Beranda blog Halaman 551

Nama-nama Al-Quran dan Tujuannya

0
alhuda, salah satu nama alquran

Tafsiralquran.id – Alquran diturunkan ke muka bumi berfungsi sebagai buku pedoman umat muslim dalam menjalani kehidupannya. Dibalik penamaan Alquran ternyata sarat akan berbagai tujuan yang melingkupinya. Sebut saja, dalam surat al-Baqarah ayat 2 disebutkan bahwa Alquran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya sedikitpun. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

Dalam hal ini, Muhammad Syahrur memberikan definisi makna dari al-kitab. Menurutnya, ­al-kitab berarti kumpulan dari berbagai macam tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk teks, beserta kandungannya sekaligus, yang secara keseluruhan menyusun ayat-ayat dalam bentuk mushaf mulai dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas.

Al-kitab adalah salah satu nama lain dari Alquran. Selain disebut dengan nama al-kitab, Alquran juga menyebut dirinya dengan Alquran itu sendiri. Menurut Muhammad Abdullah Daraz, Alquran dan al-kitab adalah penyebutan yang begitu populer dari nama-nama Alquran yang lain. Sebab, menurutnya, dinamakan Alquran karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan al-kitab karena ia ditulis dengan pena.

Dengan nama-nama tersebut, juga memudahkan kita untuk mengetahui tujuan Alquran diturunkan. Selain dua penyebutan di atas, Alquran juga dinamakan dengan al-furqan, sebagaimana dalam surat al-Furqan ayat 1, yang berarti pembeda. Maksudnya, Alquran adalah pembeda antara yang haq dan bathil. Alquran berperan sebagai ukuran timbangan Ilahi akan segala hakikat yang bertentangan dengan kebenaran.

Kedua penamaan Alquran tersebut sebetulnya memberikan isyarat bahwa selayaknya Alquran dipelihara, baik dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila terjadi kesalahan di antara salah satunya, maka yang lain akan meluruskannya. Hafalan berdasarkan tulisan, dan tulisan harus sesuai dengan hafalan yang berisnad sahih dan mutawattir.

Kemudian, Alquran juga memiliki nama sebagai adz-dzikr, sebagaimana dalam surat al-Hijr ayat 9. Dan, juga disebut dengan nama at-tanzil, sebagaimana dalam surat asy-Syu’ara ayat 192. Selain itu, Alquran disebut sebagai an-nur yakni cahaya, yang tertera dalam surat an-Nisa’ ayat 174.

Alquran juga disifati sebagai al-huda yakni sebagai petunjuk, asy-syifa’ yaitu sebagai obat, dan al-mau‘izha’ yang bermakna nasihat. Hal ini sesuai dengan yang ada dalam surat Yunus ayat 57. Alquran juga memiliki sifat yang diberkahi atau yang sebut sebagai al-mubarak, sebagaimana dalam surat al-An‘am ayat 92. Dan juga, sebagaimana yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 97, yakni al-busyra yang bermakna kabar gembira.

Dan yang terakhir, Alquran juga memiliki nama lain sebagai al-‘Aziz yang berarti mulia, seperti yang tertera dalam surat Fushshilat ayat 41. Al-Majid yang berarti yang dihormati, yang dipaparkan dalam surat al-Buruj ayat 21. Serta, al-Basyir yang berarti pembawa kabar gembiran dan an-nadzir yakni pembawa peringatan, sebagaimana dalam surat Fushshilat ayat 3-4.[]

Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

0
ilustrasi iblis membangkang sujud kepada adam

Tafsiralquran.id – Alquran telah mengisahkan pembangkangan Iblis terhadap Allah swt. manakala ia diperintah sujud kepada Adam a.s. Kisah yang diulang-ulang di beberapa surat menunjukkan begitu pentingnya manusia untuk mengambil ibrah dari kisah tersebut. Dibalik pembangkangan iblis terdapat dosa-dosa yang dapat menjerumuskan siapa pun pelakunya ke jalan kehinaan dan kesesatan, karenanya manusia dilarang mengikuti langkah-langkah Iblis (setan). Lantas, langkah-langkah apakah yang harus dihindari dari Iblis?

Dari pengulangan kisah ingkarnya Iblis sujud kepada Adam, dengan struktur kalimat nash ayat yang berbeda-beda, setidaknya ada 3 sikap tercela dari Iblis untuk tidak diikuti. Sebagaimana disebutkan Imam as-Shawi ketika mengomentari beberapa ayat berikut dalam surat al-A’raf [7]:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ  … (الأية: 12)

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?’ ”. (Q.S. al-A’raf [7]: 12).

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا لَكَ أَلَّا تَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ (32)

“Allah berfirman: ‘Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?’ “. (QS. Al-Hijr: 32).

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ  … (الأية: 75)

“Allah berfirman: ‘Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’. (Q.S. Shad [38]: 75 ).

Imam as-Shawi berkata:  

اختلاف العبارات عند الحكاية دل على أن اللعين قد أدرج في معصية واحدة ثلاث معاص: مخالفة الأمر ومفارقة الجماعة والاستكبار مع تحقير ادم

Artinya: “perbedaan ungkapan pada ayat-ayat kisah (Adam dan Iblis) menunjukkan bahwa Iblis (yang terlaknat) telah berbuat tiga kemaksiatan dalam satu tindakan (kemaksiatan), yaitu: melanggar perintah, keluar dari jamaah, dan takabbur serta merendahkan Adam”.

Pada lanjutan setiap ayat-ayat tersebut, terdapat ungkapan bahwa Iblis diusir dari surga dan digolongkan bersama makhluk yang hina. Hal ini menunjukkan jika perbuatan maksiat Iblis tersebut bukanlah kemaksiatan yang ringan, bahkan merupakan gerbang dijauhkannya dari rahmat Allah.

Pertama, melanggar perintah. Esensi suatu ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan seorang hamba terhadap Allah swt. Maka sangat tidak pantas jika ada kedurhakaan seperti yang dilakukan Iblis la’natullah.

Kedua, keluarnya dari jama’ah atau persatuan. Terkait makna wajibnya seseorang berada dalam jamaah atau persatuan, al-Qurtubi menyebutkan dalam tafsirnya:

فإن الله تعالى يأمر بالألفة وينهى عن الفرقة فإن الفرقة هلكة والجماعة نجاة

Artinya: “Sungguh Allah Swt. memerintah untuk menjalin persahabatan dan melarang perpecahan, karena sesungguhnya perpecahan adalah kerusakan dan perkumpulan adalah keselamatan”. (al-Qurtubi, 4: 159)

Dan ditegaskan dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a.:

فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى

Artinya: “wajib bagi kalian untuk bersama jamaah (kelompok), karena sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku kecuali atas petunjuk”. (Musnad Ahmad: 20331).

Ketiga, merendahkan orang lain. Ancaman bagi orang yang sombong adalah semakin dihinakan oleh Allah. Dan mungkin inilah yang menjadi sebab diturunkannya Iblis dari surga ketika berkata, “saya lebih baik daripada dia (Adam), engkau menciptakannya dari tanah, sementara engkau menciptakanku dari api”. Wallahu A’lam.

Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

0
asal usul dan sinonimitas alquran

Tafsiralquran.id – Asal usul dan sinonimitas Alquran sebagaimana yang dijelaskan secara detail dalam Rekonstruksi Sejarah al-Quran karangan Taufik Adnan Kamal bahwa kitab suci yang dijadikan pedoman oleh umat Islam, berisi kumpulan firman Allah swt., serta diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara populer dikenal dengan nama Alquran.

Mayoritas dalam pandangan ulama, kata al-Qur’an itu berasal dari kata kerja qara’a. Jika demikian, kata al-Qur’an memiliki arti bacaan atau yang dibaca. Namun, ada sebagian kecil (minoritas) dari ulama yang memberikan pendapat bahwa aksara kufi yang awal, teks al-Qur’an ditulis dengan tidak menggunakan hamzah, yaitu al-Quraan.

Maka, golongan minoritas tersebut menyatakan bahwa kata al-Qur’an itu berasal dari kata qarana. Dengan begitu, arti dari kata al-Quraan adalah kumpulan atau gabungan. Akan tetapi, pendapat ini harus mendapat kritikan. Bahwa dengan menghilangkan huruf hamzah, justru akan menghilangkan karakteristik dialek Makkah atau Hijazi.

Kajian tentang Alquran tidak hanya diminati oleh bagian Timur saja. Para sarjana Barat, muslim maupun non-muslim, juga menaruh perhatian pada al-Qur’an. Terlepas dengan tujuan untuk mengembangkan atau yang lainnya, yang jelas kajian tentang al-Qur’an tumbuh di sana. 

Berkaitan dengan pembahasan di atas, segolongan dari sarjana Barat mengikuti pendapat dari Friedrich Schwally. Menurut Schwally, kata qur’aan berasal dari bahasa Syiria atau Ibrani, yakni qeryãnã, qiryãnî, yaitu lectio yang berarti bacaan atau yang dibaca. Dan, memang itu digunakan dalam liturgi Kristen.

Diadobsinya bahasa di luar bahasa Arab atau bahasa semit lainnya, sangat dimungkinkan terjadi. Karena, orang-orang Arab juga kerap kali melakukan interaksi dengan dunia luar. Sehingga, kata-kata yang non-Arab kemudian diarabkan. Sekalipun demikian, kata qur’aan memang berasal dari penggunaan al-Quraan itu sendiri, yakni dengan akar kata qara’a.

Sebagaimana dalam al-Quraan, kata qara’a muncul sebanyak 17 kali dengan berbagai bentuk konjugasinya. Kata tersebut di antaranya merujuk pada teks ayat yang membahas tentang pembacaan wahyu oleh Nabi Muhammad saw, atau pun Allah swt yang membacakannya kepada Nabi Muhammad saw, dan lain sebagainya.

Kata qara’a yang berarti membaca itu, juga berkaitan dengan kata kitaab. Sebagaimana ketika Nabi Muhammad saw. ditantang oleh orang-orang kafir untuk menurunkan dari langit sebuah “kitab” yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya (surat al-Isra’ ayat 93). Jadi, dalam konteks apapun, kata kerja qara’a digunakan al-Quraan dalam pengertian membaca, baik dikaitkan dengan qur’aan ataupun kitaab.

Sedangkan, kata qur’aan dengan menggunakan al­ atau tidak, muncul sekitar 70 kali, dengan pengertian yang beragam. Di antaranya, merujuk pada pembahasan wahyu yang secara satu per satu turun kepada Nabi Muhammad Saw. Dan, kata al-qur’aan yang maknanya paling dekat adalah sebagai kitab suci. Yakni, ketika kata tersebut beriringan dengan kitab suci lainnya, Injil dan Taurat.

Selain itu, tidak hanya menggunakan kata al-qur’aan, terkadang juga menggunakan kata al-kitaab, yang muncul sebanyak 255 kali dalam bentuk tunggalnya, serta 6 kali dalam bentuk jamak. Dan, sebagian besar kata al-kitaab tersebut berhubungan dengan wahyu Allah kepada para Nabi-Nya.

Di samping kata al-kitaab, juga digunakan istilah suurah dan aayah. Kata suurah muncul muncul sebanyak 9 kali dalam bentuk tunggal, dan sekali dalam bentuk jamak. Kata tersebut merujuk pada suatu unit wahyu yang diturunkan oleh Allah, bukan “suurat” yang dalam pengertian bagian atau bab dalam al-Qur’aan. Sebagaimana saat Nabi Muhammad saw. menantang musuh-musuhnya untuk membuat semisal suurah, atau sepuluh (surat al-Baqarah ayat 23 dan Hud ayat 13).

Kemudian, kata aayah. Kata ini muncul sebanyak 400 kali dalam al-Qur’aan dalam bentuk tunggal maupun jamak. Dalam kaitannya dengan hal ini, terbagi dalam 4 konteks.

Pertama, kata aayah yang merujuk pada fenomena alam, termasuk manusia di dalamnya, yang terkadang dimaknai dengan tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Kedua, kata aayah ada dalam konteks peristiwa atau sesuatu yang luar biasa yakni mukjizat. Ketiga, kata aayah merujuk pada tanda-tanda yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus oleh Allah swt, seperti halnya kisah-kisah umat terdahulu. Dan, yang terakhir yaitu kata aayah disebut sebagai bagian dari al-qur’aan atau kitaab atau suurah yang dturunkan oleh Allah.

Selain pada istilah suurah dan aayah, juga merujuk pada istilah dzakara, tanziil, furqaan, serta hikmah. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut sebagai alternatif dari penyebutan al-qur’aan, pada intinya semuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul ilahiah-nya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam. []

Zainab al-Ghazali: Mufassir Perempuan Pertama Abad ke-20

0
Zainab al-Ghazali (sumber: teller report)

Zainab al-Ghazali mufassir perempuan yang mampu mendobrak keterpurukan perempuan Mesir, ketika masa Perancis menduduki Mesir tepatnya pada tahun 1800 an, ketika itu adanya ekploitasi lahan-lahan sewa, menjadikan para perempuanlah yang turun ke jalan untuk mempertahankan kepemilikan mereka dan bukan pria. Banyak dampak yang tertimpa pada perempuan, ruang gerak mereka menjadi terbatas.

Kejadian tersebut mempengaruhi pemikiran Zainab al-Ghazali, meski dia masih tergolong muda, keresahannya mampu membangkitkan perempuan Mesir serta memobilisasi perempuan kembali kepada Islam, hingga ia mampu menjadi seorang mufassir perempuan pertama pada abad ke 20-an.

Latar Belakang Zainab al-Ghazali

Menurut sumber jurnal yang di tulis oleh Ummi Zainab Mohammad dan  Muhammad Azizan Sabyan dengan judul Zainab al-Ghazali: Sejarah Kebangkitan Mujahidah Islam. Bahwa seorang tokoh mufassir perempuan ini yang mempunyai nama lengkap Zainab Muhammad al-Ghazali al-Jubaili. Beliau dilahirkan pada tanggal 2 Januari 1917M/ 1335 H di Mayeet Ghumar al-Daqiliyah, daerah Buhairah, Mesir. Keluarga beliau sudah tidak diragukan lagi, memiliki jalur nasab yang mulia yaitu dari jalur keturunan para sahabat Rasulullah SAW.  Ayah beliau dari keturunan khalifah Umar al-Khattab ra. sedangkan, ibunya pula dari jalur keturunan saiyidina al-Hasan bin Ali bin Abi Talib.

Lingkungan keluarga telah membentuk keperibadian Zainab al-Ghazali menjadi perempuan yang sangat berpegang kepada ajaran ahli sunnah dan al-Quran. Ketika beliau masih kecil, ayah beliau sering membawa beliau bersama untuk menunaikan solat subuh di masjid dan menghadiri majlis-majlis ta’lim yang turut dihadiri oleh ulama-ulama al-Azhar. Ayahnya berharap, Zainab bisa belajar agama Islam dari majlis majlis tersebut.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Beliau juga belajar di beberapa sekolah kerajaan. Seterusnya, rihlah mempelajari ilmu agama dengan beberapa Masyayikh al-Azhar yang terdiri dari pada tokoh ulama Al-Azhar al-Syarif seperti Syeikh Ali Mahfuz, Syeikh Muhammad Sulaiman al-Najjar dan Syeikh al-Majid al-Labban. Melalui cara ini Zainab mampu belajar menggabungkan antara disiplin ilmu modren dan pengajian tradisi yang berorentasikan pengajaran secara lansung dari para Masyayikh. Perjuangannya turut membuahkan sebuah karya tafsir yang berjudul Nazarat Fi Kitabillah.

Tafsir Nazarat Fi Kitabillah: Karya Zainab al-Ghazali

Tafsir Nazarat Fi Kitabillah yang memiliki pendekatan tarbawi berukuran sederhana. Jilid pertama mengandungi tafsir dari surahal-Fatihah, hingga surah Ibrahim a.s. telah dicetak dan diterbitkan oleh Syarikat Dar al-Syuruq pada 1995. Setelah empat tahun kewafatan Zainab, yaitu tahun 2011, barulah jilid yang kedua diterbitkan oleh Syarikat Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah dan mengandungi tafsir surah-surah al-Quran al-Karim.

Kiprah Pemikiran Zainab al-Ghazali Berawal dari Menulis

Zainab seorang mufassir perempuan yang begitu berbakat dalam bidang penulisan. Beliau sempat menjadi editor di majalah al-Da’wah, hujjah-hujjah yang diberikan sangat berlandaskan dengan nash-nash agama Islam yang dikemas dalam bentuk tulisan. Berharap para perempuan dapat mengambil hikmah ilmu pengetahuan dari yang beliau tulis.

Apabila Zainab mengadakan suatu pertemuan ramah tamah di rumahnya, Zainab mengeluarkan pernyataan yang sangat bernash, yaitu Islam menyediakan segala-galanya untuk laki-laki dan perempuan. Islam memberikan wanita semuanya yaitu kebebasan, hak dalam ekonomi, politik, dan sosial. Wanita muslim perlu mempelajari Islam agar mereka tahu Islam memberikan mereka semua akan hak-hak mereka.

Beliau merupakan sosok perempuan yang pemberani, tangguh dan pantang menyerah, adapun suatu kejadian pada saat mesir akan mengadakan konser music terbesar pada masanya, dan konser tersebut dihadiri banyak perempuan. Keluarlah kalimatnya yang membuat hati para perempuan terkoyak kembali bangkit ke jalan Allah SWT, “Siapa yang ingin mati syahid dan berada di Surga?” teriaknya dengan lantang kepada jama‟ah. Tanpa berpikir panjang ribuan jamaah yang didominasi oleh wanita muslimah bangkit dan membongkar tenda dan peralatan konser yang sudah disiapkan.

Peristiwa ini mendapat perhatian lansung oleh perdana mentri Mesir waktu itu. Musthafa Basya an-Nuhas. Ia lansung membatalkan acara konser yang digelar untuk menyambut kedatangan tokoh orientalis asal Prancis ke Kairo.

Kemudian cara Zainab mengajarkan ataupun mempelajari kandungan Al-quran dengan mengikuti cara para sahabat Nabi saw. mempelajari Al-Quran setiap malamnya Zainab dan para pemuda berkumpul untuk membawa 10 ayat Al-Quran,merenungi hukum-hukumnya dan meresapi titah-perintahNya yang mengatur prilaku dalam kehidupan masyarakat Muslim, Mereka dalami maksud dan tujuannya serta mengambil hikmahnya.

Setiap harinya Zainab melakukan rutinitas proses belajar dan mengajar, mengajak pemuda tersebut memiliki keberanian dan berani terjun lansung mengumandangkan dakwah keadilan dan kebenaran yang akan menjadi guru dan Pembina dalam membentuk generasi selanjutnya. Wallahu ‘alam

Menilik Kehadiran Tafsir Ilmi

0
ilustrasi tafsir ilmi

Tafsiralquran.id – Dinamika tafsir dalam perjalanannya telah menuai perkembangan yang cukup signifikan. Sejak era klasik hingga era modern-kontemporer tidak sedikit ragam corak penafsiran yang hadir mewarnai geliat tafsir di sepanjang masanya. Salah satunya adalah tafsir ilmi, salah satu disiplin ilmu tafsir al-Quran ini berupaya meyakinkan perspektif Barat pada kesempurnaan syumuliyah al-Quran sebagai wahyu dan mukjizat, bukan berdasar karangan fiksi Rasulullah saw.

Dalam sudut pandang epistimologi, Istilah baru ini dinukil dari dua patah kata yakni tafsir dan ilmi. Tafsir sendiri dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith berarti menerangkan atau menjelaskan, diambil dari akar kata al-fasr yang berarti perkataan atau keterangan. Sedangkan ilmi berasal dari kata ‘Ilm yang berarti ilmu, pengetahuan, sains. Secara sederhana, tafsir ilmi diartikan oleh al-Dhahabi sebagai tafsir yang membahas secara mendalam sisi ilmiah dalam ayat-ayat al-Quran dan berusaha mengeluarkan berbagai pandangan falsafah yang terkandung didalamnya.   

Dalam tapak jejak sejarah, Quraish Shihab menjelaskan, benih corak penafsiran ilmiah ini sebenarnya bermula sejak masa Dinasti Abbasiyah pada pemerintahan Khalifah Ma’mun, dikuatkan oleh Ahmad al-Syirbasyi, bahwa sejak zaman dahulu kaum muslim berupaya menjalin hubungan erat dengan al-Quran sebab penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Upaya ini semakin terlihat hingga pertengahan abad ke-20.

Abdul Manan Syafi’i mengemukakan bahwa prinsip-prinsip tafsir ilmi kemudian didukung kuat oleh al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir Al-Quran dan Ihya’ Ulumuddin dan dilanjutkan dengan Fakhr al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Namun kebangkitan tafsir ilmi mulai berpengaruh luas sejak lahirnya magnum opus Thantawi Jauhari pada tahun 1929, yang berjudul al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, dalam karyanya Thantawi berupaya menggalakkan kembali kajian sains dalam al-Quran. Berdasarkan kalkulasi Tanthawi, terdapat 750 ayat al-Quran yang memuat penjelasan terkait sains. Menurutnya, ayat yang menyinggung terkait sains lebih banyak daripada ayat yang mengulas tentang hukum.  

Sejauh ini, ijtihad para pemikir Islam telah menginspirasi tokoh ilmuwan setelahnya, terbukti dengan hadirnya pelbagai karya yang membahas sisi ke-ilmiah-an al-Quran hingga saat ini. Salah satunya adalah Zaghlul el-Najar dengan karyanya Tafsir al-Ayah al-Kauniyah di al-Quranul al-Karim, Muhammad al-Thahrir ibn Asyur dengan karyanya Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir dan Mahmud Mahdi dengan karyanya I’jaz al-Quran al-‘Ilm.

Di Indonesia, geliat tafsir ilmi terliat sejak tahun 1960 hingga saat ini. secara kalkulasi, tidak terhitung jumlah karya-karya cendekiawan Indonesia yang turut memberikan udara segar penafsiran al-Quran pendektan sains baik dalam tafsir, buku, jurnal, yang mengulas al-Qur’an dalam sudut pandang ilmiah. Transformasi tersebut dapat terlihat dari karya Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy pada tahun 1960 dalam karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Quranul Majied an-Nur, KH. Bishri Musthafa dalam orientasi tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Ibriz, Ahmad Baiquni dalam buku relasi al-Quran dan sains berjudul Seri Tafsir al-Quran bil ‘Ilmi al-Quran dan sebuah karya tafsir oleh tim ITB yang berjudul Tafsir Salman.

Sejauh yang kita ketahui, beberapa ilmuwan telah menyambut positif kehadiran tafsir ilmi. Namun, di samping pro terdapat kontra oleh sejumlah kalangan pemikir islam. diantaranya adalah Muhammad Husain al-Zahabi, al-Syathibi, Muhammad Izzat Darwaza, Shubhi al-Shalih dan Mahmud Syaltut. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran tafsir ilmi telah berupaya menguraikan maksud ayat-ayat al-Quran yang senantiasa relevan sepanjang zaman. Wal’afwu minkum, Waallahu a’lam bish shawab.

Studi Alquran: Mengenal Tafsir Era Kontemporer

0
ilustrasi tafsir era kontemporer

Tafsiralquran.id – Tafsir pada umumnya merupakan ilmu yang cukup teknis, berawal dari bagaimana cara membaca al-Quran hingga bagaimana cara menggali makna yang terkadung oleh teks suci tersebut. Sedangkan seorang penafsir (mufasir) merupakan seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam meraih maksud yang ingin Allah sampaikan di dalam teks Alquran.

Dari hal ini dapat diketahui bahwa tafsir merupakan produk mufassir sesuai dengan kedalaman keilmuan yang dimilikinya serta latar kehidupan yang melingkupinya. Muhammad Syahrur dalam karya kitabnya al-Kitab wa al-Quran; Qiroaah Mu’ashiroh menyatakan bahwa secara ideal tafsir merupakan kajian ilmiah yang bersifat objektif berlandaskan teks suci keagamaan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dengan kemajuan pemikiran yang kian melaju pesat rupanya menjadi tempaan semangat bagi para mufasir untuk menyajikan pembaharuan tafsir al-Quran yang signifikan di era modern (kontemporer). Sebagimana istilah al-Quran sahih likulli zaman wa makan kehadiran tafsir kontemporer merupakan penjelas ayat-ayat al-Quran yang disesuaikan dengan situasi saat ini.

Tafsir kontemporer dengan berbagai metode dan pendekatannya memiliki kontribusi besar dalam menyelaraskan pesan al-Quran dengan kondisi zaman yang begitu dinamis, pun menjadikan al-Quran senantiasa komplit dalam menanggapi pergolakan umat Islam dari berbagai persoalan yang begitu kompleks. Dalam kitabnya al-Quran wa Qodaya al-insan, seorang mufasir sekaligus sastrawan Mesir perempuan, Aisyah Abd al-Rahman Bintu Syati’ memberi pengakuan bahwa hak-hak manusia pada abad modern juga harus dibahas dari segi prespektif al-Quran.

Dalam subjeknya, makna kontemporer dalam KBBI memiliki makna se-zaman atau se-masa. Ahmad Syirbasyi dalam buku Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tasir Al-Qur’anul Karim menyebut istilah kontemporer berkisar pada abad ke 13 Hijriah hingga saat ini, sedangkan sebagian pakar menyebutkan bahwa makna kontemporer identik dengan konteks peradaban modern. Tidak heran jika tafsir kontemporer memiliki cara pandang yang berbeda dengan tafsir klasik, jika penafsiran klasik cenderung dipahami secara literal, tekstual dan mengarah pada makna kata, tafsir kontemporer berupaya mengkolaborasikan penggunaan analisis makna dengan ideal konteks moral penafsiran, pun susuai dengan analisa sosial dan historis. 

Tafsir kontemporer telah memberikan warna baru dalam memahami Islam. dalam ruang lingkup tafsir kontemporer, sebagian mufasir berhasil mengemas beberapa bahasan secara tematik, baik pembahsan pada ayat-ayat ekonomi, ayat-ayat lingkungan, ayat-ayat sosial budaya, ayat-ayat sains dan masih banyak lagi. Cakupan tafsir kontemporer juga berfokus pada kajian tentang tafsir ilmi, tafsir feminis atau gender, tasir al-maqashidi, living Quran dan masih banyak lagi. Dengan beberapa pendekatan seperti semantik, semiotik, hermeneutik, fenomenologi, sosiologi, sosiohistoris dan beberapa pendekatan lainnya.

Sebagaimana salah satu mufasir kontemporer bernama Ingrid Mattson dalam bukunya The Story of the Qur’an: Its History and Place in Muslim Life mengganggap penting kajian terkait nash al-Qur’an dengan menangkap pemahaman simbol-simbol yang terkandung pada nash, pun tidak lepas memahami doktrin-doktin di dalamnya secara konteks. Baik dalam kehidupan personal, budaya pop, hukum, seni, atsitekture, sains dan sastra.

Ulama modern lainnya ialah Fazlur Rahman, ia telah menciptakan gagasan baru dengan metode tematik kontekstualnya telah merumuskan hermeneutika double movement, yakni model penafsiran yang menarik situasi masa kini ke masa sejak al-Quran dirunkan kemudian menyelaraskan kembali ke masa kini, sehingga al-Quran bagi Fazlur Rahman tidak dapat dipahami secara harfiah saja melainkan ide moral yang tersimpan pada ayat-ayat al-Quran.

Berdasarkan pandangan para mufasir kontemporer, mengungkapkan bahwa sedikitnya dalam menafsirkan mufasir mememiliki beberapa paradigma yang harus ditekankan dalam tafsir kontemporerdiantaranya adalah:

  1. Menciptakan tafsir kontemporer bersifat kontekstual yang berpacu dengan prinsip keuniversalan al-Quran
  2. Tafsir kontemporer yang bertumpu pada spirit al-Quran
  3. Menasirkan al-Quran dengan sifat terbuka untuk dikritisi demi mengungkap makna dari teks suci.
  4. Menafsirkan Al-Quran dengan pendektan historis, hermeneutis, sosiologis dan pendekatan lainnya.

Sejauh ini tidak bisa dipungkiri bahwa tafsir kontemporer tela menduduki posisi yang cukup penting dalam perkembangan ilmu al-Quran karena telah melahirkan paradigma yang masih segar pada pemahaman al-Quran yang terkesan mengalami stagnasi penafsiran.

Al-Quran sebagai Sumber Perdamaian

0
macam sebab turunnya Al Quran
macam sebab turunnya Al Quran

Ketentraman dan ketenangan merupakan kondisi yang diharapkan oleh setiap orang, karena itu adalah fitrah manusia. Sehingga wajar sekali apabila di luar sana ada aksi-aksi non-manusiawi maka tindakan tersebut akan cepat menyulut suhu emosional seseorang. Namun sangat disayangkan jika ada persepsi dari sekelompok orang atau golongan bahwa Islam dipandang sebagai agama yang jauh dari kata perdamaian. Lantas bagaimana kita menjawab tuduhan tersebut terhadap Islam?

Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri, pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah swt., ia adalah agama yang membawa kedamaian di muka bumi ini bagi siapapun.

Al-Quran sebagai pegangan umat Islam, di dalamnya terdapat nilai-nilai agama yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Diantaranya adalah seruan untuk menjadi muslim secara Kaffah (keseluruhan) dan memegang erat perdamaian.

Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).           

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, kata “as-Silm” bermakna berserah diri dan tunduk kepada Allah swt. lalu kemudian diartikan dengan istilah perdamaian dan agama Islam. Dan pada ayat tersebut al-Maraghi menjelaskan makna “Kaffah” dalam berislam:

كافة : أي في أحكامه كلها التي أساسها الاستسلام والخضوع لله والإخلاص له، ومن أصوله الوفاق والمسالمة بين الناس وترك الحروب بين المهتدين بهديه

Artinya: “(Kaffah), yakni pada semua hukum-hukumnya yang terdiri dari asas menyerahkan diri, tunduk dan tulus kepadaAllah Swt. dan termasuk pokok-pokok ajaran (Islam) adalah kerukunan, berdamai dengan manusia dan tidak berperang dengan orang-orang yang mendapat petunjuknya”.

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa  dalam ajaran Islam, perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber malapetaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan yang merupakan musuh yang nyata dan penyebab perpepacahan.

Islam hadir untuk menjadi penyelamat dan penyejuk di muka bumi ini, oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak diragukan lagi. Dan sebagai agama damai, Islam tidak membenarkan adanya praktek kekerasan atau cara-cara yang bukan islami untuk mencapai tujuan politis. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Allah Sw. menyampaikan dalam firman-Nya:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiyaa’ : 107).

Dari ayat diatas para mufassir menjelaskan bahwa Islam diturunkan oleh Allah swt. ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad saw. semata.

As-Sya’rawi juga memberi komentar atas ayat tersebut dalam tafsirnya, bahwa semestinya umat Islam atau non-Islam hendaknya berkumpul dan bertemu pada ayat ini untuk mengambil rahmat dari sumbernya, sehingga akan terdapat titik temu yang baik dengan sama-sama memulai memperbaiki diri sendiri. Kehadiran damai dalam kehidupan setiap makhluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan.

Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslim terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian. Maka semua tidakan arogansi, radikalisme dan terorisme adalah tidakan yang bukan bersumber dari Islam. Wallahu A’lam.

Tafsir QS. Ali Imran [3] ayat 14-15: Cintai Dia Sewajarnya, Cintai Tuhan Sepenuhnya

0
Red heart on white 3

Mencintai adalah fitrah manusia. Baik mencintai keluarga, pekerjaan, harta, dan berbagai hal duniawi lainnya. Akan tetapi, terkadang kecintaan pada dunia yang berlebihan akan berdampak negatif untuk manusia. Agar hal tersebut tidak berdampak negatif, Allah mengingatkan manusia, khususnya umat Muslim bahwa cinta yang sebenarnya adalah cinta di sisi Allah. QS. Ali Imran [3]: 14 berbicara tentang cinta

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbikang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Dalam tafsir Kemenag RI dijelaskan, kecintaan terhadap wanita (istri), anak, harta, atau beberapa hal yang disebutkan dalam ayat tersebut bukanlah suatu hal yang dilarang, akan tetapi sebagai pengingat agar seseorang mencitai sewajarnya. Serta, menggunakan segala kecintaan kepada hal yang disebutkan di ayat tersebut hanya untuk Allah.

Kata Hubbus syahawaat  dalam ayat tersebut, jika dipahami bahwa Allah yang memperindah syahwat, maka keseluruhan itu baik. Karena, hal tersebut menurut Quraish Shihab relevan dengan kalimat selanjutnya,” itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” 

Kata mata’ yang diartikan kesenangan dalam ayat  tersebut memiliki makna kesenangan yang hanya bersifat sementara. Maka, jelas jika apa sajanyang ada di dunia ini hanya sementara, hanya sebuah titipan yang nanti akan dipertanggungjawabkan.

M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan, bahwa syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Jika kecenderungan itu berasal dari Allah, maka kebajikan-kebajikan yang akan menyertainya. Seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allah dalam hati orang yang beriman (baca QS. al-Hujurat [49] : 7).

Sedangkan, jika kecederungan hati, kecintaannya yang diperindah syaitan, akan dijadikan indah dalam bentuk kecintaan yang berlebihan, dan menjadikan sesuatu yang buruk terlihat baik. Seperti halnya kaum musyrikin yang menganggap indah pembunuhan terhadap anak (baca QS. Al-An’am [6] : 137).

Lantas bagaimana mencintai apa yang Allah anugerahkan kepada kita dengan sikap sewajarnya?

Dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah, manusia ditugaskan oleh Allah untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini supaya dunia ini makmur. Agar maksud itu tercapai, Allah memberikan manusia naluri. Naluri atau dorongan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan segala aktivitasnya. Termasuk pada naluri untuk memelihara diri dan memelihara jenisnya. kemudian, naluri yang bersifat fitrah ini dinamai hubbu asy-syahawaat.

Mencintai dengan wajar syahwat-syahwat yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ke-14 tersebut berarti seseorang perlu menyadari bahwa ada keuntungan yang lebih baik dari semua itu, yakni “wa Allahu, ‘indahu husnul ma’aab”. Hanya disisi Allah kesudahan yang baik.

Kecintaan terhadap syahwat-syahwat tersebut harus berorientasi pada masa depan yang lebih jauh (akhirat). Mencintai pasangan halal, melakukan hubungan badan demi memelihara diri dan keturunan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Menyayangi keturunan (anak) dengan menanamkan nilai-nilai islami, untuk keberlangsungan ajaran Islam pada generasi selanjutnya merupakan hal yang sangat baik. Mencintai harta dengan menggunakannya di jalan yang baik, serta membuat harta tersebut dialokasikan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk orang banyak, termasuk tindakan yang sangat baik. Begitupun kecintaan lainnya, yang didasarkan dan disandarkan pada nilai, maksud, yang positif, serta dengan maksud mengharap ridho Allah merupakan maksud dari ayat 14 surat Ali Imran ini.

Lebih jauh, jika semua syahwat yang disebut di atas, wanita (pasangan), anak, harta, adalah baik, akan tetapi ada yang lebih baik daripada itu. Ini lebih diperjelas dalam ayat selanjutnya (Ali Imron [3] : 15), yaitu mencintai Allah sepenuhnya.

قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰلِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ

Katakanlah, “Inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka, ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dianugerahi) pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan yang sangat besar bersumber dari Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”

Ayat sebelumnya (Ali Imran [3] : 14) telah menginformasikan tentang anugerah Allah berupa hubbu asy-syahawaat pada beberapa hal yang telah disebutkan. Nah, ayat ke-15 ini melanjutkan bahasan ayat sebelumnya dengan pertanyaan, “inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”

Kata aunabbiukum merupakan kata yang terambil dari naba’,  yang berarti berita penting. Artinya hal yang akan disebutkan setelah pertanyaan itu adalah jauh lebih penting dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya.

Untuk orang-orang yang bertakwa‘, yaitu orang-orang yang naluri kecintaannya melekat pada dirinya dengan cara dan ketentuan Allah. Mereka yang mencintai dengan tanpa melanggar ketentuan-Nya, yang mencitai dia (dunia) dengan sewajarnya, dan mencintai Dia (Allah) dengan penuh pengabdian. Disampaikan, bahwa di sisi Tuhannya, akan ada sungai-sungai yang mengalir, kekekalan untuk mereka yang kelak tinggal di sana. Disertai pasangan-pasangan yang disucikan.

Ibnu Katsir menyebutkan, kata ‘disucikan’ berarti suci dari kotoran, najis, haid, nifas dan penyakit yang biasa ditimpakan di dunia. Di tempat yang kekal itu, hanya ada kesenangan yang tak ada batasnya, mereka kekal di dalamnya.

M. Quraish Shihab menafsirkan, dalam sungai yang mengalir , artinya mereka (para penghuni) tidak perlu bersusah payah mengairinya. Terlebih, banyak yang disediakan di dalam sungai itu yang tidak pernah telintas dalam penglihatan dan  pendengaran, atau bahkan dalam imajinasi manusia di muka bumi. Mereka yang ada di dalamnya dianugerahi pasangan yang suci,  jauh dari kotoran jasmani dan rohani. Yang lebih besar adalah karena adanya keridhoan Allah.

Lebih lajut, dalam tafsir Al Misbah, Quraish Sihab menjelaskan makna ridha (رضى). Menurutnya, kata ridha yang ditambah dengan alif dan nun menunjukkan kebesaran, dan keagungan. Keridhaan yang bersumber dari Allah adalah anugerah yang sangat besar. Ini semua merupakan janji Allah, tak ada keraguan di dalamnya.

Jika keridhoan Allah telah didapat, maka apapun yang dikehendaki makhluknya akan Ia berikan. Memberikan bukan dengan setengah-setengah, tetapi dengan penuh keridhaan yang amat agung.

Dalam Tafsir Kemenag terkutip sabda Rasulullah;

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berkata kepada ahli surga.

“Hai Penghuni Surga.”

“Labbaika Rabbana Wasa’daika.”

Allah berkata, “sudah puaskah kalian semua?”

Mereka menjawab, “mengapa kami tidak puas. Sungguh, Engkau telah mmberikan kepada kami sesuatu yang belum pernab Engkau berikan kepada seorang dari makhluk-Mu.”

Allah berfirman, “aku akam berikan kepadamu yang lebih baik daripada itu?”

Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih daripada itu?”

Allah menjawab, ” Aku akan melimpahkan kepadamu Keridhaan-Ku. Lalu, aku tidak akan marah kepadamu selama-lamanya.”

(Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al Khudri)

Jika demikian, keridhaan Allah adalah yang lebih baik dari yang terbaik. Ketika Allah ridha, segala sesuatu akan dilancarkan, diberkahi, dan dipenuhi kebaikan-kebaikan. Keridhaan (cinta) Allah adalah tujuan akhir dari penghambaan di muka bumi. Mencapai Ridha Allah merupakan tujuan yang harus diperjuangkan dengan sepenuhnya.

Cintai istri/suami, anak, harta, jabatan, kendaraan dan sebagainya yang ada di dunia, atas dasar kecintaanmu pada Rabb mu, untuk mencapai Keridhaan Tuhanmu.

Wallahu A’lam bissowab

Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

0
menggali pesan tuhan

Tafsiralquran.id – Al-Qur’an hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai kitab cinta bagi umat Islam. Di dalamnya berisikan pesan-pesan yang ingin Allah swt sampaikan kepada makhluk-Nya. Melalui al-Quran Allah senantiasa mengajak makhluk-Nya untuk berinteraksi dengan diksi yang variatif. Agar interaksi Allah kepada manusia berlangsung dengan baik, sudah menjadi tugas manusia untuk berupaya memahami pesan-pesan yang hendak Allah sampaikan dalam ayat-Nya tersebut.

Historitas menjelaskan, teks al-Quran yang disampaikan dengan bahasa Arab ini memiliki tingkat sastra yang sangat tinggi, sehingga mampu mengalahkan ribuan syair para pujangga di semenanjung Arab kala itu, keistimewaan inilah yang kemudian menjadikan al-Qur’an tiada tanding serta menjadi kitab peripurna sepanjang masa.

Sejauh ini, kapasitas manusia yang serba terbatas menjadi problem umat dalam menangkap makna al-Quran. Bahkan orang Arab dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tergolong dekat dengan Nabi sekalipun tidak mampu menangkap pesan ilahi secara sempurna. Misal pada kisah seorang sahabat Nabi bernama Adi bin Hatim yang mendapati kebingungan terkait prihal puasa dalam al-Quran :

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ لْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.

Sebab kebingungannya, sahabat ‘Adi bin Hatim mengambil benang putih dan benang hitam seraya melihatnya, namun ia tak kunjung mendapat jawaban terkait maksud ayat tersebut, sehingga pagi harinya ia menanyakan perihal tersebut kepada Nabi. Maka Nabi menjelaskan bahwa al-khaithul abyadhi bermakna siang, sedangkan al-khaitul aswadi bermakna malam.

Dalam hal ini, sudah menjadi  tugas Nabi untuk memberikan penjelasan atas wahyu yang diturunkan kepadanya, namun setalah Nabi wafat, kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan generasi berikutnya dalam memahami al-Quran. Terlebih perkembangan Islam yang semakin meluas di penjuru dunia membuat para Ulama berusaha keras mencetuskan berbagai cabang ilmu Ulumul Quran sebagai rambu-rambu dalam memahami al-Quran agar manusia mampu mengetahui pesan yang terkandung dalam kitab cinta tersebut.

Sebagaimana TM Hasbi al-Siddiqie dalam bukunya menjelaskan muatan-muatan yang menjadi ranah kajian ulumul Quran meliputi:

  1. Ilmu Muwathin al-Nuzul, mengkaji tempat, musim, awal dan akir ayat al-Quran
  2. Ilmu tawarikh al nuzul, mengkaji seputar turunnya ayat
  3. Ilmu  Asbab al-Nuzul,mengkaji latar belakang  turunya ayat.
  4. Ilmu Qiroaat, mengkaji ragam bacaan al-Quran. 
  5. Ilmu Tawid, mengkaji tata cara membaca al-Quran.
  6. Ilmu Garibul Quran, mengkaji makna dan lafadz-lafadz yang ganjil.
  7. Ilmu I’rabul Quran, mengkaji posisi subjek dan objek pada ayat.
  8. Ilmu Wujuh wa al-Nadzair, mengkaji pilian makna yang paling tepat.
  9. Ilmu Muhkan dan Mutasyabih, mengkaji makna yang jelas dan makna yang masih ambigu.
  10. Ilmu Nasikh dan Mansukh, mengkaji ayat-ayat yang diganti.
  11. Ilmu Badi’ al-Quran, mengkaji keindahan gaya bahasa al-Quran.
  12. Ilmu I’jaz al-Quran, mengkaji kemukjizatan al-Quran.
  13. Ilmu Munasabah, mengkaji keserasian ayat dan suroh al-Quran.
  14. Ilmu Aqsam al-Quran, mengkaji ayat pernyataan sumpah dari Allah.  
  15. Ilmu Amtsilah al-Quran, mengkaji indikasi perumpamaan dalam al-Quran.
  16. Ilmu Jadal al-Quran, mengkaji ayat-ayat perdebatan dalam al-Quran.
  17. Ilmu Adab al-Tilawah, mengkaji tentang tata krama membaca al-Quran.

Sedemikian banyak cabang ilmu ‘Ulumul Quran yang dirumuskan oleh para Ulama tidak lain ingin menyampaikan urgensi ilmu-ilmu al-Quran sebagai sarana menggali pesan Tuhan, terlebih akir-akhir ini banyak fenomena pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai ayat-ayat al-Quran, mereka cenderung memaksakan makna ayat sesuai dengan argumentasi dengan dasar pemahaman yang kosong, hal inilah yang kemudian melahirkan istilah cocokologi ayat.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia dengan keterbatasannya memerlukan ilmu utuk memahami al-Quran. Pun perlu mengetahui ilmu apa saja yang menjadi dasar untuk dapat mengungkap pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Quran.

Ulumul Qur’an [2]: Sejarah dan Perkembangannya

0
ulumul quran

Tafsiralquran.id – Di masa pemerintahan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, diperintah seorang tokoh untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab, yakni Abu al-Aswad al-Duwali. Pada perkembangan selanjutnya, ini dikenal dengan ilmu I’rab al-Qur’an. Sedangkan upaya dalam pembukuan pembahasan-pembahasan ‘Ulumul Qur’an tetap dilakukan hingga abad kedua. Hanya saja, para ulama pada waktu itu lebih terfokuskan pada kajian-kajian tafsir. Tafsirnya pun mayoritas merujuk pada pendapat sahabat dan tabi’in. Salah satu mufasirnya adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).

Pada abad ketiga, pembahasan ‘Ulumul Qur’an telah ditulis, namun masih dalam satu tema sendiri-sendiri. Di antaranya adalah tulisan yang berjudul asbabun nuzul, karangan dari ‘Ali al-Madini (w. 234 H). Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (w.224 H) menyusun kitab naskh  wal mansukh.  Kemudian, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab musykil al-Qur’an, Muhammad bin Ayyub al-Darls (294 H) menyusun kitab yang membahas terkait ayat yang turun di Mekah dan Madinah. Dan Muhammad ibn Khalf ibn al-Mirzaban (w.309) menyusun kitab al-Hawiy fi ‘ulumul Qur’an.

Perkembangannya terus berlangsung hingga abad keempat. Hal ini terbukti dengan karya-karya yang dihasilkan oleh para ulama. Di antaranya adalah Ajai’b ‘ulumul Qur’an karya dari Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H). Al-Anbary memaparkan penjelasan tentang kemuliaan dan kelebihan Alquran, jumlah kata, ayat dan surat dalam Alquran, dan yang lainnya.

Lalu, ada Abu al-Hasan al-Asy’ary (w.324 H) menyusun kitab al-Mukhtazan fi ‘ulumul Qur’an. Kemudian, kitab Gharib al-Qur’an karya dari Abu Bakar al-Sajastaniy (w.330 H). Serta, Abu Muhammad al-Qasab Muhammad ibn Ali al-Karkhiy (w. 360-an H) menyusun kitab Nakt al-Qur’an al-Dallah al-Bayan fi Anwa al-‘Ulum wa al-Ahkam al-Munabbiah’an Ikhtilaf al-Anam. Dan juga, Muhammad ibn Ali al-Adfawiy (w.388 H) yang menyusun tulisan al-Istigna’ fi ‘Ulum al-Qur’an.

Di abad kelima, sudah ada karya yang membukukan ‘ulumul Qur’an, yakni ‘Ali bin Ibrahim ibn Sa‘id al-Hufiy (w. 430 H) dengan judul al-Burhan fiy ‘Ulum al-Qur’an. Ulama pun menetapkan al-Hufiy sebagai tokoh pertama yang membukan pembahasan-pembahasan ‘ulumul Qur’an.

Pada abad keenam hingga ke kesepuluh, pembukuan serta pembahasan yang lebih komprehensif kian digerakkan. Bahkan beberapa karyanya, hingga kini tetap menjadi rujukan para pengkaji Alquran, di antaranya adalah kitab Funun al-Afinan fi ‘Ulum al-Qur’an karya dari Ibn al-Jauziy (w.597 H), serta kitab al-Mujtaba fi ‘Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an.

Selanjutnya, di abad ketujuh, Alamuddin al-Sakhawiy (w.641 H) menyusun kitab yang berjudul Jamal al-Qurra wa Kamal al-Iqara. Lalu, Abu Syamah (w.665 H) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajid fiy Ma Yata’allahq bi al-Qur’an al-Aziz.

Pada abad ke 8, al-Zarkasyi (w.794 H) menyusun kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Lalu pada abad 9, Jalal al-Din al-Bulqniy (w.824 H) menyusun kitab Mawaqi’ al-‘Ulum fi Mawaqi al-Nujum. Dan, di awal adab kesepuluh, Jalal al-Din al-Suyutiy (w.911 H) menyusun kitab al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir  dan kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Kemudian, terjeda dalam waktu yang cukup lama, kajian-kajian ‘ulumul Qur’an ada dalam tahap stagnan. Dan, mulai muncul kembali di abad keempat belas. Pembahasan ‘ulumul Qur’an mencakup sebagian besar cabang-cabangnya, seperti, al-Tibyan li Ba’d al-Mabahis al-Muta’alliqah bi al-Qur’an karya dari Tahi al-Jazayiri di tahun 1335 H. Ada juga, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, seorang ulama besar al-Azhar yang menyusun kitab tentang ulum al-Qur’an.

Setelah itu, Muhammad ‘Ali menyusun kitab Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Dan, disusul oleh Muhammamd Abd al-Adzim al-Zarqaniy dengan bukunya Manihil ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Serta, Ahmad ‘Ali yang menyusun kitab Muzakkirah ‘Ulum al-Qur’an dan Subhi Salih menyusun kitab Mabahits fi ‘Ulum Qur’an.

Di samping itu, juga ada karya dari Manna’ al-Qattan yakni Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an karya ‘Ali al-Sabuni. ‘Ulum al-Qur’an wa al-Hadits karya Ahmad Muhammad ‘Ali Daud. Ada juga dalam bahasa Indonesia yakni karya dari T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dengan judul Ilmu-Ilmu Alquran. []