Seorang yang mempunyai nama lengkap Nashr Hamid Rizk Abu Zaid ini lahir di desa Quhafah dekat kota Thantha’ Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Ayahnya adalah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin. Di usianya yang ke 8 tahun, Nashr sudah hafal al-Quran. Bahkan ketika masa remajanya, beliau sudah terbiasa menjadi imam masjid di mesir.
Nashr pernah bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan karena namanya ada dalam daftar keanggotaan pulalah, beliau dijebloskan ke penjara walaupun hanya satu hari karena masih di bawah umur. Sejak saat itu juga, Nashr telah tertarik dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb tentang keadilan dan penafsiran Islam. Beliau juga sudah terbiasa menjadi imam masjid di mesir pada usia remajanya.
Pada tahun 1960, Nashr Hamid lulus dari sekolah teknik Thantha. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab, tepatnya pada tahun 1968. Selain menjadi mahasiswa, Nashr juga bekerja sebagai seorang Teknisi Elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional di Cairo. Sehingga, waktu siangnya digunakan untuk bekerja dan waktu malamnya digunakan untuk kuliah.
Nashr Hamid kemudian berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude. Beliau kemudian diangkat menjadi dosen dengan jurusan yang sama. Pada waktu itu, ada kebijakan bagi setiap asisten dosen baru untuk mengambil studi islam sebagai kajian utama dalam riset Master dan Doktor. Sejak saat itulah, Nashr mulai melakukan studi tentang Al-Quran, Problem Interpretasi dan Hermeneutika.
Baca juga: Hasan Hanafi, Eksponen Penting Dalam Hermeneutika Al-Quran
Pada tahun 2010, Nashr Hamid kembali ke haribaan Allah Swt dengan meninggalkan banyak karya dalam bentuk tulisan, di antaranya: Al-Ittijahat al-‘Aql fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyat al-Majaz ‘ind al-Mu’tazilah (Pendekatan Rasional dalam Interpretasi; Studi terhadap Majaz menurut Kaum Mu’tazilah), Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ind Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Interpretasi Filosofis : Studi terhadap Interpretasi al-Qur’an menurut Ibn ‘Arabi), Mafhum al-Nass; Dirasat fi Ulum al-Qur’an (konsep Teks; Studi dalam ilmu-ilmu al-Qur’an), Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan), dan al-Imam al-syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyat al-Wasatiyyat (Imam syafi’i dan pembentukan ideologi mederat).
Adapun kaitannya dengan penafsiran, Nashr mengungkapkan bahwa realitas penafsir, tafsir dan teks melalui diskursus semiotika merupakan ‘keluarga’ dari linguistik struktural. Menurutnya, interpretasi bukanlah konsep yang hanya terbatas pada teks-teks kebahasaan saja, justru lebih luas.
Dari segi kebahasaan misalnya, keluasan tersebut secara umum mencangkup peristiwa-peristiwa (al-ahdas), realitas-realitas (al-waqa’i), dan fenomena-fenomena (al-dzawahir) secara keseluruhan. Dalam artian konsep interaksi itu berada pada konteks semiotika secara holistik. Sehingga, hubungan antara penafsir, pembaca, teks dan realita, seharusnya tidak berjalan secara mekanis belaka, namun lebih pada proses dialektis.
Empat Pembacaan Nasr terhadap Al-Quran
Secara garis besar, pembacaan Nashr terhadap Al-Quran terbagi menjadi empat, berikut penjelasannya:
Pertama, Al-Quran sebagai sebuah pesan tidak bisa lepas dari kesadaran penafsir mengenai Al-Quran sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurutnya, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. Nashr menyebutnya dengan dalalah (makna yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga menghasilkan makna-makna gramatik) dan maghza (menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis).
Kedua, Al-Quran sebagai kitab bahasa adalah teks yang bersifat historis dalam bahasa yang lahir pada masyarakat tertentu, dan mewakili sifat-sifat kulturalnya. Selain “konteks narasi” dalam memaknai teks Al-Quran perlu juga memahami “konteks kultural” dan “konteks pembacaan” teks tersebut. Sebab Al-Quran diturunkan pada konteks ruang dan waktu. Sehingga konteks dimana Al-Quran diturunkan tentunya berkaitan erat dengan teks al-Qur’annya.
Baca juga: Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran
Dalam bahasa lainnya, al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa dianalisis melalui bahasa secara inhern. Oleh karenanya, Nashr menganggap bahwa persoalan konteks budaya secara luas merupakan persoalan penting yang tidak dapat ditinggalkan.
Ketiga, Pemahaman generasi muslim pertama terhadap teks al-Qur’an tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut. Proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa. Menurut Nashr, interpretasi teks dapat dilakukan oleh siapapun yang memiliki kompetensi dan dengan syarat-syarat tertentu.
Ketika melakukan interpretasi, penafsir harus meninggalkan segala macam horizon subjektif yang berada di otaknya. Maksudnya, meninggalkan kecenderungan penekanan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis yang menghasilkan pembacaan terikat (al-qira’ah al-bariah). Hal ini menyebabkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks terabaikan. Padahal, kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhinya.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qira’ah al-mugridah), yaitu pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat obyektif.
Keempat, Nashr menganalisis tingkatan-tingkatan konteks (as-siyaq) yang menurutnya sangat penting dalam studi al-Qur’an dan linguistik. Dalam studi teks, pembahasan as-siyaq sangatlah beragam. Nashr berusaha memberikan fokus dan batasan-batasan dengan mengarahkan telaah terhadap teks-teks yang bersifat kebudayaan atau teks-teks dalam pengertian semiotik. Batasan-batasan tersebut meliputi; konteks sosio-kultural (as-siyaq al-saqafi al-ijtima’i), konteks eksternal (as-siyaq al-khariji atau at-takhatub), konteks internal (as-siyaq ad-dakhili), konteks bahasa (as-siyaq al-lughawi), dan konteks pembacaan atau pentakwilan (as-siyaq al-qira’ah atau as-siyaq at-ta’wil).
Pembacaan yang dilakukan oleh Nashr Hamid adalah model pembacaan yang disebut al-qira’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Walaupun beliau memisah makna dalam teks menjadi dua, yaitu dalalah dan magza. Namun, pada dasarnya dalalah dan magza merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza tidak dapat dipisahkan dari sentuhan dalalah, sebab dalalah yang dapat mengantarkan magza sampai pada makna paling jauh. Sementara itu, untuk mengungkapkan makna dalalah harus melalui media at-tafsirah (tanda).
Jadi model pembacaan dengan al-qira’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa (at-tafsirah) untuk memperoleh makna tekstual (dalalah), setelah itu dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magza. Dengan demikian pendekatan, pemikiran, pemaknaan terhadap teks keagamaan bisa lebih dinamis, kontekstual, inklusif, dan relevan dengan wacana masyarakat dewasa ini. Wallahu A’lam