BerandaKhazanah Al-QuranMengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama

Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama

Belakangan ini, laman instagram Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama ramai dengan post Mushaf Alquran Isyarat. Mushaf ini, sebagaimana dijelaskan pada laman resmi Kementerian Agama, merupakan salah satu produk mushaf Alquran ‘baru’ yang dihadirkan bagi mereka kalangan berkebutuhan khusus. Akses lengkap mushaf tersebut kini bahkan telah tersedia di Qur’an Kemenag, versi aplikasi maupun online.

Nah, sebelum kehadiran Mushaf Alquran Isyarat tersebut, tahukah para pembaca sekalian jika Kementerian Agama juga sebenarnya punya produk ‘mushaf lain’ selain mushaf-mushaf mainstream -Mushaf Alquran Standar Rasm Usmani, Bahriyah, dan Braille-?

Baca juga: Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara

Di dalam sambutannya, Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa selain Mushaf Alquran Standar Indonesia (MSI), tahun 2019 Kementerian Agama juga menerbitkan Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin dan Surah Yasin. Dua mushaf inilah yang hendak penulis bicarakan.

Namun sebelumnya, sebagai disclaimer, penyebutan dua produk ini sebagai ‘mushaf’ merujuk pada Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama Nomor 54 Tahun 2017. Menurut keputusan tersebut, mushaf Alquran diartikan sebagai lembaran atau media yang berisikan ayat-ayat Alquran lengkap 30 juz dan/atau bagian dari surah atau ayat-ayatnya.

Mushaf Juz ‘Amma

Mushaf ini bernama lengkap Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin. Mushaf ini diadakan Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan dicetak oleh Unit Percetakan Al-Qur’an (UPQ).

Sebagaimana namanya, mushaf ini berisi surah-surah pada juz 30 yang lazim disebut sebagai Juz‘ ‘Amma. Dalam 69 halaman, mushaf ini juga dilengkapi dengan terjemahan dan transliterasi Arab-Latin. Selain itu, pada bagian yang dianggap penting juga dibubuhkan catatan pendek semacam tafsir menggunakan pola catatan kaki (footnote).

Mushaf ini disusun mengikuti pola tartib mushafiy (urutan surah dalam Alquran) yang terbalik. Artinya surah yang disebutkan pertama adalah surah An-Nas [114] dan diakhiri dengan surah An-Naba’ [78]. Pola semacam ini mengingatkan pada pola yang biasa digunakan dalam mushaf yang digunakan anak-anak pada tahap awal pembelajaran.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Sementara metode sajiannya mengikuti sajian ayat per ayat, jika mengacu metode yang digunakan oleh aplikasi Qur’an Kemenag. Yakni metode sajian yang menempatkan ayat Alquran pada bagian kanan, terjemah pada bagian kiri, serta transliterasi Latin pada bagian bawah ayat. Metode sajian ini berbeda dengan metode halaman, sebagaimana digunakan Al-Qur’an dan Terjemahannya, yang menempatkan ayat secara utuh pada bagian tengah dan terjemahannya mengelilingi bagian tepi.

Selain isi pokok yang telah disebutkan, ditambahkan juga di dalam mushaf ini pedoman transliterasi, tanda tashih dari LPMQ, surah Al-Fatihah [1] yang ditempatkan sebelum surah An-Nas, dan asma’ al-husna pada bagian akhir mushaf.

Secara umum, gaya huruf (font style) dan model penulisan yang digunakan dalam penulisan ayat adalah sama dengan mushaf-mushaf Kementerian Agama saat ini, yakni Isep Misbah. Yang belum penulis dapatkan adalah terjemah dan catatan kaki yang diberikan, apakah sama dengan terjemah terakhir yang disusun Kementerian Agama pada waktu itu-tahun 2019-atau tidak.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah pemberian transliterasi Latin pada mushaf tersebut. Sesuai dengan tujuan disusunnya mushaf tersebut, “sarana edukasi bagi anak-anak muslim untuk belajar mengaji dan menghafal surah-surah pendek,” dan asas transliterasi aksara yang merujuk pada bahasa asal, maka bukankah hal tersebut cukup menjadi problem?

Baca juga: Popularitas Mushaf Alquran Produksi Bombay di Indonesia

Diksi ‘anak-anak’ pada klausul tujuan sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam sambutan Menteri Agama, pada tataran praktiknya dapat saja digunakan oleh mereka yang bukan ‘anak-anak’ tapi memiliki latar belakang pendidikan Alquran seperti halnya ‘anak-anak’. Sehingga, diksi tersebut dalam masalah ini lebih tepat diartikan sebagai peserta didik dasar.

Kecakapan membaca transliterasi, dalam pandangan penulis, sangat dipengaruhi oleh kecakapan seseorang yang penguasaaan bahasa asalnya, yang dalam konteks ini adalah bahasa Arab. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka terjadinya kesalahan pembacaan sangat mungkin terjadi. Dan dengan mengaitkan keragaman latar belakang pembaca mushaf Juz ‘Amma ini dalam tataran praktis, sangat mungkin kesalahan tersebut terjadi.

Namun terlepas dari kemungkinan problem yang timbul dari penyusunan mushaf Juz ‘Amma ini, apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama sangat patut diapresiasi, terutama dalam penerbitan mushaf jenis Juz ‘Amma  yang terstandarisasi oleh Pemerintah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU