Surah Al-Mā’ūn adalah surah ke-107 dalam Alquran. Surah Al-Mā’ūn menurut jumhur ulama tergolong ke dalam surah makkiyah, tetapi sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Qatadah mengkategorikan surah ini sebagai surah madaniyah. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa ayat 1-3 tergolong makkiyah; berkenaan dengan Ash bin Wail, sedangkan sisanya tergolong madaniyah, berkenaan dengan Abdullah bin Ubay.
Al-Wāhidī dalam kitab Asbāb an-Nuzūl mengutip satu riwayat yang menyebutkan bahwa surah Al-Mā’ūn turun berkenaan dengan Abu Sufyan yang rutin menyembelih dua hewan kurban setiap minggu. Ketika seorang anak yatim datang meminta bagian kepadanya, dia memukulnya dengan tongkat.
Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa surah Al-Mā’ūn turun berkenaan dengan orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Namun, meski diturunkan secara khusus kepada mereka, hendaknya orang-orang beriman menjadikan pesan-pesan dalam surah ini sebagai pembelajaran supaya tidak tergolong sebagai pendusta agama.
(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Permulaan surah Al-Mā’ūn diawali dengan sebuah pertanyaan kepada Nabi. Pertanyaan di permulaan ayat ini bukan untuk meminta jawaban, tetapi bertujuan menarik perhatian. Harapannya, orang yang mendengar ayat ini benar-benar memperhatikan ciri-ciri orang yang mendustakan agama sehingga mereka yang mengaku beragama berupaya menghindarinya. Demikian kata Al-Alusi dalam tafsirnya, Rūh al-Ma’ānī.
Kata Dīn dalam Alquran bisa bermakna ملة (agama), الحساب (perhitungan), dan الجزاء (balasan). Dengan demikian, orang yang mendustakan agama dalam ayat ini adalah orang-orang yang tidak percaya kepada ajaran agama, hari kiamat, dan tentu saja kepada ganjaran dan balasan dari Allah kelak di akhirat.
Mayoritas mufasir, di antaranya Ibnu Katsīr, Al-Baghawī, dan Al-Qurthūbī mengambil makna الجزاء والحساب dalam memaknai kata Dīn dalam ayat ini; yaitu mendustakan atau mengingkari adanya perhitungan dan balasan amal di akhirat kelak. Konsekuensi dari ketidakpercayaan ini adalah mereka tidak taat kepada perintah dan larangan Allah. Sebagaimana disinggung oleh At-Thabarī dalam tafsirnya. Ketika mereka tidak percaya kepada ganjaran amal, mereka akan berbuat sekehendak hatinya dan semena-mena kepada sesama, termasuk kepada anak yatim dan orang miskin.
(2) Itulah orang yang menghardik anak yatim,
(3) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Setelah pertanyaan yang dilontarkan dalam ayat pertama, ayat ke-2 dan ke-3 kemudian memberikan jawaban apa ciri-ciri pendusta agama. Mereka adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Pada ayat ke-2 ini kita menjumpai kata دعّ – يدعّ yang mengandung makna “menolak memberikan haknya dengan cara kasar dan menyakiti”. Kemudian pada ayat ke-3 kita menjumpai kata لا يحضّ yang maknanya “tidak mau menyuruh orang lain”.
Abu Hayyan mengomentari bahwa penggunaan redaksi يحض mengisyaratkan bahwa ketika seseorang tidak mau menyuruh orang lain memberi makan orang miskin, maka dipastikan dia sendiri juga tidak melakukannya. Kata يكذب، يدع، dan يحض menggunakan redaksi fiil mudhari’ yang mengandung makna istimrār; artinya perbuatan itu-menurut Ibnu ‘Asyūr-terjadi terus menerus dan berulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketidakpedulian terhadap orang-orang miskin dan perampasan hak anak yatim ini tidak terjadi sekali-dua kali, tetapi berkali-berkali dan sering terjadi.
Baca juga: Munasabah Surah Quraisy dan Al-Ma’un
Kedua perbuatan tersebut mewakili setiap sikap yang mengindikasikan penindasan terhadap kaum lemah, yang mana sikap menindas ini merupakan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Dengan demikian, menetapkan sesuatu yang dapat dilihat sebagai ukuran seseorang dikategorikan sebagai pendusta agama akan membuat orang-orang menghindarinya.
Kondisi fakir-miskin dan anak yatim saat itu termarjinalkan sehingga mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka. Kita dapat melihat bagaimana upaya Alquran mengatasi masalah ini dengan pendekatan teologis; yaitu dengan menjadikan sikap ketidakpedulian kepada orang miskin dan menyakiti anak yatim dikategorikan sebagai sikap mendustakan agama.
Dengan pendekatan ini, kaum muslimin akan berlomba-lomba menyantuni anak yatim, dan berhati-hati saat berurusan dengan harta mereka. Umat Islam juga akan berupaya menyejahterakan fakir-miskin. Setidaknya jika tidak mampu memberi orang miskin makan, mereka akan meminta orang lain yang sekiranya mampu. Dapat dibayangkan betapa besar dampak positif yang dihasilkan dari implementasi ayat ini.
Baca juga: Alquran dan Upaya Pengentasan Kemiskinan
Anak yatim dan fakir miskin mendapat perhatian yang serius dalam Alquran; dapat dilihat dari beberapa ayat yang menyinggung masalah kepedulian terhadap mereka. Bahkan secara khusus Alquran menerangkan perihal pengelolaan harta anak yatim dalam surah Al-An’am: 152 dan Al-Isra’: 34. Larangan membentak anak yatim juga disebutkan dalam Ad-Dluha ayat 9.
Rasulullah dalam banyak riwayat memberi pesan yang menyiratkan kepedulian terhadap anak yatim sebagai perbuatan istimewa. Masalah anak yatim ini memang menjadi masalah krusial di tengah masyarakat Arab pada saat itu, bahkan sejak masa pra-Islam. Jumlah anak yatim terus meningkat seiring dengan banyaknya korban yang tewas dalam peperangan.
(4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,
(5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,
(6) orang-orang yang berbuat ria,
(7) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Ayat ke-4 sampai ayat ke-6 mengecam perbuatan melalaikan salat dan ria dalam ibadah. Kedua sifat ini merupakan ciri khas orang munafik sebagaimana disinggung juga dalam surah An-Nisa’: 142. Mereka melakukan salat ketika di hadapan orang Islam, dan meninggalkannya ketika sendirian. At-Thabari berpendapat bahwa makna ساهون adalah bermain-main dengan salat, melalaikannya, menyibukkan diri dengan hal lainnya, dan menyia-nyiakan salat beserta waktunya.
Ayat ke-6 menunjukkan bahwa kaum munafik melaksanakan salat hanya untuk menutupi kekufuran mereka, bukan karena mengharap ganjaran ataupun karena takut siksa Allah. Memang, pada hakikatnya mereka sama halnya dengan orang-orang kafir yang tidak percaya kepada ajaran Islam dan tentu saja tidak percaya dengan perhitungan amal dan adanya ganjaran amal di akhirat. Hanya saja mereka mengaku beriman untuk mendapat perlindungan keamanan dan mengambil keuntungan dari umat Islam.
Baca juga: Makna Ria dalam Surah Al-Maun [107] Ayat 6
Ar-Rāzī menerangkan, setelah menjelaskan tentang salat, ayat berikutnya menjelaskan tentang shilāt (hubungan dengan sesama). Kata الماعون dalam ayat ini dimaknai dengan zakat oleh sebagian mufasir. Namun, mayoritas memaknainya sebagai sesuatu yang secara kebiasaan tidak selayaknya ditolak saat diminta, baik oleh orang fakir maupun orang kaya. Termasuk di sini adalah memberikan api sebagai pencahayaan atau penghangat, memberikan air ataupun garam. Kata الماعون meliputi hal-hal kecil yang menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, seperti kapak, cangkul, ayakan, timba, dll. Orang yang tidak mau memberi atau meminjamkannya dianggap berakhlak buruk dan punya tabiat jelek.
Di sini dapat dilihat bahwa kualitas salat punya dampak kuat terhadap hubungan sosial. Orang yang menjalankan salat dengan baik akan memiliki kepedulian sosial yang baik pula. Sebaliknya, salat yang dilakukan atas dasar mencari validasi dari orang lain, salat yang hanya sebatas gerakan-gerakan saja sebagaimana yang dilakukan kaum munafik, tidak akan tercermin dari perilaku sosialnya. Ar-Rāzī mengatakan, dalam ayat ini seolah-olah Allah berfirman: “Salat itu untukku, sedangkan الماعون untuk makhlukku…”.
Baca juga: Telaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia
Kesimpulannya, kualitas keimanan sesorang akan berdampak pada ketaatannya menjalankan ajaran-ajaran dan perintah agama, termasuk di antaranya adalah ajaran untuk menjalin hubungan baik dengan sesama, baik dari kalangan yang berstatus sosial tinggi, menengah, maupun bawah. Keyakinan bahwa setiap amal perbuatan akan diperhitungkan dan akan mendapat balasan baik dan buruk dari Allah dapat menuntun seseorang untuk terus menjaga diri. Dalam surah Al-Mā’ūn terdapat dialektika Alquran dengan kondisi masyarakat saat itu. Islam datang dengan membawa ajaran yang merekonstruksi tatanan sosial yang rusak, ketika penindasan dan perbudakan dianggap sebagai hal yang biasa.
Upaya perbaikan ini dapat dilihat dari beberapa bentuk penebusan pelanggaran yang diterapkan syariat Islam, mayoritas berupa denda yang berdampak langsung pada perbaikan tatanan sosial, seperti memerdekakan budak, memberi makan orang miskin, dll. Sehingga dalam rentang waktu 23 tahun turunnya Alquran, masyarakat Arab berubah drastis dari masyarakat dengan stratifikasi sosialnya yang tinggi, amoral, gemar berperang, menjadi masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, bermoral, dan cinta damai.