BerandaTafsir TematikSurah Ali Imran Ayat 110: Konsep Khairu Ummah dalam Ilmu Sosial Profetik

Surah Ali Imran Ayat 110: Konsep Khairu Ummah dalam Ilmu Sosial Profetik

Realisasi konsep khairu ummah adalah dengan menjadikannya umat Islam sebagai sebaik-baik umat di antara seluruh manusia. Dan predikat ini hanya dimiliki oleh umat Islam. Benarkah demikian? tulisan ini akan memaparkan penafsiran siapa yang mendapat predikat khairu ummah menurut al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 110. Menariknya, menurut Kuntowijoyo khairu ummah ini juga merupakan capaian dari visi ilmu sosial profetik Islam.

Firman-Nya Q.S Ali-Imran [3]: 110

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (Āli ‘Imrān [3]:110)

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 78: Matahari sebagai Petunjuk Waktu Salat

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 110: Ragam Pendapat Predikat Khairu Ummah

Jumhur ulama berpendapat bahwa predikat khairu ummah pada ayat tersebut dikhitabkan kepada umat Islam. Akan tetapi ulama memiliki pandangan masing-masing ketika menentukan umat Islam mana yang dimaksud pada ayat tersebut. Apakah umat Islam sepanjang zaman atau hanya dikhususkan untuk umat Islam pada masa ayat tersebut diturunkan saja?

Dalam kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an diriwayatkan dari Ḍhaḥḥak bahwa predikat khairu ummah ditujukan secara khusus kepada sahabat Rasulullah Saw. (Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, [3]: 389-390). Tidak jauh berbeda dengan pendapat Qatadah, Imam Al-Qurthubi mengutip riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan demikian, hanya saja Ibnu Abbas mempersempit ruang lingkupnya, yakni sebatas pada sahabat yang berhijrah bersama Nabi, syuhada perang Badar, dan sahabat yang terlibat dalam perjanjian Hudaibiyah.( Tafsir al-Qurthubi, [2]: 109)

Berbeda dengan dua pendapat di atas, Umar bin Khattab berpendapat bahwa ayat tersebut dikhitabkan kepada dua kelompok. Pertama, secara khusus disematkan kepada para sahabat. Kedua, kepada umat Islam secara umum selama mereka mampu melaksanakan tiga hal yang disyaratkan dalam ayat tersebut, amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata كُنْتُمْ (kuntum) yang menunjukkan makna lebih dari satu objek, berbeda-beda jika ayat tersebut menggunakan kata  اَنْتُمْ (antum) yang hanya mengandung makna satu objek. Nampaknya pendapat Umar bin Khattab inilah yang diperpegangi jumhur ulama. (Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, [3]: 389-390)

Baca juga: Memahami Kepemilikan dan Pergeseran Otoritas Penafsiran Al-Qur’an Menurut Ziauddin Sardar

Sebagai Cikal Bakal Lahirnya Ilmu Sosial Profetik

Menurut Kuntowijoyo,  khairu ummah hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras, yakni dengan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan keimanan kepada Allah Swt. Usaha dan kerja keras tersebut kemudian diistilahkan dengan “misi profetik Islam”, yakni sebuah usaha untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan egaliter yang didasarkan pada iman. Misi tersebut kemudian diinterpretasikan menjadi sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu sosial profetik.

Amar ma’ruf (humanitas), nahi munkar (liberasi), dan beriman kepada Allah Swt (transendensi) adalah karakteristik ilmu sosial profetik. Ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo ini berbeda dengan dakwah, karena dakwah bersifat umum, sedangkan ilmu bersifat spesifik.

Amar ma’ruf atau humanisasi dapat bersifat individual dan kolektif. Seperti shalat, zikir, berdo’a, dan menghormati orang tua merupakan beberapa contoh amar ma’ruf dalam ruang lingkup individual. Sementara amar ma’ruf dalam ruang lingkup kolektif adalah mendirikan clean government dan aktivitas kolektif lainnya. Untuk itulah mengapa Kuntowijoyo memilih istilah “humanisasi” yang bermakna memanusiakan manusia, yakni melepaskannya dari kebencian dan kekerasan serta perbudakan.

Baca juga: Surah Al A’raf Ayat 199: Cara Menghadapi Orang yang Suka Merendahkan Kita

Sedangkan nahi munkar yang diistilahkan Kuntowijoyo dengan liberasi atau pembebasan adalah sebuah upaya untuk membebaskan diri dari belenggu sistem sosial, ekonomi, dan politik seperti memberantas peredaran narkoba, membela nasib buruh, serta  membebaskan diri dari otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme.

Yang terakhir, beriman kepada Allah Swt. Unsur ini memiliki peran yang sangat vital karena menjadi rujukan kebenaran objektif dalam melaksanakan unsur humanisasi dan liberasi. Dalam hal ini, Tuhan adalah pemegang otoritas kebenaran yang objektif.

Penilaian manusia tidak dapat dijadikan standar kebenaran, karena rentan akan subjektivitas dan kepentingan. Setidaknya ada 2 kemungkinan yang terjadi jika penilaian manusia dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran, yakni Pertama tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran bersifat relatif tergantung pribadi masing-masing. Kedua kebenaran ditentukan dari pendapat mayoritas. (Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika: 15-99)

Interpretasi Kuntowijoyo dalam memahami konsep khairu ummah di atas menandakan bahwa Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat individual semata, akan tetapi juga memperhatikan perkara yang bersifat kemasyarakatan. Inilah yang dikatakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi dalam Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Alladzi Nansyuduhu bahwa Islam tidak hanya menempatkan manusia dalam perspektif individual semata, melainkan juga dalam dimensi sosial sebagai anggota sebuah masyarakat.

Seiring berkembangnya zaman, khairu ummah bukan lagi sekedar predikat belaka, melainkan bertansformasi menjadi sebuah konsep masyarakat ideal yang bersanding dengan konsep-konsep barat lainnya. Menindaklanjuti hal ini, Wardani dalam Sosiologi Al-Qur’an menegaskan bahwa kita tidak perlu ragu untuk menawarkan konsep dari Al-Qur’an sendiri, karena bisa saja ajaran Al-Qur’an tentang kemasyarakatan melebihi berbagai teori-teori sosial. Namun, tentu saja hal tersebut harus diiringi dengan kekritisan, senantiasa menggali kandungan Al-Qur’an, dan bersikap inklusif terhadap teori-teori luar agar tidak terjadi kejumudan berpikir.

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU