Beranda blog Halaman 553

Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

0
Ketika Berdebat
Ketika Berdebat

Perdebatan telah menjadi hal tak terhindarkan dalam media sosial. Media sosial terbukti berperan mempertemukan seseorang dengan lawan debatnya. Muncul kemudian terminologi-terminologi tertentu yang menggambarkan masif-nya fenomena ini, misalnya apa yang disebut dengan “Twit War”, dll. Di antara efek negatif yang timbul adalah hate speech (ujaran kebencian). Debat bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berdebat.

Selain ujaran kebencian, masih terdapat beberapa bahaya lain dari debat, di mana Alquran dan hadis telah me-warning bahaya-bahaya tersebut. Imam al-Ghazali dalam magnum opus-nya “Ihya Ulum al-Din”, merinci hal tersebut, yang ringkasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, merasa paling benar dan suci. Padahal Allah SWT berfirman:

فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بمَنِ اتَّقَى

“Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sebab sesungguhnya Allah paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Najm [53]: 32).

Kedua, memata-matai dan berusaha mencari kelemahan lawan, dalam rangka menjatuhkannya. Ini juga dilarang. Allah SWT berfirman:

وَ لَا تَجَسَّسُوْا

“Janganlah kalian memata-matai (kelemahan orang lain)” (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Ketiga, menggunjing (ghibah). Dalam rangka menyerang lawan, seorang pendebat sering kali menyebar aib lawan debatnya. Padahal ghibah diibaratkan seperti memakan bangkai (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Keempat, dengki. Rasulullah SAW bersabda, “Dengki menghancurkan amal baik seperti api melahap kayu.’ Ibn Abbas berkata, “Tuntut lah ilmu di mana pun ia berada, dan jangan pernah taat kepada setan yang gemar bertengkar.”

Kelima, takabur, padahal ia adalah sifat dan sikap eksklusif Allah. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi, “Keagungan adalah jubah-Ku dan kesombongan adalah busana-Ku. Aku akan membinasakan orang yang berdebat dengan mengenakan salah satu pakaian-Ku itu.” Rasulullah juga mewanti-wanti agar kita menghindari sikap takabur, beliau bersabda, “Seorang mukmin mustahil memiliki rasa takabur dalam hatinya.”

Baca Juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran

Keenam, menolak kebenaran. Salah satu hal yang paling dibenci oleh orang yang berdebat adalah menerima kebenaran yang keluar dari mulut lawan, karena itu dia akan berusaha sebisa mungkin menolak kebenaran tersebut, meski dengan berkelit dan beretorika, atau bahkan berbohong. Allah SWT berfirman, “Siapakah yang lebih bersalah daripada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah (mem-politisasi ajaran Allah) dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?”

Ketujuh, dendam. Seseorang yang kalah atau tersinggung dalam debat bisa jadi timbul dendam dalam hatinya, dan hanya sedikit yang tidak. Padahal Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak mungkin memiliki rasa dendam.”

Kedelapan, munafik (hipokrit). Seorang pendebat biasanya menampilkan citra diri bersahabat secara lahir, namun memendam kebencian dan mengharap keburukan dalam hatinya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ketika seorang alim tidak memperlihatkan ilmunya dalam bentuk amal, mengungkapkan cinta kepada orang lain dengan lisan, tetapi memelihara kebencian di dalam hati, dan memutuskan hubungan silaturrahim, maka Allah akan melaknatnya, membuat lidahnya ‘kelu’, dan matanya ‘buta’.”

Kesembilan, ujub dan riya. Di antara bahaya debat lagi adalah bisa jatuh ke dalam riya (pamer) dan ujub (merasa baik) di hadapan orang lain dalam rangka menarik dan menyesatkan mereka. Padahal keduanya merupakan dosa besar.

Kesepuluh, menipu. Tidak jarang seorang yang berdebat terpaksa menipu dalam berdebat, misalnya dengan menampilkan data hoaks atau kutipan yang tidak sesuai.

Untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut, Imam al-Ghazali menawarkan delapan syarat agar perdebatan bisa menghasilkan faedah, yaitu, 1) harus melaksanakan fardhu ‘ain dulu, 2) harus melaksanakan fardhu kifayah yang prioritas, 3) harus punya kompetensi yang cukup, jika tidak maka harus ada dasar/kutipan dari ahli, 4) tema harus lah yang aktual dan manfaat untuk dibahas,

5) debat tertutup di lokasi sepi, atau melalui jalur pribadi jika di medsos, lebih dianjurkan. Jika harus menghadirkan orang maka hadirkan orang yang alim atau yang berkompetensi, 6) semangatnya harus mencari kebenaran (bukan pembenaran), meski kebenaran itu berasal dari pihak lawan, 7) tidak boleh mengintimidasi lawan dalam berargumen atau berusaha mengalihkannya, 8) lawan debat harus lah orang yang terpelajar atau minimal diperkirakan mendatangkan manfaat, sehingga terhindar dari debat kusir.

Demikian beberapa hal mengenai bahaya dan sisi negatif debat, dan bagaimana mengantisipasinya, sesuai nasehat Imam al-Ghazali yang digali dari beberapa ayat Alquran dan hadis. Semoga kita senantiasa terhindar dari bahaya-bahaya tersebut dan selalu diberi pandangan yang jernih dalam melihat kebenaran, di era medsos yang serba ambigu dan penuh ketidakjelasan ini. Wallahu a’lam bi muradih.

Sejarah Pencetakan Al-Quran dari Italia hingga Indonesia

0
Pencetakan Al-Quran
Pencetakan Al-Quran

Pencetakan al-Quran menjadi hal yang sangat jarang disinggung daripada tema-tema kesejarahan al-Quran yang lain. Bahasan tentang sejarah al-Quran lebih sering berhenti pada tahap penyalinan, penyeragaman bacaan al-Quran dan penggandaan al-Quran di masa Usman. Padahal pencetakan al-Quran itu memiliki andil yang tidak kalah penting dalam episode perjalanan al-Quran hingga sekarang. Berikut sekilas ulasan mengenai sejarah pencetakan al-Quran yang kami kutip dari buku Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Quran.

Pencetakan Al-Quran Awal

Al-Quran dengan berbahasa Arab lengkap pertama kali dicetak di Venice, Italia sekitar tahun 1537-1538 dengan the moveable type. (jenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg w. 1468 sekitar 1440 di Mainz, Jerman) oleh Paganino dan Alessandro Paganini (ayah dan anak, keduanya adalah ahli pencetakan dan penerbitan, namun belum diketahui tahun meninggalnya).

Al-Quran Cetakan Hamburg

Pencetakan al-Qur’an berikutnya adalah pada tahun 1694 di Hamburg oleh Abraham Hinckelmann (1652-1695), seorang Kepala Pastur yang mendapat pendidikan istimewa di Oriental Studies di Wittenberg dari 1668-1672. Pendidikan ini yang membawanya pada kegiatan mengumpulkan manuskrip-manuskrip al-Qur’an hingga kemudian berhasil menerbitkan teks al-Qur’an dengan judul Alcoranus s. Lex Islamitica Muhammadis, filii Abdallae pseudoprophetae. Cetakan ini tidak menyertakan terjemahan, hanya dilengkapi kata pengantar berbahasa Latin. Cetakan ini merupakan cetakan al-Qur’an pertama yang dilengkapi dengan tanda baca, tanda huruf dan penomoran ayat.

Pencetakan ini diikuti oleh pendeta Ludovico Maracci empat tahun kemudian (1698) di Padua dengan diberi judul Alcorani Textus Universus. Cetakan edisi ini dilengkapi dengan terjemahan bahasa Latin dan komentar-komentar Maracci yang berisi penolakannya terhadap Islam. Pada tahun 1721, terjemahan latin versi Marracci ini diterbitkan lagi dalam edisi yang lebih kecil (handy Octavo edition) oleh ahli teolog Protestan, Christian Reineccius di Leipzig.
Baca Juga: Tradisi Mendengar Lantunan Bacaan Al-Quran dari Orang Lain
Al-Quran Cetakan St. Petersburg

Lama berselang, pada tahun 1787 baru muncul lagi cetakan al-Qur’an di St. Petersburg di bawah instruksi Ratu Rusia, Tsarina Catherine II (w. 1796). Pencetakan ini dalam rangka sikap toleransi keagamaan Ratu Tsarina pada keturunan Muslim Turki agar mudah mengakses kitab suci mereka, karena pada masa ini Rusia yang menguasai sejumlah wilayah Turki setelah terjadinya perang Rusia-Turki (1768-1774). Al-Quran cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan disertai kutipan-kutipan keterangan dari kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798. Pada tahun 1905 al-Qur’an dicetak lagi di sini dengan format yang lebih bagus, menggunakan khat Kufi (dikatakan hampir mirip dengan al-Qur’an yang dimiliki khalifah Usman) untuk dipresentasikan pada para pejabat.

Tidak hanya itu, sebagai jaminan, pada tahun 1786/1787 di St. Petersbug didirikan seni cetak Tatar dan Turki dan sebagai penanggung jawabnya, ditunjuklah Sarjana domestik, Mullah Osman Ismail. Salah satu produk yang pertama kali dicetak adalah al-Qur’an.

Al-Qur’an Cetakan Maula Ottoman/Usmani

Kebijakan Ratu Chaterine II menunjuk Mullah Osman Ismail sebagai penanggung jawab percetakan merupakan benih awal pencetakan al-Qur’an yang ditangani oleh umat Islam sendiri. Sebelumnya, kekaisaran Ottoman melarang orang-orang Islam untuk mencetak al-Qur’an hingga tahun 1726 ketika percetakan resmi didirikan.pada tahun 1726. Kekaisaran Ottoman sendiri baru mencetak al-Qur’an pada pertengahan kedua abad ke-19 di Mesir dan Istanbul bersamaan dengan pencetakan al-Qur’an di India. Pada masa ini juga mulai dicetak beberapa kitab tafsir seperti al-Baydawi dan al-Jalalyn. Cetakan ini sudah mulai dibuat untuk mengaji dan tidak hanya dibuat manuskrip.

Al-Qur’an Cetakan Leipzig

Leipzig juga mencatatkan namanya dalam perjalanan pencetakan al-Qur’an. tepatnya pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman, Gustav Flugel (1802-1870) dengan judul Corani texn Arabicus. Tahun ini merupakan peristiwa penting dalam kajian Islam di Eropa, karena edisi Flugel ini dianggap yang paling baik dari sebelum-sebelumnya, cetakan ini pun kemudian banyak dijadikan rujukan oleh sarjana-sarjana Barat hinga abad 20. Selain itu, cetakan ini juga banyak yang sudah menyebar secara luas di dunia Islam setelah Perang Dunia I, meski orang-orang Islam menilai adanya ketidak sesuaian dengan al-Qur’an yang digunakan umat Islam pada umumnya, terutama pada penomoran surat. Edisi ini dicetak lagi pada tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893. Beberapa tahun kemudian, Flugel juga menerbitkan concordance of the Qur’an (indeks al-Qur’an) yang merupakan kontribusi yang sangat besar bagi kajian keislaman.

Al-Qur’an Cetakan Mesir

Pencetakan al-Qur’an di Mesir dilaksanakan pada tahun 1923 dan diterbitkan pada 10 Juli 1924 M. (7 Dzul Hijjah 1342 H.) di Kairo. Cetakan Mesir ini merupakan agenda dari pemerintahan yang kemudian menunjuk Muhammad b. ‘Ali al-Husayni al-Haddad sebagai ketua panitia. Edisi ini dicetak lagi kemudian pada tahun 1936 yang populer dengan edisi Faruq yang ketika itu menjadi Raja. Pencetakan ini juga difokuskan pada keseragaman qira’at, yaitu Hafsh yang diriwayatkan dari ‘Ashim. Edisi ini kemudian menyebar luas di dunia Islam dan sedikit demi sedikit menggantikan edisi Flugel di kalangan akademisi. Adapun Arab Saudi mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1970-an. Hasil cetakannya kemudian disebar luaskan ke seluruh dunia. Cetakan Mesir dan Arab Saudi ini telah berhasil melakukan standarisasi final bagi al-Qur’an.
Baca Juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab
Al-Qur’an Cetakan Indonesia

Di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, yaitu produk cetak batu Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah yang selesai dicetak pada 21 Ramadlan 1264 H. (21 Agustus 1848 M.). cetakan ini sekaligus menjadi cetakan al-Qur’an tertua di Asia Tenggara. Tinggalan yang sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin. Azhari juga memproduksi cetakan al-Qur’an lagi enam tahun kemudian (1270/1854) yang sekarang dimungkinkan ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI.

Ada juga yang mengatakan bahwa yang mencetak adalah Ibrahim bin Husain di toko percetakan milik Muhammad Azhari di Palembang. Versi lain mengatakan berbeda, pencetakan al-Qur’an di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim Nabhan dari Surabaya (berdiri pada tahun 1904) dan Afif dari Cirebon. Sebelum mencetak al-Qur’an penerbit Salim adalah pemasok buku-buku berbahasa Arab

Rekaman perjalanan pencetakan al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa penyebaran al-Qur’an di masa itu sudah semakin luas dan persinggungannya dengan banyak orang dan budaya, tidak hanya Islam, juga semakin intens. Sungguh perjalanan yang tidak sederhana.

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

0
Al-Baqarah Ayat 208
Al-Baqarah Ayat 208

Dalam tulisan ini akan diuraikan penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 208 yang di dalamnya bicara soal Islam Kaffah. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silm secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah ayat 208)

Terminologi Islam Kaffah menjadi istilah yang cukup populer dalam kehidupan sosial-politik keagamaan kita akhir-akhir ini. Istilah ini, yang diusung di antaranya oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan kelompok khilafah Hizbut Tahrir dipropagandakan sebagai keharusan menerapkan Islam secara 100% dengan tekstualis, simplikatif, rigid, simbolik dan formalistik.

Secara sempit, Islam Kaffah adalah propaganda keharusan menjadikan agama sebagai formalitas sistem politik negara. Lihat saja misalnya dalam pernyataan ke-10 dari prinsip dasar JI yang menyatakan, “Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kafah dengan sistem jamaah (komunitas), kemudian daulah (Negara), kemudian khilafah.”

Bagi kelompok tersebut, Islam Kaffah adalah Islam Terpadu, yang memadukan agama dan negara (religion and state), salat dan perang, pena dan peluru, lidah dan pedang, hijrah dan jihad, kemudian khilafah. Pemerintahan yang tidak “ber-Islam-kaffah” akan dituduh sebagai pemerintahan taghut yang harus dihancurkan, meski masyarakatnya mengamalkan Islam dan pemerintahnya muslim.

Istilah Islam Kaffah sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Agus Maftuh Abegebriel, adalah problematik. Karena kata “kaffah” yang disebut sebanyak 5 kali dalam Alquran dan 35 kali dalam Sembilan Kitab Hadis semuanya berpasangan dengan kalimat yang jamak (plural). Sehingga tidak bisa disematkan ke dalam kata “Islam” yang mufrad (singular/tunggal). Istilah “Islam Kafah” juga tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran dan hadis, bahkan istilah tersebut tidak dikenal kecuali dalam lingkup lokal Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, jika istilah Islam Kaffah adalah hasil inovasi (bid’ah) lokal Indonesia dan ternyata problematik, lalu bagaimana tafsir yang sebenarnya dari Surat al-Baqarah ayat 208 di atas?

Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir kata ‘al-silm’ dalam ayat tersebut, sebagian memaknainya dengan Islam. Pendapat ini dikritik oleh Fakhruddin al-Razi, karena dinilai tahsil al-hasil (redundant), dengan penjelasan bahwa ayat tersebut menyapa orang beriman, iman adalah Islam, dan tidak mungkin orang beriman diperintah masuk Islam. Karena itu ulama lain menafsirinya dengan kepasrahan, perdamaian, ketaatan dan ketundukan. Imam Sufyan al-Tsauri menyampaikan tafsir yang sedikit berbeda, dengan mengatakan bahwa makna ‘al-silm’ adalah kebajikan secara umum.

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Demikian diterangkan dalam Tafsir al-Qurtubi, yang sekaligus menunjukkan tidak ada tafsir tunggal mengenai penafsiran kata tersebut, meski harus diakui bahwa tafsir al-Tsauri adalah yang paling menarik karena menunjukkan universalitas pesan Alquran. Sebaliknya jika dimaknai dengan Islam maka akan terus memantik perdebatan mengenai Islam versi yang mana yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Penafsiran kata ‘al-silm’ dengan perdamaian diperkuat oleh Quraish Shihab. Ia menyatakan bahwa ayat tersebut adalah pesan kepada kaum beriman agar cenderung berdamai dan jangan menumbuhkan sikap fanatisme yang merupakan karakter masyarakat jahiliyah, dan semisalnya yang memancing timbulnya permusuhan dan perpecahan.

Shihab melanjutkan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum Muslimin untuk mencintai perdamaian. Peperangan dan permusuhan digambarkan sebagai mengikuti jalan setan. Hidup damai antar sesama Muslim atau dengan kelompok lain menjadi ajaran terpenting Islam. Karenanya peperangan inter dan antar umat sedapat mungkin dihindari.

Ayat ini juga menunjukkan Islam datang menghapus prinsip hukum rimba dan menggantikannya dengan prinsip yang luhur, yaitu prinsip hidup berdampingan secara damai (koeksistensi). Karena itu, dalam Islam perang hanya dibolehkan sebagai tindakan defensif sampai dapat mengajak musuh untuk berdamai. Perang yang diperintahkan Islam dan agama-agama samawi lainnya adalah untuk menopang perdamaian dan menegakkan keadilan.

Dilihat dari latar belakang (asbab nuzul)-nya pun, sebenarnya ayat ini tidak ditujukan kepada umat Islam. Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini turun kepada ahl al-kitab yang tidak mau beriman kepada Nabi SAW dan kepada orang-orang munafik yang hanya berpura-pura beriman. Maka salah alamat jika kelompok tertentu seperti JI dan HTI menggunakan ayat ini untuk menyerang umat Islam dan melabeli negeri yang didirikan oleh para ulama ini sebagai taghut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terminologi Islam Kafah adalah problematik, dan pemaknaan kata ‘al-silm’ sebagai kebajikan dan perdamaian sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas, jelas sangat berbeda dengan yang disampaikan mereka para pengusung jargon “Islam Kaffah” yang cenderung gemar menghakimi kelompok lain yang dituduh tidak berislam kaffah. Yaitu mereka yang mengidam-ngidamkan perang dan hanya mengenal ‘bahasa darah’. Na’uzubillah min zalik…

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

0
Al-Baqarah Ayat 120
Al-Baqarah Ayat 120

Tulisan ini akan menguraikan penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 120. Ayat ini bicara soal Yahudi dan Nasrani yang tidak akan rela terhadap Islam. Bagaimana para ulama menafsirkannya? Berikut uraiannya.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ.

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS al-Baqarah Ayat 120)

Surat Al-Baqarah Ayat 120 ini termasuk yang paling banyak disalahpahami sehingga sering menjadi ‘batu sandungan’ dalam membangun hubungan ukhuwah wataniyah (sebangsa) maupun insaniyah (kemanusiaan) antara kaum muslim dengan non-muslim, khususnya yang beragama Yahudi dan Nasrani.

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Poin pertama dan yang utama harus disampaikan sebagai klarifikasi adalah, bahwa ayat ini turun menggunakan redaksi “ka” (kamu/engkau), sehingga berlaku khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nadirsyah Hosen, yang mengatakan bahwa ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua umat Islam dan ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani juga tidak ditujukan secara general kepada agama Islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah terbatas pada mereka yang ada saat ayat tersebut diturunkan.

Poin kedua yang perlu disampaikan berkaitan dengan ayat tersebut adalah, ulama berbeda pendapat mengenai tafsir millah dalam ayat itu. Imam al-Thabari mengartikan millah dengan agama. Ini lah arti yang kemudian banyak dipakai dalam terjemahan Alquran bahasa Indonesia. Sedangkan Imam al-Baghawi mengartikannya sebagai ‘jalan’. Ini berarti orang Yahudi dan Nasrani mengharapkan agar Nabi mengikuti jalan pemikiran mereka.

Dalam menafsirkan Surat Al-Baqarah Ayat 120 ini, Imam al-Thabari menyatakan bahwa Nabi Muhammad diminta fokus berhadap keridhaan Allah, dan tidak dibuat pusing dengan ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani. Kerelaan keduanya tidak mungkin diraih secara bersamaan, karena antara mereka sendiri tidak saling cocok, keberpihakan pada salah satu akan memunculkan resistensi dari yang lain. Cukuplah Nabi mendakwahkan kepada mereka tentang kasih sayang yang menjadi jalan Islam.

Hal ini senada dengan Quraish Shihab yang dalam tafsirnya menyatakan, “Janganlah kamu menyusahkan dirimu demi memuaskan para pembangkang dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi rela. Sungguh mereka itu tidak akan merelakanmu sehingga kamu mau menjadi pengikut mereka. Katakan kepada mereka, “Tidak ada yang lebih benar daripada petunjuk yang diturunkan Allah dalam Islam.”

Sementara Ibn Abbas dalam asbab nuzulnya menyampaikan, bahwa ayat ini turun dalam kasus saat Yahudi Madinah dan Nasrani Najran menghadap Nabi meminta agar beliau salat mengahadap kiblat mereka (Baitul Maqdis). Padahal Allah telah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah di Mekah. Maka turunlah ayat ini. Karena itu Ibn Abbas menyampaikan bahwa yang tidak rela dengan Nabi sampai Nabi mengikuti mereka adalah hanya Yahudi Madinah dan Nasrani Najran yang ada pada saat itu, saat perubahan arah kiblat, bukan Yahudi dan Nasrani secara keseluruhan, termasuk yang hidup pada hari ini.

Dari ulasan dan komparasi pendapat para mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut berbicara khusus kepada Nabi dan dalam konteks yang khusus, yaitu pemindahan kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Dengan demikian tidak ada alasan untuk terus menaruh kecurigaan secara general terhadap mereka yang berbeda agama. Nabi pun selama hidupnya harmonis dengan komunitas non-muslim baik di Mekah maupun Madinah, bahkan dikelilingi orang-orang terdekatnya yang beragam latarbelakang suku dan agamanya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

0
arti kata tagut
arti kata tagut

Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 256. Lebih spesifik menerangkan soal arti kata tagut yang seringkali dikutip oleh sebagian kelompok untuk mengkafirkan sebagian yang lain. Berikut adalah penafsiran Surat Al-Baqarah ayat 256 menurut para ulama.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada “tagut” dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah Ayat 256)

Potongan ayat di atas, terutama arti kata tagut, sering dijadikan dasar keharusan mengkafirkan tagut, yang dimaknai sebagai otoritas kekuasaan selain Allah. Secara spesifik yang dimaksudkan adalah sistem dan pemerintahan sebuah Negara. Kekafiran kepada tagut bagi mereka sangat prinsip, sampai-sampai ditempatkan di atas dan sebelum keimanan kepada Allah SWT.

Dari konsep dan arti kata tagut yang seperti itu lah lahir konsep-konsep turunan seperti ansor al-taghut (penolong tagut) yang disematkan kepada TNI-Polri dan ASN. Lahir pula label kafir, musyrik, murtad, jahiliyah, hijrah, jihad, al-wala wa al-bara (demarkasi kawan dan lawan), hakimiyah (keharusan berhukum dengan hukum Allah), tauhid, khilafah/daulah, dst.

Konsep dan arti kata tagut ini tentu saja mengandung kejanggalan, simplistik, politis dan ekstrim. Dan berdasarkan penelusuran penulis, konsep yang janggal tersebut bersumber dari karangan Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Salafi-Wahabi) yang menyatakan bahwa tagut adalah iblis dan manusia, yang ingin disembah dan dikultuskan, serta manusia yang bersandar pada hukum selain hukum Allah.

Adapun para ulama yang sebenarnya menjelaskan arti kata tagut secara beragam. Tagut yang disebut sebanyak delapan kali dalam Alquran, yakni dalam QS al-Baqarah: 256, 257; QS al-Nisa’: 51, 60, 76; QS al-Maidah: 60; QS al-Nahl: 36; dan QS al-Zumar: 17, secara bahasa berarti melampaui batas (jawaza al-had), tindakan apa pun yang melewati batas dapat dikatakan tagut secara lughawi (lihat: Raghib al-Asfahani dalam Mufradat al-Quran).

Dalam Lisan al-Arab, Ibn al-Manzur menyatakan bahwa arti kata tagut adalah penyihir (sahir), dukun (kahin) dan berhala. Sementara Ath-Thabari dalam tafsirnya secara spesifik mengatakan tagut dalam Al-Quran merujuk pada pribadi Ka’ab al-Asyraf dan Huyay bin al-Akhtab. Sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan tagut dalam al-Manar sebagai kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai hati dan pikiran manusia.

Ini mirip dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Asad yang menerjemahkan tagut sebagai powers of evil, yaitu dorongan negatif dalam diri manusia yang dapat menjerumuskannya dalam kehancuran. Sementara Quraish Shihab menafsiri tagut dengan segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada ulama tafsir yang menafsiri kata tagut dalam Alquran dengan sebuah sistem negara (semisal Pancasila, UUD 1945, NKRI), apalagi pemerintahan maupun individu di dalamnya. Tidak ada pula ulama yang memasukkan kekufuran pada tagut ke dalam bagian akidah, karena tidak ada dalil qat’i baik dari Alquran maupun hadis mengenai hal tersebut.

Ragam penafsiran ulama di atas juga sekaligus menegaskan bahwa negeri ini sama sekali tidak terkait dengan tagut, karena sistem pemerintahannya tidak melampaui batas. Ajaran Islam bahkan diakomodir, terbukti dengan adanya Kementerian Agama, BAZNAS, Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengadilan agama, perbankan syariah, dst. Nilai-nilai Islam juga menjiwai dasar negara sebagaimana sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan pengejawantahan tauhid.

Di sisi lain, apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab tentang tagut di atas, mempunyai konsekuensi yang serius, karena begitu dia dan pengikutnya mengkafirkan sistem dan aparatur pemerintahan (TNI-Polri dan ASN), beserta masyarakatnya, maka berarti menghancurkan negara tersebut adalah legal dan darah rakyatnya menjadi halal, karena dianggap telah keluar dari Islam. Ini tentu sangat jauh dari tuntunan Nabi SAW yang welas asih dan rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan mengenai tafsir QS al-Baqarah ayat 256 di atas adalah bahwa ulama memaknai tagut secara beragam, ada yang menafsirinya sebagai dukun atau sihir, dorongan negatif yang dapat menjerumuskan manusia, dan sesuatu yang mematikan akal.

Tidak ada satu pun ulama yang mengaitkan tagut dengan sistem atau pemerintah sebuah negara. Ulama juga sepakat bahwa tagut secara bahasa adalah melampaui batas, sehingga siapa yang berfikir ekstrim dan bertindak melampaui batas dengan menganggap di luar kelompoknya adalah salah dan kafir, maka dia lah tagut yang sesungguhnya. Wa al-‘iyadz billah.

Tafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?

0
Bersikap Keras Kepada non-Muslim
Benarkah Bersikap Keras Kepada non-Muslim

Bersikap keras kepada non-Muslim dianggap bagian dari sikap seorang Muslim sejati. Pemahaman seperti ini jelas menyalahi ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang. Lalu benahkah harus bersikap keras kepada non-Muslim? Artikel ini akan menafsirkan Q.S al-Fath ayat 29 yang sering dijadikan argumentasi untuk itu. Allah Swt berfirman:

    … مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap kuffar, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka …” (QS. al-Fath [48]: 29)

Potongan ayat ke-29 dari Alquran surah al-Fath tersebut kerap kali dijadikan sebagai legitimasi untuk bersikap keras dan membenci orang yang berbeda agama, meskipun dia berbuat baik atau tidak mengganggu, dan sebaliknya memaklumi setiap perilaku orang yang se-agama, meskipun dia keliru dan melampaui batas.

Hal tersebut tentu saja meresahkan dan amat terasa janggal bagi kita yang ingat bahwa visi agama Islam adalah merahmati semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) bukan terbatas manusia yang muslim, apalagi kita hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang asasnya adalah Bhineka Tunggal Ika, warganya terdiri dari beragam suku dan agama. Pemahaman atas ayat tersebut sebagaimana di atas, dapat berpotensi merusak persaudaraan sebangsa dan se-tanah air (ukhuwah wataniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).

Bagaimana sebenarnya tafsir ayat tersebut? Yang pertama harus kita ketahui adalah bahwa ayat tersebut turun dalam situasi konfrontasi dan ketegangan, bukan dalam kondisi damai, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW dihalang-halangi untuk beribadah haji oleh kaum Quraisy, yang kemudian melahirkan Suluh (perjanjian damai) Hudaybiyah. Sesuai kaidah, masing-masing ayat harus lah didudukkan dalam proporsi dan konteksnya masing-masing, karena Alquran tidak turun dalam ruang yang hampa, melainkan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat di saat turunnya. Maka tidak boleh memaksakan ayat yang turun dalam kondisi perang untuk diterapkan dalam kondisi damai.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Ini Dalilnya dalam Al-Quran

Kemudian mari kita lihat beberapa penafsiran ulama atas QS al-Fath ayat 29 tersebut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk para sahabat yang mengalami peristiwa Hudaybiyah. Yang dimaksud dengan orang yang membersamai Muhammad adalah Abu Bakar, yang keras pembelaannya terhadap Rasulullah adalah Umar bin Khattab, yang berkasih sayang dengan sesama mereka adalah Usman bin Affan, sedangkan yang ruku dan sujud adalah Ali bin Abi Thalib. Penafsiran yang sama juga disampaikan oleh al-Baghawi dalam Tafsir Ma’alaim al-Tanzil, al-Samarqandi dalam Tafsir Bahrul Ulum dan al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ayat tersebut tidak berlaku umum, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa Hudaybiyah tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar men-generalisir dan menjadikannya sebagai sikap umum seorang muslim kepada kepada saudaranya yang non-muslim.

Fakta penting yang perlu dikemukakan dari peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tersebut juga adalah, bahwa ketika ayat tersebut disampaikan oleh Rasulullah, justru saat itu beliau sedang mengupayakan perdamaian dan berkompromi dengan orang-orang kuffar Quraisy dalam Suluh Hudaybiyah, bukan sedang bersikap keras atau kaku terhadap mereka. Bahkan ketika Rasulullah mampu melakukan pembalasan terhadap orang-orang Quraisy, yaitu saat penaklukan Kota Mekah (fath makkah), alih-alih balas dendam Nabi justru memperlihatkan akhlaknya yang mulia, dengan memberikan pengampunan dan pemaafan secara besar-besaran.

Dari keterangan-keterangan tersebut di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, pemaknaan yang tekstual terhadap QS al-Fath ayat 29 sebagai pembenaran bersikap keras terhadap non-muslim karena ketidak islaman-nya. Selain menyalahi asbab al-nuzul dan menyalahi visi rahmatan lil ‘alamin, juga menyalahi tuntunan ayat lain (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).

Bersikap keras kepada non-Muslim tentu menyalahi praktek hidup sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah yang hidup harmoni dengan orang-orang non-muslim di sekitarnya. Bahkan dengan lingkaran terdekatnya, seperti asisten rumah tangga beliau, Abdul Quddus yang seorang Yahudi, asisten perjalanan beliau, Abdullah bin Uraiqit yang seorang penyembah berhala, dan masih banyak yang lainnya.

Sampai di sini, rasanya kita perlu introspeksi, sejauh mana peneladanan kita terhadap akhlak Rasulullah yang mulia? Dan sampai kapan kita akan terus mencitrakan diri sebagai umat yang ‘ngamukan’? Allah yahdina ila sawai al-sabil…

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 207: Ajaran Bom Bunuh Diri?

0
Surat Al-Baqarah Ayat 207
Surat Al-Baqarah Ayat 207

Sebagian oknum teroris yang mempraktikkan bom bunuh diri menjadikan Surat Al-Baqarah Ayat 207 untuk melegitimasi kelompoknya dalam hal tindakan teror. Hal ini tentu saja salah sepenuhnya. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan bagaimana penafsiran yang tepat menurut para ulama terkait Surat Al-Baqarah ayat 207. Ayat ini berbunyi:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang merelakan kepentingan dirinya untuk mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Surat al-Baqarah ayat 207).

Surat al-Baqarah Ayat 207 di atas cukup populer, khususnya di kalangan Sufi, sebagai dasar pengahambaan diri kepada Allah dalam rangka mencari dan mengharap ridha-Nya.

Namun siapa sangka ayat mulia nan suci tersebut ternyata telah dinodai oleh kalangan radikalis dan teroris. Mereka menjadikan ayat itu sebagai dasar untuk membenci dan menyerang sesama makhluk Allah. Parahnya, sampai dijadikan dasar legitimasi bom bunuh diri! Kita bisa melihat hal tersebut dalam materi doktrin kelompok radikalis dan teroris.

Dalam beberapa peristiwa pengeboman bunuh diri, pelakunya juga meyakini ayat tersebut sebagai dalil bom bunuh diri. Bahkan dipropagandakan ke masyarakat luas melalui media sosial setiap kali terjadi peristiwa, dengan tujuan membenarkan bom bunuh diri.

Bagaimana sebenarnya penafsiran ayat tersebut? Untuk melihat lebih obyektif tafsir ayat tersebut, mari kita baca terlebih dahulu asbab nuzulnya. Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Said bin Musayyab dan beberapa sahabat memberikan keterangan bahwa, ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, yang akan mengikuti Nabi SAW berhijrah ke Madinah.

Oleh orang-orang Quraisy ia dilarang berhijrah dengan membawa kekayaannya. Suhaib tidak mengindahkan larangan orang-orang Quraisy itu bahkan dengan segala senang hati dan penuh keikhlasan ia menyerahkan semua kekayaannya asal ia dibolehkan berhijrah ke Madinah, maka turunlah ayat tersebut. Setelah itu Sayyidina Umar bin Khattab beserta beberapa orang sahabat pergi menemui Suhaib dan berkata, “Daganganmu benar-benar beruntung.”

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Demikian lah hendaknya setiap orang yang berjuang di jalan Allah. Ia harus berani mengorbankan apa yang ada padanya, baik tenaga maupun harta, demi tercapainya perjuangan, sebagai cerminan iman dan takwa yang ada di dalam hati masing-masing.

Dari kisah asbab nuzul atau konteks turunnya ayat tersebut, diketahui tidak ada kaitan sama sekali antara QS al-Baqarah 207 ini, dengan kekonyolan mengorbankan nyawa diri sendiri maupun orang lain. Begitu juga dari segi Munasabah (keterkaitan runtutan ayat).

Dilihat dari segi Munasabah-nya, ayat tersebut hendak menerangkan perbedaan antara orang munafik dan orang beriman. Sebagaimana ditulis dalam Tafsir al-Misbah, alangkah jauh perbedaan antara orang-orang munafik itu dengan orang-orang Mukmin, yaitu mereka yang tulus berupaya untuk mendapatkan ridla Allah serta memperjuangkan kebenaran. Sikap ini sangat berbeda dengan orang munafik yang hanya berpura-pura.

Cocokologi Surat al-Baqarah Ayat 207 dengan bom bunuh diri juga tertolak ketika meninjau ayat-ayat yang lain yang lebih sarih (tegas dan jelas). Misalnya:

  • al-Nisa [4] ayat 29:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

  • al-Baqarah [2] ayat 195:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

  • al-Isra [17] ayat 33:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”

  • al-Maidah [5] ayat 32:

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Dalam memahami ayat-ayat tersebut, para ulama menjelaskan bahwa, pertama, Allah melarang membunuh diri sendiri dan orang lain, karena asas yang dibangun Islam adalah persatuan umat, saling membantu dan menolong satu sama lain. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis bahwa, tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kedua, jika membunuh orang lain dilarang, maka membunuh diri sendiri (intihar), termasuk bom diri, juga dilarang.

Selain dilarang oleh Alquran, bunuh diri juga dilarang oleh hadis Nabi. Sebagaimana dalam riwayat Bukhari dan Muslim: “Siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” Juga dalam sabdanya yang lain:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا.  وَمَنْ شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا. وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا. (رواه مسلم)

“Siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya menikam perutnya di neraka Jahanam, selama-lamanya. Siapa yang minum racun, sehingga ia membunuh dirinya, maka ia akan meminumnya di dalam neraka Jahanam, selama-lamanya. Dan siapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga membunuh dirinya, maka ia akan menjatuhkan dirinya di dalam neraka Jahanam, selama-lamanya.” (HR. Muslim).

Pada intinya, Islam amat melindungi dan menjamin keamanan dan keselamatan manusia secara keseluruhan, baik muslim maupun non-muslim, baik diri sendiri maupun orang lain (la darara wa la dirara). Mencederai fisik, apalagi menghilangkan nyawa, merupakan bentuk kekufuran kepada Allah Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Karena itu menjadikan Surat al-Baqarah ayat 207 sebagai dasar bom bunuh diri merupakan sebuah penodaan terhadap Alquran dan kekeliruan yang fatal. Perjuangan meraih ridla Allah bukan dengan kebencian apalagi penyerangan, tetapi harus dilakukan dengan totalitas pelayanan kepada semua makhluk (rahmatan lil ‘alamin), kita harus menyayangi dan menghormati semua makhluk karena menghormati pencipta-Nya. Perjuangan mencari ridla Allah juga harus dilakukan dengan cara-cara yang diridlai-Nya, bukan dengan bunuh diri, yang malah akan mengundang murka-Nya.

Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

0

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ () خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ () اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ () الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan pena.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-4)

Setiap kosakata Alquran selalu menyimpan makna yang luas lagi dalam. Sebuah karya tafsir yang ditulis oleh manusia tidak akan mampu menjangkau keseluruhan makna atau merepresentasikan Alquran, apalagi hanya sekedar terjemah. Termasuk kosakata “Iqra” yang merupakan wahyu pertama yang Allah SWT turunkan kepada Nabi terakhir-Nya. Di sini lah pentingnya, selalu menanamkan kesadaran bahwa tafsir, apalagi terjemah, bukan lah Alquran itu sendiri, dan tentu saja tidak sama kedudukannya.

Mengenai luasnya samudera makna Alquran, Prof. Nasaruddin Umar dalam perkuliahan yang penulis ikuti, sering mencontohkannya dengan makna kalimat Iqra, yang menurutnya mempunyai empat lapis makna:

Pertama yaitu, how to read. Ini menyangkut pembacaan terhadap ayat-ayat Alquran secara baik dan benar. Meski tidak mengetahui artinya. Namun tetap mendapat pahala. Hal ini karena membaca Alquran mempunyai nilai ibadah tersendiri. Sebagaimana pengertian Alquran yang didefinisikan oleh para ulama:

كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ.

“(Alquran yaitu) kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW. Lafalnya mengandung mukjizat. Membacanya adalah ibadah. Diriwayatkan secara mutawatir. Dan tertulis dalam mushaf, mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas.” (al-Madkhal li Dirasat al-Quran, hlm 20).

Kedua yaitu, how to learn. Makna ini menyangkut pendalaman Alquran dengan mengetahui arti kosakata dan tafsir, bahkan takwilnya.

Ketiga yaitu, how to understand. Merupakan tingkat lanjutan dari lapis makna sebelumnya, yaitu bagaimana pengahayatan terhadap Alquran. Ini bersifat emosional dan spiritual, sehingga bukan hanya sang pembaca yang menafsiri dan mengajak Alquran berbicara, tapi Alquran lah yang membuka makna dirinya.

Keempat yaitu mukasyafah. Ini merupakan makna yang terakhir, berupa penyingkapan tabir-tabir dalam Alquran, sehingga bisa disibak bukan hanya makna yang tersurat, tapi juga makna-makna yang tersirat.

Dengan demikian, pembacaan umat Islam terhadap Alquran semestinya tidak hanya fokus kepada tahfiz atau tilawah saja, namun yang lebih penting daripada itu adalah memahami dan menggali makna substansi Alquran supaya sampai kepada tujuan Allah menurunkan Alquran, dan tuntunannya menjadi aplikatif dalam kehidupan serta membumi.

Peradaban Iqra dan Qalam; Membaca dan Menulis

Sebagaimana termaktub dalam ayat 1 dan 2 Surah al-‘Alaq, ada dua kata kunci yaitu “Iqra” yang menjadi dasar membaca dan “Qalam” yang menjadi dasar menulis. Ini menunjukkan pentingnya aktivitas penggabungan antara keduanya. Membaca sangat erat kaitannya dengan menulis.

Ini diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Prof Quraish Shihab, bahwa pasca turunnya kelima ayat dalam Surah al-‘Alaq, Allah kemudian menurunkan ayat, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qalam [68]: 1). Ini menunjukkan betapa eratnya kaitan antara “Iqra” dan “Qalam” dan betapa pentingnya menulis, di samping membaca. Kedua ayat ini turun beriringan, meski urutannya dalam mushaf tidak berdampingan.

Pemaknaan, penghayatan, dan aktualisasi “Iqra” yang digabungkan dengan “Qalam” ini lah yang telah mengantarkan umat Islam di masa lalu menuju puncak kejayaannya. Yaitu era di mana ilmu pengetahuan begitu dihargai dan riset serta penulisan digalakkan, melahirkan banyak maha karya, tanpa ada dikotomi dan pembatasan terhadap obyek materinya, seperti saat Allah memerintahkan “Iqra” yang juga umum tanpa menyebut obyeknya. Sehingga lahir para ilmuwan Islam yang generalis, tidak hanya mengetahui ilmu syariah atau bidang tertentu saja, tapi juga ahli dalam bidang-bidang lainnya.

Jika dua prasyarat ini direvitalisasi, bukan tidak mungkin umat Islam akan kembali menaiki puncak peradabannya, yaitu peradaban manusia yang berbasis Alquran. Wallahu a’lam bi muradih

Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

0

Pada umumnya, ketika seseorang baru menikah rasa cinta masih sangat erat, hubungan sangat harmonis, kesana-kemari bersama-sama, seakan dunia milik berdua. Seiring berjalannya waktu dengan keadaan silih berganti, sebagian pasangan bisa saja merasa bosan, capek, atau rasa cinta pada pasangan menjadi berkurang. Bahkan, terkadang perasaan sebagian pasangan berangsur menghilang. Na’udzubillahi min dzalik

Rasa cinta, kasih, dan sayang yang semakin berkurang secara psikologi, diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya; kurangnya komunikasi antara suami-istri yang mengakibatkan kesalahpahaman. Juga, realitas kehidupan pasca menikah tidak sesuai dengan impian sebelum pernikahan, seperti kesibukan yang membuat kurangnya keintiman dalam rumahtangga, kebiasaan yang dikurang disukai dari pasangan, dan beberapa hal lainnya.

Sedangkan, secara spiritual rasa cinta yang semakin berkurang disebabkan karena hubungan suami atau istri kepada Tuhan semakin menjauh. Sampai akhirnya, cinta dan kasih sayang Allah jauh dari rumah tangga mereka.

Menjaga rasa cinta, kasih dna sayang dalam rumah tangga, butuh yang namanya penguatan doa. Salah satu doa yang digadang-gadang sebagai penguat rasa cinta suami dan istri adalah surat Ali Imran ayat 31 yang berbunyi:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Lantas mengapa ayat ini digadang-gadang sebagai ayat untuk mempererat ikatan suami-istri? Bagaimana tafsir ayat 31 dari surat Ali Imran ini?

Sebelum menilik pada penafsiran beberapa mufassir, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas bagaimana asbab al-nuzul  ayat tersebut. Turunnya surat Ali Imran ayat 31 ini berkaitan dengan sekelompok (kelompok orang Yahudi -ada yang bilang adalah Ka’ab bin Asyraf dan pengikutnya) pada masa Nabi Muhammad yang mengaku mencintai Allah. Mereka bersumpah bahwa mereka mencintai Tuhan, dan mereka merasa bahwa mereka adalah anak Tuhan, dan Kekasih-Nya. Ketika itu Allah langsung menurunkan ayat 31 ini.

Secara tidak langsung, ayat ini merupakan teguran keras kepada orang-orang yang mengakui mencintai Allah akan tetapi tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad. Teguran bagi orang yang mengaku cinta, tapi lisan dan perbuatannya melakukan hal yang tidak disukai Allah.

Gerbang Awal untuk Dapat Dikatakan Cinta Allah

Ayat ini berbicara mengenai -Jika kau mencitai Allah maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), artinya mengakui kerasulan Nabi Muhammad adalah gerbang awal untuk dapat dikatakan mencintai Allah. Al-Maraghi mengatakan, konsekuensi untuk mencitai Allah adalah keharusan hamba mengakui kerasulan Nabi Muhammad.

Cinta sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Allah berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku maka telah Ku-umumkan perang atasnya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-sukai daripada melakukan apa yang Ku-fardhukan. Seseorang yang berusaha terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah, pada akhirnya Aku mencintai-Nya, dan kalau Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya aku melihat, tangannya yang dengannya dia bertindak, serta kakinya yang dengannya ia melangkah. Apabila ia memohon kepada-Ku, akan Ku-kabulkan dan apabila dia meminta perlindungan, pasti dia Kulindungi.” (HR.Bukhari)

Quraish Shihab mengatakan, cinta manusia kepada Allah adalah kualitas yang mengejewantahkan pada diri seorang yang beriman hingga menghasilkan ketaatan kepada-Nya, penghormatan, penanggungan. Sampai, pada tingkat ia lebih mementingkan-Nya dari selain-Nya.

Seseorang yang mencintai Tuhannya akan merasa tidak sabar dan resah untuk tidak memandang dan memenuhi kehendak-Nya, tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya. Puncaknya adalah ketika ia menyebut-nyebut (dzikir) sembari memandangkeindahan dan kebesaran-Nya. Mengutip ungkapan Al-Qusyairi mengenai cinta kepada Allah, “mementingkan kekasih daripada sahabat.” Maksudnya, mendahulukan keridhaan Kekasih- Allah, daripada yang lain, dan ego yang bertentangan dengan kehendak-Nya.

Meski makna cinta masih diperselisihkan, Quraish Shihab memberikan defenisi yang menarik mengenai hakikat cinta yang mengutip dari perkataan sebagian sufi. Cinta adalah dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah. Semua keadaan dan peringkat yang dialami oleh pejalan (maqam) adalah tingkatan cinta  kepada Allah. Ia tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.

Cinta Allah dan Rasul Jalan Perekat Cinta Suami-Istri

Ketika cinta kepada Allah dan Rasul telah paripurna, maka cinta makhluk padanya pun akan paripurna. Orang-orang disekitarnya akan cinta dan sayang padanya, dalam hal ini adalah pasangan. Hubungan akan senantiasa diberkahi, dan didamaikan. Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.

Cinta berbalas cinta dari Allah, curahannya akan berkah, dan penuh anugerah-Nya. Anugerah Allah tidak terbatas, karunia-Nya pun juga tidak terbatas. Limpahan karunia-Nya disesuaikan pada kadar cinta manusia kepada-Nya. Setidaknya, pengampunan dosa serta curahan Rahmat-Nya untuk manusia.

Terakhir, lantas bagaimana surat Ali Imran ayat 31 menjadi ajimat penguat hubungan suami-istri? Menurut penulis, sebagaimana seseorang yang mengatakan cinta dan kedekatan antara suami dan istri dapat digambarkan dengan sebuah bentuk segitiga sama sisi. Jika suami dan istri berada di dua sisi kaki segitiga tersebut, maka Allah berada pada puncak segitiga itu. Semakin mendekat titik suami-istri pada puncak segitiga, maka kedekatan suami-istri juga akan semakin dekat. Sebaliknya jika titik suami-istri berada jauh hingga dasar segitiga, maka kedekatan titik suami-istri semakin jauh.

Gambaran tersebut, menjelaskan bahwa pentingnya kedekatan suami-istri pada Tuhannya. Cinta kedua suami-istri akan semakin erat ketika mereka mencintai Tuhannya. Semakin sekat keduanya pada Allah, maka akan semakin erat hubungan keduanya. Mencintai Allah, mendekat pada-Nya dengan mengikuti ajaran Rasul -mengakui kerasulan Nabi Muhammad, dan mencintainya.

Wallahua’lam

Mengenal Pengertian Al Quran

0

Kata Alquran bagi umat muslim sangat dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari ayat-ayat Alquran dapat dengan mudah didengarkan dalam format dan sumber yang beragam. Tetapi sudahkah kita mengetahui apa makna dan pengertian Alquran? Jika belum, maka penulis akan sedikit mengulas makna dan definisi Alquran menurut para ulama dalam disiplin ilmu-ilmu Alquran (Ulum al-Qur’an).

Sebelum kita membahas makna dan pengertian Alquran ini, ada satu pertanyaan yang penting dimunculkan: apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata Alquran? Pertanyaan ini coba penulis tanyakan ke pengikut instagram, jawabannya beragam, ada yang mengatakan kitab suci umat Islam, pedoman hidup umat Islam, Surat Al-fatihah, dan ada juga yang menjawab Kalam Allah. Semua jawaban ini benar adanya dan dapat mewakili pengertian Alquran. Akan tetapi, pengetahuan umum saja tidak cukup. Untuk dapat mengenal Alquran lebih dekat kita perlu menelisik lebih jauh definisinya menurut para ulama.

Dalam buku Ulumul Quran seperti al-Burhan fi ‘Ulum Alquran karya Badruddin al-Zarkayi dan al-Itqan fi ‘Ulum Alquran karya Jalaluddin al-Suyuthi, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul atau akar kata dari Alquran. Sebagian ulama berpendapat kata Alquran tidak memiliki akar kata, ia merupakan nama khusus yang disematkan untuk menyebut Kalam Allah Swt. Namun sebagian lain memandang kata Alquran berasal dari kata al-qaraa (القرى) yang artinya mengumpulkan (al-jam’u). Makna “mengumpulkan” ini berdasarkan keyakinan bahwa al-Quran mengumpulkan intisari dari kitab-kitab suci terdahulu.

Berbeda dengan al-Zarkasyi maupun al-Suyuthi, Abdul Azhim al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-‘Irfan berpandangan bahwa kata Alquran berakar dari kata qara’a yang artinya “membaca”. Bila merujuk makna ini, maka Alquran berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). Al-Zarqani melandaskan pendapat ini pada Q.S al-Qiyamah ayat 17-18:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”

Menurut al-Zarqani pendapat yang menyebutkan Alquran berasal dari kata al-qaraa atau al-qar’u berdasarkan pelafalan orang Arab Hijaz dulu yang membaca Alquran dengan al-Quraan (tanpa hamzah). Padahal bagi al-Zarqani pelafalan yang membuang huruf hamzah ini hanya kebiasaan saja (li al-takhfif), pada hakikatnya tetap menggunakan hamzah. Senada dengan al-Zarqani, Taufik Adnan Amal juga berpandangan bahwa penghilangan hamzah pada kata Alquran merupakan karakteristik pelafalan dialek Mekah atau Hijazi, dan juga terdapat pada karakter penulisan aksara kufi awal yang tidak memakai hamzah.

Penulis sendiri cenderung sepakat dengan pendapat terakhir yang mengatakan bahwa Alquran secara etimologi berasal dari kata qara’a yang artinya bacaan. Selain karena didasarkan pada ayat al-Quran sendiri, pada dasarnya makna bacaan lebih lekat dan memotivasi kita untuk terus menerus menjadikan Alquran sebagai bacaan yang diresapi maknanya dan diimplementasikan pesan-pesannya.

Lalu bagaimana Alquran didefinisikan dari segi terminologi? Kita bisa mendapat jawabannya dari penjelasan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dari sekian definisi yang diuraikan al-Jabiri, penulis cenderung memilih definisi sebagai berikut:

القرآن هو كلام الله تعالى المنزل على خاتم أنبيائه محمد المكتوب في المصحف المنقؤل إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المتحدى بإعجاءه

“Alquran adalah Kalam Allah Swt yang diturunkan kepada penghujung para Nabi, Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, ditransmisikan secara mutawatir, menjadi ibadah dengan membacanya, dan menjadi penentang/penguat dengan kemukjizatannya.”

Mari kita bahas satu per satu definisi yang sekiranya tidak dapat langsung dipahami di atas. Pertama, yang ditulis dalam mushaf, maksudnya apa? Selain dihafal dalam memori para sahabat, sejak awal Alquran telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk dituliskan melalui berbagai media: pelepah kurma, tulang unta, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa Alquran secara historis telah dijaga keotentikannya bahkan segera setelah wahyu diterima Nabi Saw. Kemudian segera setelah Nabi Saw wafat, para sahabat bersepakat untuk mengumpulkan Alquran ke dalam satu mushaf. Untuk penjelasan lebih detail soal sejarah penulisan Alquran baik dari segi tulisannya (khat) hingga sekarang bisa dicetak, diterbitkan, ada lembaga tashih yang ikut menjaga kemurnian al-Quran dan lain sebagainya akan dibahas pada topik tersendiri.

Kedua, ditransmisikan secara mutawatir. Istilah Mutawatir lebih akrab dikenal dalam dunia periwayatan hadis. Secara harfiah mutawatir berarti “berturut-turut atau beruntun”, tetapi dalam ilmu hadis istilah ini merujuk pada kriteria kuantitas periwayat hadis yang menandakan sebuah hadis diriwayatkan oleh banyak periwayat. Setidaknya ada empat kriteria menurut Mahmud Thahhan ketika sebuah riwayat dinyatakan mutawatir. Pertama jumlah perawi minimal 10 orang. Kedua jumlah minimal tersebut harus terpenuhi dari setiap generasi periwayat. Ketiga, dengan banyaknya jumlah tersebut sehingga mustahil bagi para periwayat untuk bersepakat bohong. Keempat para perawi menyaksikan langsung dengan panca indera proses transmisinya.

Alquran sudah dapat dipastikan sebagai kitab suci yang mutawatir. Karena sejak awal masa kenabian ia telah menjadi fokus utama Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat. Mereka mencatat, menghafal, mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran Alquran. Dari generasi ke genarsi Alquran terus diajarkan dan dihafal sehingga tidak ada sejarawan yang menyangkal keotentikannya.

Ketiga, menjadi ibadah ketika membacanya. Pada poin inilah Alquran dibedakan dengan hadis qudsi. Meskipun sama-sama diyakini sebagai wahyu Allah secara verbal, Alquran merupakan Firman Allah Swt yang dikhususkan dan menjadi ibadah bagi umat muslim ketika membacanya. Ibadah ini berkait kelindan dengan pahala yang dapat diraih oleh umat muslim terlepas dari paham dan tidaknya mereka dengan apa yang dibaca. Ada banyak riwayat hadis sahih yang menerangkan keutamaan membaca al-Qru’an, satu di antara yang paling populer adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud:

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Kata ‘Abdullah ibn Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).

Keempat, Alquran didefinisikan sebagai penentang dengan kemukjizatannya. Inilah yang paling menonjol dalam Alquran ketika pertama kali ia diwahyukan terutama saat dihadapkan pada orang-orang kafir Quraisy. Kebiasaan Arab yang sangat menghormati syair dan nilai sastra yang tinggi, tidak dapat mengalahkan kesusastraan Alquran yang begitu indah dan penuh dengan nilai moral yang luhur. Tidak ada seorang pun penyair Arab yang mampu menandingi kehebatan dan keagungan bahasa Alquran. Terdapat ayat Alquran yang menantang secara terbuka para penyair untuk membuat semacam Alquran, tetapi mereka tidak mampu. Satu di antaranya Allah berfirman:

 قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah, sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Wallahu A’lam.