Beranda blog Halaman 550

Multi Meaning dalam Kosakata al-Qur’an

0
Teks Alquran
Teks Alquran

Tafsiralquran.id- Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang Shalih li kulli zaman wa makan, kalam Tuhan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam yang hakiki.  Meskipun secara faktual al-Qur’an turun di Arab, namun dalam konteksnya al-Qur’an berlaku untuk semua umat manusia, tidak terbatas bagi orang-orang yang berada di teritorial  atau Jazirah Arab saja.  Sejak al-Qur’an diturunkan sampai saat ini kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah habis. Kajiannya beragam, mulai dari kajian kebahasaan, sintaksis, morfologi, sampai upaya kontekstualisasi terhadap ajarannya. Pendekatan yang digunakan pun juga beragam, dewasa ini pendekatan hermeneutika menjadi “trend” di kalangan akademisi muslim. Fazlurrahman misalnya, mengembangkan teori doble movement dalam upaya memahami ideal moral yang dikehendaki ayat.

Kajian kebahasaan agaknya merupakan konsentrasi awal dalam kajian al-Qur’an. Kasus Adi bin Abi Hatim yang salah dalam memahami bahasa ungkapan al-Qur’an merupakan bukti bahwa kajian kebahasaan secara embrio sudah ada sejak zaman Nabi.  Pada masa sahabat, ketidaktahuan Umar mengenai maksud dari kata abban dalam al-Qur’an juga bukti lain bahwa kajian tentang bahasa al-Qur’an sudah ada sejak generasi awal Islam. Al-Farra’ dengan kitab Ma’ani al-Qur’an-nya juga berdiskusi tentang kebahasaan, mulai sintaksis, morfologi dan kajian kebahasaan lainnya.

Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an seperti sintaksis, morfologi dan lain sebagainya, hampir menjadi pembahasan wajib dalam kitab tafsir era klasik sampai era pertengahan. Hal ini menjadi sasaran kritik bagi ulama modern, karena dianggap terlalu “berlama-lama” dalam membahas gramatikal dalam ayat al-Qur’an, sehingga kadang sampai melalaikan sisi hudan /petunjuk dalam ayat yang dibahas.  Namun kritik ini tidak bisa diterima begitu saja. Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an sama pentingnya dengan kajian tentang dalalah yang dikandung di dalam ayat.  Maksud dari ayat al-Qur’an tidak dapat dipahami dengan baik, jika makna kata atau susunan tarkib-nya tidak diketahui dengan baik pula. Sebab al-Qur’an adalah kitab yang unik, bisa saja ia menyebutkan satu kata yang sama, namun memiliki arti yang berbeda ketika kata tersebut diletakkan di lain tempat. Kajian ini dalam diskursus ilmu al-Qur’an disebut dengan al-Wujuuh wa al-Nazaair.

Adanya al-wujuuh wa al-nazaair dalam al-Qur’an dalam perspektif ulama merupakan bentuk kemu’jizatan al-Qur’an. Bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata memiliki beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wujuuh wa al-nazaair materi yang mutlak harus diketahui oleh cendikiawan yang hendak memahami isi kandungan al-Qur’an.  Sebuah riwayat dari Muqaatil bin Sulaymaan yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad menerangkan bahwa:

لا يكون الرجل فقيها كل الفقه  حتى يرى في القرأن وجوها كثيرة

Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an sampai ia mengetahui makna yang beragam di dalam al-Qur’an.

Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak memahami al-Qur’an harus mengusai materi al-wujuuh wa nazaa>ir. Sehingga pemahaman yang didapatkan menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna yang dikandung dalam al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk beradu argumen dengan golongan khawarij.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali melarang Ibn Abbas menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan golongan khawarij. Instruksi ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an dibanding dengan golongan khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu zu wujuuh, sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain. Menurut Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka, karena hadis tidak zu wujuuh sebagaimana al-Qur’an.

Di satu sisi aspek ini mungkin menjadi bahan perdebatan yang tidak ada akhirnya. Namun di sisi lain, aspek ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an benar-benar firman-Nya. Tidak ada ciptaan manusia yang bisa seperti ini, satu teks namun dipahami secara berbeda dan masing-masing memiliki argumen yang bisa saja sama-sama kuat. Atau bisa juga menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dari berbagai macam kepentingan individu maupun kelompoknya.

Pada awalnya kajian tentang wujuh wa al-nazair berkembang seiring dengan perkembangan tafsir al-qur’an. Namun  kemudian, para pakar bahasa dan tafsir menulis  diskursus al-wujuh wa nazaair dalam satu buku khusus yang terpisah dari buku tafsir. Hal seperti lumrah dalam dunia akademis, satu rumpun ilmu dapat terpecah-pecah menjadi berbagai macam ilmu yang memiliki konsentrasi beragam.  Dari ilmu tafsir misalnya, memunculkan  ilmu qira’at, ilmu munasabah, ilmu bahasa, ilmu asbab al-nuzul dan lain sebagainya.

Dalam diskursus tafsir al-Qur’an, wujuh wa nazair masuk dalam kategori tafsir al-Qur’an yang bercorak kebahasaan. Corak bahasa dalam tafsir al-Qur’an begitu kental di periode klasik dan pertengahan Islam. Hampir setiap karya tafsir tidak lepas dari pembahasan perihal ‘asal kata,  gharib  al-Qur’an, Mushkil al-Qur’an, mushabihah al-Qur’an dan I’rab al-Qur’an. Memang sejak awal perkembangannya, ilmu al-Qur’an selalu saling terkait dengan ilmu bahasa, seolah dua rumpun ini tidak dapat dipisahkan. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para ulama yang terkait dengan bahasa al-qur’an yang dituangkan dalam banyak karya tulis.

Hasil dari ulama yang konsen dalam bidang ini adalah temuan bahwa ada satu lafal dalam al-Qur’an yang memiliki satu makna saja, adapula yang satu lafal memiliki dua makna bahkan ada yang memiliki banyak makna (multi-meaning). Mereka menjelaskan makna yang kuat dan makna yang samar dalam lafal tersebut.  Namun terkadang terjadi perdebatan di kalangan ulama perihal mana makna yang kuat dan makna yang samar. Perdebatan mengenai makna hakiki dan majazi ini hal yang mainstream dalam periode Islam pertengahan, dimana sekte muktzilah vis a vis dengan sekte suni.

Dalam beberapa literatur yang membahas khusus mengenai al-wujuuh wa al-nazaair disebutkan bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair adalah kitab karya Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy (w. 150 H). Kitab tersebut diberi nama al-wujuuh wa nazaair fi’ al-Qur’an al-Kariim, ditulis pada abad ke dua Hijriah.  Namun bukan berarti sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy belum ada pembahasan mengenai al-wujuuh. Sangat mungkin sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy ini sudah ada ulama yang konsen membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair akan tetapi kitab-kitabnya tidak terkodifikasikan secara baik.  Sehinggga tidak sampai pada generasi Islam saat ini.

Asumsi ini berdasarkan keterangan Haatim Shalih pen-tahqiq kitab al-wujuuh wa nazaair fi al-Qur’an al-Kariim, bahwa kitab karya Muqaatil bin Sulaymaan ini adalah kitab tertua yang sampai pada zaman kita, dengan demikian sangat dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai pada zaman kita. Di antaranya kitab yang berbicara tentang al-wujuuh wa nazaair, namun tidak sampai ke generasi Islam saat ini adalah kitab Kashfa al-dhunu>n yang dinisbatkan kepada ‘Ikrimah maula Ibn ‘Abbas.

Tentu masih banyak lagi kitab-kitab yang mendiskusikan aspek kebahasaan dalam al-Qur’an yang belum kita ketahui. Namun setidaknya, dengan melihat beberapa karya ulama di atas, kita semakin terbuka terhadap perbedaan interpretasi ayat al-Qur’an. Tidak mudah tersulut emosi ketika melihat hasil penafsiran terhadap ayat al-Qur’an yang berbeda .  Mengutip ungkapan Abdullah Darraz dalam al-Naba’ al-Adhim, al-Qur’an itu seperti permata yang setiap sisinya  memancarkan cahaya berbeda-beda.  Sehingga apa yang kita tangkap dan yakini sebagai pesan teks, belum tentu sama dengan yang diterima oleh orang lain.

Semua umat Islam tentu sepakat bahwa al-Qur’an adalah teks suci yang pasti kebenarannya. Namun, pemahaman seseorang terhadap teks tentu tidak bisa disejajarkan dengan teks, pemahaman  manusia terhadap teks al-Qur’an tidak bisa dianggap suci dan pasti benar sebagaimana ayat al-Qur’an. Karena al-Qur’an dan pemahaman (tafsir) merupakan entitas yang berbeda.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 4

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu “menguasai hari pembalasan”. Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir.

Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan memanjangkan mim, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, Malik artinya “Yang memiliki” (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya “Raja”. Kedua bacaan itu benar.

Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipahami dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan “Yang menguasai”. “Yaum” artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.

Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi, Maliki yaumiddin maksudnya “Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan.”

Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib (menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan “hari pembalasan” itu lebih tepat.

Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat)

Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini, bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal.

Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu.

Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari kemudian?

Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak.

Sebab itu sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat, “Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu.”

Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang Hari Akhirat

Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai rasul.

Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: “Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan.” Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  ٧  وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ  ٨

(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8)

Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur′an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An’am/6: 29 ; al-Mu′minun/23: 37).

Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali (Hud/11: 7; al-Isra′/17: 49) dan banyak lagi ayat senada yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan yang demikian itu.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan dalam Al Quran

0

Kesuksesan kita sebagai seorang umat Islam akan dilihat dari bagaimana cara kita melakukan peribadatan dan kadar ketakwaan kita kepada Allah SWT. Tidak ditentukan dari seberapa sering kuantitas ibadah namun lebih pada kualitas Ibadah yang dikerjakan dan efek setelah melakukan ibadah tersebut. Islam memiliki pedoman yang menuntun umatnya agar selalu mengatur segala bentuk kegiatannya dengan baik, teratur dan disiplin. Entah itu kegiatan yang bersifat duniawi atau ukhrowi.

Beberapa pepatah dan peribahasa banyak sekali yang memberi pesan betapa pentingnya kepedulian kita kepada waktu dan kedisiplinan. Seperti, “waktu adalah uang”, “waktu yang hilang tidak akan ditemukan lagi” dan banyak lagi lainnya yang menjelaskan betapa pentingnya introspeksi, dan menghargai waktu yang diberikan Allah kepada kita dengan melakukan hal-hal baik dan bermanfaat.

Salah satu ayat yang sangat relevan utuk dijadikan pedoman kesuksesan dunia dan ukhrowi kita terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 18. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”

Dalam Tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna takwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan. Begitu pula penjelasan Al-Qurthubiy yang menyatakan bahwa perintah taqwa (pada ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan larangannya, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajibanNya yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita, sebagai orang yang beriman, dan menjauhi larangan-larangan Allah, yang secara keseluruhan harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita”

Sebagai seorang yang beriman tentu kita harus memiliki komitmen untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Karena dalam rangkaian ayat ini perintah taqwa hanya diperuntukkan kepada orang yang telah beriman. Apabila dia tidak beriman maka dia harus beriman terlebih dahulu untuk terus kemudian bertaqwa.

Pada potongan ayat selanjutnya inilah yang memiliki makna dan motivasi mendalam tentang intropeksi diri dan pentingnya manajemen waktu yang baik sehingga menjadi penting unuk selalu menanam kebaikan untuk dipetik kelak di hari akhir. Allah berfirman:

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”

Menurut beberapa mufassir kata ghad memiliki banyak arti Al-Qurthubi menjelaskan yang dimaksud dengan kata tersebut adalah hari kiamat. Kata-kata ghad sendiri dalam bahasa Arab berarti besok. Beberapa ahli ta’wil menyatakan dalam beberapa riwayat: Allah senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga menjadikannya seakan terjadi besok, dan besok adalah hari kiamat. Ada juga yang mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal ini bisa diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu, yakni untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.

Dalam kitab Tafsir ibnu Katsir, ayat ini disamakan dengan perkataan “haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu” Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab (di hari akhir).

 Potongan ayat selanjutnya Allah kembali mengulang untuk kedua kalinya kalimat yang artinya sama bertaqwalah kepada Allah. Dalam kaidah Bahasa Arab apabila ada suatu kata yang diulang sebanyak dua kali dalam satu susunan kaimat maka kalimat tersebut mengandung unsur penekanan atau sungguh-sungguh. Al-Qurthubiy menjelaskan bahwa kalimat wattaqullah (dalam ayat ini) memberikan pengertian: kalimat (wattaqullah) pertama bisa dipahami sebagai perintah untuk bertaubat terhadap apa pun perbuatan dosa yang pernah kita lakukan, sedangkan pengulangan kalimat wattaqullah pada ayat ini (untuk yang kedua kalinya) memberikan pengertian agar kita berhati-hati terhadap kemungkinan perbuatan maksiat yang bisa terjadi di kemudian hari setelah kita bertaubat, karena setan tidak akan pernah berhenti menggoda diri kita.

InnaLaaha khabiirun bima ta’maluun Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Baik dan buruknya pekerjaan kita tidak lepas dari pengawasan Sang Khaliq.

Introspeksi, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan

Rangkaian ayat ini menjelaskan kepada kita betapa pentingnya seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya di masa lalu untuk kesuksesan dan kebahagiaan masa depan. Allah senantiasa memberi motivasi kepada kita untuk selalu menanam kebaikan dengan amal shaleh. Dengan waktu yang diberikan pada saat ini sudah seharusnya manusia selalu berfikir untuk mengerjakan segala hal yang berorientasi pada hal baik. Perlu diingat penciptaan manusia di muka bumi ini hanya untuk beribadah.

Dalam rumus kehidupan kita selalu dihadapkan dengan waktu yang terbagi menjadi 3, masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Dalam ayat tersebut Allah mewanti-wanti kepada kita untuk menghitung (intropeksi) perbuatan-perbuatan apa yang dilakukan pada masa lalu untuk kesuksesan hasil di masa depan (akhirat). Sedangkan saat ini adalah waktu yang hanya di berikan untuk kita. Memanfaatkan dan mengatur waktu sebaik-baiknya adalah hal paling utama bagi kita untuk mencapai kesuksesan yang akan kita raih. Dan hal ini berlaku pula pada diri kita di kehidupan dunia ini. Seandainya seseorang berkeinginan menjadi seorang alim, maka tergantung bagaimana jerih payah dan banyaknya waktu untuk belajar yang dihabiskan pada saat ini. Seorang pilot bisa menerbangkan pesawat terbang yang terbaru maka tergantung bagaimana pengalaman dari pelajaran-pelajaran dari pesawat yang telah diterbangkn pada masa lalu. Seorang pemuda yang ingin sukses dalam berbisnis maka saat ini adalah waktu yang terbaik untuk merasakan kerasnya dunia bisnis dan dengan sendirinya waktu yang akan menjawab segala bentuk jerih payah yang telah dikeluarkan untuk mencapi kesuksesaannya.

Tentu yang dimaksud Allah dalam ayat ini adalah timbulnya kebaikan yang mengarah kepada kesuksesan Akhirat yang abadi. Hari kiamat dikatakan seperti hari esok dan sangat dekat, tentu ibadah dan seluruh pekerjaan yang kita laksanakan pada hari ini haruslah dengan kualitas dan niat terbaik. Dan Allah menutup firmanNya dengan mengatakan bahwa Dia maha mengetahui apapun usaha yang dilakukan. Semoga kita tergolong orang-orang yang sukses di dunia maupun akhirat.

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 2-3

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 2-3 ini membahas mengenai dua hal. Pembahasan yang pertama mengenai pujian kepada Allah SWT atas segala anugerah nikmat. Sedangkan pembahasan yang kedua mengenai kekuasaan Allah SWT meliputi seluruh alam semesta.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 1


Ayat 2

Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah, sebagai pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu memuji-Nya.

Al-hamdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat keutamaan yang dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang menjadi sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji. Orang yang menyebut al-hamdu lillah bukan hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata, melainkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah.

Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-angsur.

’Alamin artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk. Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus, umpamanya malaikat, jin, dan alam yang lain. Ada mufasir mengkhususkan ‘alamin pada ayat ini kepada makhluk-makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas.

Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada sesuatu pun dari makhluk Allah yang terlepas dari didikan-Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu, guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.

Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari pertumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya sampai ke masa kanak-kanak, lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga dari makhluk Allah yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.


Baca juga: ‘Pepujian Jawi’ Surah Al-Fatihah


Ayat 3

Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut ar-Rahman ar-Rahim. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba.

Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah.

Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.

Rasulullah bersabda:

اِنَّمَا يَرْحَمُ الله ُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

(رواه الطبراني)

Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih. (Riwayat at-Tabrani)

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء

(رواه احمد وابو داود والترمذي والحاكم)

Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah yang Rahman Tabaraka wa Ta’ala.(Oleh karena itu) sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua makhluk yang di langit akan menyayangi kamu semua. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud at-Tirmizi dan al-Hakim)

Rasulullah bersabda:

مَنْ رَحِمَ وَلَوْذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

(رواه البخاري)

“Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhari)

Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Rahman, ar-Rahim, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya.

Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

0
larangan memaki sesembahan
larangan memaki sesembahan non-muslim

Tulisan ini akan menguraikan soal toleransi dalam Al-Quran. Khususnya yang tertera dalam Surat Al-An’am ayat 108, yakni topik tentang larangan memaki sesembahan orang lain. Dan Surat Thaha ayat 44 yang berbicara soal cara dan sikap dakwah yang santun. Kita sendiri tahu bahwa Indonesia memiliki beragam suku, agama dan budaya. Hal ini mengaharuskan kita menjunjung tinggi rasa dan perilaku toleransi. Keberagaman yang dimiliki Indonesia di satu sisi bernilai positif karena ia merupakan kekayaan Indonesia. Di sisi lain, ia rawan menjadi “alat” pemicu konflik horizontal. Salah satu alat yang sering digunakan sebagai “bahan” justifikasi konflik adalah perbedaan agama.  Dalam beberapa tahun  belakangan konfik antar agama menjadi isu yang hangat baik secara Nasional maupun Internasional.

Meskipun bila ditelisik lebih dalam, biasanya akar kasus konflik antar agama adalah perseteruan yang terjadi antar individu/kelompok “beragama”, bukan antar agama.  Ingat, ketika individu/kelompok “beragama” melakukan sesuatu yang menyimpang, (radikalisme atau intoleransi misalnya) ia tidak bisa menjadi representasi agama yang dianut. Sehingga tidak bijak jika kemudian mengeneralisir bahwa agama yang dianut individu tersebut merupakan agama yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi.  Hal yang tidak tepat adalah perilaku dan pemahaman individu/kelompok terhadap ajaran agamanya, bukan agama yang dipeluknya.  Karena saya yakin, jika individu mempelajari agama secara baik dan benar, maka ia akan menebarkan perdamaian kepada sesama.  Jadi, jangan permasalahkan agamanya, tapi salahkan individunya. Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran Dalam Islam, sikap toleran terhadap penganut agama lain banyak diajarkan dan dianjurkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu ajaran toleransi dalam Al-Quran adalah larangan memaki sesembahan orang lain. Ini kita lihat dalam surat al-An’am ayat 108:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S Al-An’am Ayat 108) 

Ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memaki sesembahan orang lain adalah dilarang. Sebagai hamba yang tidak ingin Tuhannya dicela, maka larangan memaki sesembahan orang lain ini sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Beberapa tahun terakhir terdapat fenomena orang-orang non-Muslim masuk agama Islam. Tentu kita senang dan bersyukur, karena saudara Muslim semakin banyak dan Islam makin syiar.  Namun ada beberapa hal yang disayangkan, sebagian mereka kemudian diberikan mimbar berbicara di depan jamaah. Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Menurut saya mimbar adalah tempat umum, siapa saja boleh berada di sana.  Hal yang kurang tepat adalah ketika  sudah diberikan mimbar kemudian ia menghujat agama yang dianut sebelumnya. Ini yang menjadi problem, karena bisa saja hal ini menjadi penyebab konflik antar agama.

Padahal secara jelas dalam ayat di atas Allah melarang umat Islam memaki-maki sesembahan non-Muslim. Dalam Tafsir Bahr al-Muhid meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus tertentu ketika Nabi Muhammad masih hidup akan tetapi ia masih tetap berlaku sampai saat ini. Ajaran Islam secara  tetap dilarang menghina dan memaki-maki sesembahan non-Muslim.

Hal tersebut  karena ketika kita memaki sesembahan non-Muslim dengan dalih menyampaikan kebenaran agama, dikhawatirkan dampak yang ditimbulkan menjadi buruk, mereka malah memaki-maki Allah swt yang kita sembah dengan membabi-buta dan ini merupakan impact yang tidak baik. Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan Al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan “sesuatu yang meminbulkan dampak tidak baik, maka sejatinya ia pun buruk”. Toh, kebaikan dan perkara haq bisa disampaikan dengan baik dan lemah lembut tanpa memaki-maki.  Anda tentu tahu Fir’aun, penguasa Mesir yang luar biasa kejamnya. Namun ternyata ketika Allah mengutus Nabi Musa as dan Harun as untuk memperingatkan Fir’aun dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Allah swt berfirman :

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S Thaha Ayat 44)

Kepada Fir’aun yang sedemikian kejamnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa as dan Harun as untuk berlemah lembut. Terus masihkan kita akan menggunakan bahasa menghujat ketika menyampaikan kebenaran? Wallahu a’lam bi al-Shawab

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 1

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Tafsir surah al-Fatihah ayat 1 dimulai dengan bacaan Basmalah


Baca Juga: Benarkah Basmalah Termasuk Ayat Al-Quran?


بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam tafsir surat Al-Fatihah ayat 1 ini terdapat beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah Al-Fatihah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:

  1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fatihah atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.

Hadis Nabi saw:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍوَعُمَرَوَعُثْمَانَ فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا

(رواه الشيخان واللفظ لمسلم)

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai dengan al-hamdulillahi rabbil ’alamin, tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

  1. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fatihah, dan pada surah an-Naml/27:30,

( انه من سليمن وانه بسم الله الرحمن الرحيم (النمل/27:30

yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i beserta ahli qiraah Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:

عَنْ ابن عباس قال: كانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ ِببِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

(رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح)

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan bacaan Bismillahirrahmanirrahim. (Riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih)

عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَأَتَهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

(رواه أحمد وابوداود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى سنده صحيح)

Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti berkali-kali dalam bacaanya Bismillahirrahmanirrahim, al-Hamdulillahi Rabbil- ’Alamin, ar-Rahmanir-rahim, Maliki Yaumid-din. (Riwayat Aamad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim. Menurut ad-Daruqutni, sanad hadis ini sahih)

Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.

Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw telah sependapat menuliskan Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur′an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur′an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur′an, sehingga mereka tidak menuliskan “Amin” pada akhir surah al-Fatihah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur′an.

Dengan kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Al-Qur′an adalah ayat-ayat Al-Qur′an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fatihah atau dari surah lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.


Baca Juga: Kalimat Basmalah dalam Al-Quran dan Memahami Maknanya dengan Metode Tadabbur


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fatihah, memandang:

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ

adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fatihah itu tetap tujuh.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata, “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini mengandung arti bahwa Al-Qur′an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw dan Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur′an kepada manusia.

Makna kata Allah

Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wajibul-wujud). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.

Hikmah Membaca Basmalah

Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.

Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil.

Nabi saw bersabda:

كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ

(رواه عبد القادر الرهاوي)

“Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).” (Riwayat Abdul-Qadir ar-Rahawi).

Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lata dan al-‘Uzza, nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah.

(Tafsir Kemenag)

Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib

0

Dalam Islam, bekerja menjadi salah satu kewajiban utama agar manusia dapat bertahan hidup dan  menebar kebaikan. Saking wajibnya, diksi yang berarti bekerja seringkali dijumpai beriringan dengan perintah untuk beriman kepada Allah, yang notabene merupakan syarat keabsahan seseorang menjadi mukmin. Setidaknya, terdapar 50 ayat dalam Alquran yang memuat redaksi demikian, dan jumlah sebesar itu menunjukkan betapa pentingnya bekerja bagi manusia.

Akan tetapi, ketika disandingkan dengan fakta yang ada, terjadi sikap yang menunjukkan marginalisasi terhadap gender perempuan berupa anggapan bahwa perempuan bukat subjek yang pantas untuk bekerja. Budaya patriarkhi yang sebagian besar masyarakat masih menganutnya, adalah penyebab perlakukan marginalisiasi seperti itu terus bergulir hingga saat ini. Padahal, Islam sendiri menyerukan untuk bekerja tidak khusus kepada laki-laki, tetapi menyangkup seluruh manusia.

Bukti nyata bahwa perempuan juga dapat berperan dalam dunia pekerjaan salah satunya ialah kisah dua putri Nabi Syu’aib yang tertera dalam QS al-Qashas [28: 23]:

ولما ورد ماء مدين وجد عليه أمة من الناس يسقون ووجد من دونهم امرأتين تذودان قال ما خطبكما قالتا لا نسقي حتى يصدر الرعاء وأبونا شيخ كبير ٢٣

Dan ketika dia sampai di sumber air Negeri Madyan, dia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dia orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua perempuan itu menjawab. “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.

Ayat 23 tersebut mengisahkan dua putri Nabi Syu’aib bekerja sebagai peternak dan sedang mencari air untuk minum ternaknya. Jika melihat pada konteksnya, beternak merupakan pekerjaan yang didominasi oleh kaum laki-laki pada saat itu. Namun, hal itu tidak lantas membuat perempuan tidak boleh untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan pada masa Nabi Syu’aib dapat melakukan pekerjaan sebagaimana laki-laki, dan bahkan jenis pekerjaannya dapat pula sederajad dengannya.

Putri Syu’aib dan Wawasannya dalam Bidang Menejemen

Selain bekerja selayaknya laki-laki, yakni menjadi peternak, putri Nabi Syu’aib juga memiliki wawasan mengenai dunia menejemen. Seperti yang dinarasikan pada ayat setelahnya, QS al-Qashash [28:26]:  

قالت إحداهما يا أبت استأجره إن خير من استأجرت القوي الأمين ﴿٢٦

Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”

Saran salah satu putri Nabi Syu’aib untuk merekrut Musa as sebagai karyawannya dengan pertimbangan kekuatan dan amanahnya menunjukkan bahwa putri Syu’aib ini mengerti bagaimana menilai seseorang untuk kemudian dipekerjakan. Ia lebih mengedepankan kredibilitas dan integritas untuk menimbang kelayakan seseorang menjadi karyawannya, tidak mengedepankan wujud fisik atau latar belakang nasabnya. Pola pikir yang demikian itu setidaknya membuktikan bahwa putri Syu’aib memiliki wawasan tentang menejemen yang baik.

Bias-Bias Patriarkhi yang Sangat Kontekstual

Bila kita cermati lebih lanjut, sebenarnya kondisi sosial yang melatari kisah ini masih dalam sistem patriarkhi. Sebagaimana yang disampaikan Nasharuddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya, dalam kisah putri Syu’aib tersebut struktur sosial masih bersistem patriarki. Beberapa indikasi dapat ditemukan dalam ayat 23 di atas. Sikap putri Syu’aib yang lebih memilih untuk menunggu sekerumunan peternak lain selesai mengambil air dan pernyataannya bahwa ayahnya sudah renta, menunjukkan bahwa kendatipun keluar rumah, mereka tetap menjaga etika saat berhadapan dengan lawan jenis, menghindari kerumunan dengan laki-laki, dan bekerja karena mendesak saja –karena ayahnya sudah tua, mereka lantas mengganti peran ayahnya

Selain itu, sistem patriarki juga tampak dalam ayat setelahnya, QS al-Qashash [28: 25] berikut ini:

فجائته إحداهما تمشي على استحياء قالت إن أبي يدعوك ليجزيك أجر ما سقيت لنا فلما جاءه وقص عليه القصص قال لا تخف نجوت من القوم الظالمين ﴿٢٥

Kemudian datanglah kepada Musa as salah seorang dari perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syu’aib) dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syu’aib) berkata, “janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang dzalim itu.

Dalam Qashashul Anbiya’ karya ‘Abdul Qodir Syaibah, dijelaskan bahwa saat pergi menemui Musa as untuk menyampaikan pesan ayahnya, putri Nabi Syu’aib itu berjalan dan tertunduk malu. Dengan demikian, semakin memperkuat distingsi perempuan dengan laki-laki. Perempuan yang cenderung pemalu saat berhadapan dengan laki-laki menunjukkan bahwa mereka pada saat itu tidak biasa berinteraksi dengan lawan jenis. Dan faktanya, memang patriarki masih menjadi sistem sosial signifikan saat itu.

Sistem patriarki yang kuat dalam mengatur interaksi perempuan dan laki-laki, yang tercermin pada kisah Putri Nabi Syu’aib tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat kontekstual. Menurut Allan G Johnson dalam Human Arrangements an Introduction to Sosiologynya, stuktur sosial yang berkembang dahulu memang menempatkan perempuan sebagai subjek yang marginal dan minoritas. Sebagai akibatnya, terciptalah sistem patriarki yang mengatur interaksi perempuan dengan laki-laki. Maka, sekaligus menjadi hal yang niscaya, bila suatu saat terjadi rekonstruksi sistem patriarki, karena perubahan struktur sosial.

Konteks yang melatari kisah tersebut sangat berbeda dengan keadaan saat ini, yang antara laki-laki dan perempuan sudah banyak terjalin komunikasi dan interaksi, sehingga tumbuh habit yang baru, yang pada gilirannya memunculkan perubahan struktur sosial. Tetapi, setidaknya, kisah putri Nabi Syu’aib itu dapat memberikan contoh untuk kita dapat renungkan, bahwa sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW datang, perempuan secara kultural sudah menunjukkan perannya di ranah publik. Dan tidak hanya itu, peran publiknya pun sederajat dengan peran mainstream laki-laki. Sehingga, jika pada saat ini, yang konstruksi masyarakatnya sudah jauh lebih modern, menjadi keanehan bagi perempuan saat dibatasi ruang geraknya dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi bakat dan minatnya di dunia pekerjaan, hanya berlandaskan faktor kultural. Karena, pada faktanya, kultur patriarki perlahan telah bergeser menuju gender equality. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat al-A’raf Ayat 12: Congkak Bentuk Pembangkangan Iblis terhadap Allah

0
Ilustrasi Iblis

Sebelum manusia diciptakan, Allah terlebih dulu menciptakan makhluk lain seperti Malaikat, jin, dan Iblis. Ketika Allah menciptakan mahkluk berupa manusia, para malaikat pun khawatir akan eksistensi manusia yang akan berbuat kerusakan di muka bumi, namun Allah pun tetap akan mencitpakan makhluk tersebut sebagai Khalifah di muka bumi.

Tatkala Allah menciptakan Nabi Adam As. Sebagai manusia pertama, Allah Memerintahkan para malaikat untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi terdapat salah satu makhluk Allah yang menolak dan membangkang terhadap hal tersebut. Mereka adalah iblis. Dengan congkaknya, iblis menyatakan bahwa dirinya terbuat dari api sedangkan Nabi Adam As. terbuat dari tanah. Dari sinilah dialog antara Allah Swt. dengan iblis dimulai dan diabadaikan dalam beberapa ayat Al Quran, salah satunya firman Allah pada QS. Al-A’raf [7] ayat 12:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”

Menurut Imam Ismail ibn Kathir, ayat di atas menerangkan mengenai dialog antara Allah dengan iblis. Allah memerintahkan makhluk-Nya untuk bersujud kepada nabi Adam As. sebagai tanda penghormatan. Namun ada satu makhluk yang menolak melakukan hal tersebut, sehingga Allah pun berdialog dengan makhluk tersebut.

Ketika Allah bertanya Ma Mana’aka Alla Tasjuda (Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam As.)), makhluk tersebut menjawab Ana Khayrun Minhu (Saya lebih baik daripadanya). Bahkan makhluk tersebut menegaskan dengan redaksi Khalaqtani Min Nar Wa Khalaqtahu Min Tin (Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah). Karena itulah makhluk tersebut disebut dengan iblis yang berarti pembangkang. Dari ayat inilah dapat diketahui mengapa makhluk yang satu ini membangkang perintah Allah.

 Jika melihat pada redaksi Ma Mana’aka Alla Tasjuda Imam ibn Kathir mengutip pendapat ahli ilmu Nahwu bahwa redaksi Ma merupakan tambahan atau Ziyadah yang berfungsi untuk menguatkan penegasian atau Li Ta`kid al-Jahd (Ismail ibn ‘Umar ibn Kathir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Juz 3, Cet 2, hal. 392)

Imam ibn Kathir pun mengutip pula hadis Rasulullah berkenaan dengan ayat di atas sebagai berikut:

حدثنا محمد بن رافع وعبد بن حميد. قال عبد أخبرنا. قال ابن رافع, حدثنا عبد الرزاق, أخبرنا معمر, عن الزهري, عن عروة, عن عائشة. قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خلق الملائكة من نور, وخلق الجان من مارج من نار, وخلق ادم مما وصف لكم

Dari ‘Aisyah ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya (Nur), Jin diciptakan dari kobaran api, dan Adam diciptakan dari apa yang kalian sifati (tanah)”” (Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim, hal. 1464)

Menurut Imam al-Tabari ayat di atas menjelaskan tentang bentuk pembangkangan Iblis terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Pada dialog tersebut Allah mempertanyakan mengenai hal apa yang memberatkan makhluk Allah ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Makhluk tersebut menjawab dengan menyatakan bahwa dirinya tercipta dari api sedangkan Nabi Adam As. Tercipta dari tanah. Sehingga karena jawaban ini, Allah mengusir dan melaknat makhluk ini hingga hari kiamat. Karena komentar Iblis tersebut, ia dianggap sebagai pembangkang (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Juz 3, hal. 409)

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Iblis memberontak kepada Allah karena sifat congkak dan sombong. Apalagi dengan bangga menyatakan dirinya lebih baik daripada makhluk Allah lain.

Dari ayat ini dapat diambil hikmah bahwasanya kesombongan akan membawa seseorang pada kehancuran sebagaimana yang telah terjadi pada Iblis. Dengan demikian, marilah kita menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak diri serta membawa pada kehancuran. Wallahu A’lam

Bagaimana Al-Quran Diturunkan? Simak Penjelasannya

0
ilustrasi proses diturunkannya alquran

Tafsiralquran.id – Diturunkannya Alquran oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. adalah bentuk mukjizat terbesar bagi Rasul saw dan umat Islam. Kita tahu bahwa Alquran diturunkan secara mutawatir melalui malaikat Jibril, membacanya bernilai ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.

Lalu pertanyaannya, bagaimana proses kronologi Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw? Berikut penjelasannya.

Dalam Alquran, setidaknya tiga ayat ini cukup merepresentasikan turunnya Alquran, yakni:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ ….. (البقرة: ١۸٥ )

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (القدر: ١ )

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ (الدخان:٣)

Menurut Manna’ al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, ketiga ayat ini tidaklah bertentangan. Sekalipun secara dzahirnya seakan-akan bertentangan. Sebab, ketiga ayat di atas seakan mengisyaratkan bahwa Alquran diturunkan sekaligus di malam yang diberkahi, yakni malam lailatul qadr. Yang dalam realitanya, Alquran turun kepada Nabi Muhammad saw. selama kurang lebih 23 tahun.

Maka, dalam menyikapi ketiga ayat di atas, pendapat ulama terbagi menjadi 2 aliran, yakni, pertama pendapat dari Ibnu ‘Abbas dan segenap ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umunya ulama. Bahwa maksud dari ketiga ayat di atas adalah turunnya Alquran secara sekaligus ke baitul ‘izzah di langit dunia, agar malaikat mengagungkannya. Kemudian, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

Pendapat ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas. Yakni, (a) riwayat Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan bahwa, “Alquran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr. Kemudian, setelah itu Alquran diturunkan selama dua puluh tahun”, dan dibacakan surat al-Furqan ayat 33 dan al-Isra’ ayat 106. (b) Ibnu ‘Abbas berkata, “Alquran itu dipisahkan dari adz-dzikr, lalu diletakkan di baitul ‘izzah di langit dunia. Maka, Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi Muhammad Saw.”

Dan, (c) Ibnu ‘Abbas juga berkata, “Allah menurunkan Alquran sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya berangsur-angsur. Lalu, Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad Saw. bagian demi bagian”. Serta, (d) Ibnu ‘Abbas juga mengatakan bahwa, “Alquran diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadr di bulan Ramadhan ke langit dunia, kemudian Alaquran diturunkan secara berangsur-angsur”.

Aliran kedua, yakni sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi atau ‘Amir bin Syarahil adalah seorang tabi’in yang wafat tahun 109 H, ahli hadis dan salah seorang guru dari Imama Abu Hanifah.

Asy-Sya’bi menjelaskan bahwa ketiga ayat di atas merupakan permulaan turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad Saw, yang dimulai di malam lailatul qadr di bulan Ramadhan. Selanjutnya, diturunkan kepada Nabi Saw. secara bertahap sesuai dengan kajadian dan peristiwa, selama kurang lebih 23 tahun.

Kedua aliran ini, menurut al-Qattan tidak bertentangan. Selain itu, juga ada pendapat dari hasil ijtihad sebagian mufassir, namun tidak ada dalil pendukungnya. Menurut mereka, Alquran diturunkan selama 23 malam lailatul qadr. Ada yang menyebutnya 20 atau 25 malam lailatul qadr, hal ini sesuai dengan perbedaan pendapat berapa lama Nabi Saw. tinggal di Mekkah.

Pada setiap malamnya, di malam-malam lailatul qadr itu, ada yang ditentukan oleh Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan, jumlah wahyu yang diturunkan ke langit dunia  di malam lailatul qadr, untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Saw. sepanjang tahun.

Di akhir penjelasan ini, al-Qattan memberikan penegasan, bahwa pendapat yang paling kuat dalam persoalan ini adalah Alquran diturunkan sebanyak dua kali, yakni diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadr ke baitul ‘izzah di langit dunia. Lalu, dari langit dunia ke bumi, kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.[]

Tafsir Surat Shad Ayat 29: Memahami Tujuan Diturunkannya Al Quran

0
Ilustrasi tadabur Al Quran

Al Quran, kitab suci umat Islam memiliki makna mendalam jika kita benar benar membacanya dan memahaminya. Tidak hanya itu, keindahan lafadz Al Quran juga memberikan rasa ketentraman ketika hati sedang merasakan kegundahan.

Akan tetapi meski membaca dan memahami Al Quran mampu memberikan ketentraman dan memberikan solusi atas segala permasalahan, namun tidak banyak orang yang bertadabur, belajar, membaca dengan baik dan benar, memahami makna Al Quran serta mengamalkanya. Padahal Allah menurukan Al Quran pasti ada tujuannya.

Sebagimana Allah berfirman dalam surahnya bahwa tujuan diturunkannya Al Quran adalah agar manusia membaca dan berusaha menghayatinya, sebagaimana firmanNya ada pada QS. Shad [38] ayat 29:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Kitab (Al Quran) yang Kami turunkan kepada-mu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (QS. Shad: 29).

Al-Qurtubi memaparkan bahwa bagi orang-orang yang telah dikhususkan Allah dengan hafalan Al Quran, maka hendaklah ia membaca Al Quran dengan bacaan yang baik, menghayati hakikat isinya, memahami keajaiban-kejaibannya, dan menjelaskan apa yang unik darinya. Syekh An-Nawawi al-Bantani pada kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Al Quran diturunkan agar menjadi petunjuk bagi orang yang memahami Al Quran.

Pada kitab Tafsir Ibnu Katsir dituliskan bahwa makna al-albab pada surah Shad [38] ayat 29 adalah bentuk jamak dari lub yang artinya akal. Maka Allah akan memberikan pelajaran dari Al Quran bagi yang memahami Al Quran. Kemudian al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa pada intinya cara mengambil pelajaran dari Al Quran itu bukan hanya dengan menghafal, akan tetapi menyia-nyiakan batasannya. Sehingga seseorang dari mereka yang tidak mengindahkan batasannya mengatakan, “ aku telah membaca seluruh Al Quran”. Tetapi pada dirinya tidak ada ajaran Al Quran yang disandarkannya, baik dalam bentuk akhlaknya ataupun pada amal perbuatannya.

Menurut Al- Biqa’i dalam Metode Tafsir Maqasidi karya Wafi’ Asyur Abu Zayd, sebuah surat ibarat sebatang pohon besar yang rimbun dan tinggi, setiap surah memiliki keindahan yang menajubkan dan dapat berdiri sendiri, surah selalu dihiasi dengan berbagai hiasan yang ditata baik di antara dedaunannya secara artistik. Dari sini para mufassir bisa mendapatkan pelajaran dari al-quran dan akan merasa sejuk setelah benar-benar bertadabur dengan Al Quran, memahami segala keindahan bahasa Al Quran dengan saksama.

Ada pesan  yang menarik dari Muhammad Abduh untuk orang-orang yang bertadabur dengan Al Quran, isinya adalah istiqamahlah dalam membaca Al Quran, pahami perintah dan larangannya, ikuti nasihat dan ajarannya sebagaimana para mukminin pada masa diturunkannya wahyu. Hindarilah kitab-kitab tafsir kecuali untuk memahami lafadz-lafadz Arab yang tidak kamu pahami atau ketika hubungan satu kata dengan kata lain tidak jelas bagimu. Ikutilah apa yang telah al-quran tunjukkan padamu dan bawalah dirimu pada apa yang ditunjukkan Al Quran padanya. Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mengikuti jalan ini, maka setelah beberapa waktu dirinya akan memiliki kemampuan untuk menjadikan pemahaman sebagai tabiat dan cahaya yang menerangi dunia dan akhiratnya dengan izin Allah.

Sebagaimana kisah sahabat Nabi SAW yang diceritakan oleh Abu Abd al-Rahman al-Sulami, seperti Usman bin Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan lainnya, ketika ia belajar Al Quran sepuluh ayat langsung kepada Nabi, maka mereka tidak langsung menambah ayat lainnya, sebelum mereka mengerti isi kandugannya serta mengamalkannya. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan bisa menjadi sosok yang qur’ani kecuali dengan ilmu, amal serta perjuangan mengajarkannya kembali.