Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan begitu pula sebaliknya. Kita tentu familiar dengan kaidah ini. Kaidah ini diambil dari ayat Alquran Surah An-Nur ayat 26 berikut:
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” [Surah An-Nur ayat 26]
Penjelasan Ayat
Surah An-Nur ayat 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan untuk menyatakan tentang kesucian Aisyah radhiyallahu ‘anha istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hadis ifki, yakni berita bohong bahwa Aisyah sudah berselingkuh dengan Sufyan bin Mu’atthal.
Rahasia didahulukannya kata al-khabitsat menurut Ibnu Asyur dalam kitab At-Tahrir wa At-Tanwir, karena maksud awalnya adalah sesegera mungkin mensucikan sosok Aisyah ra. Artinya, bagaimana mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah yang bertakwa. Dengan kata lain, bahwa para nabi, terkhusus lagi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi manusia terbaik secara mutlak, maka hanya mendapatkan istri yang baik-baik saja.
Baca Juga: Gempa Bumi: Isyarat Alquran
Ayat ini juga berisikan pesan akan pentingnya sekufu. Berkenaan ayat di atas, Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan bersatu, dan bersatunya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah sebagai bukti bahwa keduanya sama-sama saleh dan salehah. Aisyah pantas berjodoh dengan Rasulullah karena beliau adalah wanita yang suci dan terhormat, jauh dari yang diisukan.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan penegasan ayat-ayat sehingga berimplikasi pada kaidah bahwa seorang pendosa atau pezina kemungkinan besar akan memilih pasangan seperti dirinya. Dan Aisyah tidaklah seperti itu, ayat ini membantah isu miring tersebut. Aisyah adalah seorang yang bertakwa dan itulah mengapa ia disandingkan dengan Rasulullah. Sebab pezina hanya akan bersanding dengan yang semisalnya.
Atas dasar sekufu itulah, maka laki-laki baik akan berusaha mencari perempuan yang baik, dan sebaliknya. Dari penjelasan ini maka jelaslah bahwa ayat ini hendaknya tidak hanya dimaknai tekstual, tapi juga memperhatikan asbab an nuzul.
Kaidah Jodoh adalah Cerminan Diri
Pada umumnya, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan sebaliknya. Dengan kata lain, seseorang akan lebih tertarik dengan orang yang satu frekuensi dan kecendeungan. Namun kaidah ini tidak selamanya berlaku. Buktinya, banyak kita temui suratan yang menyalahi ini. Misalnya seperti kisah masyhur mengenai dipasangkannya Asiah dan Fir’aun, juga nabi Nuh dan istrinya.
Oleh karena itulah, surah An-Nur ayat 26 yang seringkali dikait-kaitkan dengan konteks jodoh sebagai cerminan diri, perlu ditelaah kembali. Sebab maksud ayat tersebut lebih menekankan tentang pembebasan Aisyah dari tuduhan-tuduhan keji yang disematkan kepada beliau.
Tak dimungkiri, para mufassir pun memang ada yang memaknai ayat ini sebagai keumuman dalam berpasangan di rumah tangga. Ibnu Katsir misalnya, beliau dalam tafsirnya memgemukakan dengan mengutip pendapat ulama lain bahwa wanita yang jahat hanya pantas bagi laki-laki yang jahat dan begitu pula sebaliknya. Juga menurut Quraish Shihab, bahwa secara alamiah, seseorang selalu cenderung kepada sesuatu yang memiliki kesamaan dengannya.
Hal ini pun cukup beralasan sebab apabila seseorang berkumpul di dalam lingkungan yang baik, maka kemungkinan untuk bertemu pasangan yang baik memiliki peluang lebih besar. Dengan demikian, lingkungan juga dapat menjadi penentu bagaimana seseorang bisa memilih seseorang yang kelak menjadi jodohnya.
Namun sayangnya, hal tersebut tidaklah berlaku mutlak. Betapa jodoh merupakan rahasia Allah, yang bahkan dalam realitanya seorang yang baik pun dapat dipasangkan dengan yang tidak baik. Tapi setidaknya, kaidah jodoh sebagai cerminan diri dapat menjadi motivasi agar setiap orang berikhtiar mencari jodoh yang baik dengan cara selalu berusaha menjadi pribadi yang baik. Sebab kaidah ini pun tak sepenuhnya terbantahkan.
Pasangan sebagai Ujian
Dalam kasus seseorang yang baik namun pasangannya tidak baik, maka bisa jadi Allah mengirimkan pasangan itu sebagai ujian untuknya. Sebab pada hakikatnya, mencari jodoh yang baik hanyalah sebatas ikhtiar, sebab hasilnya adalah murni sepenuhnya takdir Allah. Namun kesamaran hasil tersebut lantas bukan berarti dimaknai untuk meninggalkan ikhtiar dalam berusaha menjadi pribadi baik.
Adapun fenomena pasangan sebagai ujian, tentu amat banyak kita temui. Itulah mengapa, dalam jalannya pernikahan terdapat syariat talak, bukan agar umat bermudah-mudahan untuk cerai, tapi sebagai solusi saat kehidupan rumah tangga sukar meraih tujuan pernikahan dan tak kunjung menemukan titik terang.
Baca Juga: Begini Pemaknaan Al-Quran tentang Politik Identitas
Meski di sisi lain, banyak pula orang-orang saleh yang lebih memilih bertahan dan menganggap keburukan pasangannya sebagai ujian bagi kesabaran mereka. Misalnya saja al-Qurthubi menuturkan sebuah kisah yang bersumber dari Ibn al-‘Arabi.
Al-kisah, seorang Syaikh yang alim bernama Abu Muhammad bin Abu Zaid memiliki istrinya yang buruk perangainya. Istrinya seringkali tak memenuhi hak-hak suami dan sering pula menyakitinya.
Maka, suatu hari seseorang bertanya tentang mengapa beliau begitu sabar menghadapi istrinya. Beliau menjawab “Aku adalah seorang laki-laki yang diberikan kesempurnaan nikmat oleh Allah berupa kesehatan badan, makrifat kepada Allah, dan adanya seorang istri. Oleh karenanya, mungkin saja perlakuan dia terhadap diriku merupakan balasan atas dosa-dosaku selama ini. Jika aku menceraikannya, aku takut balasan yang menimpaku justru akan jauh lebih buruk dan dahsyat dari sikap istriku yang selama ini aku rasakan.”
Kesimpulan
Jodoh adalah cerminan diri, seseorang akan diperuntukan pada yang sefrekuensi, sepatutnya siapapun yang ingin mendapat jodoh yang baik agar berusaha memantaskan diri menjadi pribadi yang baik, seperti ketika Allah memantaskan pribadi Aisyah untuk Rasulullah.
Adapun fakta yang menyelisihi kaidah ini tidak ada hubungannya dengan surah An-Nur ayat 26, sebab konteks ayat tersebut lebih kepada asbab an nuzul mengenei hadis ifki yang membebaskan dan mensucikan Aisyah dari tuduhan keji.
Adapun mufassir yang menafsirkan kaidah bahwa ‘yang baik untuk yang baik’ pun hanya berpandapat secara keumuman, bahwa pada umumnya seorang yang baik dipasangkan dengan yang baik. Di luar itu, adalah kehendak dan rahasia Allah. Maka dari itulah, tak selamanya jodoh adalah cerminan diri.
Jodoh sepenuhnya takdir Allah. Selalu ada hikmah di balik kisah mereka yang berpasang-pasangan. Bagi mereka yang ahlul khair namun dipasangkan dengan yang buruk, maka boleh jadi pasangannya sebagai ujian. Wallahu A’lam.