Beranda blog Halaman 554

Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

0

Amr ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran) merupakan term yang tidak asing lagi bagi umat Islam, bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa amr am’ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap muslim, sehingga jika tidak melaksanakannya, maka keislaman seseorang masih belum sempurna. 

Istilah Amr ma’ruf nahi munkar diperkenalkan oleh al-Qur’an di empat ayat dalam tiga surat. Yaitu QS. Ali Imran [3]: 104, 110, an-Nisa’ [4]: 114 dan at-Taubah [9]: 71

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

 

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib membedakan posisi amr ma’ru>f nahi> munkar dalam keempat ayat ini:

  1. Pada Ali Imran ayat 104 dan 110, amr ma’ruf nahi munkar diposisikan sebagai kewajiban bagi umat Islam yang harus dilaksanakan, baik dengan tangan, lisan maupun hatinya. Ada dua kewajiban lain yang disebut dalam ayat ini, yaitu mengajak pada kebaikan (ayat 104) dan beriman kepada Allah (ayat 110)
  2. Pada an-Nisa’ ayat 114, amr ma’ruf dipahami sebagai satu dari tiga perbuatan baik (perbuatan yang mendatangkan manfaat dan menolak mudarat) yang diinformasikan dalam ayat ini. Pertama yaitu sadaqah (kebaikan dalam hal materi/ jasmaniyah). Kedua, ma’ruf (kebaikan ruhaniyah seperti menyempurnakan akal dengan ilmu dan menyempurnakan amal dengan perbuatan yang baik. Atau dengan kata lain amr ma’ruf). Ketiga, berdamai di antara manusia (sebagai bentuk menolak kemudaratan).
  3. Pada at-Taubah ayat 71, amr ma’ruf nahi munkar merupakan dua dari lima sifat orang mukmin yang membedakannya dengan orang munafik. Tiga sifat yang lain yaitu mendirikan shalat, membayar zakat dan patuh kepada Allah dan RasulNya.

Penjelasan Ar Razi tersebut memberikan alternatif pemahaman bagi orang Islam tentang makna dan kandungan amr ma’ruf nahi munkar. Memang benar bahwa amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban setiap muslim, tetapi harus tetap diingat bahwa hal itu bukan satu-satunya kewajiban, ada kewajiban lain yang juga menuntut orang Islam untuk melaksanakannya, seperti beriman kepada Allah dengan segala bentuk dan implementasinya.

Krtiteria lain yang juga harus ada dalam implementasi atau praktik dari amr ma’ruf nahi munkar yaitu mendatangkan kebaikan dan menolak kemudharatan. Maka jika ada pada praktiknya, ia ternyata menghadirkan mudharat tentu bukan ini yang dimaksud oleh amr ma’ruf nahi munkar, perlu ada evaluasi dari pelaksanannya. Di saat seperti ini kita harus ingat pada salah satu kaidah fiqih, Dar’ul Mafasid Muqaddam ‘Ala Jalbil Mashalih (menolak kerusakan diprioritaskan daripada mendatangkan kebaikan).   

Selain itu, dengan mengajak pada kebaikan dan di saat yang sama juga mencegah kemungkaran, seseorang berarti telah peduli terhadap sekitarnya, tidak egois memikirkan dirinya sendiri. Inilah ciri-ciri orang yang beriman. al-Qur’an juga menyinggungya di kesempatan lain di surat al-‘Ashr, sesungguhnya manusia itu dalam kedaan merugi kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih (mengimplementasikan imannya dalam bentuk tindakan nyata) dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran (peduli terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya). 

Jika ingin mengajak pada kebaikan, lakukanlah dengan cara yang baik, pun ketika mencegah perbuatan yang buruk, lakukan dengan cara yang baik pula. Wallahu A’lam

Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

0

Alquran mengajarkan kita umat Islam untuk tidak hanya beriman kepada kitab Alquran, tetapi juga kitab-kitab sebelumnya, Taurat, Injil dan Zabur yang notabene diyakini sebagai kitab suci umat agama lain (Q.S. Ali Imran [3]: 14). Demikian pula dengan iman kepada Rasul, Allah melalui ayatNya tidak membeda-bedakan para Rasul yang berarti bahwa semua Nabi dan Rasul Allah harus diimani, meskipun mereka diklaim Nabi dari kaum tertentu (Q.S. Al Baqarah [2]: 136 & 285). Jika hanya Alquran dan Nabi Muhammad sebagai pembawanya adalah yang paling benar dan satu-satunya yang berasal dari Allah, lalu kenapa Allah berfirman seperti di atas? inikah kode dari Allah yang menandakan bahwa semua kitab suci dan para Nabi itu ada keterkaitan satu sama lain? Jika demikian, bukankah berarti bahwa agama yang bersumber dari semua kitab suci dan ajaran yang dibawa para Nabi itu punya hubungan keterkaitan sejak awal?

Satu lagi kode dan isyarat dari Allah tentang adanya ketersalinghubungan antaraagama yang bisa ditemukan dalam Alquran, yaitu di awal surat at-Tin. Pada bagian awal surat ke 95 ini Allah bersumpah dengan empat hal sekaligus, at-Tin, az-Zaitun, Thur Sinin dan al-Balad al-Amin. Apa maksud Allah dengan menyebut empat hal tersebut? mari kita simak penjelasan para mufassir.

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ  (1 ) وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ (2 ) وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ(3 )

Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1) Demi gunung Sinai (2) dan demi negeri (Mekah) yang aman ini (3)

Fakhruddin Ar-Razi mengambil pendapat Ibnu Abbas dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib mengatakan bahwa Tin dan Zaitun adalah dua bukit yang dimuliakan. Pegunungan Tin itu tempatnya Nabi Isa, sedang pegunungan Zaitun adalah tempat diutusnya Nabi-Nabi dari Bani Israil. Allah bersumpah dengan menggunakan dua tempat lahirnya para Nabi.

Sementara itu, Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan agak berbeda, At-Tin adalah nama sebuah tempat (bukit) di Damaskus, Suriah. Az-Zaitun adalah tempat Nabi Isa menerima wahyu. Ada juga yang menyatakan bahwa az Zaitun adalah sebuah gunung di Yarussalem (al-Quds), tempat Nabi Isa diselamatkan dari pembunuhan. Demikian berarti ayat pertama berkaitan dengan Nabi Isa. Ayat kedua yang menyebut gunung Tur Sina berkaitan dengan Nabi Musa, yakni tempat ia menerima perintah Allah dan ayat ketiga berkaitan dengan Nabi Muhammad, yakni al-Balad al-Amin yang diidentikkan dengan Makkah.

Masih dalam Tafsir Al Misbah, tapi kali ini Quraish Shihab menukil dari al-Qasimi dalam Mahasin Ta’wil. at-Tin adalah nama pohon tempat pendiri agama Budha yang mendapat bimbingan Ilahi. Orang Budha menamainya pohon Bodhi (Fircul Religiosa) atau pohon Ara Suci yang terdapat di kota kecil Gaya, Bihar. Berdasar pada pendapat al-Qasimi ini disimpulkan sementara bahwa tiga ayat pertama surat at-Tin mencoba menginformasikan tempat-tempat para Nabi menerima tuntunan Ilahi yang sekarang menjadi simbol dari agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Yahudi dan Budha.

Penelusuran Quraish Shihab juga sampai di Perjanjian Lama, dan di Kitab Kejadian at-Tin dan az-Zaitun ini juga disinggung. Pohon Ara yang dianggap sebutan lain dari at-Tin tertulis di Kitab Kejadian 3: 7 sementara daun Zaitun disebut di Kitab Kejadian 8: ayat 11.

Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. lalu, mata mereka berdua terbuka sehingga mereka tahu bahwa mereka telanjang\ (Kej. 3:7)

Menjelang waktu senja pulanglah burung merpati itu mendapatkan Nuh, dan pada paruhnya dibawanya sehelai daun zaitun yang segar. dari situlah diketahui Nuh, bahwa air itu telah berkurang dari atas bumi. (Kej. 8: 11)

Ibnu Katsir, mufassir yang terkenal dengan sumber israiliyat dalam tafsirnya juga mengunggah ayat dalam kitab Taurat lengkap dengan tafsiran yang juga ia kutip dari sekelompok tokoh yang ia sebut dengan ba’dh al-aimmah. Berikut kutipan tafsirnya

قالوا: وَفِي آخِرِ التَّوْرَاةِ ذُكِرَ هَذِهَ الْأَمَاكِنِ الثَّلاَثَةِ: جَاءَ اللهُ مِنْ طُوْرِ سَيْنَاء -يعني الَّذِي كَلَّمَ اللهُ عَلَيْهِ مُوْسَى [بن عمران]- وَأَشْرَقَ مِنْ سَاعِيرَ -يَعْنِي بَيْتِ المَقْدِسِ الَّذِي بَعَثَ اللهُ مِنْهُ عِيْسَى-وَاسْتَعْلَنَ مِنْ جِبَالِ فَارَان -يَعني: جِبالِ مَكَّةَ الَّتي أَرْسَلَ اللهُ مِنْهَا محمدًا

Mereka (beberapa tokoh) berkata bahwa di akhir kitab Taurat, disebutkan tiga tempat ini, “Tuhan telah datang dari Sina’ – tempat Nabi Musa as. Menerima wahyu- dan terbit kepada mereka dari Seir – Baitul Maqdis tempat Nabi Isa as. diutus- kelihatan Dia dengan gemerlapan cahayanya dari Gurun Paran -Pegunungan di Makkah tempat Allah mengutus Nabi Muhammad-”.

Selain informasi tentang tiga tempat di atas, keterangan dari Ibn Katsir ini juga menunjukkan adanya ketekaitan hubungan antara ketiga pembawa kitab suci yaitu Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Muhammad saw.

Ketersinambungan ini juga dinyatakan oleh Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya, at-Tahrir wa at-Tanwir. Di situ ia menjelaskan bahwa al-Tin adalah masjid Nabi Nuh yang dibangun di atas bukit Judi setelah terjadinya badai. Dinamakan at-Tin karena di dalamnya banyak ditumbuhi pohon tin. Sementara Zaitun adalah gunung yang banyak ditumbuhi zaitun dan merupakan tempat dibangunnya Masjid al-Aqsa. Adapun Tur Sinin adalah nama dari sebuah gunung yang berada di tengah-tengah gurun pasir yang terletak antara Mesir dan Palestina. Sedangkan al-Balad al-Amin adalah Makkah. Dari sini kemudian dapat dihubungkan antara Tin, tanda mengenai syari’at yang diturunkan kepada Nabi Nuh (syari’at yang pertama), Zaitun, simbol atas syari’at Nabi Ibrahim, Tur Sinin sebagai isyarat tentang syari’at Taurat (yang kemudian disempurnakan oleh syari’at Isa) dan al-Balad al-Amin yang tidak lain adalah tempat kelahiran syari’at Islam. Keempat tanda tersebut disebutkan dalam ayat ini secara beriringan sesuai dengan masa kemunculannya. Penyebutan yang beriringan ini juga menandakan bahwa keempat syari’at tersebut saling berkaitan dan berkesinambungan.

Beberapa penafsiran di atas tampak membuktikan bahwa empat hal yang dijadikan sumpah oleh Allah di awal surat at Tin adalah hal yang istimewa yaitu tempat lahirnya agama dan peradaban besar, pun dengan urutan penyebutannya. Keempat hal itu bisa diistilahkan sebagai simbol dari agama-agama, simbol umat beragama, simbol ketersalinghubungan antarumat beragama, simbol titik temu antarajaran agama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan) dan juga simbol persaudaraan antarumat beragama. Sebagai saudara, sudah seharusnya kita hidup harmonis. Keharmonisan ini pernah diperlihatkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan Raja Najasyi ketika umat Islam hijrah ke Habasyah. Tidak lama, di awal tahun 2019, kita juga menyaksikan penandatangan Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan yang diwakili oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Dr. ahmed Tayyeb. sudah lupakah kita pada sejarah manis itu?

Wallahu A’lam   

Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

0

Sekian banyak sabab nuzul al-Qur’an, ada beberapa kisah yang sangat memorable (lekat di ingatan) hingga sekarang, terlebih untuk kalangan perempuan. Ini dikarenakan ada ayat al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW khusus dalam rangka merespon keluhan dan ‘protes’ dari seorang perempuan. Ini tentu sangat revolusioner mengingat tradisi saat itu adalah patriarki. Sekurangnya ada empat kisah perempuan dalam rekaman sabab nuzul al-Qur’an yang terdokumentasi dalam beberapa kitab tafsir.

Khawlah bint Tsa’labah (al Mujadilah [58]: 1-2)

Bagi pengkaji tafsir al-Qur’an, cerita tentang Khawlah bint Tsa’labah sudah tidak asing lagi. Ia adalah perempuan ‘penyebab’ turunnya surat al-Mujadilah ayat 1-2. Sebab kegigihan dan keteguhan Khawlah pula surat ini dinamai dengan al-Mujadilah yang mempunyai arti ‘perempuan yang mengadu’.

Dalam Tafsir At Thabari disampaikan bahwa Khawlah mengadu kepada Nabi Muhammad meminta keadilan untuk dirinya, karena suaminya, Aws bin Shamit telah menggantung status pernikahannya dengan ucapan ‘Bagiku kamu seperti punggung ibuku’. Ucapan ini menyebabkan Khawlah tidak lagi bisa disentuh oleh suaminya, pun juga belum dilepaskan dari status pernikahannya. Meski yang terjadi padanya dianggap ‘baik-baik’ saja oleh masyarakat ketika itu, Khawlah merasa itu tidak adil baginya, bukankah Islam mengajarkan untuk memperlakukan pasangan dengan baik atau kalau tidak lepaskan ia dengan baik-baik pula? Khawlah sempat kecewa karena Sang Nabi belum bisa memberi jawaban dan untuk sementara ‘mengiyakan’ kebiasaan setempat sampai wahyu turun untuk merespon masalah ini.

Khawlah tidak berputusa asa, ia terus berdoa dan memohon dengan setulus hati kepada Allah. Ia senantiasa menunggu dan tentunya berharap Allah akan merespon permasalahannya tersebut. Hingga akhirnya Allah merespon jeritan keadilan Khawlah dengan menurunkan wahyu al-Qur’an surat Al Mujadilah ayat 1-2 ini. Khawlah pun sangat bahagia mengetahui hal ini. Tidak hanya Khawlah, Aisyah yang sedari awal mendengar percakapan Khawlah dengan Nabi juga ikut senang.

Hingga sekarang, jika kita membaca atau hanya sekadar mengingat surat Al Mujadilah ayat 1-2 maka seketika itu juga kita akan teringat cerita pengaduan Khawlah bint Tsa’labah kepada Nabi Muhammad SAW., perempuan biasa, bukan siapa-siapa yang doa dan ‘jeritannya’ Allah respon langsung dengan al-Qur’an. Hal seperti ini berlaku hanya bagi orang yang mengetahui sejarah di balik turunnya ayat. Tentu akan berbeda jika orang tersebut tidak mau repot mencari tahu, hanya mencukupkan membaca teks al-Qur’an yang ada dalam mushaf saja.

Ummu Salamah (Ali Imran [3]: 159)

Jika hadis adalah tafsir pertama al-Qur’an, maka Ummu Salamah termasuk mufassir perempuan masa awal dari kalangan sahabat, ia salah satu istri Nabi Muhammad yang banyak meriwayatkan hadis selain Aisyah. Nur Mahmudah dalam Perempuan dalam Relasi Kuasa Tafsir Al-Qur’an melaporkan bahwa etidaknya ada 25 riwayat Ummu Salamah yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Selain merespon dan menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an, Ummu Salamah juga menjadi salah satu sahababat perempuan yang ‘menyebabkan’ turunnya al-Qur’an sebagai respon atas koplain dan pertanyaan-pertanyaannya.

Sebut saja surat Ali Imran ayat 195. Ditulis oleh at Tabari dalam tafsirnya bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW perihal orang yang ikut berhijrah, ‘laki-laki disebut dalam peristiwa hijrah, sementara kami (perempuan) tidak disebut?’ padahal kita semua tahu bahwa orang-orang yang ikut  berhijrah (muhajirin) tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Kemudain turun al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195, فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى…. ۚ(Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,….)

Ummu Salamah juga identik dengan surat Al Ahzab ayat 35 yang disebut-sebut sebagai simbol kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Dijelaskan dalam  Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini turun merespon protes Ummu Salamah tentang perihal dominasi penyebutan laki-laki dalam al-Qur’an, sementara perempuan tidak sama sekali.

Terlepas dari statusnya sebagai istri Nabi Muhammad SAW, Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang hidup pada masa yang patriarki. ‘Suaranya’ yang direspon oleh al-Qur’an pada masa itu menjadi sesuatu di luar kebiasaan setempat. Sekali lagi, Allah berbicara dengan siapapun, tanpa memandang jenis kelamin.

Habibah bint Zaid (an-Nisa’ [4]: 34)

Nama Habibah bint Zaid disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir ketika membahas sabab nuzul dari ayat 34 surat an-Nisa’. Diceritakan bahwa Habibah nusyuz kepada suaminya, Sa’d bin Rabi’, lalu suaminya menamparnya hingga berdarah. Habibah bersama ayahnya mengadukan kejadian ini kepada Nabi. Nabi marah dan menyuruh Habibah untuk melakukan hal yang sama kepada suaminya.

Tidak lama setelah itu, Nabi memanggil kembali Habibah dan merevisi perintahnya. Nabi berkata ‘Kembalilah, karena Jibril datang kepadaku dan Allah menurunkan ayat ini (surat an-Nisa’ ayat 34). Rasul melanjutkan ‘Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki perkara yang lain, dan yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang lebih baik.’

Terkait pengaduan Habibah, melalui surat an-Nisa’ ayat 34 ini, Allah mengoreksi tindakan suaminya. Dalam ayat ini disampaikan bahwa laki-laki (suami) itu pelindung -terjemah kemenag- bagi perempuan (istri). Jika di suatu hari sang istri dikawatirkan akan nusyuz maka jangan langsung dipukul, apalagi di wajah dan sampai berdarah. Suami menasihati sang istri terlebih dahulu, kemudian pisah ranjang, barulah (bila perlu) silahkan dipukul.

Ini merupakan respon yang revolusioner yang diberikan oleh al-Qur’an bagi kehidupan perempuan dan masa depannya.

Siti Aisyah (an-Nur [24]: 11-20)

Seperti halnya Khawlah yang menuntut keadilan untuknya, Aisyah pun demikian. Fitnah keji perselingkuhan yang dituduhkan kepadanya sempat membuat Nabi Muhammad SAW, sang suami meragukannya, apalagi orang lain, jangan ditanya lagi. Hampir sebulan Aisyah dirundung musibah ini tanpa ada titik terang, hingga akhirnya langsung Allah yang meresponnya dengan menurunkan surat an-Nur ayat 11-20. (M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah)

Mengamati respon al-Qur’an terhadap empat kisah di atas, sektidaknya ada empat model yang bisa kita lihat. Pertama, al-Qur’an merespon persoalan Tsa’labah dengan berani membuat tradisi baru sekaligus mengubah kebiasaan setempat, dalam hal hukum sekalipun. Kedua, tidak begitu beda dengan yang pertama, hanya saja kasus yang kedua ini tidak berkaitan dengan hukum. Ketiga, al-Qur’an tidak langsung mengubah adat setempat, melainkan mengoreksinya pelan-pelan. Keempat, fitnah dan hoax ini sifatnya umum, namun dalam kasus Aisyah menjadi sangat sensitif karena menimpa seorang perempuan. Untuk kasus yang sifatnya umum, seperti fitnah dan hoax maka al-Qur’an merespon dengan sangat tegas, dalam hal ini mengecam si pelaku.

Sedari awal turunnya, al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin, semuanya didengar dan direspon oleh al-Qur’an. Mengapa sekarang tidak?

Pesan Az-Zarkasyi bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran

0

Dalam perkembangan Ilmu Alquran, kita mengenal nama Badruddin Az Zarkasyi (w. 794 H.). Ia adalah pengarang Al Burhan Fi Ulum al-Qur’an, salah satu referensi tentang Ilmu Alquran yang terbilang komperehensif, karena bahasan di dalamnya meliputi banyak hal, tidak hanya satu topik  keilmuan Alquran.

Ada 47 bahasan dilist daftar isi dalam bagian pendahuluan kitab tersebut, dan sebelum menutup muqaddimahnya, ia menulis

وَاعْلَمْ أًنًّهُ مَا مِنْ نَوْعٍ مِنْ هَذِهِ الْأَنْوَاعِ إِلاَّ وَلَوْ أَرَادَ الْإِنْسَانُ إِسْتِقْصَاءَهُ لَاسْتَفْرَغَ عُمْرُهُ، ثُمَّ لَمْ يَحْكُمْ أَمْرَهُ، وَلَكِنْ إِقْتَصَرْنَا مِنْ كُلِّ نَوْعٍ عَلَى أُصُوْلِهِ، وَالرّمْز إِلَى بَعْضِ فُصُولِهِ،فَإِنَّ الصَّنَاعَةَ طَوِيْلَةٌ وَالْعُمْرَ قَصِيْرٌ’

‘Ketahuilah, bahwa tidak ada satu dari banyak macam ilmu (Alquran) ini kecuali jika seseorang ingin , mengkajinya, maka umurnya akan habis (terlebih dahulu), sementara ia belum bisa memutuskan urusannya (menyelesaikan belajarnya). Kebalikannya, yang dilakukan justru hanya meringkasnya dan mengambil inti-intinya saja. Sesungguhnya pekerjaan ini sangat panjang, sedang umur (seseorang) terbatas’.

Dengan kata lain, setiap orang yang akan mempelajari Ilmu Alquran, maka sebenarnya ia tidak akan pernah samapi pada kata selesai, karena Ilmu Alquran itu sangat luas, sedang kesempatan hidup kita hanya satu kali dan itupun terbatas. Dalam berbagai kesempatan, Said Agil Munawar, guru besar studi Quran Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan bahwa keluasan Ilmu Alquran itu sejalan dengan bunyi surat Al Kahfi [18] ayat 109

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Menurutnya, ayat ini bertutur tentang keluasan Alquran, otomatis ilmu yang bersumber darinya juga sangat luas, bahkan tidak terbatas. Ada pula yang mengatakan bahwa tiap huruf dalam Alquran itu melahirkan ilmu, sehingga dari 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) huruf Alquran juga akan lahir ilmu minimal dengan jumlah yang sama.

Berdasar pada akhir pengantar Az Zarkasyi, setidaknya ada empat pesan yang harus diingat dan dijadikan pegangan oleh siapapun yang berniat belajar ilmu Alquran atau apapun yang terkait dengan Alquran

  1. Secara literal, pesan tadi dapat dipahami bahwa Ilmu Alquran ini memang sangat luas, bahkan tak terbatas. ini dapat dilihat dari perkembangan keilmuan Alquran pasca Az Zarkasyi. Ini bisa dicek antara lain di Al Itqan fi Ulumil Qur’an karya Jalaluddin As Suyuthi. Sekarang kajian Alquran juga semakin variatif.
  2. Pernyataan tadi seakan berkata bahwa tidak cukup untuk berbangga diri jika seesorang hanya menguasai satu, dua atau tiga cabang ilmu Alquran, sehingga dengannya ia langsung bisa menyalahkan dan menghakimi orang lain.
  3. Penutup muqaddimah ini memperlihatkan betapa rendah hati nya seorang Az Zarkasyi. Ini sikap bijak dari para ilmuwan yang tidak selalu menganggap dirinya paling benar dan paling pintar yang memungkinkan salah dan perlu dikritik, pun tidak langsung menganggap yang lainnya salah dan menyesatkan yang memungkinkan orang lain utuk mengoreksi.
  4. Seperti teladan yang dicontohkan oleh sang pengarang, para pengkaji atau pembelajar Ilmu Alquran juga harus senantiasa bersikap rendah hati. Ahmad Rafiq (Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga) dalam suatu kesempatan menyebut sikap ini sebagai adab seseorang dalam belajar, yaitu mengakui –kemungkinan- kekurangan dan keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya dengan senantiasa belajar dan meminta penjelasan kepada gurunya, para pendahulunya dan juga orang-orang  yang ahli (di bidangnya masing-masing) jika ia tidak mengetahui. Seperti semangat ayat فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ‘maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui’ (S. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Jika seorang Az Zarkasyi saja masih menghargai para guru dan pendahulunya dengan cara menukil pendapatnya, mengutip penjelasannya, bahkan juga dengan sangat tegas mengakui keterbatasannya, apalagi kita yang masih sangat jauh dari level Az Zarkasyi. Selamat belajar.

Wallahu A’lam

Tafsir Bismillah (2): Permulaan dari Banyak Doa

0

Doa adalah senjata orang beriman, sebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu kesempatan,  الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ، وَعِمَادُ الدِّينِ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (Doa adalah senjata orang yang beriman, tiang agama, juga cahaya langit dan bumi). Hadis Riwayat Al Hakim dari Ali bin Abi Thalib nomor 1812. Doa sebagai bentuk penghambaan yang sejati, karena seseorang mengakui kelemahan dan keterbatasan dirinya, dan di saat yang sama ia menyadari bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam Alquran Allah juga menegaskan kepada perihal berdoa ini, Ia mempersilahkan bahkan menyuruh hambaNYa untuk berdoa kepadaNya, tersurat dalam surat Ghafir [40]: 60,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗ………

‘Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu……….’

Bismillahirrahmanirrahim sebagai ayat pertama pembuka Alquran mempunyai peran dan posisi yang istimewa, khususny dalam doa. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahid al-Ghafiqi dalam Lamahat al-Anwar wa Nafahat al-Azhar, juz I, hal 477 hadis nomor 603, mengutip hadis Nabi dari Ibn Abbas ‘…..tidak akan ditolak sebuah doa yang diawali dengan Bismillahirrahmanirrahim (‘(……وَلَنْ يُرَدَّ دُعَاءٌ أَوَّلُهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم. Semangat ini kemudian terlihat di banyak doa yang digunakan dalam aktivitas keseharian, meskipun hanya sampai pada lafad bismillah saja, tidak diteruskan pada lafad arrahman dan arrahim Di antaranya:

  • Doa ketika makan

بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

‘Dengan menyebut nama Allah di awal [makan] dan di akhir [makan]’

Doa ini adalah potongan dari hadis Nabi yang diceritakan oleh Aisyah RA  yang direkam dalam Sunan Abu Dawud, hadis nomor 3767. Dalam hadis itu diceritakan bahwa seseorang yang hendak makan, maka ia harus mengawalinya dengan menyebut nama Allah. Namun jika ia lupa dan ingat di pertengahan, maka bacalah doa di atas seketika itu juga. Tujuannya tidak lain yaitu menghindari nimbrungnya Setan pada makanan yang dikonsumsi, sehingga makanan tersebut berkah, mengenyangkan dan menyehatkan.

Ada cerita unik tentang percakapan antara Setan kurus dan Setan gemuk. Ketika ditanya oleh setan yang gemuk, kenapa dia kurus? Setan yang kurus menjawab, karena orang-orang yang digoda di tempat tugasnya selalu membaca bismillah ketika hendak makan. Setan yang gemuk pun tertawa dan menceritakan bahwa orang-orang di tempatnya tidak pernah membaca basmalah ketika mau makan, sehingga ia dengan leluasa ikut makan dengan mereka, jadilah ia gemuk.

  • Doa masuk rumah

بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

‘Dengan menyebut nama Allah, saya masuk dan keluar rumah. Dan kepadaNya saya berserah diri’

Rasulullah SAW berpesan, ketika seseorang hendak masuk ke rumahnya seharusnya ia memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca doa tersebut, agar rumah yang ditempati masuk-keluar itu menjadi tempat yang penuh dengna kebaikan dan memberikan manfaat bagi penghuninya. Tidak lupa juga mengucapkan salam setelah membaca doa tersebut. Demikian cerita Abi Malik al Asy’ari dalam Sunan Abi Dawud, nomor 5096.

Tuntunan tersebut kemudian menjadi dasar dari adab memasuki rumah. Sebagaimana kita ketahui bersama, rumah adalah sekolah pertama bagi setiap orang. Di tempat ini seseorang pertama kalinya mengenal Tuhannya, orang tua, saudara, tetangga dan teman-temannya. sikap seseorang di rumah dapat menjadi cermin dan acuan bagaimana sikap dan tindak tanduknya di luar rumah. Selain itu, rumah juga muara dari kehidupan kita, apapun yang terjadi pada kita, kondisi kita: sakit, sehat, sedih, senang, kaya, miskin, sibuk, senggang, terpuruk, tersakiti, sukses, melarat dan lainnya tempat untuk pulang adalah rumah.

Seperti pepatah Arab yang populer Bayti Jannatiy (rumahku surgaku), untuk mewujudkannya maka isi rumah itu dengan hal-hal yang baik dimulai dengan membaca basmalah ketika memasukinya.

  • Doa keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ،

‘Dengan menyebut nama Allah, saya berserah kepadaNya, tidak ada upaya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’

Dalam lanjutan hadisnya, disampaikan bahwa seseorang yang membaca doa tesrsebut ketika keluar rumah, maka ia akan diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah, bahkan setan pun tidak berani mengganggunya. Hal ini sebagaimana ditulis dalam Sunan At Tirmidzi dari Anas bin Malik, hadis nomor 3426.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ketika keluar rumah, oleh karenanya doa tersebut adalah bagi siapa saja yang mau keluar rumah. ada tuntunan tawakkal atau berserah diri kepada Allah dalam doa tersebut, tapi bukan berarti langsung pasrah begitu saja, ada usaha yang dilakukan sebelumnya. Misal, bagi yang membawa kendaraan sendiri, maka ia harus hati-hati dan senantiasa mematuhi rambu-rambu lalu lintas, juga memperhatikan persyaratan mengemudi lainnya. Bagi seseorang yang terbiasa mabuk jalan, maka sudah semestinya ia membawa obat-obatan, demikian pula contoh yang semisal dengannya. Ini tidak lain bagian dari usaha seseorang sebelum akhirnya ber tawakkal.

Mengawali dengan doa ketika bepergian juga agar perjalanan tersebut mendatangkan keberkahan bagi si musafir sendiri, tempat yang dituju dan tentunya juga bagi orang yang ditinggal.

  • Doa ketika hendak berhubungan suami istri

بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

‘Dengan menyebut nama Allah ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami’

Dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW bahwa jika dari hubungan tersebut ditakdir lahir seorang anak, maka anak tersebut akan dijauhkan dari gangguan setan selamanya. Lafal doa dan keutamaannya dapat kita jumpai dalam Shahih Al Bukhari, hadis nomor 7396 dari riwayat Ibnu Abbas RA.

Siapa yang tidak menghendaki seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, shalih, cerdas, pandai dan membawa kemaslahatan bagi bangsa dan agamanya. Saya benar-benar yakin ini menjadi keinginan setiap orang tua. Maka mulailah prosesnya dengan berdoa kepada Allah.

  • Doa masuk pasar

بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ السُّوقِ، وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَا فِيهَا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُصِيبَ فِيهَا يَمِينًا فَاجِرَةً، أَوْ صَفْقَةً خَاسِرَةً

‘Dengan menyebut nama Allah ya Allah, saya memohon kepadaMu kebaikan pasar ini dan kebaikan yang ada di dalamnya. Aku berlindung kepadaMu atas keburukan pasar ini dan keburukan yang ada adi dalamnya. Aku berlindung kepadaMu dari sumpah palsu dan dari suatu pembelian atau penjualan yang merugikan’

Pasar dikenal sebagai tempat yang paling dibenci oleh Raulullah SAW karena di dalamnya penuh dengan penipuan, kecurangan, tidak jujur makanya pasar dikenal sebagai tempat yang paling jelek dan poaling dibenci Rasulullah SAW. Nah, bagaimana dengan aktivitas perekonomian kita, sedang pasar adalah pusatnya? Tidak perlu kawatir Rasulullah SAW melalui Al Hakim dalam kitabnya, hadis nomor 1977 juga sudah mengajarkan doa hendak masuk pasar seperti di atas.

Sebenarnya masih banyak doa keseharian  yang juga diawali dengan penyebutan Allah hanya saja tidak dalam bentuk lafal bismillah. Secara substansi hal tersebut sejalan dengan pesan dari tuntunan doa yang ada dalam hadis tentang keutamaan bismillah. So, Jangan lupa berdoa.

Wallahu A’lam

Mengaji ‘Bismillah’ [1], tuntunan Allah yang mentradisi di kalangan para Nabi

0

Bismillahirrahamnirrahim, pembuka mushaf Alquran ini sangat populer, kita bisa menemukan dan mendengarnya kapanpun, dimanapun dan dari siapapun. Betapa tidak, ‘basmalah’ begitu sebutan orang-orang terhadapnya dibaca, diucap dan ditulis setiap mengawali gerak geriknya, mulai dari berangkat kerja, mau makan,  mau ngaji, mau belanja online, mau selfi, ngepost konten, submit tugas, mau komen, mau kampanye, mau berangkat demo hingga mau ngebom pun juga baca bismillah. Di saat yang sama, bismillah juga akrab di telinga saudara kita yang non muslim. Begitulah bismillah, popularitasnya melintasi zaman, iman dan berbagai kepentingan.

Sayyid Qutub (w. 135 H.) dalam tafsirnya, fi Dhilal al-Qur’an yang juga ditegaskan oleh Quraish Shihab di Tafsir Al Misbah mengatakan bahwa bismillah merupakan adab dan tuntunan Allah pertama yang diajarkan kepada umat manusia, sebagaimana tercantum dalam wahyu pertama, Iqra’ bismi rabbika…. (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu….). Perintah Allah dalam wahyu pertama ini tidak berhenti pada ‘bacalah’, tetapi berlanjut pada ‘dengan menyebut nama Tuhanmu’. Ini menunjukkan bahwa dalam memulai setiap pekerjaan, termasuk perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad tadi harus diawali dengan menyebut asmaNya. Oleh karena alasan ini pula, mufassir yang lain seperti Ibnu Katsir berpendapat bahwa bismillah merupakan wahyu pertama. Cukuplah ini sebagai wawasan saja bagi kita, tidak untuk diperdebatkan dengan ngotot.

Di samping itu, mengucap basmalah tidak sekadar berarti menyebut nama Allah. lebih dari itu, menyebut nama Allah ini mengandung arti memohon pertolongan Allah, petunjuk dan barakahNya. Demikian penjelasan Assamarqandy (w. 373 H.) dalam tafsirnya, Bahrul Ulum. Makna, rahasia dan keajaiban-keajaiban Bismillah juga dirilis dalam berbagai kisah, hingga ada 24 kisah oleh Ar Razi dalam Mafatih Al Ghaib. Untuk yang terakhir ini, Nadirsyah Hosen, cendekiawan Indonesia yang menjadi dosen senior di Monash Law School Australia mempermudah para pembaca dengan menukil sekaligus menerjemahkan kisah-kisah tersebut di laman blog nya.

Selain dikelilingi berbagai kisah keutamaannya, ada kisah lain tentang bismillah yang ternyata sudah mentradisi di kalangan para Nabi sebelum Nabi Muhammad, dan ini disinggung dalam Alquran. Selain di awal surat Al Fatihah, basmalah baik dalam bentuk singkatnya, Bismillah maupun bentuk lengkapnya, Bismillahirrahmanirrahim juga ditemukan di dua tempat lainnya, yaitu di Q.S. Hud [11]: 41 dan Q.S. An Naml [27]: 30. Dua ayat ini termasuk dalam rangkaian episode kisah Nabi Nuh dan kisah Nabi Sulaiman dalam Alquran. Dengan demikian bahwa tradisi bismillah ini tidak hanya ada pada masa Muhammad, tradisi ini sudah dipraktikkah oleh Nabi-Nabi sebelumnya.

di surat Hud [11]: 41 berbunyi

وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

‘Dan dia berkata,  ”Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Nabi Nuh, Nabi yang menurunkan bangsa-bangsa besar ketika memimpin kaumnya menaki bahtera untuk menyelamatkan diri dari banjir bandang mengawalinya dengan membaca bismillah. Ketika mau menjalankan perahunya, ia berucap bismillah, bahtera pun mulai belayar, pun ketika mau berhenti, ia juga berucap bismillah dan bahterapun berhenti. Demikian Tafsir Syekh Nawawi Al Bantani dalam Marah Labid. Ibn Katsir memahami ayat ini sebagai tuntunan dan kesunahan membaca basmalah setiap menaiki kendaraan, baik dart, laut maupun udara.

Sedangkan di surat An Naml [27]: 30 berbunyi

اِنَّهٗ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَاِنَّهٗ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۙ

‘Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,’

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis ini sudah sangat populer. Nabi Sulaiman yang juga seorang raja mengirim surat melalui burung Hud Hud ke sang ratu untuk mengajaknya menyembah Allah. Nah, di ayat 30 tersebut disinggung mengenai isi suratnya. Surat tersebut diawali kalimat Bismillahirrahanirrahim. Ibnu ‘Ashur dalam tafsirnya, At Tahrir wa At Tanwir menyebut bahwa menulis Bismillahirrahmanirrahim di setiap awal tulisan sudah menjadi tradisi para Nabi dari Bani Israil.

Dua kisah di atas cukup memberi informasi bahwa memang tradisi mengawali setiap sesuatu dengan Bismillah adalah kebiasaan para Nabi terdahulu. Kebiasaan baik yang sudah lama ini tentu harus terus kita lanjutkan.

Bismillahirrahmanirrahim, kita mulai niat yang baik ini.

Wallahu A’lam

Kewajiban Taat Kepada Pemerintah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 59

0
Kewajiban taat kepada pemerintah
Kewajiban taat kepada pemerintah

Kewajiban taat kepada pemerintah dalam arti tidak berupaya memberontak terhadap suatu pemerintahan yang sah tercatat dalam al-Quran. Dalam Q.S An-Nisa ayat 59 Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian…” (QS An-Nisa [4]: 59)

Tujuh puluh lima tahun setelah negeri ini merdeka, dan selama itu pula kaum Muslim di negeri ini mendapatkan kebebasan dan fasilitas dalam menjalankan agama secara leluasa. Akan tetapi, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang meragukan keabsahan negara dan pemerintahan. Bahkan mereka berupaya melawan dan menghancurkan negara ini.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Ini Dalilnya dalam Al-Quran

Tidak kah mereka berkaca dengan negeri-negeri di Timur Tengah yang porak poranda akibat perseteruan politik yang tidak berkesudahan? Kemudian tidak ada hasil yang bisa dituai kecuali kehancuran. Alih-alih bisa beragama dengan kaffah, pergi ke masjid pun takut, tidak ada kedamaian sama sekali. Tidak ada agama yang nyaman tanpa negara yang aman.

Tidak kah juga mereka membaca QS An-Nisa ayat 59 yang dikutip di atas? Di mana Allah telah menjadikan kewajiban taat kepada pemerintah yang sah, di samping ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana dikutip oleh al-Mawardi dalam tafsirnya, bahwa Ibn Abbas, al-Sa’dy, Abu Hurairah, dan Ibn Zaid, mengartikan ulil amri ini sebagai umara, yaitu pemerintahan sebuah negara.

Ibn Abbas juga mengatakan bahwa ayat ini turun sabab nuzulnya adalah ketika Rasulullah mengangkat Abdullah bin Hudzafah bin Qays al-Samhi sebagai pimpinan sariyah (ekspedisi yang tidak diikuti oleh Rasulullah SAW). Adapun al-Sa’di menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid saat diangkat oleh Rasulullah dalam jabatan tersebut (pimpinan sariyah).

Sementara Ahmad Mustafa al-Maraghi menafsiri ulil amri sebagai umara (pemerintah), ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan, dan pemimpin-pemimpin lainnya yang membawa masyarakat pada kemaslahatan umum. Al-Maraghi menyebutkan contohnya adalah ahlul halli wal aqdi (legislatif) yang dalam konteks Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merupakan wakil dan kepercayaan umat, baik dari unsur ulama, militer, dan representasi untuk kemaslahatan umum lainnya seperti pedagang, petani, buruh, wartawan, dan sebagainya.

Kewajiban taat kepada pemerintah di sebuah negara, sebagaimana diutarakan oleh Alquran, juga dikuatkan oleh sejumlah hadis. Nabi bahkan berpesan untuk mengikuti aturan pemerintah, meskipun mereka zalim, apalagi jika adil:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan ada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” Hudzaifah kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengarkan dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)

Sebagai catatan, mengutip Nadirsyah Hosen, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata “taat” sebagaimana kata “taat” yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS an-Nisa: 59). Ini artinya, ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bergantung dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul.

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari ulasan di atas adalah, bahwa kewajiban taat kepada pemerintah atau ulil amri terdapat dalam Alquran. Hal tersebut diperkuat oleh banyak hadis.

Kewajiban taat kepada pemerintah dan aturan sebuah negara secara sosiologi-politik memang sangat penting. Karena pembangkangan terhadap pemerintah dan perlawanan terhadap hukum pasti lah menimbulkan kekacauan. Bahkan berpotensi mengakibatkan pertumpahan darah, dan itu hal yang sangat dihindari oleh Islam. Semoga Allah menganugerahi kepada kita pemimpin-pemimpin yang adil dan bertakwa, serta dapat membawa negeri ini menjadi baldatun tayibatun wa rabbun ghafur

Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

0
Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran
Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran

Salah satu guru dari KH. Maimoen Zubair adalah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Beliau seorang ulama yang dikenal ahli dalam bidang ilmu Al-Quran dan tafsir. Beliau mengemukakan alasan penting belajar ilmu Al-Quran dalam kitab al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulum al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan kita dan beliau beserta seluruh keturunan kemanfaatan atasnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Mengenai alasan penting belajar ilmu al-Quran, salah satu tema pokok yang dibahas adalah perbedaan dalam memahami pengertian tafsir dan ta’wil. Abu Ubaid beserta kalangan lain menyatakan bahwa keduanya bermakna sama.

Sedangkan al-Raghib berpandangan bahwa tafsir lebih universal dari ta’wil. Tafsir lebih sering diaplikasikan untuk memahami kosa kata dan diksi, serta digunakan pula selain dalam kajian kitab suci. Sementara ta’wil cenderung diaplikasikan dalam memahami pemaknaan dan kalimat, selain itu hanya digunakan dalam kajian kitab suci.

Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw serta penjelasan akan makna-maknanya. Selain itu dari tafsir ini juga dapat diketahui perihal ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Perangkat elementer dari tafsir sendiri adalah ilmu bahasa, nahwu, tasfrif, ilmu bayan, ushul fiqh, qira’at, dan penting juga untuk mengetahui perihal sebab turunnya ayat beserta nasikh dan mansukh.

Baca Juga: Pesan Az-Zarkasyi Bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran

Kemuliaan ilmu tafsir jelas adanya. Allah SWT berfirman

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ

“Dia memberi hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa yang diberi hikmah maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tiadalah mengambil pelajaran kecuali ulul albab.” (Q.S al-Baqarah: 269)

Mengenai ayat ini Ibn Abbas menyatakan bahwa anugerah hikmah adalah pengetahuan akan al-Quran, nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, awalan dan akhirannya, halal dan haramnya, juga hal lain yang mendasar tentang al-Quran.

Alasan penting belajar ilmu al-Quran juga diungkapkan Abu Dzar al-Harawi dalam Fadhail al-Qur’an. Al-Harawi meriwayatkan dari jalur sanad Said bin Jubair dari Ibn Abbas ra. Beliau berkata, “Orang yang membaca al-Qur’an namun tidak bagus dalam memaknainya maka ia seperti seorang badui mengocehkan syair, berceloteh.”

Al-Baihaqi dan selainnya mengeluarkan satu riwayat dari Abi Hurairah ra. secara marfu’, “Maiknailah al-Qur’an dan carilah (diksi-diksi) asingnya.”

Ibn al-Anbari mengeluarkan riwayat dari Abi Bakr al-Sihiddiq ra. Beliau berkata, “Berhasil memahami satu ayat al-Qur’an lebih kusukai ketimbang dapatmenghapal satu ayat.”

Beliau juga mengeluarkan riwayat dari Abdullah bin bin Buraidah, dari seorang sahabat Nabi saw, bahwasanya sahabat tersebut berkata, “sekiranya aku mengetahui jika dengan menempuh perjalan empat puluh malam aku dapat memahami satu ayat saja dari kitab Allah, maka sungguh aku akan melakoninya.”

Dari jalur al-Sya’bi beliau juga mengeluarkan satu riwayat. Al-Sya’bi menyatakan bahwa Umat ra pernah berkata, “Barangsiapa membaca al-Qur’an dan ia memahaminya maka di sisi Allah baginya pahala syahid.”

Al-Ashbihani menyebutkan bahwa aktifitas paling mulia yang diberikan kepada manusia adala menafsirkan al-Qur’an. Beliau meberi penjelasan bahwa kemulian ini bahkan wujud dalam tiga aspek sekaligus. Pertama yakni dari aspek posisinya, tafsir al-Qur’an berhadapan langsung dengan kalam Allah SWT yang merupakan sumber utama segala hikmah serta tambang segala karunia. Di dalamnya terdapat berita mengenai kaum sebelum kita serta mereka kaum di masa mendatang, pun tercantum hukum keadaban bagi kita.

Kedua yakni dari aspek tujuan, misi tafsir al-Qur’an tiada lain adalah berpegang pada tali yang kokoh. Visinya tiada lain yakni untuk sampai pada hakikat kebahagiaan yang tak sirna.

Aspek ketiga mengapa disiplin tafsir dinilai paling mulia adalah karena urgensinya. Kesempurnaan agama dan dunia mebutuhkan ilmu syariah dan pengetahuan keagamaan. Sementara keduanya bergantung pada disiplin ilmu tafsir al-Qur’an.

Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran

0
tafsir dan terjemah Quran
tafsir dan terjemah Quran

Sebagian masyarakat masih mendudukkan teks terjemah dan tafsir Al-Quran dalam posisi yang sama dengan Ayat Suci Al-Quran. Konsekuensinya mereka menganggap bahwa seseorang yang tidak menerima suatu versi terjemah atau tafsir Al-Quran dianggap menolak Al-Quran itu sendiri.

Ini terutama dilakukan oleh sebagian kelompok yang mempunyai propaganda “kembali kepada Al-Quran dan sunnah”, yang mengklaim kebenaran tunggal sebuah terjemah atau pemahaman versi mereka saja. Tidak jarang mereka menggunakan sebuah terjemah ayat sebagai obyek politisasi mendukung kelompoknya atau menyerang kelompok lain.

Padahal tentu saja baik Al-Quran, terjemah dan tafsir adalah tiga entitas yang berbeda. Perbedaannya bisa dilihat di antaranya pada aspek-aspek berikut:

Pertama, dari segi definisi, Alquran adalah firman Allah yang berbahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Lafalnya mengandung mukjizat. Membacanya adalah ibadah. Diriwayatkan secara mutawatir. Dan tertulis dalam mushaf, mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas.” (al-Madkhal li Dirasat al-Quran, hlm 20). Kebenarannya bersifat absolut.

Baca Juga: Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli

Berbeda dengan terjemah yang merupakan teks hasil usaha manusia dalam memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Ada yang secara harfiyah/lafdziyah, yaitu alih bahasa sesuai dengan susunan dan tertib huruf, lafal, kata dan kalimat aslinya. Ada juga yang secara maknawiyah/tafsiriyah, yaitu alih bahasa terhadap makna dan maksud tanpa terikat dengan susunan huruf, kata-kata dan tertib kalimat asalnya. Kebenarannya bersifat relatif.

Terjemah berbeda dengan tafsir. Sebuah terjemah sangat terikat pada bahasa asalnya, sedangkan tafsir lebih fleksibel, bergantung pada bagaimana subyektivitas pemahaman yang ditangkap oleh mufasir terhadap teks Alquran. Bisa juga dikatakan bahwa terjemah merupakan sebuah proses kecil dari penafsiran.

Baik terjemah maupun tafsir tidak akan mampu meng-cover keseluruhan makna Alquran. Mengingat luas dan dalamnya samudera makna Alquran. Sebuah terjemah sangat berpotensi mereduksi makna Alquran. Bahkan sebuah tafsir pun tidak bisa dianggap sebagai representasi Alquran. Dengan kata lain menolak sebuah versi terjemah atau tafsir, tidak bisa dianggap menolak Alquran.

Muhammad Ali al-Sabuni bahkan mengatakan bahwa sebuah terjemah ayat tidak bisa disebut terjemah Alquran, tetapi terjemahan mengenai arti-arti Alquran atau terjemah dari tafsir Alquran. (Al-Tibyan fi’ Ulum al-Quran, hlm. 331).

Kedua, dari segi kebakuan, Alquran sudah baku; tidak akan bertambah dan berkurang, maupun berubah satu huruf pun. Sedangkan terjemah dan tafsir, akan terus berkembang dan mengalami revisi, dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dari satu subyektivitas ke subyektivitas yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, dan dari satu ruang ke ruang yang lain, supaya kontekstual dan relevan untuk setiap waktu dan ruang (salih li kulli zaman wa makan).

Ketiga, dari segi otoritas, Al-َuran mempunyai otoritas yang tidak bisa dibantah oleh setiap individu yang beriman, sedangkan terjemah bisa saja ditolak dengan terjemah yang lain, karena perbedaan pemilihan kosakata maupun lafal Alqurannya yang musytarak (mempunyai arti lebih dari satu). Begitu pula suatu tafsir bisa dibantah dengan penafsiran yang lain, karena perbedaan subyektivitas maupun ayat Alqurannya yang mutasyabih (belum jelas maknanya).

Itu mengapa penafsiran terhadap Al-Quran bisa sangat beragam, para mufasir menyusun berjilid-jilid buku yang berbeda sesuai dengan sudut pandang, bidang disiplin ilmu, maupun kecenderungan mazhab dan situasi politik, serta sosio-ekonomi di mana mereka hidup. Itu semua dapat mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alquran.

Keragaman pemaknaan sendiri adalah suatu hal yang legal dalam ranah penafsiran Alquran, terjadi sejak masa sahabat, dan merupakan suatu hal yang menjadi tradisi. Jika ada yang mencita-citakan keseragaman atau kesatuan pendapat dengan metode mengajak kembali ke Alquran, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan belum mengetahui ragam penafsiran Alquran, karena para mufasir semuanya juga merujuk pada Alquran, meski hasilnya tidak harus selalu seragam. Metode penafsiran yang mereka pakai juga beragam variasi.

Jadi alih-alih berupaya menyeragamkan tafsir, apalagi mengklaim kebenaran tunggal pemahaman versinya sendiri, lebih baik kita melestarikan keragaman atau perbedaan penafsiran dengan saling menghormati, dan mengamalkan ajaran Alquran melalui aneka ragam tafsirnya, sehingga kita bisa memilih salah satu dari ragam penafsiran yang ada, yang paling sesuai untuk persoalan yang sedang kita hadapi, dan itu adalah bentuk nyata dari slogan ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat adalah rahmat). Wallahu a’lam bi muradih.