BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir DuniaMengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

Sejak diskursus kesetaraan gender berdialektika dengan tafsir Al-Quran –dimulai sekitar awal abad 20-, muncul berbagai pemikiran, baik berupa teori maupun penafsiran berbasis feminisme. Para tokoh tafsir feminis yang menjadi aktor dari diskursus ini meniscayakan semacam kemiripan yang bersifat ideologis. Sebagai contoh penggunaan hermeneutika dan teologi feminisme yang menjadi tren di banyak tokoh tafsir feminis sebagai perangkat penafsiran. Selain yang mengikuti tren itu, terdapat beberapa tokoh yang menempuh cara yang berbeda dengan kebanyakan mufasir feminis. Seperti Sachiko Murata, yang mengenalkan Taoisme Islam sebagai cara membaca nash tentang relasi gender.

Baca Juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Latar Sejarah Intelektual

Sachiko Murata merupakan seorang professor Studi Agama dan Budaya Timur di Universitas Stony Brook, yang berasal dari Jepang. Ia lahir pada tahun 1943, saat transisi Jepang dari zaman Meiji Ishin sampai Perang Dunia II usai (Abu Bakar Marimoto, Islam in Japan: Its Past, Present, and Future). Dalam The Tao of Islam, Murata menceritakan bahwa ia tinggal di Jepang sampai ia lulus sebagai sarjana pada prodi Hukum Keluarga jebolan Chiba University dan beberapa tahun bekerja di suatu firma hukum.  Pada fase inilah Murata mulai tertarik dengan Islam terutama soal legalitas poligami. Ia merasa legalitas poligami bertentangan dengan Islam yang sementara ia pahami sebagai agama yang mewajibkan seseorang untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

Dari ketertarikannya itu, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Teheran, Iran dengan konsentrasi Hukum Islam. Pada tahun 1974, istri dari William Chittick ini berhasil meraih gelar MA dengan Tesis-nya tentang korelasi kawin kontrak dengan lingkungan sosial. Sebelumnya, ia juga mendalami sastra Persia di Universitas yang sama, hingga tuntas pada jenjang Doktoral pada tahun 1971.

Pada jenjang doctoral kedua –setelah lulus MA Hukum Islam- Murata menempuh studi doctoral keduanya dengan fokus kajian mistisisme Islam dan hubungannya dengan budaya Timur. Tetapi, sebelum menuntaskan riset disertasinya tentang komparasi Ajaran Konfusian dengan Islam, Murata harus berhijrah dari Iran sebab konflik yang ditimbulkan oleh revolusi Iran pada tahun 1978. Ia dan suaminya kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat dan pada tahun 1983 ia mulai mengajar studi Asia dan Asia-Amerika di Universitas Stony Brook.

Pergeseran arah kajian Sachiko Murata dari yang awalnya berada di wilayah Hukum Islam menjadi bidang mistisisme Islam dan budaya Timur adalah sebagai wujud kritiknya terhadap wacana hukum Islam saat itu. Ia menuturkan bahwa pendekatan para fuqaha dalam menangani masalah hukum terlalu sempit. Islam seharusnya dipahami dari banyak perspektif. Seperti, metafisika, teologi, kosmologi, dan psikologi spiritual. Dari sinilah Murata dikenal sebagai tokoh Intelektual Tasawuf dan studi Budaya Timur.

Baca Juga: Mengenal Asma Barlas Sebagai Tokoh Tafsir Feminis

Di antara tokoh yang mempengaruhi konstruksi keilmuan Murata ini ialah Ibnu ‘Arabi dan Al-Ghazali, Al-Huma’i dan beberapa tokoh Sufi terkemuka asal Iran. Ia juga sempat berguru kepada Sayyid Hossen Nasr dan Toshihiko Izutsu, yang memang popeler sebagai tokoh Intelektual Timur dan Tasawuf.

Sebagai tokoh intelektual, Murata termasuk akademisi yang prolifik. Ia memiliki puluhan karya dengan Bahasa Jepang, Persia, maupun Inggris. Melansir www.stonybrook.com, di antara karyanya ialah Isuramu Horiron Josetsu, The Tao of Islam, Chinese Gleams of Sufi Light, The Sage Learning of Liu Zhi, dan sebagainya.

Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

Kolaborasi Tasawuf dan Taoisme

Murata memakai pendekatan Tasawuf dan Taoisme dalam membaca ayat relasi gender. Yang ia lakukan bukan membandingkan dua perspektif itu, melainkan mengkolaborasikannya, sehingga ia mengistilahkannya dengan Taoisme Islam. Taoisme Islam berangkat dari tesis kesatuan (tawhid dalam teminologi Islam) yang terejawantah pada tataran teologi, makrokosmos, dan mikrokosmos. Kesatuan ini juga dikaitkan dengan Tao yang memang menekankan kesatuan manusia dengan alam. Kesatuan itu dapat terealisasi dari keseimbangan kualitas maskulin dan feminin yang dimiliki Tuhan, alam, dan Manusia. Oleh karena itu, relasi kesalingan dalam hubungan dualitas antara kualitas maskulin dan feminin menjadi syarat terwujudkan keseimbangan tersebut. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Dalam perspektif Tasawuf, dualitas kualitas feminin dan maskulin terwujud dalam asma-asma Allah yang saling bertentangan, antara lain Jamal (Yang Maha Indah) sebagai representasi kualitas feminin dan Jalal (Yang Maha Agung) sebagai representasi kualitas maskulin. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Dalam perspektif Tao kualitas feminin ada pada simbol Yin, yang cenderung reseptif, sementara kualitas maskulin dilambangkan oleh Yang, yang cenderung aktif. Untuk mewujudkan keselarasan, dua kualitas ini menjalin hubungan dualitas komplementer.

Dalam tataran manusia, kualitas maskulin dan feminin juga dimiliki oleh masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Relasi keduanya harus dibangun dengan prinsip kesalingan dan kesetaraan. Dari situlah kemudian tercipta keseimbangan yang meniscayakan keadilan substantif. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Pendekatan ini ia terapkan di beberapa tema relasi gender, seperti asal mula penciptaan manusia, derajat pria dan wanita, cinta timbal balik, dan lain sebagainya. Hanya saja, ayat-ayat hukum tidak banyak disinggung oleh Murata, karena pendekatan yang ia gunakan bukan pendekatan hukum.

Meski terkesan kurang tajam jika diterapkan pada ayat-ayat hukum yang partikular, pendekatan ini memberikan makna relevan bagi situasi saat ini. Relasi kesalingan yang menjadi prinsip utama Taoisme Islam dapat digunakan sebagai lensa dalam membaca ayat relasi gender secara substansial, bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, memiliki dimensi maskulin dan feminin. untuk menciptakan keseimbangan, relasi keduanya harus dibangun di atas fondasi kesalingan dan kesetaraan. Seperti simbol Taijitu (Yin-Yang yang berpadu membentuk pusaran sebagai simbol keseimbangan). Juga seperti sifat Jalal Allah yang selalu diimbangi oleh Jamal. Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...