Beranda blog Halaman 551

Trend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

0
masih perlukah mubahalah?

Tafsiralquran.id – Sebagian kita mungkin pernah melihat di media sosial seseorang secara menggebu-gebu menantang pihak tertentu untuk ber-mubahalah, mengangkat al-Qur’an sembari melaknat pihak yang dianggap berselisih dengannya. Fenomena yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Sebagian orang meyakini mubahalah sebagai solusi dalam perselisihan dan perbedaan pendapat, benarkah? Mari kita cari tahu arti mubahalah dan adakah ayat al-Qur’an yang secara spesifik memerintahkan untuk bermubahalah?

Dalam Lisan al-Arab disebutkan bahwa akar kata mubahalah adalah al-bahl yang berarti al-La’n atau laknat. Sementara mubahalah berarti mula’anah yang bermakna saling melaknat. Definisi ini juga diungkapkan oleh al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dari makna dasar ini kemudian  Ibnu Mandzur mendefinisikan mubahalah dengan  :

معنى المباهلة ان يجتمع القوم اذا اختلفوا فى شئ  فيقولوا لعنة الله على الظالم منا

Yang disebut mubahalah adalah ketika terdapat satu kelompok orang berselisih dalam satu hal, mereka berkumpul kemudian berkata : “laknat Allah akan menimpa orang yang dalim diantara kita”

Di dalam al-Qur’an terdapat satu ayat yang secara sharih berbicara mengenai mubahalah. Yakni dalam surat Ali Imran ayat 61 :

فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡاْ نَدۡعُ أَبۡنَآءَنَا وَأَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰذِبِينَ

Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri istri kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermuba>halah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta

Imam al-Wahidi dalam kitab asbab al-nuzul meriwayatkan beberapa keterangan mengenai latar belakang turunnya ayat di atas.  Pada intinya ayat di atas  turun berkenaan dengan pertanyaan Nasrani Najran kepada Nabi Muhammad perihal Nabi Isa. Nabi Muhammad terdiam sampai kemudian turun surat Ali Imran ayat dzalika natluhu ‘alaika minal ayati wa dzkr al-hakim.. sampai ayat faqul ta’alaw…. (surat ali Imran ayat 59-61) yang menjelaskan bahwa penciptaan Nabi Isa sebagaimana Nabi Adam. Kemudian Rasulullah mengajak mereka untuk bermubahalah, akan tetapi mereka tidak datang dan memilih membayar jizyah.

Dalam tafsir al-Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil Imam al-Baidhawi menceritkan, setelah mendapat tantangan mubahalah dari Rasulullah, Nasrani Najran meminta pertimbangan seseorang di antara mereka mengenai hal itu. Orang tersebut kemudian menyarankan kaum Nasrani Najran agar tidak melakukan mubahalah dengan Nabi Muhammad.  Karena ia tahu dan menyadari bahwa Nabi Muhammad benar-benar utusan dan Nabi Allah swt. Jika mubahalah tetap dilanjutkan maka pasti mereka semua akan celaka. Pada akhirnya mereka menolak untuk melakukan mubahalah dan menawarkan jizyah sebagai gantinya.

Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya Ibn Kathir disebutkan jumlah jizyah yang diserahkan dua ribu stel pakaian dalam satu tahun yang diserahkan selama dua tahap. Seribu stel pertama diserahkan pada bulan Rajab dan seribu selanjutnya diserahkan pada bulan Safar. Kisah senada juga disebutkan oleh al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kashaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil.

Dari keterangan singkat di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mubahalah yang dilakukan oleh Rasulullah berhubungan dengan persoalan akidah agama. Persoalan yang sangat urgen dalam keimanan umat Islam. Selain itu, tantangan mubahalah yang dilakukan oleh Rasulullah juga dilakukan setelah melakukan proses “dialog”. Tidak secara tiba-tiba tanpa proses diskusi satu pihak melakukan mubahalah. Proses dialog antara dua pihak yang berselisih nampak dalam penggalan ayat fa man hajjaka fihi min ba’di ma ja’aka minal ilmi (Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu) dan secara jelas diterangkan dalam riwayat-riwayat asbab nuzul.

Dengan demikian apabila hendak melakukan  mubahalah  seyognyanya dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah masalah yang diperselisihkan menyangkut permasalah akidah yang sangat urgen atau hanya menyangkut perkara pribadi, yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa mubahalah?

Silahkan anda timbang sendiri, apakah mubahalah yang sempat ramai di dunia maya beberapa waktu lalu menyangkut persoalan akidah sehingga urgen dilakukan? Apakah dua belah yang berselisih sudah melakukan dialog sebelum melaknat satu sama lain? Atau mubahalah yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa proses dialog terlebih dahulu? Waallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

0
Al-Hujurat Ayat 12
Al-Hujurat Ayat 12

Berprasangka buru atau suudzan merupakan sikap hati yang patut dihindari. Seorang mukmin dianjurkan/diperintahkan untuk menghindari prasangka. Hal ini tercantum dalam Surat Al-Hujurat Ayat 12:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hujurat Ayat 12)

Surat Al-Hujurat Ayat 12 ini secara tegas melarang kita untuk berprasangka (buruk) kepada orang lain. Prasangka buruk (su’uzhan) ini lazim terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita termasuk di antara yang pernah atau bahkan sering melakukannya, baik disadari atau tidak.

Prasangka buruk atau su’uzhan terhadap orang lain biasanya disebabkan oleh rasa iri atau tidak suka terhadap orang tersebut. Dalam pandangan orang yang iri atau tidak suka kepada seseorang, maka apa pun yang dilakukan orang yang dibencinya, tidak tampak kebaikan sedikit pun. Seolah-olah apa yang dilakukannya selalu salah. Prasangka buruk ini, jika dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan fitnah.

Rasulullah Saw. pernah mengingatkan dalam salah satu sabdanya, “Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (kemegahan dunia), janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling bermusuhan tetapi jadilah hamba-hamba Allah Swt. yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Alkisah, ada seorang petani yang kehilangan arit yang biasa dia pakai untuk menebas rumput di sawah. Dia sudah mencari ke sana kemari, tetapi tetap tidak menemukannya. Suatu ketika, dia melihat tetangganya membawa arit yang mirip dengan arit miliknya. Dalam hatinya dia bergumam, “wah kurang ajar itu tetangga sebelah, jangan-jangan dia yang mencuri arit saya”.

Mulai saat itu, sikapnya terhadap tetangga sebelah yang dianggap telah mencuri aritnya berubah 180 derajat. Dari yang sebelumnya ramah, kini berubah sinis. Tidak ada lagi tegur sapa di antara mereka berdua. Hari demi hari kecurigaannya semakin menjadi. Dia pun akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pasti tetangganya itulah yang mencuri aritnya.

Hubungan keduanya kian tidak harmonis. Hari-hari dilaluinya dengan penuh curiga dan prasangka. Dia bahkan sudah menyebarkan informasi kepada para tetangga lainnya bahwa tetangga sebelah rumahnya mencuri arit miliknya. Kini, kecurigaanya sudah berubah menjadi fitnah. Tak henti-hentinya setiap bertemu dengan orang yang dikenalnya, dia ceritakan hal tersebut. Akhirnya seluruh penduduk kampung menganggap bahwa tetangga sebelah rumah si petani tersebut adalah pencuri.

Suatu ketika, dia hendak membersihkan gudang lumbung padi miliknya. Tiba-tiba, dari balik tumpukan jerami tampak sebilah arit yang tergeletak di sana. Setelah dia dekati ternyata itu adalah arit miliknya yang dianggapnya sudah hilang dicuri oleh tetangga sebelah. Dengan perasaan tidak karuan, malu bercampur rasa bersalah dia menyadari bahwa selama ini dia telah berburuk sangka kepada tetangga sebelah rumahnya itu. Dia merasa berdosa, karena akibat ulahnya, yaitu menebar fitnah karena prasangka buruknya, si tetangga jadi bahan gunjingan orang sekampung. Dia tidak bisa membayangkan betapa sakit hatinya si tetangga tersebut, betapa malunya dia karena sudah dituduh mencuri. Akhirnya, diapun buru-buru meminta maaf kepada si tetangga atas sikapnya selama ini. (Dikutip dari Buku Penulis berjudul: “Berpikir Positif Agar Allah Selalu Menolongmu!”)

Kisah di atas memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa janganlah kita berburuk sangka kepada orang lain. Karena belum tentu apa yang kita sangkakan sesuai dengan kenyataannya. Lebih baik kita berbaik sangka, sehingga tidak akan menimbulkan kebencian apalagi sampai menebar fitnah.

So, su’uzhan… No Way!

Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Alquran

0
sunnionline.us

Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran. 

Sebelum munculnya kitab tafsir lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim dengan Kitabut Tafsir-nya.

Selanjutnya pada era tafsir-tafsir awal, riwayat tafsir Nabi, sahabat dan tabiin itu dikutip dalam kitab-kitab tafsir dengan turut memuat sanadnya secara lengkap. Sampai pada masa di mana hanya matannya saja dari hadis-hadis itu yang dipertahankan, kepakaran atas ilmu hadis menjadi prasyarat seseorang untuk menjadi mufassir.

Baca juga: Hadis-Hadis tentang Keutamaan Membaca Alquran

Sebagian ahli tafsir ada yang sangat berpegang pada riwayat-riwayat hadis dalam menafsirkan Alquran. Tafsir jenis ini kini dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.

Selain sebagian kecil oknum Munkirus Sunnah (kelompok yang mengingkari sunnah), para ulama menjadikan hadis sebagai salah satu komponen penting dalam upaya menafsirkan Alquran. Ini tidak lepas dari kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai mufassir (penjelas) yang paling otoritatif atas Alquran.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, posisi hadis Nabi terhadap Alquran setidaknya ada empat, yaitu sebagai berikut:

  1. Sebagai Penguat Alquran

Ini terjadi ketika hadis menyampaikan pesan yang sama dengan yang terdapat dalam Alquran. Maka hadis di sini berperan sebagai penguat yang mengafirmasi atas apa-apa yang telah disampaikan Alquran sebelumnya.

Contohnya, hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Berwasiatlah kalian terhadap perempuan dengan kebaikan.” Hadis ini menguatkan perintah Alquran untuk memperlakukan perempuan dengan makruf dalam kutipan ayat berikut:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan bergaullah dengan mereka (perempuan) secara patut (QS. An-Nisa: 19)

  1. Sebagai Penjelas Alquran

Kebanyakan hadis Nabi berposisi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran. Dibandingkan dengan hadis, Alquran yang jumlahnya hanya sekitar 6.236 ayat ini tentunya sangat sedikit dan tidak cukup memadai untuk merangkum seluruh rincian ajaran Islam. Tidak heran ungkapan-ungkapan dalam Alquran bersifat padat dan universal. Di sinilah dibutuhkan peranan hadis dalam menjelaskan hal-hal yang masih umum, samar dan ambigu tersebut.

Peran hadis sebagai penjelas ini dapat dibagi ke dalam tiga macam. Pertama, adakalanya hadis merinci pesan ayat yang masih global. Ini seperti hadis-hadis tentang tata cara dan sifat salat Nabi sebagai rincian dari perintah salat dalam Alquran yang tidak dibahas bagaimana teknis pelaksanaannya.

Baca juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Alquran: dengan Riwayat dan Rasio

Kedua, adakalanya lagi hadis mengkhususkan sesuatu yang disampaikan ayat secara umum. Salah satu contohnya ialah hadis riwayat Baihaqi yang berbunyi, “Pembunuh tidak dapat mewarisi (dari orang dibunuhnya) sedikitpun.” Ia mengkhususkan keumuman hukum waris dalam Alquran.

Ketiga, adakalanya pula sebuah hadis mengikat atau membatasi apa yang diberitakan ayat secara mutlak. Misalnya praktik hukum potong tangan bagi pencuri yang diperintahkan Nabi hanya sampai pada pergelangan tangan. Sedangkan redaksi QS. Al-Maidah: 38 menyebutkan kata “tangan” secara mutlak, yang definisinya secara bahasa ialah bagian tubuh dari ujung jari sampai bahu.

  1. Sebagai Legislator Selain Alquran

Sebagai salah satu sumber hukum Islam (masadirul ahkam), hadis juga kadang datang membawa hukum baru yang tidak pernah disinggung oleh Alquran. Sebagai contoh, kewajiban zakat fitri dalam hadis Nabi yang tidak ditemukan dalilnya dari Alquran.

Sebagian ulama menyatakan, tidak ada ketetapan yang datang dari hadis yang benar-benar baru. Semua hukum yang ada pasti memiliki dasar dari Alquran, baik disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Apa yang dianggap hukum baru dari hadis sebenarnya masuk dalam prinsip atau kaidah umum Alquran. Sebab sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 38 bahwa tidak ada sedikitpun yang teralpakan dari Alquran.

Mustafa as-Siba’I telah mengulas panjang lebar perdebatan para ulama tentang hal ini beserta argumentasinya masing-masing dalam kitabnya yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha fit Tashri’l Islami.

  1. Sebagai Nasikh atas Alquran

Mayoritas ulama menganggap hadis juga bisa berperan sebagai pembatal hukum Alquran. Tentunya hadis yang tingkatannya mutawatir atau sahih. Keabsahan ini mengingat hadis Nabi juga merupakan bagian dari wahyu seperti halnya Alquran, sehingga prinsip nasakh dapat diberlakukan.

Mereka mencontohkan perintah Alquran kepada orang yang merasa dirinya akan wafat supaya berwasiat kepada orang tua dan kerabat. Ajaran yang tercantum pada QS. Al-Baqarah: 180 ini dianulir oleh hadis mutawatir yang menyatakan bahwa tiada wasiat bagi ahli waris.

Baca juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Alquran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Meski demikian, sebagian ulama seperti as-Shafi’I dan al-Qardawi menolak anggapan tersebut. Kelompok yang menegasikan naskhul qur’an bis sunnah ini mendasari pandangan mereka pada ayat berikut:

مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah: 106)

Bahwa naskh tidak terjadi kecuali yang menggantikan sebanding atau lebih baik dari yang digantikan, sementara antara Alquran dan hadis tidak sebanding. Alquran lafal dan maknanya langsung dari Allah, bersifat pasti dan terjamin keotentikannya, sedangkan hadis tidak. Oleh karena itu hadis dapat di-nasakh oleh Alquran, namun tidak sebaliknya.

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara Alquran dan hadis saling terkait satu sama lain. Dalam kaitannya menafsirkan Alquran, hadis berperan penting sebagai salah satu komponen penafsiran yang membantu mufassir memahami Alquran dengan benar.

Abdullah Bin Mas’ud; Sahabat yang Pertama Menyuarakan al Quran Setelah Rasululah SAW

0
republika

Abdullah Bin Mas’ud adalah salah satu sahabat Rasullah yang masuk agama Islam pada golongan pertama (assabiqul awwalun), masuk pada urutan ke enam ia menyatakan siap mengikuti ajaran Rasulullah. Dia juga merupakan sahabat rasul yang mempunyai intelektual luas hingga mampu meriwayatkan hadis 840 hadist, namun siapa sangka sebelum masuk Islam, ia dikenal sebagai buruh miskin dari orang Quraisy. Dan setelah masuk Islam ia diberikan Allah SWT keberanian baja untuk mengumandangkan ayat al Quran pertama kali dengan suara yang sungguh merdu.

Kisah Ketika Pertama Kali Abdullah Bin Mas’ud Bertemu Rasulullah SAW.

Berdasarkan kitab Rijalur Haular Rasul karya Khalid Muhammad Khalid, bahwa awal Abdullah bin Mas’ud bertemu dengan Rasulullah adalah ketika dia sedang menggembala kambing bentina milik majikan orang Quraisy. Kemudian Rasulullah dan sahabat Abu Bakar menghampiri Abdullah, Rasulullah berkata kepada Abdullah, “nak apakah kamu mempunyai air susu untuk diminum kami?”. Dalam hati Abdullah berkata bahwa ia tidak bisa memberikan begitu saja, karena disini ia hanya sebagai buruh. Kemudian Abdullah menjawab, “aku ini hanyalah orang suruan, jadi tidak bisa memberikan minuman kepada kalian”.

Kemudian Rasulullah kembali bertanya, “apakah engkau mempunyai kambing betina mandul, yang belum pernah dikawini kambing pejantan?”. Karena ada kambing yang di maksud oleh Rasulullah, maka Abdullah menunjukkan kambing betina yang mandul, dan sungguh mukzijat Rasulullah, bahwa ketika susu kambing diperah oleh Rasulullah, atas izin Allah keluarlah air susu yang begitu banyak. Abu Bakar segera mengambilkan timba atau wadah untuk hasil perahan susu kambing tersebut. Hasil air susu kemdian diminum oleh Rasulullah, Abu Bakar, serta Abdullah bin Mas’ud.

Pada saat itu Abdullah sangat terheran-heran dengan kejadian yang dilakukan oleh Rasulullah, kemudian Abdullah berkata, “ajarilah aku kata-kata tersebut untuk bisa melakukan apa yang kamu lakukan”. Dan Rasulullah kembali besabda, “ engkau akan menjadi anak yang terpelajar”. singkat cerita Abdullah mengambil keputusan untuk beriman kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Dia juga sering ikut mendampingi Rasulullah, hingga ia dapat belajar al Quran dengan mendengarkan langsung dari Rasulullah. Selain cerdas, Rasulullah mengakui bahwa Abdullah mempunyai suara yang merdu.

Peristiwa Ketika Pertama Kali Abdullah bin Mas’ud Menyuarakan Al Quran dengan Merdu.

Selama sebelum masuk Islam Abdullah ibnu Mas’ud ciri orang yang tidak berani lewat di depan orang Quraisy dengan kepala yang lurus, ia selalu menundukkan kepala setiap berhadapan dengan kaum Quraisy. Selain itu ia juga dikenal dengan buruh miskin dan tidak berpengetahuan luas.

Berbeda dengan ketika Abdullah sudah masuk Islam, dia dikarunia Allah menjadi sosok yang pemberani, meskipun itu menyuarakan suatu hal yang baru bagi dia. Pada saat acara majlis para bangsawan di sisi Ka’bah, dan banyak dihadiri oleh tokoh tokoh pemuka Quraisy, suara Abdullah Mas’ud ketika mengumandangkan ayat al Quran, ternyata begitu membanjiri perhatian para majlis yang hadir. Para pemuka kaum Quraisy, sungguh sangat sulit percaya bahwa orang yang membacakan al Quran setelah Rasulullah adalah seorang remaja buruh penggambala kambing yaitu Abdullah bin Mas’ud.

Sumber cerita sahabat yang pertama mengumandangkan al Quran  memang banyak ditemukan, baik pada sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam dan ada juga pada Rijalur Haular Rasul karya Khalid Muhammad Khalid. Diceritakan para sahabat dan pemuka kaum Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran, siapa yang berani membacakan ayat al Quran yang biasanya pada saat itu hanya nabi Muhammad yang membacakan. Dan seketika itu pula, atas rahmat Allah Abdullah diberikan keberanian baja, sehingga menawarkan dirinya untuk membacakan al Quran di depan dan didengar banyak orang, kemudian Abdullah membacakan surat ar-Rahman dengan suara yang lantang dan merdu. Dan tak satupun majlis yang datang tidak terpesona oleh suaranya, mereka semua sungguh terpesona.

Akan tetapi bagi orang kaum musrik Quraisy karena baru mendengar ayat al Quran, Abdullah malah dipukuli hingga babak belur. Meskipun kejadian menyedihkan menimpa Abdullah, ia tak goyah untuk tetap menyuarakan al Quran. Semoga kisah tersebut bisa menjadi teladan buat kita.

Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

0
geotimes

Keberadaan musuh wajib diwaspadai agar keamanan dapat terjamin. Zaman yang semakin berkembang menjadikan tindak kejahatan pun semakin berkembang. Terlebih dengan keberadaan teknologi yang semakin maju menjadikan pelaku kejahatan semakin “kreatif” dalam mengembangkan tindak kejahatannya.

Narkoba, terorisme, perdagangan manusia menjadikan kita harus selalu waspada. Bukan hanya pemerintah saja, namun  masyarakat pun harus tetap waspada dengan musuh baik yang tampak maupun tersembunyi. Karena itu diperlukan strategi pertahanan dalam melindungi sebuah Negara. Berkenaan dengan pertahanan ini, terdapat firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 60 sebagai berikut:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّة وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”

Menurut Muhammad Rashid Rida, ayat di atas turun berkenaan dengan sikap kaum Yahudi Madinah yang melanggar perjanjian bersama Nabi Saw. atau yang dikenal dengan perjanjian Madinah. Pasca peristiwa ini putuslah hubungan persahabatan antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi, sehingga terjadi persekutuan antara kaum Yahudi dengan kaum Musyrik untuk memerangi Nabi Saw. (Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Shahir bi Tafsir al-Manar, Juz 10, hal. 69)

Di akhir ayat, terdapat redaksi a’iddu yang merupakan bentuk jamak dari kata i’dad yang berarti merencanakan sesuatu untuk masa depan. Dalam ayat ini, terdapat pula kata ribat jika ditinjau dari segi bahasa berarti tali yang mengekang binatang yang ditunggangi. Sedangkan jika dikaitkan pada ayat tersebut, redaksi ribat bermakna mempersiapkan kekuatan untuk menggentarkan musuh melalui mempersiapkan persenjataan.

Menurut Rida pengertian dari ribat al-khayl terdiri dari dua macam. Pertama, usaha untuk mempersiapkan tenaga sesuai kemampuan masing-masing. Kedua, meningkatkan kewaspadaan di seluruh tempat-tempat penting dalam suatu negara seperti pelabuhan, bandara, kantor pemerintahan juga perbatasan negeri agar tidak jatuh ke tangan musuh. Sehingga dalam hal ini Rida menafsirkan redaksi ribat al-khayl dengan menyesuaikan konteks zaman yang berkembang. Jika pada masa Rasulullah Saw, peralatan tempur yang digunakan adalah panah, alat pelempar atau Manjaniq juga pasukan berkuda atau kavaleri. Maka pada zaman modern berupa alusista.

            Redaksi selanjutnya adalah turhibuna bihi aduw Allah wa ‘aduwwakum (kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu). Menurut Rida, adalah merancang strategi untuk menggentarkan musuh dengan mengerahkan seluruh upaya dalam masalah keamanan seperti unsur militer, kepolisian dan intelijen. Kata turhibu>na yang memiliki akar kata al-irhab dimaknai dengan usaha yang dilakukan untuk membuat lawan menjadi kagum dan gentar sehingga dapat menyiutkan nyali lawan (Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Shahir bi Tafsir al-Manar, Juz 10, hal. 70-72).

Kemudian pada redaksi wa akharin min dunihim la ta’lamunahum Allah ya’lamuhum (dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.)  menurut at-Tabari, terdapat beberapa pendapat mengenai redaksi wa akharin yakni Bani Quraidah (Salah satu kabilah Yahudi Madinah), Imperium Persia, orang-orang Munafik, dan satu kaum dari bangsa Jin.

Dari pendapat ini, at-Tabari pun mengingatkan dalam tafsirnya untuk tetap waspada dengan musuh yang tidak tampak. Tambahnya, musuh dalam konteks ini ialah musuh dalam selimut. Tentu ini merupakan ancaman paling berbahaya dalam kehidupan suatu bangsa. (at-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Juz 4, hal 59-60).

Ahmad Mustafa Al-Maraghi memiliki kesamaan pandangan dengan Rashid Rida mengenai penafsiran ayat ini. Namun, al-Maraghi menambahkan pendapatnya mengenai hikmah turunnya ayat tersebut agar umat manusia memiliki sikap waspada terhadap keamanan negeri. Dalam mewujudkan keamanan negeri, maka perlu dibentuk angkatan bersenjata sebagai kekuatan resmi untuk melindungi rakyat dan Negara dari ancaman musuh. Selain itu dibutuhkan pula dinas resmi yang bertugas mengolah informasi dari pihak musuh atau yang disebut dengan intelijen. (Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 10, hal. 24-25)

Berkenaan dengan ayat ini, jika dikaitkan dengan era milenial, maka perang bukan lagi pada ranah persenjataan, namun perang pada ranah pemikiran. Sehingga yang perlu diwaspadai pada era masa kini adalah narasi-narasi kebencian yang mengantarkan pada perpecahan dan konflik sosial. Sehingga pihak keamanan harus meningkatkan kewaspadaan terhadap narasi-narasi kebencian dan hasutan yang tersebar di media sosial. Oleh karena itu langkah utama yang harus dilakukan adalah menggandeng elemen masyarakat untuk dapat melawan narasi kebencian melalui tim cyber medsos.

meski demikian, bukan berarti keamanan ranah publik diabaikan begitu saja. Hal ini tetaplah penting, karena saat ini tempat-tempat penting seperti bandara, stasiun kereta api, bahkan perbatasan negeri menjadi rawan akan kejahatan abik berupa adanya pelaku pengedar narkoba, terorisme dengan segala jaringannya maupun perdagangan manusia. Jika kita lengah, maka para pelaku kejahatan dengan mudahnya akan menggunakan fasilitas publik untuk menyebarkan tindakan kejahatan.

Penutup ayat yakni wa ma tunfiqu min sya`in fi sabil Allah yuwaffa ilaykum wa antum la ta’lamun (Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)).

Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan mengungkapkan masalah infak harta di jalan-Nya. Menurut at-Tabari, jika seseorang menyumbangkan hartanya baik untuk membeli peralatan tempur maupun hal lain yang dapat menggentarakan musuh, maka hal tersebut termasuk dalam menginfakkan harta di jalan Allah. Jika melakukan hal ini, maka bagi orang tersebut akan ada balasan baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga dengan menginfakkan hartanya untuk kemaslahatan bersama dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan keamanan dalam negeri, maka orang tersebut tidak akan merasa rugi atau dianiaya. Wallahu a’lam

Tafsir Tarbawi: Larangan Bullying dalam Pendidikan Islam

0
Larangan bulllying
Larangan bulllying (muslim-okezone)

Bullying, istilah ini kian naik daun seiring dengan berkembangnya teknologi. Mirisnya, bullying yang biasa kerap terlontar baik di dunia nyata atau maya telah terjadi bahkan membudaya di institusi pendidikan mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Sekolah atau kampus yang seharusnya menjadi tempat pencetak insan yang berbudi luhur ternodai oleh oknum sebagian pelaku yang tidak bertanggungjawab. Islam mengutuk keras aksi bullying sebagaimana firman Allah di bawah ini pada Surat al-Hujurat ayat 12:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)

Tafsir Surah al-Hujurat Ayat 12

Al-Baghawy dan al-Qurthuby menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan riwayat tentang dua orang sahabat Nabi saw yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Nabi saw tatkala melakukan perjalanan, di mana Nabi saw selalu menyertakan seorang pelayan kepada dua orang laki-laki yang merdeka, yang bertugas untuk melayani mereka.

Dalam konteks peristiwa ini, hal demikian dilakukan yakni menyertakan sahabat Nabi saw, Salman al-Farisi kepada dua orang laki-laki kaya. Pada satu waktu kedua laki-laki ini kelaparan dan menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Nabi saw. Sampailah Salman bertemu Nabi, lalu Nabi berkata, “Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, hendaklah dia memberikannya kepadamu.”

Salman lalu menemui Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Kemudian, kembalilah Salman kepada kedua laki-laki itu dan menginformasikan hal ini. Namun kedua laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia kikir.” Selanjutnya, mereka mengutus Salman ke tempat sekelompok sahabat, tetapi salman tidak mendapatinya apa-apa di sana. Akhirnya kedua laki-laki itu memata-matai Usamah apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak.

Tindakan mereka ini dipergoki oleh Rasul saw, lalu Rasul saw bersabda, “Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya.” Rasulullah menimpali, “Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman.” Maka turunlah ayat ini, yaitu surat al-Hujarat ayat 12.

Larangan Bullying ini tersirat dalam dua redaksi. Pertama, ijtanibu katsiran min al-dzanni. Kedua, wa laa tajassasu wa la yagtab ba’dhukum ba’dhan. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan kata ijtanibu berasal dari kata janaba yang berarti samping.

Dalam artian, mengesampingkan sesuatu atau menjauhkan dari jangkauan tangan. Kata ini terdapat penambahan huruf “ta” yang berfungsi sebagai penekanan sehingga bermakna bersungguh-sungguhlah untuk menghindari prasangka buruk.

Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa kata ijtanibu merupakan bentuk keagungan akhlak atau tata krama yang dapat menghilangkan prasangka buruk dan tuduhan palsu. Sebab prasangka buruk diawali oleh perasaan kecemburuan sosial, stigma negatif, dan sebagainya.

Ibnu Katsir misalnya menyebutkan bahwa Allah swt melarang hamba-Nya yang beriman dari dominasi berprasangka buruk. Mencurigai keluarga, sanak kerabat, serta orang lain dengan tuduhan yang tidak berdasar alias palsu. Berkaitan dengan prasangka (dzann), al-Thantawy dalam Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa para ulama membagi dzann dalam tiga hukum, yakni wajib, haram dan mubah.

Haram, tatkala prasangka itu tidak berdasar atau tidak ada bukti konkrit dan hanya sekadar menerka-nerka (berspekulasi). Wajib, tatkala ia beribadah kepada Allah berdasarkan ilmunya, sementara ia masih ragu dan belum menemukan dalil yang qath’i terkait ibadah yang dilakukannya, maka ia wajib menelusuri atau mencari kebenaran yang valid (al-ma’rifah al-shahihah). Mubah, tatkala munculnya keraguan dalam shalat.

Telah diriwayatkan kepada kami dari Sayyidina Umar bin Khattab, bahwa ia pernah berkata, “Jangan sekali-kali kamu mempunyai prasangka terhadap suatu kalimat yang keluar dari lisan saudaramu yang mukmin kecuali hanya kebaikan belaka, sedangkan kamu masih berkesempatan untuk memahaminya dengan baik.”

Kedua, wa laa tajassasu wa la yagtab ba’dhukum ba’dhan. Lafaz tajassus menurut Ibnu Katsir pada galibnya menunjukkan makna konotasi negatif, karena itulah mata-mata dalam semantik bahasa Arab disebut jaras. Sedang tahassus umumnya disematkan terhadap kebaikan seperti pengertian yang terdapat dalam firman-Nya Q.S. Yusuf [12]: 87, fatahassasu min yusufa wa akhihi (maka carilah berita baik tentang Yusuf dan saudara-saudaranya). Namun, kadang kala lafaz tahassus merujuk pada makna negatif, sebagaimana sabda Rasul saw;

لَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Janganlah kalian saling memata-matai dan janganlah pula saling mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah pula saling membenci dan janganlah pula saling menjatuhkan, tetapi jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Al-Auza’i mengatakan bahwa tajassus adalah mencari-cari kesalahan pihak lain, dan tahassus adalah mencari-cari berita suatu kaum, sedangkan yang bersangkutan tidak berkenan untuk diekspos. Sedangkan tadabbur artinya menjerumuskan, menjatuhkan atau membuat makar.

Larangan Bullying dalam Pendidikan Islam

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam mengutuk keras aksi bullying. Bullying berdampak buruk terhadap dalam konteks ini adalah fisik maupun psikis peserta didik. Perilaku sebagian oknum yang tidak bertanggungjawab baik oleh pendidik atau peserta didik lainnya membawa pengaruh buruk bahkan trauma akut jika tidak diatasi secara intensif. Ia akan merasa depresi, ketidakpercayaan diri, menyendiri hingga bunuh diri pun menjadi tak terhindarkan. Islam mengumpamakan orang yang melakukan bullying sebagaimana memakan bangkai saudaranya sendiri. Apakah ia tega memakan daging atau bangkai sesamanya?

Oleh karena itu, peran guru atau pendidik, kiai dalam mengedukasi peserta didik, santri-santrinya sangat penting guna mencegah dan memutus mata rantai bullying, jika tidak maka perilaku ini dikhawatirkan membudaya dan seolah-olah tindakan biasa.

Langkah ini bisa dilakukan mulai dari siswa itu sendiri dengan cara melerai atau mendamaikan saat bullying terjadi, keluarga harus berperan aktif memotivasi dan mengasuh anak-anaknya, tak ketinggalan sekolah juga dapat mencanangkan program “anti bullying” dan lingkungan sekitar yakni masyarakat untuk dapat membangun kepedulian sosial sehingga kasus bullying di sekolah atau lingkungannya tidak pernah terjadi lagi. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 44: Memahami Maksud Hukum Allah

0
Surat Al-Maidah Ayat 44
Surat Al-Maidah Ayat 44

Surat Al-Maidah Ayat 44 acapkali dikutip oleh sebagian orang untuk mengatakan bahwa orang yang tidak berpegang pada hukum Allah Swt adalah kafir. Bagaimana kita memahaminya? Tulisan ini akan mencoba menguraikannya. Allah Swt berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّون …وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi … Siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Surat Al-Maidah Ayat 44)

Potongan Surat al-Maidah ayat 44 di atas menjadi salah satu potongan ayat yang paling krusial dalam perbincangan politik Islam dan telah melahirkan polemik panjang. Pasalnya, para ekstrimis muslim selalu menggunakan (baca: menyelewengkan) ayat tersebut untuk mengkafirkan pemerintahnya, dari mulai masa Khawarij Lama (Old Khawarij) sampai Khawarij hari ini (Neo Khawarij), dari mulai era pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Talib sampai era pemerintahan hari ini.

Karena itu pengkafiran dan permusuhan terhadap pemerintah selalu menjadi ciri universal kelompok Khawarij (induk ekstrimisme muslim) yang terus beranak-pinak dan ber-reorganisasi sampai hari ini.

Baca Juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran

Pemaknaan Khawarij terhadap Surat al-Maidah ayat 44 ini sampai mengkristal menjadi sebuah ideologi utama di kalangan mereka, yaitu ideologi yang disebut hakimiyah (kewajiban berhukum dengan hukum Allah). Dari hakimiyah ini lah lahir semua tindak dan pikir yang ekstrim, dari mulai pengkafiran terhadap pemerintah, pengkafiran terhadap masyarakat, pengkafiran terhadap negara, sampai kewajiban mendirikan negara agama atau khilafah, kewajiban hijrah untuk jihad, dan penegasan identitas pemisah iman dan kafir (al-wala wa al-bara).

Ideologi dan pola pikir semacam itu tentu sangat merepotkan dan merugikan Islam. Bagaimana mungkin Islam dapat mencapai visinya yang rahmatan lil ‘alamin dengan ideologi sempit seperti itu. Bagaimana mungkin Islam bisa membawa kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dengan agenda penuh kebencian dan permusuhan seperti itu. Ideologi semacam itu hanya berisi distorsi Islam dan mengakibatkan lahirnya islamophobia atau ketakutan terhadap Islam, bertolak belakang jauh dengan apa yang dilakukan Nabi SAW, yang membawa Islam dengan penuh cinta dan kasih sayang, sehingga dengan mudah meraih simpati.

Bagaimana penjelasan dan tafsir sebenarnya dari Surat al-Maidah ayat 44 ini? Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Abbas menjelaskan sabab nuzul-nya dengan menyatakan bahwa, ayat ini (al-Maidah ayat 44) beserta ayat 45 dan 47, ditujukan kepada orang Yahudi. Yaitu saat dua kelompok Yahudi berselisih mengenai hukuman pidana, di mana kaum bangsawan melakukan upaya diskriminasi hukum terhadap kaum jelata. Kemudian Nabi SAW diminta untuk menjadi penengah dan lalu turunlah ayat ini.

Terkait tafsir ayat tersebut Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir menyatakan, bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas tindakannya mengingkari hukum yang telah termaktub dalam Kitab Taurat, karena itu lah mereka disebut kafir.

Melalui penafsiran tersebut diketahui bahwa khitab (target bicara) ayat tersebut adalah khusus, yaitu hanya kepada orang Yahudi. Pendapat ini diperkuat oleh Abdullah bin Utbah, Ibnu Mansur, Abu Syeikh, Ibn Mardawaih dan Hasan Basri. Sebagaimana juga Ibn Jarir yang meriwayatkan dari Abu Saleh bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk umat Islam.

Memang ada sebagian mufasir yang berpendapat bahwa ayat tersebut berlaku umum, mengacu pada kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi khusus al-sabab. Tetapi mereka memaknai kufur bukan sebagai keluar dari agama, tetapi kufur nikmat (kufrun duna kufrin).

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mendudukkan ayat tersebut dalam konteks umat Islam Indonesia? Jika kita berpegang pada pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun khusus ditujukan kepada orang Yahudi, maka berarti masalahnya selesai, karena berarti umat Islam tidak termasuk di dalamnya. Dan jika mengacu pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum dengan level kekufuran nikmat, maka itu bisa saja terjadi menimpa umat Islam yang tidak menunaikan syukurnya.

Yang pasti ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar mengkafirkan pihak yang dituduh tidak berhukum dengan hukum Allah. Kekafiran hanya bisa terjadi saat seseorang mengingkari dengan hati dan mendustakan dengan lisan terhadap pokok akidah. Adapun ketidaksempurnaan dalam melaksanakan syariat dan akhlak sama sekali tidak bisa dihukumi kafir. Kita harus amat sangat hati-hati dan menjauhi perilaku melabeli kafir, karena jika yang tertuduh tidak kafir, maka kekafirannya kembali kepada si penuduh (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Zhihar dan Beberapa Ketentuannya

Kesimpulan mengenai tafsir dan penjelasan Surat al-Maidah ayat 44 adalah bahwa ulama terbagi dua, ada yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun khusus kepada orang Yahudi dan ada yang menyatakan berlaku umum termasuk untuk umat Islam tetapi dengan catatan kufur yang dimaksud adalah kufur nikmat.

Dan sebagai catatan terakhir, Indonesia meski secara formal bukan negara agama, tetapi tata nilai dan prinsip keagamaan Islam sangat menjiwai sistem negara. Berhukum dengan hukum Allah tidak harus selalu tekstual dan simbolik, tetapi esensi dan substansi perintah Allah itu lah yang penting untuk diejawantahkan dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana kaidah al-‘ibrah bi al-jauhar la bi al-mazhar (yang terpenting adalah isi bukan kemasan). Jadi bukan bagaimana Indonesia menjadi Negara Islam, tetapi bagaimana Indonesia menjadi negeri yang islami. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

0
peran suami istri

Tafsirquran.id- Sudah jamak diketahui bahwa QS An-Nisa’ [4]: 34 ini memunculkan ragam penafsiran yang kontradiktif. Dalam perspektif mufassir klasik semisal al-Zamakhshari, al-Razi, Ibnu Katsir dan sebagainya mendudukkan ayat ini sebagai legitimasi pengunggulan laki-laki atas perempuan di ranah domestik maupun publik.

Di fragmen lain, ulama kontemporer sekaliber Yusuf Qardlawi dan Quraish Shihab mengarahkan ayat ini secara khusus berisi manual tentang relasi suami dan istri dalam menjalani mahligai rumah tangga. Selanjutnya, mereka menyatakan suami sebagai penanggungjawab utama dalam rumah tangga. Hal ini berlandaskan pemahaman terhadap ayat itu yang secara eksplisit menempatkan suami sebagai subjek yang memiliki kelebihan dan dapat menopang kebutuhan keluarga. Berikut ini teks ayatnya: 

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ  (34)

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (Q.S. al-Nisa [4]: 34)

Dari pemaknaan mufassir klasik kita dapat pahami bahwa mereka mengartikan secara literal kata al-rijaal dan al-nisa’ dengan laki-laki dalam cakupannya yang umum, sehingga memunculkan pemahaman laki-laki menjadi subjek yang memimpin, dan sebaliknya, perempuan selalu menjadi objek yang dipimpin. Mereka menggunakan hadis tentang pernyataan Nabi Saw. bahwa suatu negeri tidak akan dapat berjaya bila dipimpin oleh perempuan, untuk menguatkan penafsirannya. Begitu pula, mereka menggunakan nalar perspektif mereka bahwa laki-laki memiki akal yang lebih cerdas serta fisik yang lebih kuat ketimbang perempuan.

Berbeda dengan Quraish Shihab dan Yusuf Qardlawi yang lebih mengarahkan ayat ini pada relasi suami-istri. Dengan mengkorelasikan siyaqul ayat (konteks ayat) yang membahas persoalan nafkah dalam rumah tangga, mereka berkesimpulan bahwa diksi qawwaam di situ ditujukan pada kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Dan sebagai argumentasi tandingan mengenai hadis kepemimpinan perempuan di atas, Yusuf Qardlawi menerapkan hadis itu pada kondisi sosial ketika perempuan masih rendah peradabannya, seperti yang terjadi pada kekaisaran Romawi 9 H yang kalang kabut saat di pimpin Ratu Kisra, yang notabene menjadi sebab munculnya hadis tersebut.

Dua model penafsiran di atas pada gilirannya butuh untuk dikembangkan. Sebab berdasarkan kondisi aktual, penafsiran tersebut terasa tidak relevan, karena hari ini peran perempuan baik di ranah publik atau pun domestik tidak seluruhnya kurang signifikan daripada laki-laki. Salah satu cara adalah dengan mengilustrasikan setting historis relasi suami-istri di masa ayat itu turun dengan realitas saat ini dan menggali substansi dari ayat itu sendiri.

Ada Pergeseran kultur

Hussein Muhammad dalam Fiqh Perempuan menegaskan telah terjadi pergeseran kultur dalam sistem relasi suami-istri yang kemudian dapat menjadi dasar pentingnya melakukan rekonstruksi penafsiran QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas.

Dalam narasi sistem keluarga masa lalu, perempuan sebagai istri berada pada posisi kedua karena kuatnya kultur patriarki. Peran laki-laki sebagai suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap stabilitas rumah tangga. Sedangkan istri, otoritasnya berada dalam kuasa suaminya dan pada kondisi demikian kita dapat menyebut perempuan merupakan the second priority.

Perempuan berada pada titik nadir marginalisasi saat pra Islam. Ia ibarat barang yang bisa dijual, diwaris, ditawan, dan dibumi-hanguskan secara cuma-cuma. Lalu, datanglah Islam dengan menyampaikan ajaran yang mengangkat harkat perempuan secara perlahan dan tentunya menyesuaikan dengan kultur patriarki yang masih kental di masyarakat Arabia.

Pada titik ini, perempuan mendapat waris setengah dari bagian laki-laki. Dalam sektor penikahan, ada pembatasan poligami, perintah menjalin relasi baik, dan ketentuan nushuz yang ringan. Kesemua tatanan itu berlangsung selama kultur patriarki masih berjalan. Setidaknya hingga muncul tren gender equality di Abad 19 seperti yang disampaikan Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya.

Selanjutnya, kultur patriarki mulai tidak menemukan pijakannya baik secara teologis mau pun sosiologis. Kondisi ini ditengarai dengan progresivitas nalar ahli tafsir kontemporer untuk menggali maksud ayat berdasarkan esensi dan mengkompromikan dengan kenyataan sekarang, saat perempuan telah banyak berperan. Di lingkup keluarga perempuan menunjukkan perannya sebagai istri dan ibu yang baik, begitu pula di lingkup publik, mereka terbukti memiliki kapabilitas dan kredibilitas menjadi figur pemimpin, interpreuner, dan semisalnya.

Melihat kenyataan ini, QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas penting untuk ditafsirkan secara kontekstual, dengan mengambil substansi ayat lalu mengelaborasikannya dengan fakta yang ada sekarang.

Substansi ayat

Faqihuddin Abdul Qodir dalam Qira’ah Mubaadalahnya, menyebutkan bahwa substansi QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas ialah siapa yang memiliki kapasitas lebih dalam hal finansial atau pun otoritas dalam mengatur relasi suami-istri, maka ia bertanggungjawab untuk mengemban amanat sebagai pemenuh kebutuhan finansial keluarga, dan pula mengatur keberlangsungan keluarga tersebut.

Pada saat yang sama, Faqih menyatakan ditampilkannya diksi ar-rijaal sebagai pemimpin memiliki makna yang kontekstual. Sebagaimana kita tahu sebelumnya, bahwa laki-laki pada kenyataannya memiliki otoritas lebih di masa ayat ini turun, sehingga laki-laki berkewajiban untuk menjadi pemimpin keluarga. Maka sebaliknya, tidak hanya laki-laki, perempuan pun bisa menjadi pengatur rumah tangga bila keadaan menuntut demikian.

Pemaknaan ar-rijaal dengan tidak eksklusif kepada laki-laki dapat pula kita temui dalam QS At-Taubah [9]: 108, QS An-Nur [24]: 37, dan QS Al-Ahzab [33]: 23. Pada tiga ayat itu kendatipun secara redaksi hanya menyapa laki-laki dengan disebutkannya diksi ar-rijaal, perempuan juga masuk di dalamnya. Sehingga, memperkuat otoritas perempuan untuk ikut andil dalam mengatur keberlangsungan rumah tangga. Diperkuat dengan konteks QS An-Nisa’ [4]: 34 yang berupa narasi ikhbar (memberi informasi), yang secara nalar ushul fiqh sekedar memberi informasi yang tidak mengindikasikan suatu ajaran.

Fleksibilitas Tanggungjawab

Mengaca dari kenyataan dan berpegang pada substansi ayat yang harus dipegang senantiasa, maka timbul pemaknaan baru terhadap QS An-Nisa [4]: 34 di atas. Ialah hak dan tanggungjawab suami dan istri sangatlah fleksibel dengan kondisi yang dialami masing-masing rumah tangga yang tentu saja berbeda. Laki-laki bertanggungjawab sebagai pemenuh kebutuhan dan penjaga stabilitas keluarga jika memang ia memiliki kapasitas itu dan istrinya sedang mengemban amanah reproduksi; kehamilan, masa menyusui, atau mendidik anak, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan produktif secara optimal.

Begitu pula, bila pihak istri memiliki kapasitas lebih daripada suami, maka adalah kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dan penjaga stabilitas keluarga. Ketentuan tersebut sangat fleksibel, dan harus tetap berpijak pada tiga tujuan pernikahan yang merupakan perjanjian kuat (mitsaqan ghalidzan). Tiga tujuan itu sebagaimana yang dirumuskan oleh Faqihuddin Abdul Qodir ialah; terjalin relasi yang baik, pemenuhan kebutuhan finansial dan seksual. Dalam mewujudkan tujuan itu, juga harus berlandaskan prinsip mushawarah (saling tukar pendapat), sehingga keputusan pun adil untuk kedua belah pihak. Wallahu a’lam []

Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

0
masrawy.com

Tafsir bukanlah sekedar tafsir. Tafsir juga mempunyai misi untuk membumikan petunjuk atau hidayah Al Quran dalam realitas kotemporer. Maka, dengan itu ada sebuah maqasid (tujuan) dari diturunkannya Al Quran.

Pada Metode Tafsir Maqasidi karya Wasfi’ Asyur Abu Zayd tertera bahwa tafsir menyentuh semua lingkaran sosial yang meliputi individu, keluarga, masyarakat, negara, umat, dan manusia secara keseluruhan. Wasfi’ juga mengutip perkataan Ibnu ‘Asyur, bahwa tujuan tertinggi dari Al Quran adalah memperbaiki hal ikhwal individu, masyrakat dan pembangunan.

Kemudian berdasarkan penulusuran Ibnu ‘Asyur ada delapan poin maqasid Al Quran:

Memperbaiki Keyakinan dan Mengajarkan Aqidah yang Benar

Menghilangkan sesuatu tanpa bukti atau pandangan yang tidak berdasarkan rasio. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS.Hud ayat 101:

وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

“Karena itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi mereka sesembahan yang mereka sembah selain Allah, ketika siksaan Tuhanmu datang. Sesembahan itu hanya menambah kebinasaan bagi mereka”

Pada ayat tersebut diterangkan bahwa menambah kebinasaan dinisbahkan kepada tuhan-tuhan mereka, selain Allah SWT. Bukan karena apa yang dilakukan oleh Tuhan yang mereka sembah, akan tetapi keyakinan terhadap tuhan-tuhan tersebut, yang mana tidak rasional.

Mendidik Moral

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Qalam ayat 4:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau bener bener berbudi pekerti yang luhur”

Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak Rasulullah, Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al Quran. Sehingga hal tersebut diketahui oleh banyak sahabat dan masyarakat Arab. Alquran mendidik moral yang baik.

Mengatur umat

Menjaga kemaslahatan dan persatuan semua umat. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS. Ali Imron ayat 103:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahuu (masa Jahiliyyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan KaruniaNya kami menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapati petunjuk”

Tasyri’ secara Detail Maupun Global adalah Hukum

Mayoritas hukum sudah terperinci dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS. An-Nisa ayat 105:

 إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

“Sungguh, kami telah menurnkan Kitab (al-quran) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan jangalah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat”

Mengajarkan Ilmu

Al Quran mengajarkan ilmu sesuai dengan zaman pembaca. Selain itu juga mengandung hikmah, sebagaimana firman Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 269, yang menerangkan tentang manfaat ilmu.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiaa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat”

Kisah tentang orang terdahulu yang dholim sudah dirangkum dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah pada QS. Ibrahim ayat 45:

وَسَكَنْتُمْ فِي مَسَاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الْأَمْثَالَ

“Dan kamu telah tinggal di tempat orang yang menzalimi diri sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan” 

Kemujizatan Al Quran

Untuk mengetahui sabab Nuzul Al Quran adalah dengan mempercayai dan mengetahui kisah Nabi dalam memperoleh mukjizat Alquran, sebaimana firman Allah pada QS. Yunus ayat 38:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Alquran) dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”

Teguran Peringatan, Sekaligus Kabar Gembira

Hal ini mencakup semua ayat, bahwa Al Quran memiliki tujuan memberikan peringatan bagi umat yang meninggalkan perintah Allah, dan kabar gembira untuk umat yang melakukan perintah Allah SWT. Wallahu ‘alam.

Kenapa Disunnahkan Membaca Ta’awwudz?

0
altanwer.com

Mengucapkan ta’awwudz atau isti’adzah disunahkan sebelum membaca Alquran. Oleh karena itu, umat Islam hampir selalu mengucapkannya tiap kali akan memulai bacaan Alquran. Namun tidak banyak yang mengetahui dasar kesunahan praktik ini dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Untuk itu, tulisan ini akan membahas hal tersebut lebih lanjut.

Dasar kesunahan ta’awuz adalah QS. An-Nahl ayat 98 yang berbunyi sebagai berikut:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu akan membaca Alquran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.

Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya menyatakan bahwa meskipun kata qara’ta berwazan fiil madhi, namun di sini ia bermakna seperti fi’il mudhari’, yakni menunjukkan makna ingin melakukan sesuatu. Sehingga yang dimaksud dengan ungkapan iza qara’ta al-Qur’an… ialah, “Apabila kamu hendak membaca Alquran…”.

Peralihan makna ini menurut Ibn ‘Ashur biasa digunakan dalam Alquran. Selain pada ayat ini, dapat pula dilihat ketika Allah memerintahkan orang yang ingin mendirikan salat supaya bersuci sebelumnya, diksi yang dipakai juga berwazan fi’il madhi, yaitu iza qumtum ila al-salah faghsilu wujuhakum … (QS. Al-Maidah: 6).

Meskipun demikian, beberapa ulama seperti al-Nakh’i, Ibn Sirin, Daud az-Zahiri dan Abu Hurairah tetap mempertahankan makna lahiriah ayat. Mereka menempatkan bacaan ta’awwuz seusai membaca Alquran.

Adapun damir mukhatab (kata ganti orang kedua) pada ayat ini merujuk pada sosok Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi menurut para ulama, apa yang ditujukan kepada diri Nabi Muhammad dalam banyak kasus sesungguhnya juga dimaksudkan kepada umatnya, salah satunya perintah ta’awuz di sini di mana ia turut berlaku untuk seluruh umat Islam. Demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh ar-Razi.

Menurut M. Ali al-Sabuni, kata ar-rajim yang berwazan fa’il bermakna isim maf’ul, yaitu al-marjum yang berarti “sesuatu yang terkutuk”. Ini sebagaimana kata kahil dalam ungkapan ‘ain kahil yang berarti “mata yang terpakaikan celak”. Setan disebut al-rajim karena ia terkutuk, terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah Swt.

At-Tabari dalam kitab tafsirnya meriwayatkan kesepakatan ulama bahwa perintah ta’awwuz pada An-Nahl: 98 di atas masih sebatas anjuran (sunah), belum sampai pada tingkatan wajib.

Kesunahan ini berlaku pada setiap kali akan memulai bacaan Alquran, utamanya ketika sedang dalam salat. Hanya saja ketika dalam salat, tidak disyariatkan membaca ta’awwuz dengan lantang baik salat tersebut dilaksanakan di waktu siang maupun di malam hari.

Lafaz ta’awwuz sendiri yang populer digunakan ialah yang berbunyi seperti ayat di atas yaitu, a’uzu billah min al-shaitan al-rajim (Aku berlindung pada Allah dari setan yang terkutuk). Selain itu dikenal pula versi lain seperti a’uzu billah al-sami’ al-‘alim min al-shaitan ar-rajim (Aku berlindung pada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk).

Ada beberapa hikmah dari disyariatkannya ta’awwuz sebelum membaca Alquran. Di antaranya supaya pembaca dapat lebih siap dan konsentrasi dalam membaca Alquran. Bacaan ta’awwuz berperan sebagai pintu masuk yang memisahkan ibadah baca Alquran dengan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan sebelumnya.

Melalui ta’awwuz, pembaca meminta bantuan pada Allah supaya menjaganya dari gangguan setan yang terkutuk, sehingga ia dapat membaca Alquran dengan benar dan khusyuk serta mampu memahami, merenungi dan menghayati pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan baik.