Beranda blog Halaman 549

Bagaimana Tafsir atas Huruf Muqattaah?

0

Pada artikel sebelumnya telah dikenalkan secara mendasar mengenai apa itu huruf muqattaah, termasuk bagaimana pandangan para mufassir terhadapnya. Ada yang meyakini huruf muqattaah tidak dapat ditafsirkan, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Artikel ini berfokus pada pandangan yang kedua. Berikut beberapa tafsir atas huruf muqattaah sebagai upaya para ulama mengungkap maknanya.

  1. Nama Allah

Tafsir pertama menyatakan bahwa huruf muqattaah merupakan representasi dari nama-nama agung Allah Swt. Kata Hamim yang disebut sebanyak tujuh kali dalam Alquran ini menurut Muhammad Izzah Darwazah merupakan inisial dari dua nama Allah Swt, yaitu ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang).

Demikian pula halnya dengan Kaf-Ha-Ya-’Ain-Sad yang mengawali surat Maryam. Lima huruf yang membentuk kata ini, menurut Ibn ‘Abbas menyimbolkan lima sifat Allah swt. Kaf berarti Karim yang artinya Maha Mulia, Ha’ berarti Hadin yang artinya Maha Pemberi Petunjuk, Ya’ berarti Hakim yang artinya Maha Bijaksana, ‘Ain berarti ‘Alim yang artinya Maha Mengetahui dan Sad berarti Sadiq yang artinya Maha Benar.

ar-Razi memandang kata-kata ini diposisikan oleh Allah sebagai muqsam bih (kata yang digunakan untuk bersumpah) sebagaimana kata-kata lainnya seperti al-‘asr, ad-duha, at-tin dan az-zaitun.

  1. Nama Alquran

Selanjutnya ada yang menganggapnya sebagai nama lain dari Alquran. Dalam kitab tafsirnya, Ibn Kasir mengutip pandangan Qatadah dan Zaid bin Aslam yang berpandangan bahwa huruf muqatta’ah termasuk nama-nama Alquran, meskipun ia sendiri kurang setuju dengan pendapat ini.

  1. Nama surat

Ada pula yang menyatakan huruf muqatta’ah yang terletak di awal suatu surat merupakan nama bagi surat tersebut. Az-Zamakhsyari termasuk condong pada pendapat ini. Dalam hal ini ia mencontohkan kata Yasin, Sad, Taha dan Qaf yang kemudian menjadi nama bagi surat-surat yang diawalinya.

  1. Pemisah surat

Pendapat lain menyatakan bahwa huruf-huruf ini merupakan tanda yang berguna sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lain. Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ubaidah, al-Akhfasy dan Mujahid sebagaimana yang dikutip oleh at-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an.

  1. Inisial Nama Sahabat

Ini adalah pendapat seorang orientalis asal Jerman yang bernama Theodor  Noldeke. Dalam karyanya, Geschichte des Qorans atau The History of The Qur’an, ia beranggapan bahwa huruf-huruf unik ini merupakan inisial dari nama para sahabat penulis mushaf Alquran. Pandangan ini banyak diikuti oleh orientalis lainnya, namun banyak mendapatkan kritikan dari kalangan Islam.

Noldeke meyakini, ketika Zaid bin Sabit diperintahkan mengkodifikasi Alquran, ia mendapati banyak versi manuskrip yang berbeda-beda. Lantas pada bagian-bagian yang memiliki beragam versi tersebut, Zaid terpaksa memilih salah satunya yang kemudian diberi tanda di awalnya yang mengacu pada inisial nama penulis pertama. Contoh, Alif-Lam-Ra’ berarti az-Zubair bin al-Awwam, Alif-Lam-Mim-Ra’ berarti al-Mughirah dan Taha berarti Talhah.

  1. Simbol makna-makna tertentu

Pendapat lain menyatakan bahwa huruf muqatta’ah merupakan simbol yang mengandung makna-makna tertentu yang tersembunyi di dalamnya. Sebagai contoh, disebutkan dalam Tafsir at-Tabari, Ibn Abbas telah menafsirkan Alif-Lam-Mim yang menurutnya bermakna Ana Allah A’lam (Akulah Allah Yang Maha Mengetahui).

Sementara Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam tafsirnya memaknai kata tersebut dengan Ayyuha al-Insan al-Kamil (Wahai Manusia Paripurna), yakni Nabi Muhammad Saw.

Beda lagi dengan Kiai Soleh Darat, salah satu mufassir Nusantara yang dikenal dengan penafsiran esoteriknya. Dalam kitab tafsirnya yang berjudul Faid al-Rahman, ia menginterpretasi tiga huruf Alif-Lam-Mim sebagai representasi dari lafaz Allah-Jibril-Muhammad. Isyarat bahwa Alquran yang ada di hadapan kita itu berasal dari sisi Allah Swt yang kemudian dibawa oleh Malaikat Jibril As. kepada Nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Catatan atas Pemaknaan Kata Istawa dalam Tafsir Kemenag

0

Sebenarnya saya tidak kaget melihat Tafsir Kemenag melakukan kesalahan seperti yang sedang viral ini yaitu menyangkut pemaknaan kata Istawa. Jangankan orang Kemenag, seseorang yang sudah mengarang tafsir berjilid-jilid tebal pun juga ada yang melakukan kontradiksi yang sama yang tentu saja dibantah oleh Mufassir lainnya yang lebih tahqiq. Dalam tulisan singkat ini saya ingin memberikan catatan atas pemaknaan kata istawa dalam Tafsir Kemenag.

Ingat, tafsir adalah salah satu spesialisasi ilmu keislaman. Menjadi ahli tafsir bukan berarti lantas menjadi ahli fikih, ahli ushul fikih, ahli tasawuf atau ahli teologi. Semua ada bidang spesialisasinya masing-masing sehingga tidak perlu kaget.

Kontradiksi dalam tafsir kemenag ini adalah sebagai berikut:

Pertama di dalamnya dikatakan:

“JANGANLAH sekali-kali digambarkan seperti SEORANG RAJA YANG DUDUK di atas singgasananya”

Lalu Tafsir Kemenag menyarankan agar memahaminya seperti berikut:

“Mempercayai ungkapan sebagaimana tercantum di atas Arasy (DUDUK DI ATAS TAHTA ) tetapi dengan cara atau kaifiatnya duduk diatas Tahta tidak boleh disamakan dengan CARA DUDUKNYA makhluk, seperti seseorang yang duduk di atas kursi”.

Bagaimana cara akal kita memahami makna “DUDUK DI ATAS TAHTA” tetapi bukan dengan cara seperti duduknya sesuatu yang punya badan dengan ukuran tertentu yang pantatnya menyentuh makhluk yang ia duduki? Siapakah yang bisa menjawab ini dengan logis?

Semua jawaban atas kontradiksi ini biasanya bersifat “ngeles”, tidak betul-betul menjawab inti persoalan tentang makna duduk di atas makhluk yang bernama Arasy yang diminta agar diyakini. Andai kemudian ngelesnya dengan berkata bahwa maknanya BUKAN duduknya sesuatu yang punya badan dengan ukuran tertentu yang pantatnya menyentuh makhluk yang ia duduki, lantas mengapa disebut duduk? Bukankah yang bukan makna itu berarti bukan duduk?

Jadi, inti masalahnya adalah ayat itu dia maknai sekenanya menurut seleranya sendiri sebagai “duduk”, lalu ia repot sendiri menjelaskannya agar tak terkesan menyerupakan dengan makhluk. Tapi ya tetap saja kontradiktif sebab kesalahannya ada dalam langkah pertama berupa pemaknaan istawa dengan duduk itu tadi. Apalagi pakai bawa-bawa Ibnu Katsir segala seolah beliau pernah berkata bahwa Allah duduk (qa’ada/jalasa).

Seandainya tim penyusun Tafsir Kemenag itu mengikuti cara para imam yang ahli tahqiq, tentu beres masalahnya. Sebenarnya ada beberapa alternatif pemaknaan:

Pertama, tidak menerjemah kata istawa sama sekali sebab artinya banyak dan kita tidak tahu persis makna mana yang dikehendaki Allah. Biarkan saja ayat itu apa adanya sehingga maknanya “Allah istawa atas Arasy” tanpa menerjemah kata istawa pada kata lainnya. Ini adalah pilihan Imam Ibnu Suraij Rahimahullahu.

Kedua, pasrahkan saja maknanya bulat-bulat pada Allah tanpa kita tentukan apa itu. Bilang saja bahwa kita mengimani maknanya sesuai makna yang dikehendaki oleh Allah lalu cukup berhenti di poin itu. Tak ada makna “duduk” atau makna “bersemayam” sebab itu bukanlah makna yang dinyatakan oleh Allah tetapi makna yang dinyatakan oleh penafsir kemenag dan orang-orang yang sepertinya. Ini adalah langkah yang dipilih oleh Imam Syafi’i, Sufyan bin Uyainah dan salaf secara umum. Prakteknya akan sama dengan pilihan pertama hanya saja pilihan kedua ini tidak punya penekanan anti terjemah.

Ketiga, memakai makna global pada kata istawa. Yang jelas istawa adalah salah satu tindakan Allah, maka artikan saja ayat itu sebagai “Allah melakukan tindakan tertentu atas Arasy yang ia sebut sebagai tindakan istiwa'”. Tak perlu dibahas bagaimana kaifiyah atau teknis tindakan Tuhan sebab sudah maklum bahwa itu di luar pengetahuan manusia. Yang jelas itu sebuah tindakan yang terjadi atas Arasy, tak perlu ditakwil atau dibahas mendetail maknanya. Ini adalah langkah yang dipakai Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rahimahullahu.

Keempat, memakai makna yang hendak disampaikan oleh konteks ayat itu secara utuh. Jadi bukan makna kata “istawa” yang dibahas tetapi pesan yang ingin diajarkan oleh seluruh rangkaian kata dalam ayat itu agar diimani oleh kaum muslimin. Pesan ayat itu adalah Allah hendak menunjukkan kehebatan dan kemahakuasaannya atas seluruh alam semesta. Inilah yang wajib diimani kaum muslimin dan cukup ini saja yang ditekankan, bukan makna yang mengisyaratkan adanya batasan-batasan fisikal. Ini adalah langkah beberapa ahli tafsir semisal Imam at-Thabary, Abul Qasim al-Qusyairi dan al-Qurthubi.

Kelima, memaknai istawa dengan makna menguasai. Jadi artinya Allah berkuasa atas Arasy. Arasy sebagai makhluk terbesar di alam semesta yang paling tinggi posisinya, penyebutan menguasai Arasy berarti menguasai seluruh alam semesta. Ini adalah penafsiran paling simpel yang paling mudah dipahami oleh orang paling awam sekali pun. Ini adalah langkah yang dipilih banyak sekali ahli tafsir. Saya ulangi, ini adalah pilihan banyak, sangat banyak ulama ahli tafsir yang keilmuannya diakui dunia. Sekedar contoh, di antara mereka ada Imam Abu Manshur al-Maturidi (333 H), Abul Laits As-Samarqandi (373 H), Abu Ishaq ats-Tsa’labi (427 H) Abu Hasan al-Mawardi (450 H), Ibnu Athiyyah al-Andalusi (546 H) dan terlalu banyak lainnya untuk disebutkan. Berusaha menegasikan apalagi menyesatkan pemaknaan kelima ini adalah hal yang tidak punya dasar kuat secara ilmiah. Hanya fanatisme saja yang menjadi dasar antipati terhadap makna “menguasai” ini. Tidak sepakat boleh saja, tapi kalau antipati maka berlebihan.

Dengan pemaknaan seperti di atas, tidak akan ada kontradiksi sama sekali dalam tafsirannya. Simpel dan beres. Akan tetapi apabila istawa dimaknai duduk bersemayam, maka ruwet jadinya. Imam Syafi’i sampai mengafirkan orang yang mengatakan Allah duduk karena saking bermasalahnya. Wallahu A’lam.

Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim

0

Saat ini, tidak ada seorang pun yang tidak terdampak oleh mewabahnya Virus Covid-19. Semua hampir merasakan dampak akibat virus Covid-19 yang sangat membahayakan ini. Begitu banyak problem kehidupan yang dirasakan oleh perseorangan, perusahaan, bahkan suatu negara sekalipun.

Disini penulis tidak akan menyebutkan secara mendetail apa dampak yang dirasakan oleh seluruh umat manusia khususnya umat Islam. Akan tetapi, segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tidak sedetik pun lepas dari ketentuan-Nya. Segala hal yang terjadi pada kehidupan ini, senang-sedihnya, Bahagia maupun dukanya, nikmat ataupun musibah semua atas izin dan kehendak Allah SWT. Lalu bagaimana sikap seharusnya yang hendaknya kita lakukan untuk menghadapi suatu musibah.

Dalam Al Quran, Allah SWT menegaskan bahwa segala musibah yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Allah berfirman dalam Surat At-Taghabun Ayat 11:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu’

Dalam kaidah Bahasa arab Lafadz مِنْ dalam ayat tersebut memiliki faidah “taukidul umum” yakni menguatkan kalam, yang berarti segala macam musibah, baik kecil atau besar, musibah yang menimpa perseorangan atau suatu negara,  dan musibah yang ada di dunia dan semesta ini maka semua atas kehendak dan izin Allah SWT.

Dalam Tafsir Al Jami’ li Ahkam Al Quran, dijelaskan oleh Al-Qurthubi bahwa sebab turunnya ayat ini disebabkan oleh ucapan orang kafir kepada para sahabat “seandainya apa yang kalian yakini (orang Islam) adalah suatu kebenaran, maka seharusnya Allah membantu kalian dari musibah di dunia ini”.

Selanjutnya, firman Allah yang artinya“barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”. Al-Qurthubi menjelaskan seorang mukmin akan senantiasa membenarkan dan mengetahui bahwa dia tidak akan ditimpa suatu musibah kecuali atas izin Allah. Dan Allah akan memberi petunjuk pada hatinya untuk sabar, ridha, dan ditetapkan menjaga  keimanan. 

Abu Ustman Al-Jiziy berkata: “barangsiapa yang selamat imannya maka Allah akan memberi petunjuk hatinya untuk mengikuti Sunnah. Dikatakan bahwa, barangsiapa yang beriman kepada Allah maka dia akan diberi petunjuk hatinya ketika ditimpa musibah dan kemudian dia akan mengucap inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil perkataan Ibnu Abbas tentang ayat ini, bahwa semua musibah datangnya atas kodrat dan kehendak Allah Swt, dan barangsiapa beriman kepada Allah ketika dia tertimpa musibah, kemudian ia menyadari bahwa ia adalah ketentuan Allah dan qadar-Nya, kemudian ia bersabar, mengharap pahala dari-Nya, dan berserah diri kepada ketentuan Allah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Dia akan mengganti apa yang hilang darinya dengan yang sama atau yang lebih baik. 

Kemudian Allah melanjutkan dengan firman-Nya, “Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”. Al Qurthubi mengatakan, “Allah mengetahui dan tidak tersembunyi atas-Nya penyerahan diri orang yang tunduk dan berserah diri pada ketentuan-Nya, dan tidak pula (tersembunyi atas-Nya) kebencian mereka yang benci dan tidak ridha atas ketentuan-Nya.”

Sikap dalam Menghadapi Musibah

Dalam konteks kehidupan kita pada saat ini,  tidak seorangpun yang terlepas dari ujian dan cobaan atas musibah Virus Covid-19 ini. Kesulitan dalam mencari rezeki, kesulitan berinteraksi, kesulitan mendapatkan akses pendidikan, bahkan  untuk beribadah saja kita harus sedikit menurunkan ego agar segala peribadatan dilaksanakan di rumah. Hal ini merupakan efek dari bentuk ikhtiar dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona.  

Sebagai seorang muslim untuk menyikapi musibah ini, setidaknya kita harus memahami dan mempercayai betul apa yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat At-Taghobun ayat 11 diatas.

Pertama, keyakinan bahwa semua musibah kecil atau besar, berulang-ulang atau tidak, sedikit atau banyak yang terjadi yang kita alami seluruhnya atas kehendak dan sepengetahuan Allah SWT. Allah adalah pencipta semesta dan jagat ini. Maka suatu hal yang mudah untuk Allah memberi musibah kepada makhluknya. Allah-lah yang memutuskan segala sesuatu untuk terjadi atau tidak, tak terkecuali tentang virus ini.

Kedua, Ketika seseorang sudah beriman kepada Allah dan membenarkan bahwa segal ujian dan musibah ini dari Allah, maka hatinya akan diberi petunjuk (hidayah) oleh Allah. Hidayah yang dimaksud ialah dia akan senantiasa sabar dan ridha atas segala ketetapan yang telah digariskan oleh Allah.

Jika seseorang sudah mendapatkan hidayah tersebut, seluruh musibah yang terjadi akan dapat menjadikannya lebih damai, tenang, nyaman, dengan penuh keyakinan akan kebenaran Allah. Terlebih Ketika Allah telah memberikan hidayah, dalam kehidupannya sehari-hari.

Seorang mukmin akan selalu mengetahui pekerjaan apa yang lebih baik dilaksanakan atau ditinggalkan. Dia akan selalu melakukan segala bentuk perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya atau oran lain. Dengan penuh kesadaran seorang mukmin akan sangat peduli terhadap hal-hal kecil yang diperolehnya dan bersyukur atas apa yang masih bisa dinikmati. Tanpa sedikit pun terbesit dalam benaknya rasa putus asa, mengeluh dan melakukan hal-hal yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain.

Pada intinya, ayat ini memerintahkan kita untuk sabar, senantiasa taat kepada Allah serta rida atas  ketetapan-Nya ketika tertimpa musibah. Rasulullah selalu memerintahkan kita untuk berusaha sekeras tenaga dan memasrahkan hasilnya hanya kepada Allah. Semoga seluruh doa-doa kita dikabulkan oleh Allah. Amiin.

Wallahua’lam Bishhawab.

 

 

 

 

Haruskah Pamer Hewan Kurban di Medsos? Simak Penjelasannya dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 271

0
hewan kurban

Fenomena pamer hewan kurban yang marak terjadi di medsos membuat saya tergelitik untuk mengkajinya dari perspektif tafsir Alquran. Meskipun kata “pamer” terkadang dikonotasikan dengan makna negatif. Namun, tidak ada salahnya jika kita menelisik bagaimana Alquran memandang fenomena pamer hewan kurban. Mari kita renungkan bersama firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 271 :

اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 271)

Perihal ayat di atas Imam Baidhawi dalam kitab tafsirnya mengutip satu riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas ra  :

Shadaqah  yang bersifat tatawu’ (disunahkan) yang dilakukan dengan sirri (tidak diperlihatkan ke khalayak ramai) lebih baik tujuh puluh kali lipat dibanding dengan yang diperlihatkan. Sedang shadaqah yang bersifat wajib lebih utama diperlihatkan dari pada di-sirri-kan, dengan keutamaan  lima puluh kali lipat.

Senada dengan riwayat di atas, Imam al-Samarqandi dalam Tafsīr al-Samarqandī al-Musammā Baḥr al-‘Ulūm juga menerangkan bahwa sedekah yang bersifat tatawu’ atau sunah memang lebih baik dilakukan dengan cara sir (tidak diperlihatkan di khalayak).

Hanya saja ketika membicarakan sedekah yang bersifat wajib seperti zakat, Imam al-Samarqandi merincinya menjadi dua pendapat. Sebagian ulama menyatakan lebih baik tidak dinampakan di khalayak ramai untuk menghindari sifat riya’ (pamer). Sementara sebagian yang lain berpendapat, lebih baik ditampakan ke khalayak karena ia termasuk dari syiar Islam. Sehingga mendorong umat Islam lainnya untuk menunaikan zakat.

Imam Al-Maragahi dalam tafsirnya juga menerangkan demikian, bahwa sedekah secara sirri itu lebih utama dibandingkan dengan sedekah secara ‘alaniyah (ditampakkan). Sebagai landasan normatif atas pendapat ini, al-Maraghi mengutip beberapa riwayat, di antaranya riwayat dari Imam al-Tabrani :

إن صدقة السر تطفىء غضب الرب

Sesungguhnya shadaqah yang dilakukan secara diam-diam akan memadamkan murka Tuhan

Sedekah memang memiliki banyak sekali manfaat, baik secara personal maupun sosial. Secara personal ia akan terhindar dari murka Allah swt sebagaimana hadis di atas. Selain itu, Allah akan menghapus sebagian kesalah-kesalahannya. Seperti yang termaktub dalam penggalan ayat Wa yakfuru ‘ankum min syai’atikum.

Sementara secara sosial, sedekah yang merupakan salah satu filantropi dalam Islam dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Jika dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi salah satu solusi dalam mengurangi angka kemiskinan.

Di akhir ayat, Allah swt berfirman Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Menurut Imam al-Baydhawi penggalan ayat ini menunjukan targhib fi al-israr (dianjurkan untuk sedekah secara sirri/ sembunyi). Sementara Imam al-Samarqandi menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan  Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan dari perbuatan shadaqahmu baik yang secara siri maupun yang terang-terangan.

Memang melalui media sosial, kita lebih leluasa membagikan segala hal yang kita alami; kesedihan, kegembiraan, suka,duka, lara dan seabrek problematika kehidupan di media sosial. Terlepas dari respon warganet terhadap hal yang kita unggah, yang jelas media sosial telah memberikan ruang yang luas lagi bebas bagi kita untuk menguggah apapun.

Ruang yang bebas itu kemudian membuat kita menampakan hal-hal yang sebenarnya bersifat privat, semisal  ibadah. Bahkan, kadang “nafsu” dokumentasi terhadap ibadah yang kita lakukan tak jarang membuat orang lain kurang nyaman.  Tentu, dokumentasi kegiatan dan meng-upload ke media sosial merupakan hak pribadi masing-masing kita. Namun, jika prosesnya malah mengganggu dan membuat  orang lain tidak nyaman, maka kurang bijak rasanya kalau tetap dilakukan.

Dari keterangan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa sedekah sirri (sembunyi) lebih utama dibandingkan dengan sedekah yang diumumkan di khalayak.  Dengan demikian, anda dapat menimbang sendiri kira-kira mana yang lebih utama, hewan kurban di posting ke media sosial atau yang cukup dilaporkan ke  panitia?

Perlu ditegaskan, di sini bahwa tulisan ini tidak hendak menjustifikasi benar atau salah, tepat atau tidak tindakan tersebut. Akan tetapi membahas mana yang lebih utama, di antara sedekah sirri dan ‘alaniyah (diumumkan). Artinya baik sedekah yang diumumkan ke khalayak maupun yang tidak diperlihatkan ke umum, semuanya tetap bernilai baik. Hanya saja kalau ada yang lebih utama kenapa tidak kita ikuti? Wallahu A’lam.

Tiga Pendapat Status Urutan Surat dalam Al Quran

0
pendapat status urutan surat
pendapat status urutan surat

Tartibus suwar (urutan surat) dalam Al Quran merupakan hal yang fundamental bagi umat Islam. Penyusunan urutan surat yang kita jumpai sekarang telah melewati serangkaian proses penertiban yang tidak mudah. Terkait pembahasan tartibus suwar, kita akan menjumpai istilah tauqifi dan ijtihadi.

Tauqifi berarti didasarkan pada tuntunan dari Nabi saw langsung, sedangkan ijtihadi adalah berdasarkan ijtihad dan usaha para sahabat Nabi dalam menentukan urutan-urutan ini. Manna’ Khattan dalam Mabahis fi Ulumil Quran membagi pendapat para ulama terkait urutan surat menjadi tiga pendapat besar, yakni taufiqi, ijtihadi dan sebagian tauqifi sebagian ijtihadi.

Semuanya Tauqifi

Muhammad Ali al-Shabuni berpendapat bahwa berdasarkan ijma’, susunan dan urutan surat adalah tauqifi dan tidak ada tempat untuk akal dan ijtihad dalam masalah ini. Sebab penyusunan ayat-ayat Al Quran tidak dilakukan menurut kronologi turunnya ayat.

Beberapa argumentasi bahwa penyusunan surah dan ayat Al Quran bersifat tauqifi, antara lain pendapat Imam al-Zarkasyi dalam al-Burhan berikut ini:

فأما الأيات في كل سورة ووضع البسملة في أولها فتر تيبها توقفي بلا شك ولا خلاف فيه ولهذا لايجوز تعكسها

“Adapun mengenai ayat-ayat yang terdapat dalam masing-masing surah Al Quran dan pencantuman basmalah pada permulaan tiap ayat serta penyusunannya, tidak diragukan lagi adalah berdasarkan tauqifi dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin, oleh karenanya tidak boleh dikatakan sebaliknya”

Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Senada dengan pendapat di atas, al-Qadhi Abu Bakar dalam al-Intishar berpendapat, “susunan ayat adalah suatu perintah yang wajib serta merupakan kemestian hukum, karena sesungguhnya Jibril berkata, “Letakkanlah ayat tersebut di tempat itu.” Kemudian Ibnu Hisbar berkata, “Susunan surah-surah Alquran dan penempatan ayat-ayatnya ada pada tempatnya, sebab ia melalui wahyu.” Rasul saw. bersabda, “Letakkan ayat ini di tempat ini. Sesungguhnya susunan tersebut telah memberi keyakinan, lewat penukilannya secara mutawatir, terhadap bacaan Rasulullah saw serta terhadap ijma’ para sahabat tentang penempatan ayat dalam mushaf.”

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abu Muhammad al-Baghawi sebagaimana disitir Jalaluddin al-Suyuthi, ia menyatakan:

إن الصحابة رضي الله عنهم جمعوا بين الدفتين القرأن الذي انزله الله على رسول الله وكان رسول الله عليه الصلاة والسلام يلقن أصحابه ويعلمهم مانزل عليه من القرأن على الترتيب الذي هو الآن فى مصاحفنا بتوقف جبريل اياه على ذلك واعلامه عند نزول كل أية إن هذه الأية كذا في سورة كذا

“Sesungguhnya para sahabat Nabi saw. telah mengumpulkan dan menulis Al Quran yang diturunkan (diwahyukan) Allah kepada Rasul-Nya dalam satu mushaf. Dan Rasulullah saw. mengajarkan kepada para sahabatnya dan juga memberikan petunjuk berkaitan dengan tertib dan urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang terdapat dalam mushaf seperti sekarang ini melalui petunjuk malaikat Jibril. Ketika ayat-ayat Alquran turun, Nabi saw langsung memberitahukan kepada para sahabat bahwa ayat ini ditulis sesudah ayat ini di surat ini”

Selain itu, ada juga memiliki riwayat yang menguatkan bahwa tartib al-suwar bersifat tauqifi. Di antaranya:

فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: “طرأ علي حزب من القرآن فأردت ألا أخرج حتى أقضيه” فسألنا أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قلنا: كيف تحزبون القرآن؟ قالوا: نحزبه ثلاث سور وخمس سور وسبع سور وتسع سور وإحدى عشرة سورة وثلاث عشرة وحزب المفصل من ق حتى نختم

Rasulullah bersabda pada kami,Telah turun kepadaku hizb (bagian) Al Quran, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai.” (Aus bin Hudzaifah) berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah saw. ‘Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al Quran?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir’.” (HR Ahmad)

Riwayat ini menegaskan bahwa tartib al-suwar dalam Al Quran telah ada pada zaman Rasulullah saw. Kendati demikian, Pendapat ini disanggah, di antaranya bahwa riwayat yang mereka gunakan tidak sepenuhnya berlaku pada semua surah, namun hanya sebagian saja. Maka tak dapat disimpulkan juga bahwa urutan surat dalam Al Quran semuanya tauqifi.

Baca juga: Sejarah Pencetakan Al-Quran dari Italia hingga Indonesia

Semuanya Ijtihadi

Pendapat ini dinisbatkan pada jumhur ulama di antaranya Imam Malik Ibn Faris mengatakan, terdapat dua proses dalam kodifikasi Alquran, yaitu tartib al-suwar diserahkan pada sahabat dan ditentukan oleh Nabi langsung. Pendapat Ibnu Faris ini didasarkan pada dua hal, pertama, mushaf yang dimiliki para sahabat berbeda-bebeda urutannya sebelum masa khalifah Utsman, meskipun mereka mengurutkannya berdasar apa yang mereka dapatkan dari Nabi.

Beberapa mushaf yang berbeda itu di antaranya mushaf milik Ubay bin Ka’ab (yang diawali surah Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisa, Ali Imran, Al-An’am), Mushaf Ali (sesuai surat yang turun pada Nabi, diawali Al-‘Alaq, Al-Muddatsir, Qaf, Al-Muzammil, Al-Lahab, Al-Takwir dan seterusnya).

Kedua, riwayat dari Ibn Asytah dari Ismail bin ‘Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu Muhammad al-Qurasyi:

أَمَرَهُمْ عُثْمَانُ أَنْ يُتَابِعُوا الطِّوَالَ فَجَعَلَ سُوْرَةَ الْأَنْفَالِ وَسُوْرَةَ التَّوْبَةِ فِي السَّبْعِ وَلَمْ يُفَصَّلْ بَيْنَهُمَا بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ustman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surah sab’u thiwal (tujuh surah yang panjang), lantas Ustman menjadikan surah al-Anfal dan al-Taubah pada urutan ketujuh tanpa memisahkan keduanya dengan basmalah.

Lalu al-Qurasyi berkata:

قلت لعثمان ما حملكم على أن عمدتم إلى الأنفال وهي من المثاني وإلى براءة وهي من المئين فقرنتم بينهما ولم تكتبوا بينهما سطر {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ووضعتموها في السبع الطوال؟

Aku mengatakan pada Utsman, apa yang melatarimu untuk menyatukan surah Al-Anfal di mana ia tergolong surah al-Matsani dengan surah al-Bara’ah (al-Taubah) sedangkan ia dari golongan surah al-Mi’un, kemudian engkau meletakkan keduanya dalam sab’u al-thiwal.”

Kemudia Ustman menjawab, “Pernah turun beberapa surah Alquran kepada Rasulullah dan beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat yang menulis Alquran dan mengatakan, “Letakkanlah ayat-ayat ini dalam surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu. Dan surah al-Anfal termasuk kategori surah-surah awal yang turun di Madinah, adapun al-Taubah termasuk yang terakhir turunnya.

Kisah yang terdapat dalam surah al-Anfal mirip dengan yang ada di al-Taubah, maka aku mengira surah al-Anfal bagian dari al-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, belum menerangkan pada kami hal tadi, karena itulah aku gabung keduanya, dan tidak aku tuliskan basmalah di antara keduanya, serta aku letakan keduanya dalam sab’u al-thiwal

Sebagian Ijtihadi Sebagian Tauqifi

Pendapat ini dituturkan al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Athiyyah, “Sesungguhnya kebanyakan surah-surah dalam Alquran sudah diketahui urutannya pada masa Nabi, seperti sab’u al-thiwal dan al-mufasshal. Adapun selainnya, urutannya kemungkinan diserahkan pada generasi selanjutnya.

Senada dengan al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan bahwa pendapat ketiga ini lebih utama. Hanya saja di sini terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai kategori surat tauqifi dan ijtihadi. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 69-73

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 69

Usaha segolongan Ahli Kitab akan sia-sia belaka, dan tipu daya mereka akan menimpa mereka sendiri, karena perbuatan mereka selalu diarahkan pada tujuan untuk menyesatkan orang mukmin. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan cara mendapatkan petunjuk.

Pandangan mereka akan tertutup sehingga tidak dapat melihat kebenaran ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang memberikan penjelasan tentang kebenaran dari kenabiannya. Boleh dikatakan bahwa mereka tidak berpikir sebagaimana mestinya, bahkan mereka menyia-nyiakan akal, juga mereka telah merusak fitrah mereka sendiri sehingga tidak bisa menjangkau kebenaran.

Sikap dan perbuatan segolongan Ahli Kitab dicela, karena mereka tidak menyadari keadaan mereka yang buruk. Mereka akhirnya jatuh dalam lembah kesesatan dan tidak dapat melihat lagi adanya kebenaran yang menuntun ke jalan yang lurus.

وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًاۚ حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ

Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, …. (al-Baqarah/2: 109)

وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَاۤءً

Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). … (an-Nisa′/4: 89)

Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuan Ahli Kitab menimbulkan persoalan yang meragukan di kalangan kaum Muslimin, tiada lain hanyalah untuk menyesatkan orang-orang mukmin dari agama yang benar, sehingga mengingkari ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.

Ayat 70

Allah mencela para Ahli Kitab yang mengingkari ayat-ayat Allah; padahal mereka mengetahui dalam kitab mereka sendiri kedatangan Nabi Muhammad saw. Kemudian Allah swt menandaskan bahwa mereka sendiri tidak saja telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw akan datang bahkan sifat-sifatnya pun telah mereka ketahui. Mereka seharusnya mengakui kenabian Muhammad, tetapi karena sifat dengki yang mencekam jiwa mereka, mereka terjerumus ke dalam lembah kehinaan. Mereka tidak dapat lagi melihat pancaran kebenaran, sehingga mereka terombang ambing dalam kesesatan.

Ayat 71

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ibnu ‘Abbas ia berkata bahwa ‘Abdullah bin as-Saif, ‘Adi bin Zaid dan Haris bin ‘Auf bercakap-cakap sesama mereka. “Marilah kita mempercayai kitab yang diturunkan kepada Rasulullah dan sahabat-sahabatnya di waktu pagi hari. Kemudian kita mengingkarinya di waktu petang hari, sehingga kita dapat mengacaukan mereka, semoga mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan, sehingga mereka kembali kepada agama mereka semula.” Kemudian turunlah ayat 71-73 ini.

Allah mencela Ahli Kitab karena mereka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Yang dimaksud dengan kebenaran dalam ayat ini ialah kebenaran yang dibawa oleh para nabi yang termuat dalam kitab mereka yaitu tauhid, serta berita gembira akan datangnya Nabi Muhammad yang bertugas seperti nabi-nabi sebelumnya yang akan mengajarkan Kitab dan hikmah kepada seluruh manusia.

Sedang yang dimaksud dengan kebatilan ialah segala tipu daya yang dibuat oleh para pendeta dan pemimpin terkemuka Ahli Kitab dengan jalan menakwilkan ayat-ayat Tuhan dengan takwilan yang batil dan yang jauh dari kebenaran. Penakwilan yang begitulah yang dianggap mereka sebagai agama yang wajib diikuti. Perbuatan mereka itu juga dicela.

وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۚ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ 

…. Dan mereka berkata, ”Itu dari Allah,” padahal bukan dari Allah. Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Ali ‘Imran/3: 78)

Jelas bahwa yang dimaksud dengan mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil ialah: tipu daya Ahli Kitab yang menakwilkan ayat-ayat Allah dan mengatakan bahwa penakwilan itu datang dari Allah. Sementara berita gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad, mereka sembunyikan.

Semua ini menunjukkan bahwa mereka melakukan perbuatan itu bukan karena kealpaan atau karena tidak tahu, tetapi karena ingkar, dan hasad yang telah bersarang di dalam dada mereka.

Ayat 72

Ada golongan dari Ahli Kitab yang mengajak kawan-kawannya agar pura-pura beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Muhammad di pagi hari, kemudian mengingkarinya pada waktu sore. Mereka bersikap demikian untuk menimbulkan kesan di hati umat Islam, kalau agama Islam itu benar tentulah orang-orang Yahudi yang baru masuk Islam tadi tidak akan murtad lagi. Sikap serupa ini tiada lain hanya tipu daya mereka untuk mempengaruhi orang-orang Islam agar kembali kepada kekafirannya.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Imam Mujahid, ia berkata bahwa, segolongan orang Yahudi salat subuh bersama Nabi. Kemudian mereka kafir pada petang harinya. Apabila mereka melakukan tipu daya serupa itu, bukanlah hal yang aneh, karena mengetahui bahwa di antara tanda-tanda kebenaran itu ialah, apabila seseorang telah mengetahui sesuatu itu benar, tentu dia tidak akan meninggalkannya.

Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Heraklius, Kaisar Rumawi kepada Abu Sufyan ketika dia menanyakan kepadanya tentang keadaan Muhammad, yaitu ketika Nabi Muhammad saw menyeru Heraklius dengan suratnya untuk masuk Islam, “Adakah orang yang keluar dari agamanya setelah ia memeluknya?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.”

Ayat ini memperingatkan Nabi Muhammad akan tipu daya Ahli Kitab dan memberitahukan siasat mereka, agar tipu daya itu tidak mempengaruhi hati orang mukmin yang masih lemah. Peringatan ini berguna untuk menggagalkan usaha mereka; sebab apabila latar belakang dari tipu daya mereka telah diketahui, tentulah usaha mereka tidak akan berhasil. Ayat ini sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad saw, karena mengandung berita gaib yang membukakan rahasia niat busuk orang Yahudi.

Ayat 73

Allah mengungkapkan adanya perkataan pemimpin-pemimpin Yahudi yang melarang kaumnya menyatakan kepercayaan mereka kepada orang lain yang bukan Yahudi, bahwa kenabian itu boleh saja diberi oleh Allah kepada orang lain, selain orang-orang Yahudi. Sebab jika hal itu dikatakan kepada umat Islam tentu umat Islam akan menjadikannya alasan untuk menguatkan kerasulan Muhammad, yang diutus oleh Allah dari kalangan orang Arab, bukan dari kalangan orang Yahudi.

Sikap semacam itu timbul karena orang-orang Yahudi itu memang mengetahui bahwa Allah dapat mengutus seorang rasul, biarpun tidak dari kalangan bangsa Yahudi, tetapi mereka mengingkari kenabian Muhammad adalah karena kesombongan dan kedengkian mereka.

Sesungguhnya petunjuk yang baru diikuti itu ialah petunjuk Allah. Maksudnya bahwa petunjuk itu tidak hanya untuk satu bangsa tertentu di antara hamba-hamba-Nya. Petunjuk itu disampaikan melalui nabi-nabi yang diangkat oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya.

Oleh sebab itu orang yang diberi petunjuk oleh Allah swt, ia tidak akan sesat dan tidak ada seorang pun yang sanggup menyesatkannya. Maka tipu daya Ahli Kitab tidak akan memberi pengaruh sedikit pun kepada orang Muslim dan tidak ada yang dapat menghalangi kehendak Allah terhadap nabi-nabi-Nya.

Kerasulan itu adalah karunia dari Tuhan yang berada di dalam kekuasaan-Nya secara mutlak. Allah Maha Pemberi dan Maha Mengetahui, siapa saja yang berhak mendapatkan karunia-Nya. Maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam pernyataan ini terdapat peringatan bahwa orang-orang Yahudi. telah mempersempit pengertian tentang karunia Tuhan Yang Mahaluas.

Karunia Allah sangat luas dan rahmat-Nya diberikan secara merata menurut kehendak-Nya. Ini merupakan bantahan terhadap tuduhan Ahli Kitab yang mengatakan bahwa kenabian dan kerasulan itu hanya bagi orang-orang Bani Israil saja.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah mempunyai hak mutlak untuk mengutus nabi dan rasul sesuai dengan keadilan dan rahmat-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

0

Di antara ayat-ayat Alquran yang menurut pendapat paling kuat berjumlah 6.236. Ada ayat-ayat spesial, berada di awal beberapa surat dan sangat berbeda dari ayat yang lain. Mulai dari bentuknya yang berupa kumpulan huruf-huruf, cara membacanya yang unik, hingga maknanya yang masih menjadi perdebatan. Di sini, kita akan mengenal lebih dekat ayat Alquran yang paling misterius tersebut yang dikenal dengan huruf muqattaah.

Huruf muqattaah atau al-ahruf al-muqatta’ah dalam bahasa Indonesia berarti huruf-huruf yang terputus-putus. Dinamai demikian karena ia terdiri dari beberapa huruf dalam ejaan bahasa Arab yang dibaca secara terpisah-pisah, meski disambung layaknya satu kata. Selain itu, ia juga dinamai fawatih al-suwar, yakni bacaan pembuka surat.

Kata الم misalnya, tidak dibaca “alama” dan sebagainya. Akan tetapi masing-masing huruf dibaca secara terpisah berdasarkan ejaan huruf hijaiyyahnya. Dalam bahasa Arab, “ا” dibaca اَلِفْ (Alif), “ل” dibaca لَامْ (Laam) dan م dibaca مِيْمْ (Miim). Apabila disambung akan terjadi idgham pada huruf mim dan mad lazim di huruf lam dan mim, sehingga menjadi “Aliflaaammiiim”.

Terdapat 29 surat dalam Alquran yang diawali dengan huruf muqattaah, di antaranya surat Al-Baqarah [2], surat Ali ‘Imran [3], surat Al-‘Ankabut [29], Surat Al-A’raf [7] dan surat Luqman [31] dan 24 surat lainnya.

Sementara huruf muqatta’ah sendiri berjumlah sebanyak 14 huruf. Supaya mudah dihafalkan, ulama mengumpulkannya dalam ungkapan shahhi thariqaka bi al-sunnah (benarkanlah jalanmu dengan sunnah) atau shirat ‘Ali haq (jalan Ali itu benar)

Dari 14 huruf tersebut membentuk 14 pola kata pula yang dapat dikategorikan berdasarkan jumlah hurufnya menjadi lima macam. Pertama, kata yang terdiri dari satu huruf; ص ,ق  dan ن. Kedua, kata yang terdiri dari dua huruf; حم ,يس ,طه dan طس. Ketiga, kata yang terdiri dari tiga huruf; الم ,الر dan طسم. Keempat, kata yang terdiri dari empat huruf; المص dan المر. Dan kelima, kata yang terdiri dari lima huruf; حم عسق dan كهيعص.

Terkait status huruf muqattaah, sebenarnya terdapat perbedaan di kalangan ulama, apakah ia termasuk ayat Alquran atau bukan. Az-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa ada dua pendapat mengenai hal ini.

Yang pertama, ulama Basrah yang menganggap semua huruf muqattaah bukan termasuk ayat Alquran. Sementara pendapat yang kedua, ulama Kufah yang berpandangan bahwa sebagian huruf muqattaah adalah ayat dan sebagian lainnya bukan. Namun demikian, az-Zarkasyi tidak memaparkan argumentasi kedua pendapat ini.

Adapun terkait pemaknaannya, ulama terpecah pula ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menganggapnya sebagai bagian dari ayat mutasyabihat (ayat yang masih samar, mebutuhkan penjelasan yang lebih) maka mereka memasrahkan maknanya hanya kepada Allah. Bagi mereka, tidak seorangpun yang mengetahui makna huruf muqattaah kecuali Allah semata. Ini berdasarkan pada firman Allah dalam QS. Ali Imran: 7 berikut.

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (baca tafsir surat Ali Imran ayat 7)

Pendapat pertama ini seperti tercermin dari ungkapan pengarang Tasir al-Jalalain ketika tiap kali sampai pada pembahasan huruf muqatta’ah, ia menuliskan:

اللَّه أَعْلَم بِمُرَادِهِ بِذَلِكَ

Allah yang lebih mengetahui akan maksudnya.

Sedangkan pendapat kedua menganggap huruf muqatta’ah sebagaimana ayat Alquran lain yang memiliki kandungan makna yang dapat diungkap. Mufassir yang mampu mengungkap kandungan makna dari huruf muqattaah adalah mereka yang dijuluki ulul albab, yaitu yang mendalam keilmuannya dan tinggi spiritualitasnya sehingga mendapatkan pancaran ilham dari Allah Swt.

Argumentasi yang dikemukakan kelompok kedua sebagaimana yang dinyatakan ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib  ialah bahwa mustahil Allah menurunkan ayat-ayat Alquran yang tidak dapat dipahami maknanya, sedangkan ia adalah pedoman bagi umat Islam.

Selain itu, mereka juga merujuk pada QS. Ali Imran: 7 di atas, sama seperti yang dilakukan kelompok pertama. Hanya saja kelompok kedua ini memandang bahwa huruf wau pada kalimat “wa al-rasikhun fi al-‘ilm” bukan berfaedah ibtida’, melainkan ‘atf pada kata “Allah” sebelumnya. Sehingga apabila diterjemahkan menjadi, “tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya…”.

Demikian ‘dialog’ seputar pemaknaan huruf muqatta’ah di kalangan ulama tafsir. Adapun beberapa penafsiran atas huruf muqatta’ah dari kelompok yang meyakininya akan dipaparkan lebih lanjut di artikel berikutnya.

Penjelasan Al Quran tentang Musibah dan Pandemi

0
thediplomat.com

Pada akhir tahun 2019 di kota Wuhan provinsi Hubei China muncul sebuah virus Corona baru. Virus ini menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia, dan menjadi sebuah pandemi yang dikenal dengan Covid-19. Pandemi ini telah membuat dunia kalang kabut, baik dari aspek medis, sosial, ekonomi maupun lainnya, yang tentu saja menyita perhatian semua pihak termasuk agamawan.

Sikap sebagian agamawan di negeri kita amat disayangkan dalam hal ini, karena alih-alih muhasabah (introspeksi), mereka malah menggulirkan isu yang membingungkan umat dengan mengatakan bahwa Covid-19 adalah tentara Allah, jelang kiamat sampai dengan azab untuk orang kafir dan ahli maksiat, seakan tidak punya empati terhadap mereka yang sedang tertimpa sakit.

Padahal jika mereka mau sedikit berfikir, mereka mestinya tahu, jika Corona adalah tentara Allah, maka konsekuensi maknanya adalah, dokter dan tenaga medis sedang memerangi Allah, padahal mereka adalah pelestari kehidupan (QS al-Maidah [5]: 32). Jika Covid-19 menunjukkan dekatnya kiamat, maka sesungguhnya tidak ada yang tahu kapan kepastian datangnya kiamat. Dan jika Covid-19 adalah azab untuk yang kafir dan maksiat, maka sejarah membuktikan orang-orang saleh pun banyak yang terenggut nyawa saat datang wabah.

Bagaimana Alquran menjelaskan ini semua? Pertama, Allah akan terus menciptakan sesuatu yang tidak kita ketahui, termasuk penyakit (Q.S al-Nahl [16]: 8). Kedua, Covid-19 bukanlah azab tetapi bala’ yang berarti ujian atau cobaan, karena menimpa ahli ta’at dan ahli maksiat, muslim dan non-muslim (Q.S al-Anfal [8]: 25). Berbeda dengan azab yang hanya menimpa mereka yang zalim (Q.S Hud [11]: 26-27 & 65).

Ketiga, ujian dalam hidup adalah sunnatullah dan merupakan sebuah keniscayaan. Allah SWT berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Allah Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun.” (Q.S al-Mulk [67]: 2).

Dalam firman-Nya yang lain:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

“Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Q.S Muhammad [47: 31).

Keempat, ujian terberat dialami oleh para Nabi kemudian sahabat, kemudian derajat di bawahnya dan seterusnya. Ini banyak tercatat dalam Alquran, di antaranya sebagai pengingat:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Q.S al-Baqarah [2]: 214).

Bagi para nabi dan kekasih Allah, ujian adalah tangga menuju kenaikan derajat, kedekatan dengan Allah dan buah penghormatan kepada mereka. Tidak harus dalam bentuk yang menyakitkan, terkadang berupa anugerah, baik harta maupun keluarga atau lainnya.

Kelima, masing-masing manusia diuji sesuai dengan kemampuannya. Semua manusia mengalami musibah, dan Allah sudah memberi kekuatan untuk memikulnya. Tidak ada ujian yang di luar batas kemampuan. Semua ujian pasti mendatangkan kebaikan jika diterima dengan legawa dan sabar. Di sisi lain, bersedih tidak lah dilarang, Nabi bahkan menangis tatkala ditinggal pergi oleh putranya, Ibrahim. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebuah ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 155).

Keenam, tidak ada musibah yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS al-Taubah [9]: 51).

Ketujuh, dalam setiap hal kita diperintahkan untuk mengikuti anjuran mereka yang memiliki keahlian di bidangnya. Dan dalam hal Covid-19 saran dokter lah yang harus kita ikuti, tetap dengan keyakinan terhadap kuasa Allah, sebagaimana ungkapan Nabi Ibrahim:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS al-Syu’ara [26: 80).

Demikian beberapa poin global penjelasan Alquran tentang musibah, yang simpulannya adalah bahwa pandemi datang dari Allah, bukan merupakan azab. Ia merupakan sebuah keniscayaan yang menimpa semua manusia, dengan ukuran kemampuannya masing-masing, termasuk para nabi. Semua terjadi atas kehendak-Nya, dan kita diminta untuk berikhtiar mengikuti mereka para tenaga medis yang ahli di bidang ini, sembari terus berdoa dan tetap meyakini kuasa-Nya, agar ‘badai’ Covid-19 ini cepat berlalu, insya Allah.

Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (3)

0
manuskrip tafsir alquran di nusantara

Sejak awal abad ke-20, baru muncul tafsir Indonesia modern yang ditulis oleh Mahmud Yunus dalam karya tafsirnya yang diberi nama Tafsir Qur’an Karim. Ada tiga elemen modern yang diperkenalkannya sebagai pola baru yang memberi ciri bagi penulisan karya tafsir Indonesia modern, yaitu pemakaian huruf Latin menggantikan huruf Arab-Melayu, gaya penulisan model karya tafsir yang ringkas, serta elemen-elemen modernitas dengan memunculkan kecenderungan penafsiran yang bercorak ilmiah.

Kemudian, diikuti oleh penulis tafsir sesudahnya di antaranya, A. Hasan, T.M Hasbi Ash-Shiddiqy, Hamka, Jaluludin Rahmat, Quraish Shihab dan yang lainnya. Bahkan di abad ke-20 M mulai bermunculan karya-karya tafsir sosial, yang secara kondisional memberikan kritik sosial, politik dan kemanusiaan.

Dan, semenjak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan Alquran sudah dalam bentuk juz per-juz, bahkan seluruh isi Alquran mulai bermunculan. Kondisi penerjemahan Alquran semakin kondusif setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir al-Furqan misalnya adalah tafsir pertama yang diterbitkan pada tahun 1928. Dalam kisaran awal tahun abad 20 hingga 1960, beberapa tafsir yang sudah dihasilkan sebagai berikut:

  1. Muhammad Nur Idris, Tafsir Alquranul Karim, Surat al-Fatihah, Jakarta: Widjaja, 1955. Corak pembahasan surat tertentu.
  2. Bahri, Rahasia Ulumul Quran/ Tafsir Surat al-Fatihah. Jakarta: Institute Indonesia, 1956. Corak pembahasan surat tertentu.
  3. Bahroem Rangkuti, Kandungan al-Fatihah. Jakarta: Pustaka Islam, 1960. Corak pembahasan surat tertentu.
  4. Hasri, Tafsir Surat al-Fatihah. Cirebon: Toko Mesir, 1969. Corak pembahasan surat tertentu.
  5. Hamka, Al-Burhan: Tafsir Juz ‘Amma. Padang: al-Munir, 1922. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  6. Hasan, Al-Hidayah Tafsir Juz ‘Amma. Bandung: al-Ma’arif, 1930. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  7. Adnan Yahya Lubis, Tafsir Djuz ‘Amma. Medan: Islamiyah, 1954. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  8. Zuber Usman, Tafsir al-Qur’anul Karim; Djuz ‘Amma. Jakarta: Wijaya, 1955. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  9. Iskandar Idris, Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1958. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  10. Mustafa Baisa, Tafsir Djuz ‘Amma. Surabaya: Usaha Keluarga, 1960. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  11. Said, Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia. Bandung: al-Ma’rif, 1960. Corak pembahasan Juz ‘Amma.
  12. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: Pustaka Mamudiya, 1957. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.
  13. Bisri Mustafa, Tafsir al-Ibriz. Rembang, 1960. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.
  14. Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Timtamas, 1962. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.
  15. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, Abdurrahman Haitami, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Medan: Firma Islamiyah, 1956, Ed. 9. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.
  16. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Wijaya, 1959. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.
  17. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan. Bandung: al-Ma’arif, 1966. Corak pembahasan Tafsir Alquran 30 Juz lengkap.

Dalam kurun waktu awal abad ke-20 hingga 1960, sudah cukup banyak karya tafsir yang dihasilkan oleh para ulama atau pun para pengkaji Alquran. Hal ini menandakan bahwa geliat tafsir Indonesia di era klasik ini sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Bermula pada tafsiran surat-surat tertentu, juz 30, hingga lengkap 30 juz Alquran.

Di samping itu, juga tidak sedikit ditemukan bahasa penyampaiannya menggunakan bahasa lokal, semisal bahasa Jawa, Melayu, Sunda, ataupun Bugis. Hal ini tidak lain adalah salah satu bentuk perhatian dari pada Ulamanya, agar tafsiran tersebut bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat secara awam.

Karena memang masih tergolong awal, tentu karya-karya yang dihasilkan masih sederhana, jika dipandang dari segi metode, corak maupun bentuk tafsirnya. Sekalipun demikian, hal ini tetap dipandang sebagai ‘gerakan’ yang luar biasa dalam dunia tafsir.

Tafsir Tarbawi: Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik

0
sikap sabar
sikap sabar (wikipedia)

Telah masyhur di antara kita akan syair Imam Syafi’i, “Jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, bersiap-siaplah menelan pahitnya kebodohan”. Syair ini mengindikasikan bahwa peserta didik harus memiliki sikap sabar dan ketekunan dalam belajar.

Ilmu tidak diraih oleh warisan nasab dan kedudukan, tapi hanya diperoleh bagi mereka yang bersabar dan tekun. Keharusan bersikap sabar bagi peserta didik, Allah swt lukiskan dalam firman-Nya Q.S. al-Hujurat [49]: 5,

وَلَوْ اَنَّهُمْ صَبَرُوْا حَتّٰى تَخْرُجَ اِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Dan sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S. al-Hujurat [49]: 5)

Tafsir Surah al-Hujurat Ayat 5

Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir menjelaskan bahwa sekiranya mereka mau bersabar untuk menunggu Rasulullah saw keluar menemui mereka menandakan sikap sabar dan itu lebih baik bagi mereka serta paling utama kedudukannya di sisi Allah swt dan manusia. Hal itu juga menunjukkan penghormatan kepada Rasulullah saw yang berkedudukan sebagai Nabi. Dan Allah swt Maha Pengampun atas dosa hamba-Nya dan Maha Penyayang bagi orang-orang mukmin.

Hal senada disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa kata khairan menggunakan bentuk isim tafdhil (isim yang bermakna lebih atau paling). Maksudnya adalah sabar bagi mereka tentu jauh lebih baik dan lebih utama daripada tergesa-gesa. Dan sabar juga antonim dari keburukan. Sabar juga merupakan bagian dari keindahan akhlak.

Baca juga: Beda Derajat Orang yang Berilmu dan Tidak Berilmu

Penafsiran berbeda datang dari Ibnu Katsir, ia menjelaskan munasabah ayat ini terkait ayat sebelumnya (al-Hujurat: 4), di mana kebiasaan orang-orang Arab saat itu memanggil seseorang dengan bersuara keras sebagaimana yang mereka lakukan terhadap baginda Rasulullah saw. Hal itu dicela oleh Allah swt.

Kemudian pada ayat ini menegaskan bentuk etika sopan santun terhadap Rasulullah saw yakni kesabaran. Sabar untuk menunggu Rasulullah saw keluar hingga menemui mereka. Sebab hal itu mengandung kebaikan dan kemanfaatan bagi mereka di dunia dan akhirat.

Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik

Bagi seorang peserta didik, sikap sabar adalah keharusan. Tanpa kesabaran, ilmu sulit diraih. Ilmu membutuhkan ketekunan, kesabaran dan ketenangan. Perilaku sabar yang ditunjukkan oleh ayat di atas di antaranya adalah pertama, tidak terburu-buru. Mereka sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sabar menunggu Rasulullah saw keluar menemui mereka itu lebih utama daripada memanggilnya dengan suara lantang. Secara tidak langsung, sabar meniscayakan etika atau sopan santun.

Begitu pula halnya peserta didik, ia harus sabar akan penjelasan guru, sabar akan tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh guru, sabar untuk menahan kantuknya lelah belajara, bahkan sabar untuk menahan diri dari hal-hal tercela seperti pacaran, bermain berlebihan, dan sebagainya.

Baca juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Kedua, mengontrol hawa nafsu. Ayat di atas menyiratkan anjuran untuk tidak bersuara lantang ketika memanggil guru. Artinya, bersabar atas kepungan dahsyatnya hawa nafsu. Seorang manusia tidak akan bisa menanggalkan hawa nafsu, karena sejatinya hawa nafsu adalah fitrah bagi manusia. Maka yang hanya bisa kita lakukan adalah mengendalikannya sehingga tidak liar tak terkendali.

Mengutip dawuh (perkataan) Syaikh Muhammad bin Hasan dalam Ta’lim al-Muta’allim, bahwa tidak akan diperolehnya suatu ilmu kecuali enam perkara, salah satunya adalah kesabaran. Menuntut ilmu memang membutuhkan kesabaran.

Sangat beruntung bagi mereka yang mampu bersabar melewati segala bentuk ujiannya. Segala umpatan, cacian, celaan, godaan, kesenangan sesaat selalu menyelimuti bagi para penuntut ilmu. Dengan demikian, hendaknya peserta didik selalu berdoa dan memohon kepada-Nya untuk diberikan kesabaran dan ketabahan serta kemudahan dalam melewati semua itu, sebab ridha Allah swt sangat menentukan mudah tidaknya perjuangan kita. Wallahu A’lam.