Syauqi Dhaif menukil pendapat para ahli nahwu mengatakan bahwa setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu nahwu. Pertama, faktor agama. Yaitu merebaknya kesalahan (lahn) pembacaan al-Quran setelah Islam menyebar ke seluruh Jazirah Arab. Di situlah fenomena percampuran bahasa tak terelakkan yang mengakibatkan banyaknya lahn. Faktor kedua adalah non-agama (politis), yaitu rasa nasionalisme bangsa Arab yang ingin menjaga kemurnian bahasa mereka dari ketercampuran dengan bahasa bangsa lainnya.
Baca Juga: Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu
Munculnya Dua Mazhab Besar: Mazhab Basrah dan Kufah
Para pakar nahwu saling berbeda pendapat mengenai orang yang pertama kali merumuskan nahwu. Setidaknya, ada banyak nama yang menjadi perdebatan, yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Nashr bin ‘Ashim, Abdurrahman bin Hurmuz, dan Abu al-Aswad al-Du’ali. Namun, nama belakangan ini lah yang disepakati oleh mayoritas ulama sebagai perumus ilmu nahwu.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh banyaknya riwayat yang merekam aktivitas masing-masing nama di atas yang berkaitan dengan nahwu. Riwayat-riwayat tersebut tidak akan kita bahas di sini, namun dapat kita baca dalam buku-buku sejarah nahwu. Al-Madaris al-Nahwiyyah karya Syauqi Dhaif, untuk menyebut satu contoh buku tarikh nahwu.
Pada masa awal Islam, kajian nahwu masih sangat sederhana, hanya sebatas isim, fiil, mubtada’, fail, maf’ul dan beberapa istilah lainnya. Baru era berikutnya lah kajian nahwu begitu semarak dengan munculnya Ibn Abi Ishaq al-Hadhrami, mengawali lahirnya mazhab Bashrah. Kemudian disusul dengan munculnya mazhab Kufah yang dibentuk oleh Abu Ja’far al-Ru’asi dan Mu’adz al-Harra’.
Baca Juga: Al-Quran: Antara Ragam Qiraat dan Sumber Ilmu Nahwu
Beda Bashrah, Beda Kufah (Seputar Kila dan Kilta)
Ada perbedaan yang sangat kentara antara mazhab Basrah dan Kufah. Para ulama nahwu Bashrah tidak menjadikan qiraat sebagai hujah atas teori-teori gramatika bahasa Arab kecuali beberapa qiraat yang memang telah disepakati pendahulu mereka dan sesuai dengan standar mereka, seperti kata (كلا) kila dan (كلتا) kilta dalam qiraat Hamzah dan al-Kisai.
Menurut mereka, keduanya—kila dan kilta—menunjukkan mufrad secara lafaz dan tastniah secara makna, dan alif pada kedua kata tersebut sama halnya alif dalam contoh kata (عصا) ‘ashaa dan (رحا) rahaa. Mereka juga menyebutkan, bahwa huruf alif pada kata kila dan kilta tersebut bukanlah sebagai tanda tatsniah—yang menunjukkan dua, dan boleh membacanya dengan imalah—ingat bacaan majreha!
Perhatikan ayat berikut (al-Isra’ [17]: 23);
اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا… الأيه
Dan ayat berikut (al-Kahfi [18]: 33);
كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ اٰتَتْ اُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِّنْهُ شَيْـًٔاۙ وَّفَجَّرْنَا خِلٰلَهُمَا نَهَرًاۙ
Abd al-Al Salim Mukram dalam Atsar al-Qiraat al-Quraniyyah fi Dirasat al-Nahwiyyah (2009) menyebutkan bahwa qiraat Hamzah, al-Kisai dan Khalaf membaca kedua ayat tersebut dengan meng-imalah alif dalam kata kila dan kilta. Dan jika alif dalam keduanya adalah sebagai tanda tatsniyah maka mestinya tidak boleh dibaca dengan imalah.
Bacaan imalah pada kila dalam al-Isra’ [17]: 23 di atas dapat kita simak dalam tautan Youtube ini (https://www.youtube.com/watch?v=rT5uFL9-2u0&t=436s), yang dibacakan oleh Shaikh Okasha Kameny, seorang Qari’ berkebangsaan Ghana, dengan riwayat al-Daury dari al-Kisai.
Baca Juga: Makna Tujuh Huruf (Sab’atu Ahruf) dalam Qiraat Al-Quran Menurut Ibn Qutaibah
Seputar In dan Inna
Begitu pula pendapat mereka mengenai in (إِنْ) dapat berfungsi seperti inna (إنَّ)—me-nashab-kan isim dan me-rafa’-kan khabar, seperti dalam Hud [11]: 111.
وَاِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ اَعْمَالَهُمْ ۗاِنَّهٗ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Mayoritas dari kita, orang Indonesia, membacanya sebagaimana tertulis di atas—dengan tasydid inna dan lamma. Namun, ada qiraat lain yang membaca dengan in dan lama (keduanya tanpa tasydid). Bacaan tersebut dapat kita simak dalam tautan ini (https://www.youtube.com/watch?v=zoPhrqyCmVM), yang dibacakan oleh Dr. Muhammad bin Umar al-Janayiny, dengan qiraat riwayat Qalun dari Nafi’. Atas dasar qiraat tersebut lah, Mazhab Bashrah merumuskan kaidah bahwa in dapat ber‘amal’ seperti inna—tanshibul isma wa tarfa’ul khabar.
Beda mazhab Bashrah, beda mazhab Kufah. Mazhab Kufah memilih standar yang lebih longgar dan fleksibel dalam menentukan syawahid (dalil teori). Artinya, semua periwayatan qiraat diterima oleh Mazhab Kufah sebagai syawahid. Karena bagi mereka, semua qiraat al-Quran itu disandarkan pada riwayat. Dan riwayat, bagi mereka, lebih kuat daripada syair-syair orang Arab. Sebab dalam periwayatan, ada standar tinggi yang ditetapkan seperti dhabit, itqan, daqqah yang masing-masing menunjukkan makna hafalan yang kuat, melekat dan detil.
Wallahu a’lam bisshawab.