Dalam dunia akademik Barat saat ini, studi Al-Quran sedang mengalami gairah penelitian dan perdebatan mendalam oleh para sarjana dengan pendekatan kritis. Para sarjana ini membentuk kelompok dengan sebutan “revisionis”. Kesarjanaan revisionis sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari sarjana orientalis, yaitu mereka yang mengkaji dunia Timur Tengah dan Islam. Sebagai kelanjutan dari sarjana orientalis, tentu sikap dan pandangan para sarjana revisionis ini kurang lebih sama dalam beberapa banyak aspek. Mereka menerapkan pendekatan kritis terhadap sumber Islam, terutama Al-Quran.
Kalangan revisionis memiliki persoalan tajam terkait sumber Islam yang dianggap tidak primer, sehingga dipertanyakan otentisitasnya. Mereka mempertanyakan keabsolutan Al-Quran sebagai firman Tuhan, atau setidaknya berpandangan bahwa tradisi Yahudi atau Kristen lah yang merupakan sumber utama Al-Quran seperti yang dipaparkan Mun’im Sirry dalam bukunya “Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis”.
Sikap kritis sarjana revisionis tersebut adakalanya seperti pandangan orientalis awal yang dilatarbelakangi oleh motivasi keagamaan. Namun tidak selalu seperti itu. Sebagian lain difaktori semangat kritis pengetahuan para sarjana yang netral terhadap semua agama yang telah terlebih dahulu mengkritisi Torah maupun Bibel. Berangkat dari tesis tersebut, penelaahan kalangan revisionis ini pada akhirnya melahirkan kesimpulan beragam yang nantinya akan dipaparkan dalam tulisan ini.
Pendekatan Kesarjanaan Revisionis
Dalam disiplin sejarah modern, sumber primer menjadi bukti kunci dan bukti valid. Dasar inilah yang menjadi landasan para pakar sejarah Barat tidak bisa menerima secara taken for granted bahwa Al-Qur’an sebagai firman Tuhan. Sumber-sumber tradisional seperti tradisi literatur Muslim tidak cukup untuk digunakan dalam merekonstruksi sejarah Islam Islam awal, karena ia baru ditulis jauh berabad-abad setelah peristiwanya terjadi. Sumber sejarah yang dapat diterima adalah yang sezaman, sehingga bukti material paling valid adalah yang paling mendekati peristiwa meskipun dari eksternal Islam.
Perlakuan kaum revisionis terhadap Al-Quran setidaknya masih lebih baik, daripada perlakuan mereka terhadap literatur Muslim lainnya seperti tradisi hadis, tarikh, atau tafsir Al-Quran yang ditulis sangat belakangan, yang pasti jelas tidak dapat mereka terima. Al-Quran masih mereka terima sebagai sumber otentik historis, namun perlu diperlakukan dengan kritis.
Fred Donner, pakar sejarah Islam di Universitas Chicago memetakan pendekatan yang digunakan sarjana modern termasuk revisionis mengenai perlakukan mereka terhadap literatur Islam. Dalam karyanya Narratives of Islamic Origins: The Beginning of Islamic Historical Writing, Donner mengungkapkan empat pendekatan tersebut; deskriptif, kritik sumber, kritik tradisi, dan skeptis. Yang terakhir disebut adalah pendekatan paling radikal, ia menolak inti dari fakta historis peristiwa sesungguhnya yang terjadi pada periode Islam awal.
Baca juga: Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif
Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Al-Qur’an
Untuk memahami pemikiran sarjana revisionis, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa dan apa penelitian mereka. Paper The Qur’an in Its Historical Context karya Gabriel Said Reynolds memuat beberapa pemikiran dari beberapa revisionis seperti Gunter Luling, John Wansbrough, Yehuda Nevo, Christoph Luxenberg. Klasifikasi Reynolds memang tidak sepenuhnya bisa merepresentasikan semua kesarjanaan revisonis, namun setidaknya dua yang akan disebut bisa menjadi pemetaan awal dalam kajian ini.
Karya kontroversial pertama revisionis muncul dari Gunter Luling, filolog Jerman, yang menganggap sepertiga isi dari Al-Qur’an berasal dari nyanyian atau puji-pujian Kristen Makkah. Menurut Luling ada beberapa fase perubahan dari teks Al-Quran tradisi oral yang orisinil menjadi teks tulisan seperti sekarang. Salah satu terapan teorinya adalah pada surah Al-Alaq. Ia mengomparasikan teks ayat tersebut dengan teks arkeologi pujian Kristen yang memiliki banyak kesamaan.
Pandangan revisionis selanjutnya datang dari John Wansbrough, seorang ahli tafsir London. Melalui dua bukunya Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sectarian Milieu, Wansbourgh menyatakan bahwa Al-Quran dikodifikasi abad ke-2. Ia memakai pendekatan skeptis dengan menggunakan kritik sumber dan kritik tradisi sebagai metodenya.
Al-Qur’an dalam pandangan Wansbrough, sebagaimana dikutip Mun’im Sirry dalam buku “Kontroversi Islam Awal”, merupakan sebuah produk dari situasi polemik atau disebut “sectarian milieu”, di mana situasi polemik tersebut bertempat di Irak, bukan Jazirah Arab. Di kota pusat Khilafah Abbasiyah tersebutlah terjadi kanonisasi Al-Qur’an. Wansbourgh juga termasuk yang berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an sebagai fiman Tuhan merupakan kepanjangan dari kitab Taurat. Gagasan kanonisasi Al-Quran Wansbrough ini mendapatkan pengaruh luas terutama bagi kaum revisionis radikal generasi selanjutnya seperti Patricia Crone yang menelurkan buku Hagarism: The Making of The Islamic World.
Jika bertumpu pada pengetahuan yang netral, kerja-kerja revisionis tersebut sebenarnya mengandung kelemahan metode maupun kesimpulan yang melompat. Para sarjana Muslim pengkaji Al-Quran di Barat banyak mengungkap kelemahan tersebut. Sirry misalnya, berpendapat bahwa Jazirah Arab abad ke-7 tidaklah terlalu terisolasi seperti yang Wansbrough persepsikan. Jadi, situasi polemik tentu sangat bisa timbul di Makkah. Issa J. Boullata juga mengungkap bahwa metode form and redaction criticsm yang dipilih Wansbrough sangat selektif, dan itu bukanlah representasi yang cocok.
Teori “all religion are in history” Fazlur Rahman dapat digunakan sebagai komentar tentang ketergantungan agama Islam dengan agama Yahudi maupun Kristen. Di mana Tuhan memang mengintervensi sejarah demi kepentingan umat manusia. Lagi pula, dalam Islam sendiri juga tidak menolak adanya sejarah umat dan nabi sebelum Muhammad. Namun, lagi-lagi menurut Rahman, untuk mengungkapkan otentisitasnya seharusnya penelusuran dicari dari tradisi Arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi atau Kristen. Asumsi awal seperti itu menurut Rahman akan menyisakan bias, karena Islam dipahami oleh subyektifitas doktrin agama lain.
Sebagai penutup dalam menyikapi kesarjanaan revisionis yang terkesan kontroversial tersebut, akan lebih bijak jika dunia intelektual Islam tidaklah bersifat apologetik. Meski memiliki kelemahan di satu dan lain hal, metode alternatif yang ditawarkan sarjana revisionis menyumbang cukup penting dalam pengkajian studi Al-Quran. Penerimaan ini lambat laun akan melahirkan sikap obyektif dan netral pengetahuan dalam memahami Islam di antara para sarjana Muslim maupun non-Muslim. Wallahu a’lam.