Belakangan ini penulis tengah melakukan “jelajah” mushaf kuno dari Pulau Dewata, Bali. Beberapa di antaranya telah penulis berikan review-nya; Mushaf Kusamba dalam Menelusuri Jejak Referensi Rasm Mushaf Kuno dan mushaf dari Kampung Saren Jawa milik Subki Muhamad Noer dalam Kajian Struktur Huruf Mushaf Kuno.
Kali ini giliran satu mushaf unik dari Buleleng (selanjutnya disebut Mushaf Buleleng) yang kini tersimpan di Masjid Agung Jami’ Singaraja yang terletak di Jl. Imam Bonjol, No. 65, Desa Kampung Kajanan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.
Deskripsi mushaf
Mushaf Buleleng ini konon ditulis langsung oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie, putra dari Raja Buleleng, A. A. Ngurah Ketut Jelantik Polong. Mushaf tersebut ditulisnya ketika tengah menimba ilmu kepada Muhammad Yusuf Saleh pada tahun 1820-an masehi. Dia kemudian memindahkannya sendiri ke Masjid Agus Jami’ Singaraja seiring dengan berdirinya di tahun 1850 M.
Mushaf tersebut berukuran 24 cm x 16 cm dengan bidang teksnya 17 cm x 11 cm. Mushaf ditulis menggunakan dominasi tinta hitam dan pada bagian tertentu menggunakan tinta merah di atas kertas Eropa. Tidak ditemukan nomor halaman pada mushaf ini, tetapi dijumpai kata alihan (catchword) pada tiap halaman verso-nya.
Mushaf ini telah didigitalisasi oleh Balai Litbang Agama Semarang dan dapat diunduh melalui repositori Wanantara dengan kode BLAS/Bul/Q/MAJS.1/2019. Namun, dalam naskah digital yang tersedia, terdapat dua naskah mushaf yang berbeda, yakni Mushaf Buleleng ini dan mushaf lain yang tidak diketahui identitasnya.
Pihak repositori tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai mushaf ini, tetapi diketahui bahwa mushaf tersebut merupakan fragmen yang terdiri dari surah Al-An’am [6] ayat 145 sampai surah Yunus [10] ayat 4, yang terselip di tengah-tengah Mushaf Buleleng. Menariknya, dengan ditemukannya “sisipan” fragmen ini, ditemukan bahwa cukup banyak halaman yang hilang dari Mushaf Buleleng, yakni surah Al-A’raf [7] ayat 167 sampai surah Yusuf [12] ayat 51.
Secara umum, Mushaf Buleleng ini sama seperti kebanyakan mushaf di seluruh Nusantara. Yang membuat mushaf ini berbeda sehingga menarik adalah keragaman iluminasi utamanya serta catatan qiraat yang diberikan.
Baca juga: Mengenal Empat Museum Alquran di Indonesia
Iluminasi mushaf
Iluminasi utama dimaksudkan pada aspek pencerahan dan pemertinggi halaman yang muncul satu halaman penuh. Iluminasi ini, sebagaimana dijelaskan Pak Islah Gusmian, muncul di tiga tempat, yakni awal mushaf pada surah Al-Fatihah dan awal surah Al-Baqarah; tengah mushaf, yakni pada awal surah Al-Kahfi, awal surah Al-Isra’, awal juz 16, atau pada bagian ayat walyatalaththaf; serta akhir mushaf yang terletak pada surah An-Nas dan surah Al-Fatihah akhir.
Iluminasi utama pada Mushaf Buleleng terletak di dua tempat, di bagian awal dan tengah mushaf. Iluminasi awal terletak pada surah Al-Fatihah dan awal surah Al-Baqarah. Iluminasinya mengikuti model khas Buleleng berupa tanaman rambat yang tergolong dalam model tetumbuhan (floral). Iluminasinya didominasi dengan warna merah dengan aksen hitam di beberapa titik.
Iluminasi tanaman ini selaras dengan yang digunakan dalam iluminasi penanda tahzib, seperti pembagian juz, hizb, tsumun, dan rubu’. Bentuk ukiran tanaman rambat ditempatkan dalam pusat lingkaran yang bertumpuk-tumpuk yang mengesankan adanya gradasi warna dan kontur.
Sementara iluminasi tengahnya terletak di awal juz 16 dengan tema dan model yang sangat berbeda dari iluminasi awal. Iluminasi tengah ini lebih menonjolkan kaligrafi sebagai elemen utamanya. Terlihat beberapa kalimat yang tertulis merupakan kalimat tahlil yang dibentuk sedemikian rupa mengikuti frame-nya. Frame yang dipilih juga sangat berbeda dengan iluminasi awal.
Iluminasi tengah ini sangat menarik bagi mushaf Buleleng. Pasalnya, sebelum menyematkan iluminasi di awal juz 16, akhir juz 15 terlebih dahulu diakhiri dengan bacaan shadaqallah al-‘aliyy al-‘adzim, tepatnya setelah ayat ke-74 dari surah Al-Kahfi [18]. Dari sini, penulis seolah ingin membagi mushafnya ke dalam dua jilid yang masing-masingnya terdiri dari 15 juz.
Selain itu, merujuk pada catatan Pak Islah, mushaf dengan penempatan iluminasi semacam ini umumnya berasal dari Aceh. Sehingga temuan iluminasi ini di Mushaf Buleleng memunculkan pertanyaan, mungkinkah pembuatan mushaf ini melibatkan unsur Aceh? Ataukah memang sebuah kebetulan bahwa tren iluminasinya sama dengan Aceh?
Namun, jika menisbatkan mushaf ini kepada Aceh, iluminasi utama yang terletak di awal serta iluminasi penandanya tampak mengikuti budaya setempat, yakni model tanaman rambat yang menjadi kekhasan Buleleng. Sehingga memungkinkan adanya penafsiran lain bahwa mushaf ini mencoba menggabungkan dua tradisi penulisan. Pada titik ini dibutuhkan kajian yang mendalam.
Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Alquran Nusantara Dulu dan Kini
Catatan qiraat
Seperti halnya kebanyakan mushaf di Nusantara, Mushaf Buleleng mengikuti qiraat yang dipilih oleh Imam ‘Ashim (w. 128 H.) dari riwayat Hafsh (w. 180 H.). Pilihan ini sebagaimana ditunjukkan kata sadd di dua tempat dalam surah Al-Kahfi, yakni pada ayat 93 dan 94, dengan dibaca fathah pada huruf sin. Pilihan bacaan fathah juga terlihat pada kata al-shadafain di surah yang sama ayat 96.
Mengapa penulis mencontohkan bacaan yang terdapat dalam surah Al-Kahfi? Karena pada surah ini lah ditemukan indikasi keragaman qiraat dalam Mushaf Buleleng. Seperti dapat dilihat pada gambar 4 di atas, terdapat catatan di bagian pias yang memberikan indikasi keragaman qiraat. Uniknya, catatan tersebut diberikan dengan gaya yang tidak biasa.
Umumnya, catatan qiraat diberikan dengan gaya penulisan yang “normal”. Penulisan yang memudahkan pembaca untuk mengakses informasi bacaan yang diberikan. Hal ini dikarenakan pentingnya catatan yang menginformasikan keragaman qiraat. Penulisan yang “cukup ekstrem” seperti halnya digunakan Mushaf Kusamba melalui gaya “zig-zag”-nya.
Akan tetapi Mushaf Buleleng ini seolah tidak mengindahkan informasi yang terkandung dan terkesan menonjolkan aspek estetik dari sebuah penulisan. Catatan diberikan dengan menuliskan kata yang memiliki ragam qiraat sebanyak dua kali dengan cara bertumpuk secara vertikal-horizontal menggunakan tinta berwarna hitam dan merah.
Namun demikian, boleh jadi memang penulisan yang mencolok tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan ada “sesuatu yang lain”, yang dalam konteks mushaf ini merupakan keragaman qiraat. Hal ini karena penulis menduga adanya keragaman qiraat melalui penulisan mencolok tersebut.
Apapun itu, yang jelas ulasan penulis ini menjadi bukti bahwa Mushaf Buleleng memiliki keunikan tersendiri yang makin menambah kekayaan khazanah permushafan kuno di Nusantara. Tentunya masih banyak lagi keunikan yang dimiliki mushaf-mushaf lain yang masih belum tereksplorasi. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Cara Mengetahui Qiraat yang Dipedomani Suatu Mushaf