Beranda blog Halaman 552

Ulumul Qur’an [1]: Sejarah dan Perkembangannya

0
ulumul quran

Tafsiralquran.id – Lahirnya ‘Ulumul Qur’an begitu lekat dengan proses turunnya Alquran yang dibarengi dengan seputar pertanyaan-pertanyaan dari umat Nabi Muhammad kala itu. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itulah, kajian-kajian seputar Alquran muncul. Keilmuan itulah yang kita kenal dengan ‘Ulumul Qur’an.

Seperti yang dikutip oleh Imam Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Ia mengutip pendapat al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi –atau yang lebih dikenal dengan Ibnu al-‘Arabi- yang disebutkan dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, bahwa ‘Ulumul Qur’an itu terdiri dari 50 pengetahuan, 7.400 pengetahuan atau bahkan 70.000 pengetahuan, atas bilangan kalimat Alquran yang terbagi dalam 4 bagian.

Sebagian ulama salaf berkomentar, bahwa di setiap kalimat ada yang dzahir dan bathin, ada juga yang had dan muqathi’. Dan ini, tidak terbatas pada susunan kalimat atau korelasi di antaranya. Dan, tidak ada perhitungan dan pengetahuan selain Allah.

Tersistematisnya kajian keilmuan yang ada dalam ‘Ulumul Qur’an seperti sekarang ini, bukan satu hal yang langsung begitu saja. Artinya, kelimuan tersebut ada melalui proses sejarah yang cukup panjang. Sebagaimana yang diterangkan oleh Ayatullah Muhammad Baqir Hakim dalam karyanya ‘Ulumul Qur’an. Dalam potret sejarahnya, semenjak pada zaman Nabi Muhammad Saw., ilmu-ilmu Alquran –seperti yang kita ketahui saat ini, hanya saja belum dibakukan- semacam itu diajarkan dengan metode talqin atau didektekan secara lisan.

Pembelajaran yang demikian berlangsung cukup lama, hingga Nabi Muhammad Saw. wafat dan ajaran Islam tersebut luas. Dari sinilah kemudian timbul satu kekhawatiran, jika keilmuan-keilmuan dalam Alquran akan hilang. Di samping itu, penyampaian secara lisan dirasa sudah tidak lagi bisa mengatasi.

Ditambah lagi, seiring dengan bertambahnya masa, jarak kehidupan antara Nabi Muhammad Saw. dengan umat semakin jauh. Dan, Islam semakin berinteraksi dengan berbagai bahasa. Atas dasar kegelisahan itulah, perlu adanya pembaharuan untuk mendokumentasikan kajian ilmu-ilmu ke-Alquran-an. Hal ini, tidak lain untuk mengabadikan serta memeliharanya dari pemalsuan dan penyimpangan. Kegelisahan seperti itu, sebenarnya sudah ada dalam benak Imam ‘Ali bin Abi Thalib. Ia berinisiatif untuk mengumpulkan lembaraan-lembaran Alquran yang berceceran.

Dalam kitab yang ditulis oleh Ibnu Nadim, yakni al-Fihrits diceritakan bahwa di saat Nabi Muhammad Saw. wafat, Imam ‘Ali berjanji tidak akan menanggalkan surbannya yang dikenakan di lehernya, hingga berhasil mengumpulkan lembaran Alquran tersebut. Kemudian, selama tiga hari Imam ‘Ali berdiam diri di rumah. Tak lain untuk mengumpulkan lembaran-lembaran Alquran. []

Tafsir Surah Al Nahl Ayat 125: Metode Dakwah Rasulullah SAW

0
metode dakwah rasul saw

Tafsiralquran.id – Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menyerukan kepada kebaikan (dakwah), agar senantiasa ajaran Islam dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan.  Namun, kesuksesan dakwah diantaranya sangat ditentukan oleh bagaimana dakwah itu dilaksanakan. Maka dari itu metode dakwah merupakan salah satu unsur dakwah yang memiliki peran penting dan strategis untuk keberhasilan dakwah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-Nahl, ayat 125 :

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 

Mayoritas Mufassirin menjelaskan bahwa maksud lafadz Sabili Rabbika adalah al-Islam atau al-Din. Tapi berbeda dengan Ibnu Ajibah yang memaknainya dengan “al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan”, ketiganya  merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dalam agama, sehingga perbedaan tersebut tidak berdampak pada esensi tujuan berdakwah.

Pada ayat tersebut juga disebutkan prinsip umum tentang metode dakwah Islam, yaitu dengan al-Hikmah, al-Mau’idzah al-Hasanah dan al-Mujadalah al-Ahsan.

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, makna al-Hikmah berarti perkataan jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan. Sedangkan makna al-Mauidzah al-Hasanah adalah nasehat dan pelajaran yang baik, serta perkataan yang santun. Dan al-Mujadalah al-Ahsan  adalah etika berdiskusi atau berdebat dengan cara yang santun, ekspresi wajah yang ramah, menggunakan argumentasi yang paling kuat dan pendahuluan yang sudah umum.

Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa al-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, dan berfaedah untuk penetapan akidah atau keyakinan. Sedangkan al-Mauidzah al-Hasanah adalah  petunjuk-petunjuk dan dalil-dalil yang dapat memuaskan. Dan makna al-Mujadalah al-Ahsan adalah berdiskusi dengan dalil-dalil yang benar (diterima).

Ibnu katsir memberi makna al-Hikmah  dengan al-Quran dan Hadits, makna al-Mauidzah al-Hasanah berupa teguran-teguran dan peristiwa-peristiwa yang dapat mengingatkan kepada manusia akan kekuasaan Allah. Dan al-Mujadalah al-Ahsan bermakna diskusi dengan wajah ramah, santun dan perkataan yang baik.

Dari beberapa pemaknaan ahli tafsir tersebut, dapat diambil kesimpulan dari masing-masing metode dakwah Islam. Pertama metode al-Hikmah, yakni penyeruan atau ajakan dengan cara yang bijak, filosofis, argumentatif, sesuai dengan risalah al-Nubuwah dan ajaran al-Quran. Kedua, metode al-Mauidzah al-Hasanah, yakni mengingatkan kepada yang lain berupa pelajaran-pelajaran, peringatan dan motivasi, dan perkataan yang lembut penuh kasih sayang, sehingga dapat memuaskan pendengarnya dan menyentuh sanubari. Ketiga, metode al-Mujadalah al-Ahsan, yakni upaya dakwah melalui bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan, santun, saling menghargai, dan tidak arogan.

Terkait pembagian metode dakwah tersebut, Ibnu Ajibah memberi komentar:

فالأولى:لدعوة خواص الأمة الطالبين للحق. والثانية: لدعوة عوامهم، والثالثة: لدعوة معاندهم

Artinya: “pertama (al-Hikamah) diperuntukkan orang-orang tertentu (mempunyai kapasitas keilmuan) yang mencari kebenaran, kedua (al-Mauidzah al-Hasanah) ditujukan kepada orang-orang awam, dan ketiga (al-Mujadalah al-Ahsan) ditujukan kepada orang yang keras kepala”.

As-Saya’rawi dalam tafsirnya memberikan gambaran dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits dikisahkan: Suatu ketika ada seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku berzina”. Mendengar perkataan tersebut Rasulullah tidak membentak dan menghardiknya, bahkan mendekati, mendidiknya dan dengan tutur kata lembut dan bijak.

Rasulullah kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang menohok sang pemuda.  “Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang lain?” tanya Rasulullah. Pemuda itu langsung menjawab “tidak wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. “Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka”.

Lalu Rasulullah melanjutkan dengan menuturkan satu-persatu dari kerabatnya. Rasulullah juga mendoakan pemuda tersebut agar dirahmati Allah swt., dosa-dosanya diampuni, hatinya disucikan, dan dijaga kemaluannya. Sehingga pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah

0
ilustrasi musibah (sumber: kompasiana.com)

Setiap musibah yang datang kepada manusia adalah atas izin Allah SWT. Berangkat dari itu, maka musibah harus disikapi dengan bijaksana dan bersikap sesuai ketentuan Allah. Karena setiap musibah yang menimpa, pasti ada hikmah dari Allah SWT yang bermanfaat untuk semua manusia.

Syekh Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Tafsir Al-Qurtubi, bahwa musibah adalah segala sesuatu yang diderita atau dirasakan oleh mukmin. Dan kata musiibah ini adalah bentuk tunggal, sedangkan jamaknya al-mashaaib. Musibah ini biasanya diucapkan ketika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat baginya. Kata musibah juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk dan tidak dikehendaki.

Allah SWT dalam berkehendak juga tidaklah sia-sia, karena setiap kehendakNya mengandung hikmah yang perlu diteladani, dengan begitu akan menambah kedekatan denganNya. Berikut merupakan QS. al-Hadid [57]: 22-23 yang menjelaskan terkait hikmah dari musibah:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ23

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiaporang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).

Menurut Quraish Shihab pada kitab Tafsir al-Misbah, QS. al-Hahid [57]: 22 menganjurkan untuk tidak terpengaruh dengan gemerlap duniawi, karena sesungguhnya ayat tersebut mengingatkan manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan setan menyangkut dampak negatif berinfak dan berjuang. Sebab tiada suatu bencanapun yang menimpa kamu atau siapapun di bumi, seperti kekeringan, paceklik, longsor, gempa, banjir, dan tidak pula pada dirimu sendiri, seperti penyakit, kemiskinan, kematian, dan lain-lain, melainkan sudah tercatat dalam kitab yakni Lauh Mahfudh.

Maka Allah mengingatkan kepada makhluknya untuk tidak bersikap sombong hingga lupa daratan, begitu pula Allah juga tidak menyukai orang yang berputus asa akibat kegagalan. Karena sesungguhnya musibah itu bisa buruk dan bisa menyenangkan. Jadi QS. al-Hadid [57]: 22-23 ini, menjelaskan hakikat musibah yang bertujuan menempa manusia dan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh.

Dituliskan juga oleh Ibnu Hatim pada karyanya Tafsir al-Quran al- adzim Ibnu Abi Hatim, bahwa seorang Nabi juga pernah mengalami putus asa ketika berdakwah yakni peristiwa nabi Yunus. Kemudian Allah memberiya musibah beliau dengan ditelannya Nabi Yunus oleh ikan Paus yang besar. Selanjutnya Nabi Yunus memohon kepada Allah SWT,berikut doa Nabi Yunus:

اللَّهُمَّ، لَا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَك إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Ya Allah, tidak ada Tuhan melainkan Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang aniaya”

Pendapat lain dari Imam al-Baidhawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari datangnya musibah tidak lain adalah agar manusia tidak sedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki dari genggamannya. Serta tetap bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan padanya makluknya.

Hikmah dari musibah bisa dirasakan jika seorang hamba tetap berhusnudzan kepada Allah SWT, sabar serta tidak meninggalkan rasa syukur ketika memperoleh nikmat ataupun kesulitan hidup. Tetap optimis, yakin bahwa selalu ada hikmah disetiap musibah. Wallahu a’lam.

 
 

Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

0
kaligrafi Surat An-Nahl (Sumber: al-Islam)

Artikel sebelumnya penulis sempat membahas mengenai satu nikmat Allah bagi umat manusia yakni adanya laut yang menjadi sumber kehidupan. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang membahas tafsir QS. An-Nahl [16] ayat 14. Selain laut Allah memberikan banyak karunia bagi manusia seperti keberadaan gunung-gunung, sungai, jalan-jalan dan tanda-tanda lain agar manusia dapat berpikir. Ada pun firman Allah yang membahas nikmat selain laut sebagai berikut:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk” (an-Nahl [16] : 15-16)

Allah swt. mengawali firman-Nya dengan menyebut gunung. Menurut Imam Abu Ja’far al-Tabari pada ayat tersebut terdapar redaksi Rawasi yang merupakan bentuk jamak dari kata Rasiyah yang berarti tetap. Maksudnya, Allah menciptakan gunung di muka bumi agar dapat menciptakan keseimbangan alam sehingga bumi tidak mudah goncang dan makhluk hidup terutama umat manusia dapat hidup dengan nyaman.

Lalu keberadaan sungai-sungai di muka bumi yang mengalir dari satu tempat ke tempat lain bertujuan sebagai sarana penghidupan bagi umat manusia baik sebagai sarana transportasi maupun tempat mencari bahan makanan. Begitu pula adanya penciptaaan jalan-jalan sebagai sarana bagi umat manusia agar mendapat kemudahan dalam bepergian dan melangkah mencari karunia Allah yang ada di bumi. Sehingga pada akhir ayat Allah Swt menjelaskan tujuan penciptaan-Nya agar manusia mendapatkan petunjuk berupa menggunakan potensi akalnya untuk mengelola ciptaan Allah agar tidak tersesat (Muhammad ibn Jarir al-Tabar, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Jilid 4, hal. 508).

Menurut Muhammad Tahir ibn ‘Ashur dalam menafsirkan ayat 15 di atas berkenaan dengan penciptaan jalan-jalan bertujuan untuk memudahkan perjalanan bagi umat manusia di bumi khususnya di daratan serta menjadi sarana transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain. Dengan demikian keberadaan jalan ini pun menjadi cara agar orang-orang tidak tersesat (Muhammad Tahir ibn ‘Ashur, Tafsir al-Tahrir Wa al-Tanwir, Juz 14, hal. 122)

Ayat 16 terdapat redaksi Wa ‘Alamat yang diterjemahkan dengan Dan (dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Menurut Imam ibn ‘Arabi redaksi ‘Alamat dengan mengutip pendapat Qatadah bahwa hal tersebut dimaknai dengan bintang-bintang yang memiliki fungsi sebagai perhiasan langit, petunjuk bagi yang melakukan perjalanan di malam hari dan sebagai alat pelempar setan jika makhluk tersebut menguping pembicaraan. Sementara itu, menurut Mujahid sebagaimana dikutip oleh Imam ibn ‘Arabi bahwa pengertian redaksi ‘Alamat adalah  tanda-tanda berupa perbintangan yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia.

Redaksi selanjutnya yakni Wa Bi an-Najm yang berarti Dan dengan bintang-bintang masih menurut Imam ibn ‘Arabi terdapat tiga pengertian.

Pertama, al-Najm menggunakan bentuk tunggal, namun yang dimaksud adalah kata jamak yakni an-Nujum atau bintang-bintang di langit yang mana untuk mengetahui maksud dari tanda-tanda ini dibutuhkan pengetahuan.

Kedua, redaksi tersebut diterjemahkan dengan al-Thurayya yang berarti gugus bintang (klaster Pleiades). Ketiga bermakna al-Jidy yang berarti rasi bintang Kaprikornus. Semua pengertian ini menandakan bahwasanya nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya adalah perbintangan. Tentu saja untuk mengetahui eksistensi bintang serta cara memahami arah petunjuk dari bintang diperlukan suatu ilmu yang membicarakan hal tersebut. Sehingga seseorang yang menguasai ilmu perbintangan dapat memahami dimana letak terbit dan tenggelamnya juga mengetahui arah mata angin (Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur`an, volume 3, hal. 127-129).

Hemat penulis keberadaan beberapa ciptaan Allah yang ada pada kedua ayat di atas merupakan anugerah dan nikmat besar bagi umat manusia. Dengan adanya ciptaan tersebut manusia dituntut untuk menggunakan akalnya juga potensinya dalam menjaga ciptaan Allah seperti gunung, sungai dan jalan dari semua hal yang mengarah pada kerusakan. Selain itu, eksistensi perbintangan pun merupakan hal yang harus disyukuri karena adanya hal ini menjadikan manusia belajar mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya.

Bintang memang menjadi perhiasan yang tergambar pada langit, namun dengan mempelajari perbintangan, manusia dapat memahami kondisi cuaca juga arah mata angin. Oleh karena itu, salah satu bentuk syukur atas nikmat Allah adalah menggunakan potensi dan akal dalam menjaga serta merawat alam. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 56: Selawat adalah Bentuk Terima kasih

0
Ilustrasi selawat (gambar: pinterest)

Pernahkah kita memiliki perasaan hutang rasa terhadap orang yang telah melakukan banyak kebaikan kepada kita disaat kita sedang dilanda kesusahan, kepedihan atau musibah? Atau orang tersebut melakukan pengorbanan demi kita walaupun berkorban nyawa dan harta, orang tersebut tak memperdulikannya. Prioritasnya adalah kebahagiaan dan kebaikan kita. Semestinya kita akan mengucap terimakasih atas segala kebaikan dan pengorbanannya.

Begitulah kebaikan Rasulullah SAW terhadap kita umatnya. Beliau telah melakukan banyak pengorbanan baik nyawa atau harta demi kebaikan dan kebahagiaan umatnya. Lantas kita sebagai umatnya akan berterimakasih dengan apa? Uang, jabatan, atau hadiah, Jawabannya tentu tidak. Maka satu-satunya cara berterimakasih kepada beliau adalah membaca sholawat kepada beliau.

Dalam Islam banyak sekali amalan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya sebagai bentuk Ibadah. Salah satu bentuk Ibadah yang sangat dianjurkan adalah shalawat kepada Rasulullah saw. Karena di dalam hadist banyak dijelaskan keistimewaan dan keutamaan bagi orang yang memperbanyak shalawat. Seperti hadis Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ

Barang siapa di antara umatmu yang bershalawat kepadamu sekali, maka Allah menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapuskan dari dirinya sepuluh keburukan, meninggikannya sebanyak sepuluh derajat, dan mengembalikan kepadanya sepuluh derajat pula” (HR Ahmad)

            Dalam segi bahasa shalawat sendiri berasal dari kata Shalla yang berarti doa. Jadi shalawat sendiri memiliki arti mendoakan kebaikan serta mengagungkan serta memuji Nabi Muhammad saw.Di dalam al-Qur’an QS. al-Ahzab [33]: 56 Allah telah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya

Sebab, ayat ini diturunkan ialah ayat ini turun berkenaan dengan perkataan Ka’ab bin ‘Ajrah:”Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Ka’ab bin ‘Ajrah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kami bacaan shalawat.” Lalu Rasul mengajarkan bacaan shalawat seperti yang lazim dibaca ketika tasyahud akhir disetiap shalat.

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan makna Shalawat dari Allah untuk Nabi Muhammad SAW adalah bentuk rahmat dan keridhoan-Nya, sedangkan shalawat dari Malaikat untuk Nabi Muhammad berarti doa dan permohonan ampun untuk Nabi, adapun arti Shalawat orangorang beriman kepada Nabi Muhammad. kepada beliau merupakan doa serta bentuk pengagungan mereka terhadap Nabi Muhammad. Maka, shalawat yang dihaturkan kepada Nabi Muhammad. dari Allah, Malaikat, serta Umatnya memiliki arti yang berbeda.

Begitu pula dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Imam Bukhori mengatakan, Abul Aliyah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalawat dari Allah ialah pujian-Nya kepada Nabi Muhammad. Di kalangan para malaikat dan dhalwat dari para malaikat ialah doa mereka untuk Nabi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mana Yushalluna ialah memberikan keberkahan.

Dalam tafsir modern yaitu tafsir al-Misbah Quraish Shihab menjelaskan makna salawat berasal dari Kata  صلوا (shallû) dalam ayat ini terambil dari kata  صالة (shalâh) yang bermakna juga menyebut-nyebut yang baik serta ucapan-ucapan yang mengundang kebajikan, curahan rahmat, kemuliaan dan kesejahteraan. Makna bersalawat dalam ayat ini ialah mengakui kerasulan dan kemuliaan Nabi Muhammad saw serta memohon kepada Allah melahirkan keutamaannya maksudnya adalah dengan melahirkan kemuliaan di atas kemuliaan nabi-nabi yang lain.

Yang menarik menurut Sebagian ulama’ ialah dalam redaksi ayat ini. Tidak ada satupun perintah Allah yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah sendiri melakukan perintah itu kecuali Shalawat. Allah memerintahkan kita untuk berpuasa Allah tidak melakukannya, Allah memerintahkan kita untuk berzakat Allah pun tidak melakukannya. Begitu pula haji dan perintah-perintah yang lain. Akan tetapi ketika Allah  memerintah shalawat Allah pun melakukannya, hal ini tentunya dalam rangka Allah memberikan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad.

Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah pernah bersabda:

البَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

 “Orang yang sangat pelit adalah orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, ia tidak mau membaca shalawat kepadaku

Pantas saja Rasulullah bersabda demikian, Allah pun bershalawat, bahkan ketika kita bershalawat kita akan mendapatkan pahala bershalawat. Oleh karena itu, sebagai umat islam seharusnya menyadari betul bahwa segala bentuk kebaikan, akhlakul karimah, perilaku-perilaku kebaikan sumber utamanya adalah Rasulullah. Kita mengetahui adanya syariat, uswah hasanah, dan tauhid seluruhnya adalah berkat Rasulullah hadir dan ada di muka bumi ini. Sudah seyogyanya sebagai seorang muslim kita senantiasa merasa butuh akan syafaat Nabi. Tentu dengan cara kita selalu melakukan shalawat dalam rangka berterimaksih atas apa yang telah beliau dan Ahlul Bait ajarkan kepada kita umat Islam. Dan seluruh shalawat yang kita bacakan adalah pujian sekaligus pengagungan, dan memuliakan beliau diatas para Nabi yang lain.

Dengan demikian, agar kita tidak termasuk menjadi umat muslim yang sangat pelit menurut Nabi, maka bacalah selawat setiap nama beliau disebutkan. Terlebih kita tidak menunggu nama beliau disebutkan, tetapi dengan sadar diri kita membacakan shalawat kepadanya setiap saat sebagai persembahan rasa terimakasih kita kepada Nabi Muhammad. Wallahua’lam bis showab.

Allahumma Sholli Wasallim ala Sayyidina Muhammad.

Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

0

Amina wadud, seorang aktivis sekaligus praktisi gender berdarah Afro-amerika memiliki sumbangsih penting dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan gender yang memanas semenjak abad 19. Salah satu sumbangsihnya ialah pendekatan hermeunitika tauhid yang diterapkannya pada ayat-ayat gender yang semula ditafsirkan secara bias dan memihak pada gender laki-laki.

Tak dipungkiri, pilihannya untuk menjadi figur yang concern pada keadilan dan kesetaraan gender adalah karena pengalaman pribadi yang ia alami dan kultur yang ada saat ia tumbuh dan berkembang.

Inspirasi bergelut pada bidang Feminisme

Tahun-tahun di masa Amina Wadud hidup ialah tahun-tahun dramatis bagi pejuang keadilan gender di Amerika. Amina Wadud sendiri lahir di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 25 September 1952.  Melansir kompasiana.com (4/4), pada saat itu bertepatan dengan periode kedua gerakan feminisme di Amerika, yakni ketika didirikannya National Organization for Woman (NOW) oleh Betty Friedan (w. 2006).

Selain pengaruh sosial yang melingkupinya, terdapat faktor personal yang turut memotifasinya untuk menjadi seorang aktivis gender. Menurut Mutrofin dalam Kesetaraan Gendernya, Amina Wadud merupakan seorang perempuan muslimah dan janda, banyak mengalami diskriminasi oleh masyarakat sekitarnya. Di samping itu, ia juga memiliki darah Afro-Amerika, yang pada saat itu sedang memperjuangkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat yang mensubordinasi perempuan.

Dua hal ini yang kemudian menginspirasi pandangannya dalam memahami teks Alquran yang berhubungan dengan perempuan, yang pada mulanya ditafsirkan secara eksklusif memihak laki-laki, dan sebaliknya, mensubordinasi perempuan.

Dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer, disebutkan bahwa Wadud mengenalkan penafsiran berperspektif perempuan. Didadasari oleh kegelisahannya terhadap mufassir pendahulu yang didominasi oleh laki-laki. Di samping itu, hasil penafsirannya yang atomistik serta abai pada nilai universal, yang pada gilirannya terkesan menyudutkan perempuan, Wadud menyatakan penting bagi perempuan untuk membuat tafsir atas ayat-ayat gender. keinginan Wadud ini sekaligus memberi semangat keadilan gender bagi perempuan, dengan jalan menafsirkan ayat berperspektif perempuan, sehingga menghasilkan produk tafsir yang lebih objektif bagi perempuan.

Metode hermeunitika tauhid

Untuk merealisasikan keinginannya itu, ia menawarkan hermeunitika tauhid sebagai metode yang lebih objektif dan dipercayai akan menghasilkan penafsiran yang holistik. Hermeunitika Tauhid secara sederhana ialah dengan mendudukkan Allah sebagai Zat Yang Esa, sehingga sebagai konsekuensinya, selain Allah semuanya setara, tidak lebih unggul, pun terungguli.

Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran Wadud adalah bahwa Alquran merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan wanita setara. Khususnya, dalam mengkaji bagaimana persepsi mengenai wanita terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran.

Menurut Nur Jannah Ismail dalam Perempuan dalam Pasungan, ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam memandang keutamaan perempuan pada Alquran, yaitu kronologi turunnya wahyu dan rujukan untuk peristiwa sejarah yang telah diketahui. Untuk mengatasi pembatasan seperti itu, para ahli hukum dan pemikir Islam mengutamakan ayat-ayat universal yang turun pada periode Makkah.

Melalui kesadaran tersebut, Amina Wadud dalam Women in Qurannya, memberikan sebuah tawaran metodologis yang harus dipegang ketika akan menafsirkan ayat-ayat Alquran terutama ayat-ayat bias gender yang dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu; dalam konteks apa teks itu ditulis atau kaitannya dengan Alquran adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan, bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, dan bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung/ pandangan hidupnya/ ruh/ maqa>s}idnya.

Sebagai langkah teknis operasionalnya, ketika akan menafsirkan, setiap ayat yang harus dianalisis adalah; 1) dalam konteksnya 2) dalam konteks pembahasan topik yang sama dengan Alquran 3) menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis (nahwu) yang digunakan dalam seluruh bagian Alquran 4) menyangkut sikap benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Alquran, dan 5) dalam konteks Alquran sebagai weltanschauung atau pandangan hidup.

Korelasi antara pendekatan semantik dan konteks sosial sudah lama disadari oleh para sarjana Muslim yang kemudian melahirkan sekian judul mengenai tata bahasa Arab yang diharapkan dapat membantu untuk bisa menangkap pesan Alquran. Disiplin ilmu Balaghah, Ma’ani dan Bayan, misalnya, secara khusus mengkaji kaitan antara pendekatan semantik dan konteks sosial. Untuk memahami sebuah ucapan Nabi saw misalnya, hendaknya juga harus dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan psikologi Rasulullah serta kepada siapa ucapan itu ditujukan.

Amina mencoba menggunakan metode penafsiran Alquran yang dikemukan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu dan dalam suasana umum dan khusus tertentu, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya. Tetapi, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan-ungkapan Alquran menurut waktu dan suasana penurunannya guna menemukan makna yang sebenarnya.

Dari paradigma tafsir kontekstualnya tersebut, Wadud menghasilkan beberapa pemikiran reformatif, diantaranya; penafian poligami, kesamarataan hak waris, dan perempuan sebagai imam salat. Pemikiran terakhirnya ini kemudian menjadi alasan mengapa wadud juga disebut sebagai praktisi gender, yakni karena menggagas legalitas perempuan sebagai imam salat, ia pribadi juga mempraktikkannya dengan menjadi imam sekaligus khatib di New York.

Amina Wadud dengan hermeunitika tauhid yang digagasnya, kendatipun tidak original dari dirinya sendiri, setidaknya, telah memberikan sumbangsih yang berarti untuk merubah penafsiran ayat-ayat bias gender yang dahulunya terkesan rigid, condong sebelah pihak, dan diskriminatif terhadap wanita, menjadi seimbang, moderat dan tidak  mensubordinasi pada salah satu pihak.

Tentunya, apa yang telah dikukan Wadud pada saat ini harus dikembangkan, khususnya oleh perempuan. Hal ini selain untuk memajukan peradaban perempuan di sektor intelektual Islam, juga untuk menunjukkan bahwa perempuan sampai saat ini dan nanti tetap pada diri mereka dengan segala potensi yang dapat diberdayakan senantiasa. Wallahu a’lam[]

Dari Manakah Tumbuhnya Cinta Manusia Kepada Sesama ?

0

Sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat adanya cacian, gunjingan dan kekerasan antar sesama manusia, bahkan seagama (Islam). Lebih-lebih di era Medsos seperti sekarang, semua informasi dapat mudah tersebar, dan menjadi riskan apabila yang tersebar adalah adalah ujaran kebencian antar individu atau kelompok. Apakah Islam tidak mengajarkan cinta dan damai?, lalu bagaimana cinta dapat tumbuh?

Pada dasarnya Islam adalah agama perdamaian yang tumbuh dari kasih sayang dan cinta kepada sesama. Menjalankan Islam dengan tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. dengan mematuhi perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya. Allah Swt. telah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 :

( إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ )

Artinya: “orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”.

Sesama mukmin adalah saudara, dan hendaknya saling menjaga perdamaian serta kehormatan orang lain dengan tidak melakukan praktik-praktik yang mengarah kepada kebencian dan kejahatan.

az-Zuhaili di dalam karyanya (Tafsir al-Munir,juz 26 hal.235) memaparkan secara jelas maksud ayat di atas:

والمعنى: فأصلحوا بينهما، وليكن رائدكم في هذا الإصلاح وفي كل أموركم تقوى اللَّه وخشيته والخوف منه، بأن تلتزموا الحق والعدل، ولا تحيفوا ولا تميلوا لأحد الأخوين، فإنهم إخوانكم، والإسلام سوّى بين الجميع، فلا تفاضل بينهم ولا فوارق، ولعلكم ترحمون بسبب التقوى وهي التزام الأوامر واجتناب النواهي.

Artinya: “maka damaikanlah hubungan antara kedua saudaramu, dan jadikan ketakwaan dan rasa takut kepada Allah pemandu kalian dalam mendamaikan dan segala urusan kalian. Dengan melaksanakan yang hak dan adil, tidak curang dan berpihak ke salah satu saudara, karena mereka adalah saudara kalian dan Islam menyama-ratakan semuanya, tidak membanding dan membedakan antara mereka, supaya kalian mendapat rahmat sebab bertakwa kepada Allah yaitu dengan melaksanakan peprintah-perintah dan larangan-laranganNya”.

Damai merupakan representasi dari cinta dan kasih sayang antara sesama manusia. Sehingga kemudian akan berdampak banyak pada hal-hal positif, seperti saling tolong-menolong, perhatian, menjaga perasaan dsb. Dengan terbangunnya cinta antar sesama maka akan secara otomatis terwujud ketentraman dan kedamaian.

Lalu bagaimana cinta antar sesama dapat tumbuh?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menukil dari kitab karya al-Buthi (al-Hubbu fi al-Quran: 77-78). Dalam  kitab tersebut disebutkan bahwa kecintaan manusia kepada sesama (selain karena Allah mencintainya) adalah buah dari kecintaannya Kepada Allah Swt. semakin seseorang cinta kepada Allah, maka semakin tumbuh pula kecintaan manusia kepada sesama. Halini tidak bisa dipungkiri karena dengan tertanamnya kecintaan kepada Allah yang ditandai kepatuhan terhadap perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya maka seseorang cinta kepada sesama, sebab cinta dan damai merupakan bagian dari ketakwaan. 

Disebutkan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan sahabat Ubadah bin Shamit ra.

( حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ  وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَوَاصِلِين فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَنَاصِحِيْنَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي للمتزاورين في وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ) رواه أحمد وابن حبان والحاكم.

Pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling mencintai karenaKu, pasti mendapaat kecintaanKu bagi orang-orang yang menyambung kekerabatan karenaKu, pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling menasehati karenaKu, pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkunjung karenaKu, dan pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkorban karenaKu. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

Al-Buthi juga menyebutkan bahwa seseorang yang mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, maka pasti dia mencintai sesama manusia. Sebab (tanpa pandang bulu) manusia telah mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt. dengan diperintahkannya malaikat untuk bersujud kepada manusia (Adam ra.) dan kemuliaan dinisbatkannya ruh (manusia) kepadaNya.

Wallahu A’lam

Oleh : M. Ali Mustaan

 
 

Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

0
Aksi Teror
Salah Paham Jihad dan Aksi Teror

Maraknya aksi teror yang terjadi beberapa dekade terakhir di berbagai belahan dunia membuat kita semua resah, terutama jika pelakunya adalah seorang muslim dan menyeret-nyeret ajaran Islam dalam rangka melegitimasi tindakan mereka.

Aksi-aksi teror ini ber-‘kontribusi’ dalam menjauhkan umat manusia dari Islam. Citra Islam sebagai agama menjadi tercoreng. Umat muslim sebagai pemeluk agama Islam juga ikut ter-stigma negatif. Padahal jika bercermin pada data yang ada, mayoritas korban terorisme juga adalah orang beragama Islam yang dianggap kafir oleh kelompok teroris. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.

Global Terrorism Index menyebutkan bahwa 78% kematian akibat terorisme pada 2014 terjadi di negara dengan mayoritas populasi muslim. Hassen Chalghoumi, seorang aktivis muslim di Paris menyatakan, 95 persen korban terorisme adalah muslim. The National Counterterrorism Center (NCTC) menunjukkan data bahwa, muslim menderita 82-97 persen akibat aksi terorisme dalam lima tahun terakhir.

Celakanya, tindakan-tindakan teror di atas selalu diatasnamakan sebagai ajaran Islam, dengan mengutip berbagai ayat dan hadis yang telah dimanipulasi. Yang paling sering dijadikan pembenar adalah ajaran jihad dan qital, yang ditujukan kepada setiap yang berbeda, baik non-muslim maupun muslim yang telah dianggap murtad.

Jihad diselewengkan oleh mereka dengan pemaknaan tunggal, yaitu perang fisik. Padahal sebagaimana keterangan dari para ulama tafsir, bahwa makna jihad sangat banyak dan beragam. Kata jihad sendiri dalam Alquran terulang sebanyak 41 kali, dengan konteks dan pemaknaan yang berbeda-beda.

Ayat-ayat jihad yang turun di Mekah misalnya, tidak ada satu pun yang berarti perang, terbukti tidak sekali pun Nabi melakukan ‘kontak’ fisik dengan kaum kafir Quraish selama di Mekah, padahal ayat-ayat jihad sudah turun pada saat itu.

Justru yang terjadi di Mekah pada saat itu, Nabi berdakwah sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran dan sikap yang baik. Meski kaum Quraish selalu menyakiti beliau dan mendiskriminasi para sahabatnya.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Secara bahasa jihad berasal dari kata jahd yang berarti kesukaran atau juhud yang berarti upaya atau kemampuan. Adapun secara istilah, para ulama memaknai jihad sebagai upaya sungguh-sungguh menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam. Karena itu, sebagaimana ditulis oleh Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud oleh Alquran dengan jihad adalah berjuang menggunakan segala kemampuan dan daya yang dimiliki untuk menghadapi segala macam lawan agama dan musuh kemanusiaan, baik itu nafsu, kebodohan, penyakit, ketamakan, kemiskinan dan lain-lain. Arena jihad juga bisa bermacam-macam dari mulai hati, lisan, tenaga, pikiran, harta, dan seterusnya.

Terkait keragaman makna jihad ini, sebuah riwayat yang sangat populer dari Nabi saat pulang dari Tabuk menerangkan bahwa perang adalah hanya bagian kecil dari jihad, dalam kondisi terpaksa dan dalam rangka membela diri, itu pun disertai sejumlah etika dan rambu-rambu. Sedangkan jihad yang besar adalah perlawanan terhadap nafsu dan egoisme. Dalam riwayat lain Nabi juga menyatakan bahwa bagi perempuan, jihad adalah haji dan umroh.

Tujuan jihad adalah litakuna kalimatullahi hiya al-‘ulya, yaitu menebarkan nilai-nilai luhur dan kebaikan yang bersumber dari Allah SWT. Bukan untuk menyerang, menyakiti, apalagi menumpahkan darah, yang tentu perbuatan-perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah. Dalam sebuah hadis, Nabi menerangkan bahwa robohnya ka’bah, dalam sebuah riwayat hancurnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding hilangnya nyawa seorang manusia yang tanpa hak (HR Turmudzi: 1455).

Upaya pelaksanaan jihad yang bersifat fisik perlu juga diintegrasikan dengan dua prasyaratnya, yaitu ‘ijtihad’ yang menekankan daya akal pikir yang rasional dan mujahadah yang berorientasi pada ikhtiar bathiniyah menyingkirkan nafsu kepentingan, baik harta maupun kekuasaan. Dengan ketiga hal ini lah dapat dicapai tujuan di atas.

Tentu jihad sangat berbeda jauh dengan radikalisme dan terorisme. Karena jihad bertujuan untuk memelihara kehidupan dan membuatnya lebih baik, sedangkan teror adalah menyerang korban yang tidak bersalah. Jihad pelakunya yang mendapat pahala, sedangkan teror korban lah yang mendapatkannya (ke-syahid-an). Secara bahasa pun sudah berbeda, jihad adalah istilah tersendiri, sedangkan teror dalam bahasa Arab adalah irhab.

Sebagai catatan terakhir, jika kelompok teroris pro kekerasan itu mengaku pengikut Nabi dan mengklaim sebagai kelompok sunnah, coba lah merenungi kembali sejarah kehidupan Nabi. Jika dikalkulasi dari keseluruhan masa kenabian beliau yang 23 tahun (8000 hari), dibanding dengan jumlah total perang beliau yang 80 hari, itu artinya perang hanyalah 1% dari kehidupan beliau sebagai Nabi. Lalu kenapa mereka hanya mau mengikuti yang 1%, itu pun tidak tepat, dan meninggalkan yang 99% ? Sungguh ironis!

Baca Juga: Alasan Penting Harus Ada yang Memperdalam Ilmu Agama Menurut Al Quran

Simpulan atas uraian di atas adalah bahwa jihad dalam Alquran mempunyai beragam makna, intinya adalah upaya kerja keras. Adapun perang adalah bagian kecil dari jihad, yang bertujuan untuk mempertahankan diri atau menghalau ancaman yang sudah di ambang pintu, sebagai langkah emergency, bukan untuk menghapus kekafiran tetapi menghilangkan permusuhan (hirabah). Teror berbeda jauh dengan jihad, karena teror adalah menebar ketakutan dan mengorbankan yang tidak bersalah, sedangkan jihad adalah perjuangan dalam semua aspek demi terciptanya kehidupan manusia yang berperadaban menuju kebahagian dunia dan akhirat (sa’adat al-darain).

Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran

0

Kita tentu sering mendengar bacaan Alquran baik lewat speaker Masjid terdekat maupun via smartphone bila didalamnya tersemat aplikasi semacam Quran android. Pernahkah anda mengetahui apa saja keutamaan mendengarkan bacaan Alquran? Nah, barangkali kita belum tahu tentang ini, penulis akan menguraikannya satu per satu.

Pertama, mendengarkan Alquran menjadi sebab tersampaikannya hidayah. Tidak hanya bagi manusia, hidayah lewat Alquran juga diperuntukkan bagi Jin sebagaimana telah terjadi juga ketika Rasulullah Saw membacakan surat ar-Rahman. Keterangannya dapat dilihat pada tafsir al-Thabari ketika menerangkan tafsir surat ar-Rahman ayat 13. Poin pertama ini mendapatkan penegasan lewat QS. az-Zumar ayat 17 – 18:

فَبَشِّرْ عِبَادِ () الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ   

“…Sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hambaku. (yaitu) Mereka yang menengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Kedua, dengan mendengarkan bacaan Alquran dapat mengasah kekhusyuan dan kepekaan hati. Dalam Sahih al-Bukhari terdapat sebuah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud, ia bercerita: Rasulullah Saw berkata padaku, “Bacakanlah Alquran untukku.” Aku pun berkata, “Aku membacakan untukmu padahal Alquran langsung turun kepadamu? Rasulullah menjawab, “Sungguh aku berharap mendengarnya dari orang lain. Lalu aku pun membacakan surat an-Nisa hingga sampai pada ayat 41, Rasul berkata kepadaku, “Cukup.” Aku melihat kedua matanya telah berurai.” Tidak hanya sekali atau pun dua kali, Rasulullah Saw sering meminta para sahabat untuk membacakan al-Qur’an untuknya.

Ketiga, mendengarkan bacaan Alquran merupakan sebab mendapatkan Rahmat Allah Swt. Hal ini sebagaimana janji dari Allah Swt yang dapat kita temukan pada QS. al-A’raf ayat 204:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون 

“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”

Keempat, poin yang terakhir adalah bahwa mendengarkan Alquran merupakan bagian dari ibadah. Hal ini karena membacanya merupakan ibadah, maka mendengarkannya pun mendapatkan pahala dan menjadi ibadah kepada Allah Swt. Sebagaimana tercantum pada poin ketiga dalam QS. al-A’raf ayat 204, Allah Swt memerintahkan kita untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ini bisa kita pahami sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Wallahu A’lam.

Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

0
Moroccan students is studying islamic theology in Rabat

Secara umum, ada dua cara penafsiran yang dikenal di kalangan ulama sejak dilakukannya aktivitas tersebut pertama kali pada zaman Nabi hingga masa sekarang, yaitu tafsir bil ma’sur (tafsir dengan riwayat) dan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio).

Menafsirkan tidak hanya berarti memahami untuk diri sendiri, melainkan juga ada aspek memahamkan kandungan Alquran orang lain. Nabi secara khusus tidak pernah mengajarkan para sahabat tentang cara menafsirkan Alquran. Perbedaan cara penafsiran Alquran pun muncul sepeninggal beliau. Berikut dua model penafsiran tersebut

Tafsir bil ma’sur (Tafsir dengan riwayat)

Tafsir bil ma’sur adalah cara menafsirkan Alquran dengan berpegang pada kutipan-kutipan nas atau riwayat. Manna’ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulumil Qu’an, menyebutkan teks-teks otoritatif yang dapat digunakan untuk menjelaskan kandungan Alquran. Di antaranya adalah teks Alquran itu sendiri, kemudian hadis Nabi, selanjutnya pendapat sahabat dan pemuka tabiin.

Penyebutan teks-teks di atas diurutkan berdasarkan skala prioritasnya. Ini berarti teks Alquran lebih didahulukan untuk menjelaskan teks Alquran lainnya, karena menurut ulama, Alquran itu merupakan satu kesatuan yang saling menjelaskan satu sama lain (al-Qur’an yafassiru ba’dhuhu ba’dhan).

Apabila penjelasan suatu ayat tidak ditemukan pada ayat lain, maka ulama mencarinya di hadis Nabi. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi hadis adalah sebagai tibyan (penjelas) bagi Alquran.

Bila kembali tidak ditemukan penjelasan dari hadis Nabi, maka dapat mengutip pendapat para sahabat. Pemahaman sahabat atas Alquran kemungkinan besar berasal dari apa yang telah Nabi ajarkan. Terakhir, apabila tidak ditemukan keterangan dari kalangan sahabat, maka bisa menelusuri pandangan dari para pembesar tabiin yang umumnya telah belajar tafsir dari para sahabat.

Sebagai contoh dari tafsir jenis ini yaitu penjelasan at-Tabari ketika menafsirkan kata kezaliman dengan kesyirikan pada QS. Al-An’am: 82.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sebagaimana diceritakan dalam hadis yang dikutipnya, ketika ayat di atas turun, para sahabat merasa terbebani. Mereka tidak yakin ada di antara mereka yang bebas dari perbuatan zalim, sampai akhirnya Nabi meluruskan bahwa yang dimaksud kezaliman di ayat tersebut adalah kekufuran. Beliau merujuk pada ungkapan Luqman al-Hakim di ayat lain yang berbunyi:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (QS. Luqman: 13).

Tafsir bir ra’yi (Tafsir dengan rasio)

Adapun tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio) merupakan bentuk penafsiran Alquran yang berbasis rasio. Demi mengontrol kemampuan rasionalitas manusia yang terkadang liar, tafsir jenis ini dibagi menjadi dua macam.

Pertama, ar-ra’yu al-mahmudah (rasio yang terpuji), yaitu penalaran yang didasarkan pada hasil ijtihad, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tidak bertentangan dengan syariat. Kedua, ar-ra’yu al-qabihah (rasio yang tercela) yang murni hanya dari pemikiran sendiri atau tidak berdasar. Tafsir yang diterima oleh para ulama hanya dari macam yang pertama.

Salah satu ulama yang sering menggunakan model penafsiran bir ra’yi dalam karya tafsirnya adalah ar-Razi. Ia menafsirkan al-maghdub ‘alaihim (yang dimurkai) dalam QS. Al-Fatihah: 7 dengan orang-orang kafir dan ad-dallin (yang sesat) dengan orang-orang munafik. Kesimpulan ini didapat dari analisisnya terhadap awal surah berikutnya yang secara berurutan membicarakan tentang orang-orang yang beriman, kafir dan munafik.

Ulama era klasik atau generasi awal Islam cenderung menggunakan tafsir bil ma’sur, karena dinilai sebagai cara yang paling aman dalam menafsirkan Alquran. Oleh karenanya, kajian tafsir kala itu erat kaitannya dengan kajian hadis. Karya-karya tafsir awal seperti Jamiul Bayan milik at-Tabari bahkan penuh dengan riwayat-riwayat hadis yang ditulis lengkap dengan sanad-sanadnya.

Pada era pertengan, baru bermunculan tafsir yang menggunakan model tafsir bir ra’yi seperti Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuti, Mafatihul Ghaib karya ar-Razi dan al-Kashshaf karya az-Zamakhsyari.

Meski demikian, tidak ada ulama yang hanya bergantung pada riwayat tanpa sama sekali memakai rasio, sebab dalam memilih riwayat pun tentu mengandalkan rasio, mana riwayat yang menurutnya sesuai untuk menafsirkan suatu ayat dan yang tidak. Begitu juga ketika mufasir menggunakan rasionya untuk menafsirkan Alquran, tentu pemikirannya tersebut berdasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibacanya meskipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam penafsiran.

Selain tafsir bil ma’sur dan tafsir bir ra’yi, Ada pula yang menambahkan cara ketiga, yakni tafsir bil ishari seperti az-Zarqani dalam karyanya, Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an. Tafsir bil ishari menurutnya adalah menafsirkan Alquran dengan cara menakwil makna lahiriahnya dengan makna lain yang halus dan tersebunyi. Mereka menyebutnya dengan makna ishari. Tafsir jenis ini biasa dilakukan oleh para sufi.

Demikianlah cara ulama menafsirkan Alquran. Dapat juga dikatakan sebagai sumber penafsiran atau bentuk penafsiran. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa bagaimana pun hasil penafsiran seorang mufassir, selama itu jelas sumbernya dan sesuai dengan metodenya, meski menghasilkan kesimpulan yang berbeda, harus diterima dengan lapang dada. Tidak selayaknya masing-masing merasa hanya penafsirannya atau penafsiran kelompoknyalah yang benar.