Beranda blog Halaman 550

Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

0
bombastis.com

Secara fitrah, manusia tidak akan berkata buruk jika tidak ada pengaruh terhadap lingkungannya atau pengaruh emosional yang sedang dialami. Misalnya, orang akan berkata buruk jika mendapatkan perkataan buruk dari orang lain. Meskipun banyak umat muslim sudah mengetahui bahwa Allah SWT melarang hambanya untuk berkata buruk, tapi sulit untuk di hindari oleh kebanyakan orang. 

Pada  tafsir surah an-Nisa’ ayat 148-149 memberikan penjelasan terkait perkataan buruk yang dilarang oleh Allah SWT, dan bagaimana kita membalas perkataan buruk orang lain terhadap kita, berikut penafsirannya. Firman Allah  Surah an-Nisa’ ayat 148:

َا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Menurut Ali Shabuny dalam Shafwah at-tafasir, perkataan buruk tidak disenangi oleh Allah swt. Kemudian Menurut  Imam Syuyuti dalam tafsir Jalalain, orang yang berkata buruk akan mendapat siksa dari Allah swt.

Selanjutnya ada pendapat dari Ali al-Shabuny bahwa, mengabarkan kejelekan terhadap orang yang telah mendhalimi orang lain adalah boleh. Kemudian pada kitab Ibnu Katsir juga mengatakan demikian, bahwa boleh orang mengabarkan kejelekan orang yang telah berbuat dhalim terhadap orang lain.

Sikap untuk Menyikapi Perkataan Buruk

Kemudian pendapat hadir dari Ibnu Abbas, bahwa seseorang diperbolehkan mendoakan buruk terhadap orang yang telah mendhaliminya, pendapat ini ia kutip dari Ali Shabuny dan Ibnu Katsir

لا يحب الله أن يدعوَ أحدٌ على أحد، إلا أن يكون مظلومًا

Allah tidak menyukai seseorang berdoa buruk terhadap orang lain kecuali orang yang terdhalimi. 

Namun pendapat Hasan al-Basry tetap tidak membolehkan mendokan buruk terhadapnya. Dalam riwayat lain Hasan Basry berpendapat, orang yang terdhalimi mendapat keringanan berdoa buruk tanpa harus menyerang orang yang mendhalimi.

Selain membalas dengan doa buruk, orang yang terdhalimi diperbolehkan membalas cacian dengan cacian juga, akan tetapi tidak boleh membuat-buat atau mengada-ada meski yang mendhalimi melakukan itu. Ini pendapat ‘Abd al-Karim bin Malik al-Jazary, yang dikutip oleh Ibn Katsir.

Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan dengan hadis riwayat Abu Daud;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِي مِنْهُمَا مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

Dua orang yang saling mencaci dengan apa yang mereka ucapkan, maka yang menaggung dosanya adalah yang memulai, yaitu selama orang yang terzalimi tidak melampaui batas. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Timidzi dan Ahmad.

Dari balasan yang setimpal dan mendoakan terhadap orang dhalim tadi, menurut Ibn Katsir jika orang yang terdhalimi  bersabar  maka akan baik pula baginya.

Atau dengan memaafkan yang mendhaliminya sebagaimana surah al-Nisa’ ayat 149;

إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا

Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.

Ayat di atas, dari al-Syuyuti berpendapat bahwa maksud memaafkan adalah memaafkan orang yang mendhaliminya. menurut Ibnu Katsir, sesungguhnya bersikap memaafkan terhadap orang yang mendhalimi kita, dapat mendekatkan diri kepada Allah. Serta Allah akan memberikan pahala yang banyak, karena salah satu dari sifat Allah adalah memaafkan hamba-Nya bersamaan dengan taqdir-Nya atas siksaan hambanya. wallahu a’lam

Dua Ayat Al Quran Yang Turun dari Kekayaan Arasy

0
matsal Al Quran
matsal Al Quran

Kita seringkali membaca dua ayat ini dan bahkan kita menjadikannya sebagai wirid yang selalu kita baca usai kita melaksanakan salat. Dua ayat itu telah dipilih oleh ulama sebagaia bahagian dari zikir. Ini berarti bahwa dua ayat ini adalah ayat-ayat yang paling utama karena keduanya bahagian dari kekayaan Arasy. Hal ini telah diungkapkan oleh Rasulullah saw, dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي أُوتِيتُهُمَا مِنْ كَنْزٍ مِنْ بَيْتٍ تَحْتَ الْعَرْشِ، وَلَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلِي» يَعْنِي: الْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ. رواه أحمد

Dari Abu Dzarr al-Ghifary, dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya aku telah diberikan dua ayat yang merupakan bahagian dari kekayaan di bawah Arasy. Keduanya tidak pernah diberikan kepada nabi manapun yang telah diutus sebelum aku. Dua ayat itu adalah dua ayat yang terdapat di akhir surat al-Baqarah. HR. Ahmad.

Dua ayat yang disebutkan oleh Rasulullah itu adalah ayat 285-286, sebagai berikut:

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨٥ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٢٨٦

285. Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Bacalah ayat-ayat ini dan jadikanlah sebagai zikirmu.

Tafsir Surat al-Ma’arij Ayat 19 – 21: Sifat Buruk Manusia

0
Freshservice.com

Artikel ini mengulas soal penciptaan manusia dan karakter dan sifat buruk yang dimiliki manusia. Sebagai makhluk lemah, manusia memiliki banyak kekurangan. Tidak sepatutnya ia menyombongkan diri. Berikut firman Allah Swt dalam Surat al-Ma’arij Ayat 19-21: 

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا () إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا () وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia amat kikir.” (Q.S. Al-Ma’arij: 19-21)

Ayat di atas menegaskan bahwa pada umumnya manusia itu suka mengeluh. Mereka punya sifat buruk berupa keinginan (ambisi) yang berlebihan, sedikit kesabaran, banyak berkeluh kesah. Jika ditimpa kesulitan berupa kemiskinan atau sakit, mereka banyak mengeluh, meratapi nasib, mengutuk keadaan, serta diliputi kesedihan berkepanjangan.

Tetapi sebaliknya, jika diberi kebaikan dan kemudahan berupa kesehatan yang sempurna, kekayaan melimpah, pangkat yang tinggi, jabatan yang prestisius, mereka cenderung bersifat kikir, sombong dan tidak peduli dengan orang lain.

Itulah beberapa sifat buruk manusia pada umumnya. Ketika kesulitan hidup datang mendera. Dia merasa seolah-olah langit akan runtuh, bumi bergoncang dan dunia akan kiamat. Dia kabarkan ke setiap orang yang dijumpainya bahwa dia tengah dalam kesulitan dan kesengsaraan.

Dia ceritakan penderitaannya kepada semua orang. Dia ingin orang lain tahu bahwa dia sedang dalam keadaan susah, dengan harapan setiap orang akan iba dan menaruh belas kasihan kepadanya. Dia tidak pernah berpikir sedikit pun tentang karunia serta nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dia hilangkan semua kebaikan Allah kepadanya.

Di sisi lain, ketika dia tengah diliputi kebaikan dan kemudahan hidup. Lagi-lagi sifat buruknya muncul. Dia menjadi orang yang sangat kikir, tidak mau berbagi sedikit pun kebahagiaan yang dimilikinya kepada orang lain. Dia simpan dan genggam erat-erat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.

Dia berbangga diri dengan kekayaan melimpah yang dimilikinya. Dia menjadi jumawa dengan jabatan dan kedudukan yang telah berhasil direngkuhnya. Dia menjadi sombong dengan segala yang dimilikinya. Dia lupa bahwa semua yang saat ini ada dalam kehidupannya adalah nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Semua yang dimilikinya sesungguhnya hanyalah titipan Allah semata.

Untuk menyadarkan kita semua akan sifat buruk tersebut, ada baiknya kita menyimak uraian ayat ke-26 dari Q.S. Ali Imran berikut ini: “Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.””

Secara tegas ayat di atas menunjukkan bahwa segala kekuasaan, kelimpahan harta, kedudukan yang tinggi yang ada pada manusia semua berasal dari Allah Swt. Sebaliknya, segala kehinaan, kerendahan, ketidakberdayaan akan Allah hadirkan kepada mereka yang terlena dan terbuai oleh tipu daya gemerlap dunia.

Betapa banyak kita saksikan dalam kehidupan ini, orang-orang yang Allah karuniai kekuasaan, kelimpahan rezeki, kedudukan dan jabatan yang tinggi, tetapi alih-alih bersyukur justru mereka lalai dan terlena dengan nikmat tersebut. Mereka gunakan kekuasaan, kekayaan yang melimpah, serta kedudukan yang tinggi itu untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Mereka banggakan kekuasaan, kekayaan, dan jabatan yang dimilikinya. Mereka menjadi manusia-manusia yang angkuh dan sombong. Mereka juga sangat kikir. Mereka enggan membelanjakan harta dan kekayaannya di jalan Allah. Mereka memilih untuk menempuh hidup dalam kemewahan.

Padahal, Al-Quran mengisahkan sejumlah peristiwa penting dalam sejarah kemanusiaan. Fir’aun, adalah simbol penguasa zalim, angkuh dan sombong, bahkan menyatakan dirinya sebagai tuhan. Dia dan kekuasaan yang dimilikinya lenyep seketika seiring ditenggelamkannya di laut merah.

Qarun adalah simbol manusia kaya raya yang sombong dengan kekayaan yang dimilikinya, yang akhirnya habis riwayatnya ditelan perut bumi. Haman adalah perlambang pejabat negara yang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan jabatan dan kedudukaannya; menjilat penguasa, membodohi rakyat, mementingkan diri sendiri, yang tamat riwayatnya bersama Fir’aun di tenggelamkan Allah di laut merah.

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Nasihat dalam Pendidikan Islam

0
metode nasihat
metode nasihat

Nasihat merupakan salah satu metode pendidikan yang cukup efektif dalam membentuk keimanan, akhlak, jiwa dan rasa sosial seseorang. Memberi nasihat juga dapat memberi kemanfaatan dan perubahan besar untuk membuka dan menyadarkan hati seseorang terhadap hakikat sesuatu, mendorongnya untuk berperilaku yang baik dan positive thinking (berpikir positif). Metode nasihat ini telah disebutkan secara eksplisit oleh Allah SWT dalam firman-Nya QS. az-Zariyat ayat 55:

وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”

Tafsir Surah az-Zariyat Ayat 55

Al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menjelaskan sebab turunnya ayat ini bahwa diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Qatadah bahwa tatkala turun ayat fa tawalla famaa anta bi malum (maka berpalinglah engkau dari mereka, dan kamu sekali-kali tidak tercela) (Q.S. az-Zariyat ayat 54).

Lantas para sahabat merasa gundah. Mereka mengira bahwa wahyu tidak akan turun lagi. Artinya telah terputus dan azab Allah segera datang. Maka turunlah ayat selanjutnya yakni ayat ini yang menegaskan bahwa peringatan yang diberikan Nabi saw tetap bermanfaat dan relevan sepanjang zaman (shalih li kulli zaman wa makan) bagi orang yang beriman.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Larangan Bullying dalam Pendidikan Islam

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw selaku khatamul anbiya wal mursalin (penutup para nabi) agar tetap memberikan peringatan dan nasihat, karena keduanya akan bermanfaat bagi orang yang mendapat petunjuk-Nya. Ibnu Katsir menambahkan peringatan dan nasehat itu akan tetap bermanfaat selama hati mereka tetap beriman kepada-Nya.

Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ia menafsirkan “dan tetaplan selalu memberi peringatan. Sebab peringatan itu dapat memberikan pencerahan baik penglihatan maupun keyakinan orang-orang Mukmin. Al-Qurthuby misalnya menafsirkan adz-dzikra dengan al-idzah (nasihat) sebab nasihat itu akan bermanfaat bagi orang Mukmin. Adapun Qatadah memaknai adz-dzikra dengan Alquran sebab nasihat melalui Alquran itu akan bermanfaat bagi orang Mukmin.

Pentingnya Metode Nasihat dalam Pendidikan Islam

Bagi seorang pendidik memberikan nasehat kepada peserta didiknya merupakan kewajiban baginya. Tentu pemberian nasehat itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan mendidik, bukan menggurui bahkan terlalu overload. Pemberian nasihat di sini dapat berupa verbal maupun non verbal. Apabila ditilik ulama kita dalam memberikan wejangan (baca: nasihat) selalu berimbang. Dalam artian, tidak hanya secara verbal tapi juga non verbal atau keteladanan.

Baca juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Cara verbal kerap kita jumpai di ceramah-ceramah agama. Sebut saja, Kiai Anwar Zahid, kiai kondang asal Kanor, Bojonegoro, beliau selalu menyampaikan pitutur (baca: nasihat) dengan humoris, santai dan tetap memperhatikan materi keislaman di dalamnya. Beliau mengemasnya dengan diksi bahasa yang sederhana dan dikontekstualisasikan dengan pengalaman hidup audiensnya sehingga dakwahnya diminati dan tenar di mana-mana. Berbeda dengan Kiai Anwar Zahid, Ulama tafsir kita, Quraish Shihab yang hidup di lingkungan akademis, beliau memberikan nasehat berdasarkan keilmuannya, menggunakan bahasa santun, sejuk dan mendamaikan.

Sedang cara non verbal dapat dilakukan dengan pembiasaan kehidupan sehari-hari misalnya dengan keteladanan. Rasulullah saw sering kali memberi contoh (berbuat lebih dulu) sebelum menyuruh (mengatakan). Artinya bagi seorang pendidik, dituntut tidak hanya lihai dan gemar menasihati, namun juga dituntut memberikan teladan sebelum berkata.

Karenanya, metode nasihat sangat penting bagi peserta didik agar ia bisa membedakan mana yang benar dan salah, mana yang tidak sopan dan sopan sehingga itu menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi manusia yang unggul dan berakhlakul karimah. Wallahu A’lam.

Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (2)

0
manuskrip tafsir alquran di nusantara

Teknik Penulisan dan Penyajiannya

Di samping terkait dengan bahasa yang digunakan, teknis penulisan juga menjadi satu pembahasan yang menarik untuk ditilik. Pada tahun 1920-an, telah muncul karya tafsir kolektif yang ditulis oleh Iljas dan Abd Jalil dengan judul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja (Padang Pandjang, 1925).

Kemudian berlanjut pada tahun 1930-an yakni, A. Halim Hassan, Zainal Arifin Abbas, Abdurrahman Haitami yang menulis dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Karim (Medan, 1956, ed. 9). Dan, Tafsir al-Qur’an karya dari Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs (Jakarta, 1959). Model dengan kolektif ini kemudian berlanjut pada lembaga formal, yakni Departemen Agama Republik Indonesia dengan karyanya Tafsir Qur’an di tahun 1967.

Pada awal 1930-an, sistematika penafsiran cenderung menggunakan penyajian secara tematik, meskipun dengan penyampaian yang sangat sederhana. Di samping itu, juga muncul beberapa karya tafsir yang lebih memfokuskan kajiannya pada surat-surat terntu, seperti surat al-Fatihah; Tafsir al-Qur’anul Karim, Surat al-Fatihah karya Muhammad Nur Idris (Jakarta, 1955), dan lainnya. Kemudian yang terkonsentrasi pada surat Yasin; Tafsir Surat Yasien dengan Keterangannya karya A. Hassan (Bangil, 1951).

Dan, beberapa karya tafsir yang terkonsentrasi dengan pembahasan pada juz-juz tertentu, semisal; al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma, karya Hamka (Padang, 1922), Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia, karya Mustafa Baisa (Bandung, 1960). Kajian ini kemudian berkembang pada karya penafsiran utuh hingga 30 juz. Mulai dari karya Mahmud Yunus, Hamka, Tafsir al-Azhar (1967) hingga Prof. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.

Metode, Corak dan Bentuk Penafsirannya

Menurut Nashruddin Baidan, karya tafsir di era 1900-1950 menunjukkan bahwa metode yang digunakan lebih cenderung pada ijmali, sebab karya tersebut lebih pada terjemahan dari pada tafsir yang luas dan terperinci. Namun, pada ayat-ayat tertentu, penafsiran ditampakkan lebih rinci, semisal pada tafsir karya Mahmud Yunus dalam Q.S. al-Nur [24]: 31,

وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Perempuan itu tidak boleh membukakan perhiasannya atau badannya kepada laki-laki yang bukan familinya selain dari yang terbuka untuk bekerja (berusaha). Dalam mazhab Hanafi yang boleh dibukakan perempuan ialah muka dan telapak tangannya hingga pergelangannya serta kedua telapak kakinya sampai mata kaki. Kata setengah lagi, boleh sampai seperdua lengan tangan dan seperdua betis kaki karena bisa terbuka waktu bekerja.

Menurut Tafsir Ibnu ‘Abbas bahwa anggota yang biasa terbuka itu ialah muka dan telapak tangan. Dalam haidts Nabi Muhammad saw ada yang artinya, “Apabila perempuan telah baligh (telah haid) maka tidak patut dilihat tubuhnya selain dari ini dan itu, sambil diisyaratkannya muka dan dua telapak tangannya.”

Bentuk Tafsir

Dalam kajian Alquran, bentuk penafsiran – menurut Baidan – hanya ada dua, yakni al-ma’tsur dan al-ra’yi. Al-ma’tsur berarti karya tafsir tersebut lebih dominan dengan menampilkan riwayat-riwayat dalam penjelasannya. Sedangkan bentuk al-ra’yi lebih mendominankan penafsirannya pada ranah rasionalitas, dengan tetap tidak mengeyampingkan keberadaan riwayat. Dalam keenam tafsir di atas, lebih menunjukkan pada bantuk secara al-ra’yi.

Corak Tafsir

Ditilik dari pemaparan terkait bentuk tafsir di atas, dapat ditarik benang merah terkait corak yang dihasilkan dari karya tafsir tersebut. Menurut Baidan, dari keenam karya tafsir tersebut menunjukkan bahwa corak yang dihasilkan masih bersifat umum, artinya tidak mendominankan satu kekhasan tertentu atau seorang mufassir bersikap netral ketika memberikan penafsiran.

Semisal penafsiran A. Hassan dalam surat al-Anfal lima ayat pertama. Di bagian akhirnya, A. Hassan memberikan sebuah komentar yang bersifat netral dan umum, dengan tidak menampilkan satu kecenderungan tertentu, yakni;

“Maksudnya bahwa rampasan perang itu menjadi hak Allah dan Rasul-Nya yang boleh dibagikan menurut keputusan Rasul-nya, walaupun segolongan dari kaum Islam ada yang tidak suka sebagaimana Tuhanmu telah mengeluarkanmu dari rumahmu ke perang Badar, padahal segolongan dari mereka tidak suka”.

Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya

0
composite of question mark graphic over sea with pier

Dari sekian banyak tafsir atas al-Quran, bisa dikatakan hasil penafsiran masing-masing tafsir tidak ada yang sama persis. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain latar belakang mufassir, sumber penafsiran, metode tafsir dan lainnya. Kali ini kita mulai dari metode tafsir terlebih dulu.

Ulama menggunakan metode-metode khusus dalam menafsirkan al-Quran. Metode diperlukan sebagai media penyajian tafsir dan terkait juga dengan tujuan penulisannya. Perbedaan metode tidak jarang mempengaruhi hasil penafsiran, sehingga penting mengenal metode penafsiran Alquran. Beda metode, akan berbeda pula produk tafsirnya.

Secara umum ada empat metode yang populer digunakan para ulama tafsir. Berikut ulasannya lebih lanjut disertai pemaparan tentang kelebihan, kekurangan dan karakteristiknya masing-masing:

Metode tahlili

Metode tahlili adalah metode tafsir yang sifatnya tajzi’i, yakni mengurai secara rinci satu persatu bagian terkecil dari ayat al-Quran. Umumnya pemaparan berdasarkan tartib mushafi, di mana mufassir menafsirkan ayat al-Quran secara berurutan dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas.

Metode tahlili merinci segala macam aspek ayat. Mulai dari makna mufradat, analisis kebahasaan (i’rab), ragam qiraat hingga berbagai hukum yang dapat disarikan darinya (istinbatul hukm). Diperkaya pula dengan komponen-komponen penafsiran lain seperti konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), relasi antarayat atau antarsurat (munasabah) serta riwayat-riwayat terkait.

Kelebihan dari metode ini adalah pembahasannya yang komprehensif, sehingga sangat cocok bagi pengkaji yang ingin mendalami tafsir Alquran.

Adapun kekurangannya, antara lain metode ini tidak mengarah pada penyelesaian masalah yang konkret di masyarakat. Dengan istilah lain kurang membumi karena tidak dikaitkan pada problematika di dunia nyata. Selain itu, karena saking luasnya pembahasan, banyak hal yang tidak dibutuhkan pembaca ikut disertakan. Mufassir juga kadang terjebak pada kecenderungan mazhabnya. Tidak jarang tafsir model ini mengaitkan ayat tidak pada tempatnya.

Menurut Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, metode tahlili secara konseptual merupakan metode tafsir yang pertama kali digunakan. Para sahabat dahulu sebagaimana diceritakan oleh Ibn Mas’ud, mempelajari Alquran secara bertahap sepuluh ayat-sepuluh ayat. Mereka tidak beranjak ke pelajaran berikutnya sampai jelas pemahamannya akan makna persepuluh ayat tersebut dan telah mengamalkannya.

Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab yang panjangnya 15 jilid itu termasuk tafsir yang menggunakan metode ini.

Metode ijmali

Metode ijmali ialah metode menafsirkan Alquran dengan penjelasan yang global, ringkas dan dengan diksi populer serta jelas. Tidak seperti metode tahlili yang rinci, dalam metode ijmali mufassir terkadang hanya menafsirkan lafaz-lafaz yang dirasa perlu diberi penjelasan. Penjelasannya pun tidak panjang lebar, akan tetapi secukupnya saja sesuai kebutuhan.

Kitab tafsir yang memakai metode ini lebih mudah dipahami karena tidak bertele-tele. Tafsir al-Jalalain misalnya yang hanya menyisipkan penjelasan singkat di sela-sela ayat. Sifatnya yang praktis membuatnya cocok untuk pemula atau bagi orang yang punya waktu terbatas.

Sedangkan dari sisi kurangnya, tafsir ijmali tidak dapat memberikan penjelasan ayat secara detail dan dari berbagai sudut pandang. Sehingga kurang memuaskan bagi pembaca yang menginginkan penjelasan mendalam.

Selain Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani termasuk kategori ini.

Metode muqarin

Metode muqarin atau komparatif merupakan metode tafsir yang berusaha membandingkan antara satu ayat dengan ayat lain yang redaksinya mirip atau antara ayat dengan hadis yang sekilas tampak bertentangan. Bisa juga perbandingan antara berbagai penafsiran ulama yang berbeda satu sama lain, serta antara teks Alquran dengan teks dari kitab suci agama lain.

Keunggulan menggunakan metode ini, mufassir dapat memberikan wawasan yang luas dari berbagai sudut pandang untuk kemudian pembaca dapat menilai mana penafsiran yang lebih relevan dibandingkan penafsiran lain. Pembaca juga dapat mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan munculnya persamaan maupun perbedaan pendapat tersebut.

Kelemahan tafsir dengan metode ini barang kali akan cukup menyulitkan dan kurang sesuai untuk kalangan awam atau pemula, sebab pembahasan tafsir terkadang sangat kompleks dan mendalam.

Salah satu karakteristik tafsir muqarin, mufassir biasanya memberikan pandangannya pada bagian akhir setelah sebelumnya memaparkan pendapat para mufassir lain. Pandangan tersebut bisa berupa afirmasi kepada salah satu pendapat dengan argumentasi tertentu, bisa dengan mengompromikan atau mencari jalan tengah di antara perbedaan pendapat. Bisa pula ia menawarkan interpretasi baru disertai bantahan atas pendapat sebelumnya.

Contoh kitab tafsir dengan metode muqarin ialah Safwatut Tafasir karya Muhammad Ali As-Sabuni.

Metode maudui

Metode maudui merupakan metode menafsirkan Alquran yang didasari pada tema tertentu. Setidaknya ada tiga macam metode maudui yang populer saat ini.

Macam pertama, mufassir menginventarisasi ayat-ayat yang mengandung kosakata tertentu untuk kemudian menafsirkannya. Ini berguna untuk mengetahui bagaimana penggunaan kosakata tersebut dalam Alquran dan apa saja makna yang dikandungnya. Contoh, al-Mar’ah fil Qur’an, karya Syekh Muhammad Mutawalli Ash-Sha’rawi yang membahas makna dan penggunaan kata al-Mar’ah (perempuan) serta sinonim dan derivasinya dalam Alquran.

Adapun macam kedua, mufassir menghimpun dan membahas suatu aspek dari Alquran. Misalnya kitab Ash-Shamil fi balaghatil Qur’an yang ditulis oleh KH. Afifuddin Dimyati. Kitab ini khusus mengkaji sisi sastrawi Alquran.

Sedangkan macam ketiga dari metode maudui adalah tematik surat, yakni mufassir membatasi penafsirannya pada surat tertentu. Misal, ia hanya menafsirkan surat Yusuf dalam satu kesatuan. Biasanya mufassir akan menentukan terlebih dahulu tema sentral surat (mihwar/’amud), sehingga apapun interpretasi selanjutnya akan berkaitan dengan tema sentral tersebut.

Salah satu yang menjadi kelebihan tafsir maudui ialah mufassir fokus membahas suatu tema tertentu, sehingga pembaca mendapatkan pemahaman yang utuh terkait bagaimana konsep qur’ani atau pandangan dunia (weltanschauung) Alquran tentang tema tersebut.

Di Indonesia, kajian yang awalnya diperkenalkan oleh M. Quraish Shihab ini cukup populer, khususnya di kalangan akademisi tafsir hari ini. Sebab tafsir maudui dinilai lebih mampu menjawab persoalan-persoalan konkret di masyarakat.

Adapun yang menjadi salah satu kekurangan tafsir jenis ini, mufassir biasanya mengabaikan aspek-aspek lain dari ayat yang tidak berkaitan dengan tema yang diangkat. Tafsir jenis ini juga tidak jarang hanya menjadi ajang justifikasi mufassir pada persoalan-persoalan yang diyakininya.

Demikian empat metode populer dalam menafsirkan Alquran. Ini tidak berarti menafikan atau mengesampingkan metode lain. Sebab selama aktivitas menafsirkan Alquran masih eksis dilakukan, akan selalu muncul kreasi dan inovasi dalam mengembangkan metodenya.

Beberapa mufassir hari ini ada yang telah berusaha menggabungkan berbagai metode ini demi mengoptimalkan kitab tafsirnya. Kekurangan yang ada pada satu metode dapat ditutupi oleh kelebihan yang dimiliki metode lain.

Metode tafsir Alquran adalah hasil ijtihad ulama sebagai usaha memahami kandungan firman Allah SWT. Ia tidak memiliki tuntunan langsung dari Nabi dan tidak pernah dipatenkan. Selain itu antara satu metode dengan metode lain, tidak ada yang terbaik atau lebih utama dari yang lain. Sebab metode hanyalah sarana untuk mengantarkan pada tujuan. Masing-masing metode bahkan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

0
matsal Al Quran
matsal Al Quran

Pernahkah mendengar istilah hizb? Bagi umat muslim istilah ini mungkin sering ditemui dalam kumpulan doa dan wirid. Apalagi musim Pandemi seperti ini beberapa ulama turut membagikan ijazah berbagai hizb, salah satunya adalah hizb autad-nya Syekh Abdul Qadir Jailani yang pernah dibagikan oleh KH. Musthofa Bisri (Gus Mus). Tapi, pernahkah juga mendengar istilah hizb dalam Mushaf Al-Qur’an? Ternyata dua istilah hizb ini memiliki makna yang berbeda.

Hizb dilihat dari segi bahasa ada berbagai makna, dalam kamus Al-Munawwir anggitan KH. Ahmad Warson Munawwir Krapyak Yogyakarta, ada hizb bermakna al-wirdu (wirid), hizb bermakna At-thaifah wa al-qismu (bagian, kelompok), hizb bermakna as-silaah (senjata), dan hizb bermakna an-nashiib (bagian, nasib).

Tentu sebagian orang bertanya, kok bisa dalam satu kata hizb memiliki makna yang beragam seperti itu. Jadi, dalam Bahasa Arab ada istilah musytarak yang maksudnya adalah satu kata memiliki dua makna atau lebih. Dalam Bahasa Indonesia, istilah ini sering disebut dengan homonim. Tak heran jika hizb memiliki arti yang banyak.

Mari kita lihat perbedaan hizb wirid dan juga hizb mushaf Al-Qur’an.

Mengenal Hizb sebagai Wirid

Salah satu makna hizb secara bahasa adalah wirid. Sedangkan menurut istilahnya, kata hizb wirid bermakna,

الورد يعتاده الشخص من صلاة، وقراءة، ونحو ذلك

yaitu wirid yang biasa dilakukan seseorang baik berupa shalawat atau membaca (Al-Qur’an, hadis) dan wirid lainnya. Pengertian hizb ini terdapat dalam kamus al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarhi al Kabiir karya Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi.

Dalam tradisi pesantren hizb jenis ini sebagai amalan yang berisi doa dan wirid yang dibaca di waktu-waktu tertentu. Terkadang ada yang dibaca setelah shalat maktubah (shalat lima waktu), namun ada juga yang khusus dibaca saat terkena musibah, meminta perlindungan dari marabahaya dan lain sebagainya.

Biasanya, seorang pembaca hizb wirid seperti ini mendapatkan restu (ijazah) dari kyai-kyainya. Di lingkungan pesantren ada banyak macam hizb, seperti Hizb Nashar karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali, Hizb Nawawi, Hizb Bukhari, Hizb Ghazali, Hizb Autad, Hizb Durul A’la karya Muhyiddin Ibn Arabi, Hizb Zajr karya Imam Tijani, Hizb Nashar karya Imam Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad dan lain sebagainya.

Adapun kegunaan bacaan hizb seperti ini diungkapkan oleh Syekh Ahmad Zarruq ialah untuk berdzikir, memohon perlindungan dari keburukan, memohon kebaikan, dan memohon diberikan ilmu pengetahuan.

Inilah penjelasan ringkas terkait hizb sebagai wirid, yang dekat dengan tradisi tasawuf umat Muslim. Di depan tadi disebutkan bahwa makna hizb wirid dan hizb mushaf Al-Qur’an sangatlah berbeda. Lantas bagaimana penjelasan tentang hizb mushaf Al-Qur’an itu?

 

Hizb dalam Mushaf Al-Qur’an

Penggunaan istilah hizb dalam mushaf Al-Qur’an merupakan tanda atas kemudahan-kemudahan yang diciptakan generasi ke generasi umat muslim setelah Nabi Muhammad. Kita semua sepakat bahwa mushaf Al-Qur’an setelah Nabi wafat terus dimodifikasi untuk memudahkan pembacanya.

Kita mengenal tanda harakat, waqaf, juz, titik pada huruf hingga hizb karena telah diperkenalkan generasi ke generasi dari sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga generasi sekarang.

Hizb dalam kitab Kunuz Althaf al-Burhan fi Rumuz Awqaf Al-Qur’an karangan Muhammad Sadiq Al-Hindi disebut sebagai produk kreasi di era Abu Ja’far al-Mansur al-Darwaniqi Dinasti Abbasiyah. Jumlah dari hizb ini adalah 60 hizb.

Hizb seperti ini diciptakan untuk memudahkan seseorang dalam menghafal Al-Qur’an, misalkan seseorang ingin menghafal Al-Qur’an selama satu tahun, maka ia bisa menggunakan hizb sebagai patokannya, yakni satu hizb tiap seminggu (6 hari). Jika satu tahun terdapat 360 hari dibagi 60 hizb, maka tepat tiap 6 hari perlu menghafal satu hizb.

Biasanya, di tiap-tiap mushaf terdapat tanda hizb dengan medallion yang membungkusnya. Contohnya seperti di bawah ini.

Dalam gambar ini tanda hizb dan juz bergabung dalam satu medali yang maksudnya adalah juz ke-7 dan hizb ke-13 terdapat di surat Al-Maidah.

Dari uraian singkat ini, makna hizb yang terdapat dalam mushaf Al-Qur’an ialah al-qismu (bagian). Maka, salah jika hizb ini dimaknai sebagai wirid seperti pembahasan pertama tadi.

Demikian uraian tentang perbedaan makna hizb wirid dan hizb dalam mushaf Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

0
Muslim praying in Sujud posture

Fenomena jidat hitam beberapa tahun terakhir  menyisakan berbagai problema bagi tanda kesalehan seseorang. Jidat hitam menjadi tren islami untuk mengkategorisasikan diri sendiri atau orang lain sebagai “orang shaleh”. Jidat hitam dianggap-diyakini- sebagai tanda bekas sujud. Akhirnya kesalehan palsu dapat diimitasi dengan mudah, bikin saja jidat hitam – dengan kerok jidat-. Fenomena ini berangkat dari kesalah pahaman terhadap tafsir Surat al-Fath ayat 29.  

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ  ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ  كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا

Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia Adalah orang yang keras terhhadap orang kafir , tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allahdan ke-Ridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. 48:29)

Potongan ayat siimaahum fii wujuuhihim min athaari al-Sujuud inilah yang tampak disalah pahami oleh sebagian umat muslim. Dengan begitu, kiranya kita perlu merujuk kembali pada khazanah tafsir ulama kita untuk memaknai kembali bekas sujud yang dikehendaki. Agar tak mudah bagi kita mengimitasi kesalehan.

Berdasarkan riwayat yang berasal dari tafsir at-Thabari, bekas sujud akan tampak di wajah seseorang pada hari kiamat. Wajahnya akan tampak bersinar dan bercahaya. Sahabat Ibnu ‘Abbas mena’wil bekas sujud dengan wajah yang tampak indah dan menyejukkan. At-Thabari memaknai bekas sujud dengan Khusyu’ dan zuhud.

Wahbah Az-Zuhaili dalam At Tafsir Al Munir menjelaskan secara detail bahwa bekas sujud merupakan tanda yang sangat mulia, dia akan tampak dari berbagai sisi. Wajahnya tampak bersinar, indah dan menyejukkan, penuh cahaya dan kekhusyu’an. Makna ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan dari Jabir RA, Rasulullah Sallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Siapa saja yang memperbanyak shalat di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah pada siang hari.”  Sebagian ulama mentafsil makna hasan dalam hadis tersebut adalah cahaya yang menyala di dalam hati, wajah yang tampak bersinar, keluasan rizki, hatinya selalu mencintai rasa kemanusiaan.

Para mufasir klasik hingga kontemporer sepakat bahwa bekas sujud yang dikehendaki bukan berupa jidat yang tampak hitam. At-Thabari sedikit berhumor menyatakan bisa saja tampak kehitaman atau kekuningan karena disebabkan kelelahan. Namun athar yang dikehendaki bukan semacam itu. Athar yang dikehendaki bersifat immaterial, dia dapat terjadi di dunia maupun di Akhirat. Wajahnya tampak bersinar namun tetap khusyu’. Diikuti dengan akhlak yang mulia karena hati yang selalu takwa. Semoga kita bisa meneladani Rasulullah dan Para sahabat, dianugerahkan kenikmatan sujud yang ber-athar pada kesalehan ritual dan sosial kita.

Wallahu A’lam

Hikmah Membaca Surat Maryam bagi Ibu Hamil

0
Membaca Al Quran

Al Quran merupakan salah satu mukjizat Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Membaca dan mempelajarinya tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga mampu memberikan cahaya kepada hati yang redup. Begitu pula atas apa yang dirasakan seorang ibu hamil, yang kebanyakan mengalami kekhawatiran terhadap bayi yang dikandungnya, Hormon gelisah sering kali menyelimuti perasaan perempuan hamil. Membaca bagian tertentu dalam Al Quran dapat menjadi salah satu cara menghilangkan kegelisahan.

Salah satu surat yang biasa dibaca pada saat perempuan hamil yaitu surat Maryam. Surat Maryam merupakan surat ke 19 dan berjumlah 98 ayat serta termasuk golongan surat Makiyyah. Surat Maryam berisikan kisah Siti Maryam yang harus ikhlas menghadapi kehamilan seorang diri dengan izin Allah, tanpa adanya seorang suami.

Kisah Maryam tersebut mengajarkan pekerti bahwa ibu hamil harus mampu menghadapi perasaan gelisah dan khawatir terhadap bayi yang dikandungnya, dan menjadi ibu hamil yang tangguh dan rasa percaya diri yang kuat, maka Allah memberikan ketenangan hati kepada ibu hamil melalui membaca surat Al Quran. Sebagaiaman firman Allah dalam QS. Maryam ayat 23-25:

فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا ﴿٢٣﴾ فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ﴿٢٤﴾ وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ﴿٢٥﴾

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaka dia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “ janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”

Singkat cerita, Firman Allah di atas tentang kisah Maryam berserah diri kepada ketetapan Allah. Di saat itu, malaikat meniupkan ruh di lengan bajunya, yang kemudian ruh itu turun hingga mengalir ke farji, sehingga Maryam mengandung anak dengan izin Allah. Ketika Maryam hamil, sangat merasa kesulitan, karena masyarakat  tidak akan menganggap atas apa yang diceritakan Maryam dianggap tidak benar, mana mungkin perempuan hamil tanpa adanya seorang laki-laki.

Firman Allah tersebut yang berbunyi fa ajaa-ahal makhaadlu ilaa jidz’in nakhlati (Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma) yaitu menandakan terasa amat sakit dan terpaksa menyandarkan diri pada pangkal pohon kurma di tempat pengasingannya.

Kemudian pendapat dari Ibnu Abbas dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, bahwa Firman Allah, qaalat yaa laitanii mittu qabla Haadzaa wa kuntu nas-yam mansiyyan (“Ia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan”) di dalamnya mengandung dalil tentang dibolehkannya mengharap kematian di saat terjadinya fitnah. Karena, Maryam mengetahui bahwa ia akan diuji dan dicoba, setelah bayi yang dikandungnya dilahirkannya, akan hilangnya dukungan manusia dan sikap mereka yang tidak akan percaya cerita yang disampaikan Maryam.

Setelah dahulunya Maryam dikenal sebagai perempuan ahli ibadah, kini, menurut pandangan masyarakat, Maryam adalah seorang pelacur dan penzina. Maka ia pun berucap: yaa laitanii mittu qabla Haadzaa (“Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini,”) sebelum kejadian ini. Wa kuntu nas-yam man-siyyan (“Dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan,”) yaitu aku tidak diciptakan dan tidak menjadi sesuatu apa pun.

Kemudian Qatadah berpendapat tentang lafadz  wa kuntu nas-yam man-siyyan (“Dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan,”) yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak disebut dan tidak pula diketahui sedikit pun siapa aku. Sesungguhnya telah dibahas  pada hahadits-hadits yang menunjukkan larangan mengharapkan kematian kecuali ketika terjadi fitnah pada firman Allah: “Wafatkan-lah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101).

Dengan membaca Surat Maryam hati seorang ibu hamil akan menjadi tenang, hikmah yang lainnya adalah memberikan kelancaran dan kemudahan dalam melahirkan dan meringankan rasa sakit disaat melahirkan. Mengingat kisah perjuangan Maryam berproses menerima keputusan Tuhannya. Kemudian, Maryam hanya menyerahkan kehendak Allah, percaya bahwa keyakinan Maryam kepada Allah akan dihargai, bahwa kebaikan dan ke ikhlasan Maryam tidak akan ditinggalkan, hingga akhirnya tertulis dalam Al-qur’an. Wallahu ‘alam

Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (1)

0
manuskrip tafsir alquran di nusantara

Tafsiralquran.id – Lahirnya kajian Alquran di Indonesia tidak bisa lepas dari masuknya ajaran Islam ke Indonesia, yang diperkirakan semenjak abad 12 atau 13 M. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin Baidan, bahwa upaya untuk menjelaskan serta menafsirkan Alquran sudah ada beriringan dengan menyebarnya agama Islam di Indonesia. Hanya saja masih dalam budaya lisan, bukan tulisan. Tentunya, sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu.

Dalam hal ini, Aceh menjadi sorotan utama terkait lahir dan tumbuhnya pengajaran agama Islam yang masuk di tahun 1290. Setelah berdirinya kerajaan Pasai, Islam mulai berkembang. Tidak sedikit dari golongan ulama yang kemudian mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudog dan yang lainnya.

Pada awal abad ke 17 M, di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, keberadaan dari surau-surau tersebut mulai mengalami kemajuan, sehingga melahirkan beberapa ulama terkenal, seperti Nuruddin al-Raniri, Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, Syamsuddin al-Sumatrani, Ahmad Khatib Langin dan Burhanuddin.

Kajian Awal Alquran di beberapa Wilayah Indonesia

Di Sumatra terutama wilayah Aceh, pengkajian terkait ke-Alquranan begitu meyakinkan. Hal ini terlihat pada karya-karya yang dihasilkan oleh para ulama saat itu, semisal Tafsir Surah al-Kahfi –yang tidak diketahui siapa penulisnya. Namun, diperkirakan ditulis pada zaman Sultan Iskandar Muda, berkisar di abad 16 M. Satu abad kemudian, muncul sebuah tafsirj lengkap 30 juz yaitu Tarjuman al-Mustafid yang dikarang oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili.

Di Jawa, pengajaran Alquran tumbuh dan berkembang seiring dengan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo, yakni dengan didirikannya madrasah-madrasah dan pesantren sebagai tempat pengajaran Alquran. Begitu juga di kawasan Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan yang diperkirakan di abad 20 M. Sekalipun, penyajiannya masih terbatas pada ayat-ayat tertentu, seperti yang termuat dalam majalah yang ditulis oleh AG. H. Muhammad As’ad, yaitu Majalah al-Maw’izhah al-Hasanah. Dan juga, di  Kalimantan serta lembaga-lembaga pendidikan ke-Alquranan yang mulai bermunculan.

Penafsiran dengan Bahasa Lokal

Terkait dengan literatur yang ada saat itu, beberapa menggunakan bahasa Melayu. Pada masa kerajaan Samudra Pasai, bahasa Melayu dan Jawi tidak hanya digunakan sebagai bahasa dalam perpolitikan dan perdagangan, tapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan keagamaan. Hal ini tidak lain adalah untuk memudahkan dalam berinteraksi dengan Alquran, yakni di akhir tahun 1920. Seperti karangan dari Mahmud Yunus yang menulis karyanya dengan tulisan Jawi –tulisan bahasan Indonesia atau Melayu yang ditulis dengan tulisan Arab. Demikian juga Ahmad Hasan dan beberapa mufassir lainnya.

Di tahun 1930-an, Munawar Khalil  menyusun tafsir dengan judul Tafsir Qur’an Hidajatur Rahman menggunakan bahasa Jawa. Menurut Islah Gusmian, dalam dinamika penulisan tafsir Alquran yang demikian, tafsir Alquran berbahasa Jawa merupakan fenomena yang penting dikaji. Di tengah popularitas bahasa Indonesia dan aksara Latin sejak era awal abad ke-20—didorong oleh politik etis Belanda dan momentum Sumpah Pemuda pada 1908—bahasa Jawa masih hidup dalam tradisi penulisan tafsir Alquran di Indonesia dengan variasi aksara yang digunakan, yaitu aksara Pegon, Latin, dan Jawa. Sejak era abad ke-19 hingga awal abad ke-21, tafsir Alquran berbahasa Jawa ditulis dan dipublikasikan.

Ada juga yang menggunakan bahasa Bugis. Sebagaimana perkembangan tafsir khusus di wilayah Sulawesi Selatan mulai terlihat di abad ke-20 M, sekalipun penyajiannya masih terbatas pada ayat-ayat tertentu, seperti yang termuat dalam majalah yang ditulis oleh AG. H. Muhammad As’ad, yaitu Majalah al-Maw’izhah al-Hasanah. Di dalamnya ada satu rubrik yang membahas tentang tafsir satu ayat. Pada tahun 1948 ia menulis sebuah buku tafsir kecil terbit di Sengkang, ditulis dalam tiga bahasa; Arab/Bugis/Indonesia:Tafsir bahasa Boegisnya Soerah Amma.

Pada tahun 1958, AG. H.M. Yunus Martan menulis karya tafsir Alquran dalam bahasa Bugis yang terdiri dari tiga juz, yakni juz I, II, dan III. Judulnya ditulis dalam dua bahasa, Arab dan Bugis. Juz ketiga, yang terakhir dalam seri itu, dicetak pertama kali pada tahun 1961 AG. H.M. Yunus Martan: Format yang digunakan oleh AG. H.M. Yunus Martan adalah menuliskan teks ayat yang diikuti dengan terjemahnya. Apabila dibutuhkan “tafsir” atau penjelasan, ia menulisnya setelah terjemahnya, di bawah judul (tafsir, penjelasan) tetapi tidak semua ayat diberi penjelasan. Pada tahun 1978, seorang guru senior dari Madrasah As’adiyah Sengkang, AG. H. Hamzah Manguluang, juga membuat sebuah karya terjemah al-Qur’an berbahasa Bugis.

Setelah itu, mulai bermunculan dengan menggunakan bahasa Indonesia, semisal terjemahan dan tafsir yang dikarang oleh H.M.K Bakry yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim.