BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Surah Al-Isra Ayat 78: Matahari sebagai Petunjuk Waktu Salat

Tafsir Surah Al-Isra Ayat 78: Matahari sebagai Petunjuk Waktu Salat

Dalam Islam, pergerakan matahari berfungsi sebagai petunjuk masuknya waktu salat. Salat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang hendaknya dijalankan dengan penuh khusyu’ dan sungguh-sungguh. Oleh karenanya, mengetahui kapan masuknya waktu salat bagi umat Islam merupakan suatu keniscayaan. Peran matahari sebagai petunjuk masuknya waktu salat telah terlukiskan salah satunya dalam firman-Nya Q.S. Al-Isra ayat 78:

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا

Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S. Al-Isra’ [17]: 78)

Tafsir Surah al-Isra Ayat 78

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menuturkan para ulama ahli takwil berbeda pendapat (ikhtilaf al-ulama) dalam menentukan waktu salat di atas. Sebagian ulama mengatakan waktu itu adalah ketika tenggelamnya matahari, yaitu waktu salat maghrib. al-Tabari menukil riwayat dari Yunus, dari Ibn Wahab, ia berkata bahwa Ibn Zaid mengatakan,

حين تريد الشمس تغرب إلـى أن يغسق اللـيـل، قال: هي الـمغرب حين يغسق اللـيـل، وتَدلُك الشمس للغروب

“Ketika matahari hendak tergelincir hingga gelapnya malam (senja). Ia berkata: Bahwa itu waktu magrib (ketika malam tiba) dan itu menunjukkan bahwa matahari telah terbenam (memasuki waktu magrib)”

Selain itu, pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Zaid bahwa makna duluk al-syamsi ialah terbenamnya matahari (ghurubiha).

Berbeda dengan penafsiran al-Tabari, Muhammad Sayyid Tantawi dalam Tafsir al-Wasith menjelaskan,

وتفسير دلوك الشمس هذا بمعنى ميلها وزوالها عن كبد السماء، مروى عن جمع من الصحابة والتابعين منهم عمر بن الخطاب، وابنه عبد الله، وأنس، وابن عباس، والحسن، ومجاهد

“Adapun tafsir redaksi duluk al-syamsi ialah condong atau tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit sebagaimana diriwayatakan dari mayoritas sahabat dan tabi’in. Di antaranya Umar bin Khattab, putranya, Abdullah, Anas, Ibn Abbas, al-Hasan, dan Mujahid”.

Tidak puas dengan itu, Tantawi kembali melontarkan pendapat sebagian ulama,

قال بعض العلماء: والقول الأول عليه الجمهور، وقالوا: الصلاة التي أمر بها ابتداء من هذا الوقت، هي صلاة الظهر، وقد أيدوا هذا القول بوجوه منها: ما روى عن جابر أنه قال: طعم عندي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه. ثم خرجوا حين زالت الشمس، فقال صلى الله عليه وسلم هذا حين دلكت الشمس

“Jumhur ulama berpendapat bahwa salat yang diperintahkan di awal waktu (ibtida’ min hadza al-waqt) adalah salat zuhur. Mereka mendukung ucapan ini dengan beberapa argumen, antara lain apa yang diriwayatkan dari Jabir bahwa dia berkata: Rasulullah saw dan para sahabat makan bersamaku. Kemudian mereka keluar ketika matahari tergelincir, bersabdalah Nabi saw, “ini sudah memasuki waktu tergelincirnya matahari”.

Rasulullah juga saw bersabda,

أتانِـي جَبْرَائِيـلُ عَلَـيْهِ السَّلامُ لِدُولُوكِ الشَّمْسِ حِينَ زَالَتْ فَصَلَّـى بِـيَ الظُّهْر

“Jibril mendatangiku (Nabi Muhammad saw) ketika matahari tergelincir, kemudian Jibril salat zuhur bersamaku” (H.R. al-Nasa’I dan al-Hakim)

al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menengahi dengan mengemukakan bahwa terkait makna li duluki al-syamsi, para ulama dan ahli bahasa (ahl al-lughah wa al-mufassirin) membagi dua pemaknaan. Pertama, bahwa kata duluk bermakna ghurub (terbenam) sebagaimana diriwayatkan oleh para sahabat dan dinukil oleh al-Wahidi dalam Tafsir al-Basith dari Ali berkata bahwa duluk al-syamsi ghurubuha (tergelincirnya matahari adalah terbenam).

Pendapat kedua datang dari mayoritas sahabat dan tabi’in bahwa duluk al-syamsi huwa zawaluha ‘an kabdi al-sama (duluk al-syamsi adalah tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit).

Lain halnya dengan al-Razi, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menuturkan bahwa ayat tersebut dapat menunjukkan perintah menegakkan salat lima waktu secara umum. Al-Zamakhsyari menuturkan,

فإن كان الدلوك الزوال فالآية جامعة للصلوات الخمس، وإن كان الغروب فقد خرجت منها الظهر والعصر

“Apabila yang dimaksud al-duluk ialah tergelincirnya matahari, maka menunjukkan bahwa ayat tersebut mencakup kewajiban menegakkan salat lima waktu. Namun apabila yang dimaksud adalah tenggelamnya matahari, maka meniadakan salat zuhur dan ‘asar)”.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari

Matahari sebagai Penunjuk Masuknya Waktu Salat

Dari berbagai penafsiran di atas, tulisan ini tidak dalam posisi menghukumi apakah makna duluk al-syamsi dalam surah al-Isra Ayat 78 adalah waktu tergelincirnya matahari ataupun terbenamnya matahari. Akan tetapi, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa matahari berperan utama dalam menentukan masuknya waktu salat sebagaimana dinyatakan oleh para mufasir di atas.

Jauh sebelum era modern sekarang ini, para orang tua dulu memfungsikan matahari sebagai petunjuk masuknya waktu salat. Bayang-bayang matahari digunakan sebagai acuan mereka dalam menentukan masuknya waktu salat dan berbagai penentuan waktu ibadah lainnya.

Zainuddin dalam Posisi Matahari Dalam Menentukan Waktu Salat Menurut Dalil Syar’i menyebutkan secara astronomis, yang menjadi parameter untuk menentukan waktu salat baik awal maupun akhir waktunya adalah letak posisi matahari dalam perjalanan semu di sekitar Ekliptika. Dia menambahkan bahwa awal waktu salat Zuhur, misalnya adalah pada saat posisi matahari berada di titik 0o derajat atau berada tepat di garis meridian langit. Begitu pula waktu Asar dimulai ketika posisi matahari berada di titik 51o derajat, terhitung dari garis meridian langit, dan waktu salat lainnya.

Ilmuwan muslim terdahulu sudah canggih dalam menentukan kapan waktu awal dan akhir salat. Nasīr al-Dīn Abū Jaʿfar Muhammad ibn Muhammad al-Tūsī (1201–1274 M), seorang ilmuwan muslim sekaligus Astronom asal Persia, misalnya, ia menuliskan maha karya Astronominya yang berjudul al-Tadhkira al-Nasīriyya fī ilm al-Hayʾa (“Memoir on the Science of Astronomy”).

Ilmuwan muslim lainnya, sebut saja Al Biruni dalam kitabnya yang berjudul, Kitāb Tahdīd Nihāyāt al-Amākin li-Tashīh Masāfāt al-Masākin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Book on the Determination of the Coordinates of Positions for the Correction of Distances between Cities”. Ia mengulas panjang lebar tentang topik-topik geografi-matematis, penentuan garis lintang, kemiringan ekliptika, pengukuran waktu, gerhana bulan, perbedaan membujur, dan metode penentuan kiblat, serta arah salat bagi umat Islam.

Karya-karya para ulama cum ilmuwan muslim di atas menunjukkan betapa peran matahari sangatlah sentral untuk menentukan kapan masuknya waktu salat. Betapa luar biasanya kemanfaatan ciptaan Allah Swt tak terkecuali matahari salah satunya dalam menentukan arah kiblat dan penanda masuknya waktu salat. Semoga kita senantiasa mensyukurinya dan dapat menjalankan ibadah salat lima waktu secara istikamah dan khusyu. Wallahu a’lam.

Baca juga: Bayangan Matahari dan Inspirasi Pengembangan Sains dalam Al-Quran

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...