Beranda blog Halaman 555

Mengaji ‘Bismillah’ [1], tuntunan Allah yang mentradisi di kalangan para Nabi

0

Bismillahirrahamnirrahim, pembuka mushaf Alquran ini sangat populer, kita bisa menemukan dan mendengarnya kapanpun, dimanapun dan dari siapapun. Betapa tidak, ‘basmalah’ begitu sebutan orang-orang terhadapnya dibaca, diucap dan ditulis setiap mengawali gerak geriknya, mulai dari berangkat kerja, mau makan,  mau ngaji, mau belanja online, mau selfi, ngepost konten, submit tugas, mau komen, mau kampanye, mau berangkat demo hingga mau ngebom pun juga baca bismillah. Di saat yang sama, bismillah juga akrab di telinga saudara kita yang non muslim. Begitulah bismillah, popularitasnya melintasi zaman, iman dan berbagai kepentingan.

Sayyid Qutub (w. 135 H.) dalam tafsirnya, fi Dhilal al-Qur’an yang juga ditegaskan oleh Quraish Shihab di Tafsir Al Misbah mengatakan bahwa bismillah merupakan adab dan tuntunan Allah pertama yang diajarkan kepada umat manusia, sebagaimana tercantum dalam wahyu pertama, Iqra’ bismi rabbika…. (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu….). Perintah Allah dalam wahyu pertama ini tidak berhenti pada ‘bacalah’, tetapi berlanjut pada ‘dengan menyebut nama Tuhanmu’. Ini menunjukkan bahwa dalam memulai setiap pekerjaan, termasuk perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad tadi harus diawali dengan menyebut asmaNya. Oleh karena alasan ini pula, mufassir yang lain seperti Ibnu Katsir berpendapat bahwa bismillah merupakan wahyu pertama. Cukuplah ini sebagai wawasan saja bagi kita, tidak untuk diperdebatkan dengan ngotot.

Di samping itu, mengucap basmalah tidak sekadar berarti menyebut nama Allah. lebih dari itu, menyebut nama Allah ini mengandung arti memohon pertolongan Allah, petunjuk dan barakahNya. Demikian penjelasan Assamarqandy (w. 373 H.) dalam tafsirnya, Bahrul Ulum. Makna, rahasia dan keajaiban-keajaiban Bismillah juga dirilis dalam berbagai kisah, hingga ada 24 kisah oleh Ar Razi dalam Mafatih Al Ghaib. Untuk yang terakhir ini, Nadirsyah Hosen, cendekiawan Indonesia yang menjadi dosen senior di Monash Law School Australia mempermudah para pembaca dengan menukil sekaligus menerjemahkan kisah-kisah tersebut di laman blog nya.

Selain dikelilingi berbagai kisah keutamaannya, ada kisah lain tentang bismillah yang ternyata sudah mentradisi di kalangan para Nabi sebelum Nabi Muhammad, dan ini disinggung dalam Alquran. Selain di awal surat Al Fatihah, basmalah baik dalam bentuk singkatnya, Bismillah maupun bentuk lengkapnya, Bismillahirrahmanirrahim juga ditemukan di dua tempat lainnya, yaitu di Q.S. Hud [11]: 41 dan Q.S. An Naml [27]: 30. Dua ayat ini termasuk dalam rangkaian episode kisah Nabi Nuh dan kisah Nabi Sulaiman dalam Alquran. Dengan demikian bahwa tradisi bismillah ini tidak hanya ada pada masa Muhammad, tradisi ini sudah dipraktikkah oleh Nabi-Nabi sebelumnya.

di surat Hud [11]: 41 berbunyi

وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

‘Dan dia berkata,  ”Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Nabi Nuh, Nabi yang menurunkan bangsa-bangsa besar ketika memimpin kaumnya menaki bahtera untuk menyelamatkan diri dari banjir bandang mengawalinya dengan membaca bismillah. Ketika mau menjalankan perahunya, ia berucap bismillah, bahtera pun mulai belayar, pun ketika mau berhenti, ia juga berucap bismillah dan bahterapun berhenti. Demikian Tafsir Syekh Nawawi Al Bantani dalam Marah Labid. Ibn Katsir memahami ayat ini sebagai tuntunan dan kesunahan membaca basmalah setiap menaiki kendaraan, baik dart, laut maupun udara.

Sedangkan di surat An Naml [27]: 30 berbunyi

اِنَّهٗ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَاِنَّهٗ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۙ

‘Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,’

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis ini sudah sangat populer. Nabi Sulaiman yang juga seorang raja mengirim surat melalui burung Hud Hud ke sang ratu untuk mengajaknya menyembah Allah. Nah, di ayat 30 tersebut disinggung mengenai isi suratnya. Surat tersebut diawali kalimat Bismillahirrahanirrahim. Ibnu ‘Ashur dalam tafsirnya, At Tahrir wa At Tanwir menyebut bahwa menulis Bismillahirrahmanirrahim di setiap awal tulisan sudah menjadi tradisi para Nabi dari Bani Israil.

Dua kisah di atas cukup memberi informasi bahwa memang tradisi mengawali setiap sesuatu dengan Bismillah adalah kebiasaan para Nabi terdahulu. Kebiasaan baik yang sudah lama ini tentu harus terus kita lanjutkan.

Bismillahirrahmanirrahim, kita mulai niat yang baik ini.

Wallahu A’lam

Kewajiban Taat Kepada Pemerintah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 59

0
Kewajiban taat kepada pemerintah
Kewajiban taat kepada pemerintah

Kewajiban taat kepada pemerintah dalam arti tidak berupaya memberontak terhadap suatu pemerintahan yang sah tercatat dalam al-Quran. Dalam Q.S An-Nisa ayat 59 Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian…” (QS An-Nisa [4]: 59)

Tujuh puluh lima tahun setelah negeri ini merdeka, dan selama itu pula kaum Muslim di negeri ini mendapatkan kebebasan dan fasilitas dalam menjalankan agama secara leluasa. Akan tetapi, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang meragukan keabsahan negara dan pemerintahan. Bahkan mereka berupaya melawan dan menghancurkan negara ini.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Ini Dalilnya dalam Al-Quran

Tidak kah mereka berkaca dengan negeri-negeri di Timur Tengah yang porak poranda akibat perseteruan politik yang tidak berkesudahan? Kemudian tidak ada hasil yang bisa dituai kecuali kehancuran. Alih-alih bisa beragama dengan kaffah, pergi ke masjid pun takut, tidak ada kedamaian sama sekali. Tidak ada agama yang nyaman tanpa negara yang aman.

Tidak kah juga mereka membaca QS An-Nisa ayat 59 yang dikutip di atas? Di mana Allah telah menjadikan kewajiban taat kepada pemerintah yang sah, di samping ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana dikutip oleh al-Mawardi dalam tafsirnya, bahwa Ibn Abbas, al-Sa’dy, Abu Hurairah, dan Ibn Zaid, mengartikan ulil amri ini sebagai umara, yaitu pemerintahan sebuah negara.

Ibn Abbas juga mengatakan bahwa ayat ini turun sabab nuzulnya adalah ketika Rasulullah mengangkat Abdullah bin Hudzafah bin Qays al-Samhi sebagai pimpinan sariyah (ekspedisi yang tidak diikuti oleh Rasulullah SAW). Adapun al-Sa’di menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid saat diangkat oleh Rasulullah dalam jabatan tersebut (pimpinan sariyah).

Sementara Ahmad Mustafa al-Maraghi menafsiri ulil amri sebagai umara (pemerintah), ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan, dan pemimpin-pemimpin lainnya yang membawa masyarakat pada kemaslahatan umum. Al-Maraghi menyebutkan contohnya adalah ahlul halli wal aqdi (legislatif) yang dalam konteks Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merupakan wakil dan kepercayaan umat, baik dari unsur ulama, militer, dan representasi untuk kemaslahatan umum lainnya seperti pedagang, petani, buruh, wartawan, dan sebagainya.

Kewajiban taat kepada pemerintah di sebuah negara, sebagaimana diutarakan oleh Alquran, juga dikuatkan oleh sejumlah hadis. Nabi bahkan berpesan untuk mengikuti aturan pemerintah, meskipun mereka zalim, apalagi jika adil:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan ada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” Hudzaifah kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengarkan dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)

Sebagai catatan, mengutip Nadirsyah Hosen, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata “taat” sebagaimana kata “taat” yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS an-Nisa: 59). Ini artinya, ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bergantung dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul.

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari ulasan di atas adalah, bahwa kewajiban taat kepada pemerintah atau ulil amri terdapat dalam Alquran. Hal tersebut diperkuat oleh banyak hadis.

Kewajiban taat kepada pemerintah dan aturan sebuah negara secara sosiologi-politik memang sangat penting. Karena pembangkangan terhadap pemerintah dan perlawanan terhadap hukum pasti lah menimbulkan kekacauan. Bahkan berpotensi mengakibatkan pertumpahan darah, dan itu hal yang sangat dihindari oleh Islam. Semoga Allah menganugerahi kepada kita pemimpin-pemimpin yang adil dan bertakwa, serta dapat membawa negeri ini menjadi baldatun tayibatun wa rabbun ghafur

Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

0
Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran
Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran

Salah satu guru dari KH. Maimoen Zubair adalah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Beliau seorang ulama yang dikenal ahli dalam bidang ilmu Al-Quran dan tafsir. Beliau mengemukakan alasan penting belajar ilmu Al-Quran dalam kitab al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulum al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan kita dan beliau beserta seluruh keturunan kemanfaatan atasnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Mengenai alasan penting belajar ilmu al-Quran, salah satu tema pokok yang dibahas adalah perbedaan dalam memahami pengertian tafsir dan ta’wil. Abu Ubaid beserta kalangan lain menyatakan bahwa keduanya bermakna sama.

Sedangkan al-Raghib berpandangan bahwa tafsir lebih universal dari ta’wil. Tafsir lebih sering diaplikasikan untuk memahami kosa kata dan diksi, serta digunakan pula selain dalam kajian kitab suci. Sementara ta’wil cenderung diaplikasikan dalam memahami pemaknaan dan kalimat, selain itu hanya digunakan dalam kajian kitab suci.

Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw serta penjelasan akan makna-maknanya. Selain itu dari tafsir ini juga dapat diketahui perihal ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Perangkat elementer dari tafsir sendiri adalah ilmu bahasa, nahwu, tasfrif, ilmu bayan, ushul fiqh, qira’at, dan penting juga untuk mengetahui perihal sebab turunnya ayat beserta nasikh dan mansukh.

Baca Juga: Pesan Az-Zarkasyi Bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran

Kemuliaan ilmu tafsir jelas adanya. Allah SWT berfirman

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ

“Dia memberi hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa yang diberi hikmah maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tiadalah mengambil pelajaran kecuali ulul albab.” (Q.S al-Baqarah: 269)

Mengenai ayat ini Ibn Abbas menyatakan bahwa anugerah hikmah adalah pengetahuan akan al-Quran, nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, awalan dan akhirannya, halal dan haramnya, juga hal lain yang mendasar tentang al-Quran.

Alasan penting belajar ilmu al-Quran juga diungkapkan Abu Dzar al-Harawi dalam Fadhail al-Qur’an. Al-Harawi meriwayatkan dari jalur sanad Said bin Jubair dari Ibn Abbas ra. Beliau berkata, “Orang yang membaca al-Qur’an namun tidak bagus dalam memaknainya maka ia seperti seorang badui mengocehkan syair, berceloteh.”

Al-Baihaqi dan selainnya mengeluarkan satu riwayat dari Abi Hurairah ra. secara marfu’, “Maiknailah al-Qur’an dan carilah (diksi-diksi) asingnya.”

Ibn al-Anbari mengeluarkan riwayat dari Abi Bakr al-Sihiddiq ra. Beliau berkata, “Berhasil memahami satu ayat al-Qur’an lebih kusukai ketimbang dapatmenghapal satu ayat.”

Beliau juga mengeluarkan riwayat dari Abdullah bin bin Buraidah, dari seorang sahabat Nabi saw, bahwasanya sahabat tersebut berkata, “sekiranya aku mengetahui jika dengan menempuh perjalan empat puluh malam aku dapat memahami satu ayat saja dari kitab Allah, maka sungguh aku akan melakoninya.”

Dari jalur al-Sya’bi beliau juga mengeluarkan satu riwayat. Al-Sya’bi menyatakan bahwa Umat ra pernah berkata, “Barangsiapa membaca al-Qur’an dan ia memahaminya maka di sisi Allah baginya pahala syahid.”

Al-Ashbihani menyebutkan bahwa aktifitas paling mulia yang diberikan kepada manusia adala menafsirkan al-Qur’an. Beliau meberi penjelasan bahwa kemulian ini bahkan wujud dalam tiga aspek sekaligus. Pertama yakni dari aspek posisinya, tafsir al-Qur’an berhadapan langsung dengan kalam Allah SWT yang merupakan sumber utama segala hikmah serta tambang segala karunia. Di dalamnya terdapat berita mengenai kaum sebelum kita serta mereka kaum di masa mendatang, pun tercantum hukum keadaban bagi kita.

Kedua yakni dari aspek tujuan, misi tafsir al-Qur’an tiada lain adalah berpegang pada tali yang kokoh. Visinya tiada lain yakni untuk sampai pada hakikat kebahagiaan yang tak sirna.

Aspek ketiga mengapa disiplin tafsir dinilai paling mulia adalah karena urgensinya. Kesempurnaan agama dan dunia mebutuhkan ilmu syariah dan pengetahuan keagamaan. Sementara keduanya bergantung pada disiplin ilmu tafsir al-Qur’an.

Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran

0
tafsir dan terjemah Quran
tafsir dan terjemah Quran

Sebagian masyarakat masih mendudukkan teks terjemah dan tafsir Al-Quran dalam posisi yang sama dengan Ayat Suci Al-Quran. Konsekuensinya mereka menganggap bahwa seseorang yang tidak menerima suatu versi terjemah atau tafsir Al-Quran dianggap menolak Al-Quran itu sendiri.

Ini terutama dilakukan oleh sebagian kelompok yang mempunyai propaganda “kembali kepada Al-Quran dan sunnah”, yang mengklaim kebenaran tunggal sebuah terjemah atau pemahaman versi mereka saja. Tidak jarang mereka menggunakan sebuah terjemah ayat sebagai obyek politisasi mendukung kelompoknya atau menyerang kelompok lain.

Padahal tentu saja baik Al-Quran, terjemah dan tafsir adalah tiga entitas yang berbeda. Perbedaannya bisa dilihat di antaranya pada aspek-aspek berikut:

Pertama, dari segi definisi, Alquran adalah firman Allah yang berbahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Lafalnya mengandung mukjizat. Membacanya adalah ibadah. Diriwayatkan secara mutawatir. Dan tertulis dalam mushaf, mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas.” (al-Madkhal li Dirasat al-Quran, hlm 20). Kebenarannya bersifat absolut.

Baca Juga: Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli

Berbeda dengan terjemah yang merupakan teks hasil usaha manusia dalam memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Ada yang secara harfiyah/lafdziyah, yaitu alih bahasa sesuai dengan susunan dan tertib huruf, lafal, kata dan kalimat aslinya. Ada juga yang secara maknawiyah/tafsiriyah, yaitu alih bahasa terhadap makna dan maksud tanpa terikat dengan susunan huruf, kata-kata dan tertib kalimat asalnya. Kebenarannya bersifat relatif.

Terjemah berbeda dengan tafsir. Sebuah terjemah sangat terikat pada bahasa asalnya, sedangkan tafsir lebih fleksibel, bergantung pada bagaimana subyektivitas pemahaman yang ditangkap oleh mufasir terhadap teks Alquran. Bisa juga dikatakan bahwa terjemah merupakan sebuah proses kecil dari penafsiran.

Baik terjemah maupun tafsir tidak akan mampu meng-cover keseluruhan makna Alquran. Mengingat luas dan dalamnya samudera makna Alquran. Sebuah terjemah sangat berpotensi mereduksi makna Alquran. Bahkan sebuah tafsir pun tidak bisa dianggap sebagai representasi Alquran. Dengan kata lain menolak sebuah versi terjemah atau tafsir, tidak bisa dianggap menolak Alquran.

Muhammad Ali al-Sabuni bahkan mengatakan bahwa sebuah terjemah ayat tidak bisa disebut terjemah Alquran, tetapi terjemahan mengenai arti-arti Alquran atau terjemah dari tafsir Alquran. (Al-Tibyan fi’ Ulum al-Quran, hlm. 331).

Kedua, dari segi kebakuan, Alquran sudah baku; tidak akan bertambah dan berkurang, maupun berubah satu huruf pun. Sedangkan terjemah dan tafsir, akan terus berkembang dan mengalami revisi, dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dari satu subyektivitas ke subyektivitas yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, dan dari satu ruang ke ruang yang lain, supaya kontekstual dan relevan untuk setiap waktu dan ruang (salih li kulli zaman wa makan).

Ketiga, dari segi otoritas, Al-َuran mempunyai otoritas yang tidak bisa dibantah oleh setiap individu yang beriman, sedangkan terjemah bisa saja ditolak dengan terjemah yang lain, karena perbedaan pemilihan kosakata maupun lafal Alqurannya yang musytarak (mempunyai arti lebih dari satu). Begitu pula suatu tafsir bisa dibantah dengan penafsiran yang lain, karena perbedaan subyektivitas maupun ayat Alqurannya yang mutasyabih (belum jelas maknanya).

Itu mengapa penafsiran terhadap Al-Quran bisa sangat beragam, para mufasir menyusun berjilid-jilid buku yang berbeda sesuai dengan sudut pandang, bidang disiplin ilmu, maupun kecenderungan mazhab dan situasi politik, serta sosio-ekonomi di mana mereka hidup. Itu semua dapat mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alquran.

Keragaman pemaknaan sendiri adalah suatu hal yang legal dalam ranah penafsiran Alquran, terjadi sejak masa sahabat, dan merupakan suatu hal yang menjadi tradisi. Jika ada yang mencita-citakan keseragaman atau kesatuan pendapat dengan metode mengajak kembali ke Alquran, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan belum mengetahui ragam penafsiran Alquran, karena para mufasir semuanya juga merujuk pada Alquran, meski hasilnya tidak harus selalu seragam. Metode penafsiran yang mereka pakai juga beragam variasi.

Jadi alih-alih berupaya menyeragamkan tafsir, apalagi mengklaim kebenaran tunggal pemahaman versinya sendiri, lebih baik kita melestarikan keragaman atau perbedaan penafsiran dengan saling menghormati, dan mengamalkan ajaran Alquran melalui aneka ragam tafsirnya, sehingga kita bisa memilih salah satu dari ragam penafsiran yang ada, yang paling sesuai untuk persoalan yang sedang kita hadapi, dan itu adalah bentuk nyata dari slogan ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat adalah rahmat). Wallahu a’lam bi muradih.