BerandaUlumul QuranMuhammad Thahir Ibnu 'Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Ia mempunyai nama lengkap Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin’Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Seorang ulama ahli tafsir yang lebih kerap disapa dengan sebutan Ibnu ‘Asyur ini lahir pada tahun 1879 dari sebuah keluarga terhormat yang berasal dari Andalusia.

Keluarga Ibnu ‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad al-Aziz bin Attar. Sedangkan kakeknya bernama Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili, seorang ahli nahwu, ahli fikih, yang pernah menjabat sebagai ketua qadi pada tahun 1851, bahkan pernah menjadi mufti pada tahun 1860 di Tunisia.

Ibnu ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qira’at nya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di melanjutkan perjalannya dalam mencari ilmu pada sekitar awal abad 14 H dengan bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, salah satu lembaga di Tunisia yang model pendidikannya setaraf dengan al-Azhar di Mesir.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ibnu ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Kemudian pada tahun 1913 ia diangkat menjadi qadi (hakim) madzab Maliki dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) madzab Maliki pada tahun 1927. Selain itu, ia juga terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabi di Mesir dan Damskus pada tahun 1950 serta anggota Majma’ al-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955.

Baca juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Ibnu ‘Asyur hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir bernama Muhammad al-Khadr Husein at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, serta sama-sama pernah dijebloskan ke dalam bui lantaran karena mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Muhammad al-Khidr ditakdirkan oleh Allah menjadi Mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyur menjadi Syeikh Besar Islam di Tunisia.

Pada waktu itu, Tunisia dipimpin oleh seorang yang menggiring Ibnu ‘Asyur berseteru dengan pemerintah. Ia menentang pemerintahan dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan agama. Konon, kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam dicopot akibat perbuatannya. Akhirnya, Ibnu ‘Asyur memutuskan untuk berdiam diri di rumah sambil membaca dan menulis. Pada masa-masa tersebut, ia menulis karya tafsir berjudul Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir yang kemudian menjadi salah satu master piece-nya.

Baca juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

Pada akhirnya, Ibnu ‘Asyur wafat pada tahun 1973 dengan meninggalkan beberapa karya dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, maqashid syari’ah, fikih, dan usul fikih. Diantara karyanya adalah: Alaisa al-Subh bi Qarib, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, Uslul an-Nizamal-Ijtima’i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, dan Mujiz al-Balaghah.

Empat prinsip penafsiran Ibnu ‘Asyur

Adapun kaitannya dengan penafsiran, Ibnu ‘Asyur mempunyai empat prinsip yang dijadikan pegangan dalam sebuah penafsiran, yaitu:

Pertama, Prinsip Maslahat (kebaikan). Menurutnya, hakikat dari diturunkannya Al-Quran adalah untuk kemaslahatan manusia. Oleh karenanya sebuah penafsiran harus mempunyai maslahah bagi pembacanya, sebagaimana contoh berikut:

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

 وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا

 وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba: 9-11)

Menurut Ibnu ‘Asyur, malam akan terasa nikmat dan nyaman apabila digunakan untuk istirahat dan tidur, sedangkan siang akan terasa nyaman apabila digunakan untuk bekerja.

Kedua, Prinsip Objektivitas penafsiran. Menurutnya, seorang mufasir tidak boleh mengedepankan ideologi, kelompok, madzhab, atau politik tertentu. Al-Quran harus ditafsirkan dengan semangat objektifitas yang tinggi.

Baca juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Salah satu contoh usaha Ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan secara objektif adalah ketika ia berbeda pendapat dengan imam Malik, yang mana Ibnu ‘Asyur menganut madzhab imam Malik. Namun, Ibnu ‘Asyur mengunggulkan pendapat imam Hanafi yang mengatakan bahwa kulit bangkai binatang itu bisa dipakai untuk keperluan apa saja setelah disamak. Sementara imam Malik berpendapat bahwa kulit bangkai binatang hanya bisa suci bagian luarnya saja, sedangkan bagian dalamnya tidak bisa suci meskipun telah disamak.

Ketiga, Prinsip Pembacaan Komprehensif. Menurutnya, suatu ayat tidak boleh dipahami secara parsial. Sebagaimana contoh berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa:1).

Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat di atas mempunyai keterkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu QS. An-Nisa ayat 2 yang menjelaskan tentang perempuan yatim.  Dengan melalui pembacaan tersebut, ia berkesimpulan bahwa seseorang tidak boleh menikahi perempuan yatim karena hartanya yang melimpah dan kecantikannya sehingga tidak bisa berbuat adil.

Baca juga: Mungkinkah Terjadi Pengulangan Turunnya Ayat Al-Quran?

Keempat, Prinsip Kesatuan Sebuah Surat dalam Al-Quran. Menurutnya, suatu surat di dalam Al-Quran merupakan satu kesatuan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu, sehingga sebuah surat haruslah ditafsirkan secara utuh dan komprehensif.

Misalnya ketika menafsirkan surat al Ikhlas, Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa surat tersebut memiliki beberapa tujuan, diantaranya: menetapkan keesaan Tuhan, menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung kepada Allah, dan Menepis anggapan orang kafir bahwa Allah diperanakkan sebagaimana Nabi Isa yang mereka anggap sebagai Tuhan.

Wallahu a’lam[]

Azkiya Khikmatiar
Azkiya Khikmatiar
Alumni Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU