpuni sehingga disematkan gelar kepada mereka sebagai orang besar atau ilmuwan, agamawan dan sejenisnya yang mana mereka mengetahui Allah dan hukum-hukum Allah, maka al-Razi memerintahkan untuk duduk bersama mereka, karena dengan bergaul dan duduk dengannya dapat mengambil manfaat untuk diri kita sendiri baik manfaat dunia maupun akhirat.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

Beragam Makna Ta’lim

Istilah ta’lim, seperti yang disampaikan Abdul Fattah Jalal dalam Min al-Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, adalah serangkaian proses pembinaan pengetahuan, pemahaman, intelektualitas, dan tanggung jawab yang ditujukan kepada manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Dalam definisi yang lain, Athiyah al-Abrasy, misalnya, ta’lim diartikan sebagai upaya untuk mempersiapkan individu dengan mengacu pada aspek tertentu. Menurutnya, ta’lim merupakan bagian terkecil dari tarbiyah di mana hanya mencakup domain kognitif atau intelektualitas saja, dan tidak menyentuh domain afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan).

Lebih dari itu, filsuf Islam kenamaan asal Indonesia, Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam the Concept of Education in Islam, ia menjelaskan secara etimologis kata ta’im bermakna pengajaran (bentuk dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman). Sementara itu, secara istilah ta’lim ialah serangkaian proses transmisi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.

Guna menjustifikasi pendapatnya ini, al-Attas menyuguhkan Q.S. al-Nahl [16]: 78,

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (Q.S. al-Nahl [16]: 78)

Al-Tabari dalam tafsirnya menafsirkan kata la ta’lamuna syai-an dengan la ta’qiluna syai-an wa la ta’lamuna (kamu tidak mengerti apa-apa dan kamu tidak tahu), lalu Allah memberimu beberapa akal (‘uqulan) supaya kalian paham betul sehingga dapat membedakan mana yang baik dan buruk (tafqahuna biha wa tumayyizuna biha al-khaira min al-syarri), dan menganugerahkan penglihatan dan pendengaran agar kamu dapat menggunakannnya deengan baik.

Tidak jauh berbeda dengan Al-Attas, Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam membagi beberapa makna ta’lim yang ia nukil dari Abdul Fattah Jalal, sebagai berikut.

Pertama, ta’lim merupakan proses pembelajaran yang dilakukan sejak manusia lahir dengan mengembangkan segala potensinya, baik potensi pendengaran, penglihatan dan potensi hati. Pengertian ini digali dari Q.S. al-Nahl [16]: 78. Kedua, proses ta’lim tidak boleh mandeg alias berhenti hanya pada pencapaian aspek kognitif saja, melainkan menjangkau aspek afektif dan psikomotorik. Sebab, menurut Abdul Fattah Jalal, Al-Quran me-warning seseorang yang hanya memiliki pengetahuan saja, dan mengabaikan aspek-aspek yang lain, semisal aspek afektif dan psikomotorik. Ia mendasarkannya pada firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 151.

Baca Juga: Pentingnya Kurikulum Pendidikan Multikultural Menurut Al Quran

Penutup

Mengacu pada beberapa pendapat para ulama dan mufassir di atas,  ta’lim mengandaikan satu proses transmisi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru kepada peserta didik. Ta’lim merupakan bagian kecil daripada proses tarbiyah dan ta’dib. Jika dua istilah terakhir lebih kepada proses pembinaan, pengasuhan dan penggemblengan adab atau akhlak karimah, maka ta’lim hanya berperan pada domain kognisi siswa, ketimbang kepengasuhan dan pembinaan adab atau akhlak. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....