Miris. Satu kata yang terucap tatkala menyaksikan tingkah laku aneh masyarakat saat ini. Terbaru yang viral di kalangan pemerhati Alquran adalah peristiwa nyawer qariah. Penulis sendiri mengetahui hal ini melalui feed Twitter Prof. Oman Fathurahman, “Selain tdk patut, nyawer pembaca al-Qur’an, qoriah/qori, bertentangan dg perintah-Nya agar pendengar diam dan menyimak bacaan”.
Penulis kemudian melakukan penelusuran atas postingan tersebut melalui berbagai laman media dan mendapati satu kasus di Pandeglang, Banten. Seorang qariah bernama Hj. Nadia Hawasyi yang disawer salah seorang “jamaah”. Pembaca sekalian dapat melihat peristiwa selengkapnya pada (1) Full Video❗ Qoriah Hj. Nadia Hawasyi disawer jama’ah di Pandeglang – Banten | Dikecam Ketua MUI❓ – YouTube.
Hingga tulisan ini dibuat, penulis mendapati satu tulisan pada portal tafsiralquran.id berjudul Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak yang ditulis oleh Muhammad Nasif. Secara spesifik, tulisan Nasif tersebut lebih menyorot aspek legal formal publikasi bacaan Alquran berikut dengan landasan yang digunakan.
Berbeda dari Nasif, penulis memandang ada masalah lain yang seharusnya menjadi sorotan. Alih-alih hukum publikasi bacaannya, etika berinteraksi dengan Alquran agaknya lebih urgen untuk dibicarakan. Pertimbangannya karena aspek yang “dirusak” dalam peristiwa ini condong pada arah etika, bukan legal formalnya.
Kendati tulisan mengenai etika interaksi Alquran telah banyak dituliskan. Namun, menyuarakannya kembali perlu dilakukan. Hal ini berfungsi sebagai edukasi sekaligus pencegahan terhadap munculnya tindakan serupa mengingat polah tingkah masyarakat saat ini yang gampang memburu “berkah” viral.
Baca juga: Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak
Etika interaksi dengan Alquran
Imam Syaraf al-Nawawi dalam Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an dan Jalal al-Din al-Suyuthiy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan begitu banyak etika yang harus dijaga ketika berinteraksi dengan Alquran. Etika-etika tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, etika sebagai pembaca dan etika sebagai pendengar.
Etika bagi pembaca di antaranya menghadap kiblat, kekhusyukan dan ketenangan diri, membaca dengan tadabur dan memahami kandungan yang dibaca, serta menangis atau berpura-pura menangis bagi mereka yang tidak mampu. Sedangkan etika bagi pendengar adalah mendengarkan, tidak berbicara atau pun melakukan sesuatu yang menimbulkan kegaduhan.
Landasan yang digunakan acuan dalam etika-etika tersebut di antaranya adalah surah Shad [38] ayat 29, surah Muhammad [47] ayat 24, dan surah Al-A‘raf [7] ayat 204.
كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ
“(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها
“Tidakkah mereka merenungkan Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?”
وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Jika dibacakan Alquran, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati.”
Baca juga: Anjuran Menghayati Bacaan Alquran hingga Menangis
Apabila ketiga ayat beserta poin-poin yang disebutkan Imam Nawawi dan Al-Suyuthiy di atas dicermati, agaknya yang menjadi spirit dari keseluruhannya adalah perintah perenungan (tadabbur) Alquran. Perintah (amr) ini kendati tidak berimplikasi pada kewajiban (wujub), tetapi harus dilaksanakan mengingat tujuan yang ingin diraih adalah pemahaman terhadap kandungan di dalam Alquran.
Urgensi pemahaman kandungan ini, menurut penulis, salah satunya dikarenakan efektifitas fungsi hudan (petunjuk) dalam Alquran. Fungsi ini menjadi terhalang hingga tidak dapat diraih secara maksimal manakala proses mendengarkan bacaan Alquran tidak disertai dengan pemahaman yang berdasarkan pada perenungan.
Berpijak pada ulasan ini, peristiwa “nyawer qariah” sebagaimana terjadi di Banten tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku mencederai landasan utama dan dasar pijakan tadabur Alquran. Apakah sampai pada taraf penistaan terhadap Alquran? Penulis belum mampu menjawab sampai pada pertanyaan tersebut. Akan tetapi, melihat redaksi istinbath (penarikan hukum) yang dilakukan Al-Suyuthiy, misalnya, tindakan nyawer qariah tersebut setidaknya diganjar hukum makruh dan atau khilaf al-sunnah (menyalahi sunah). Hal ini mengacu pada redaksi yang digunakan seperti wa yustahabb (dianjurkan), wa tusann (disunahkan), dan yukrah (dimakruhkan).
Oleh karenanya, seperti disebutkan di awal, penulis miris melihat tingkah laku masyarakat saat ini. Jika merujuk pada twit Prof. Oman, menghormati tradisi dan budaya boleh saja dilakukan dengan catatan tidak mengabaikan norma pokok agama yang ada. Apalagi jika hal tersebut dilakukan sekadar demi mendapat “berkah’ viral, na‘udzu billah min syarr dzalik. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang