Pada beberapa tahun lalu, di Indonesia telah terjadi perdebatan mengenai hukum membaca Al-Qur’an dengan cara dilanggamkan atau dilagukan. Permulaan dari perdebatan tersebut bermula saat Ustadz Muhammad Yasser Arafat, salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sedang membacakan Al-Qur’an dengan dilanggamkan lagu Jawa di hadapan rakyat Indonesia dalam rangka memperingati hari isra’ mi’raj.
Pasalnya berita ini tersebar hingga di seluruh Indonesia yang kemudian dinisbatkan di channel TV yang masyhur di Indonesia, TVRI. Kabarnya juga dapat dilihat di media internet seperti YouTube dan sebagainya. Oleh karena itu, mari kita simak bagaimana menghukumi perkara tersebut berdasarkan Tafsir Ahkam.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad
Perintah Membaca Al Qur’an dengan Tartil
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memuji dengan membaca Al Qur’an dengan bacaan yang tartil
…وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ
“…Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan)”.
(QS. Al-Muzammil [73] :4)
Kemudian maksud dari penggalan ayat tersebut yaitu membaca Al Qur’an yakni untuk menyampaikan sebuah pujian kepada Allah yaitu dengan cara pelan-pelan dan jelas hurufnya, dalam artian sekiranya pendengar memungkinkan bisa untuk menghayati makna yang terkandung dalam Al-Qu’ran.
Dalam perkara ini tidak ada ikhtilaf ataupun perbedaan antara beberapa ulama mengenai membaca Al-Qu’ran dengan tartil yang bertajwid, memperjelas hurufnya, memperindah makhorijul hurufnya, dan memperjelas potongan-potongan ayat dengan baik. Akan tetapi, dalam pembahasan utama di sini, apakah diperbolehkan membaca Al-Qu’ran dengan melagukankan atau melanggamkan bacaan Al-Qu’ran dalam hukum Islam?
Baca juga: Makna Hayat dalam Al-Quran: Kehidupan dan Ciri-Cirinya
Ikhtilaf Serta I’dal Fuqoha’ Tentang Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan
Dalam perkara ini beberapa ulama fuqoha berbeda pendapat karena ittiba’ pada perbedaan masa sahabat dan tabi’in. Berikut beberapa pendapat madzhab, serta landasan dalil setiap golongan dengan keterangan yang terperinci :
- Menurut mazhab Imam Malik dan Imam Hambali, melagukan atau melanggamkan bacaan Al-Qu’ran hukumnya makruh. Pendapat ini dinukilkan dari Anas bin Malik, Sa’id bin Musayyab, Sa’id bin Jabir, Qasim bin Muhammad, Hasan Bisri, Ibrahim Nukh’i, dan Ibnu Sairin. Mazhab Imam Malik dan Imam Hambali berpijak pada beberapa hadis, diantaranya sebagai berikut :
اِقْرَءُو الْقُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَاَصْوَاتِهِمْ، وَإِيّاكُمْ وَلُحُوْنَ اَهْلِ الكِتَابِ وَالْفِسْقِ، فَإِنّهُ يَجِيْءُ مِنْ بَعْدِيْ اَقْوَامُ يُرَجِّعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تَرَجَّعَ الْغِنَاءَوَالنُوْحَ، لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، مَفْتُوْنَةٌ قُلُوْبُهُمْ وَقُلُبُ الَّذِيْنَ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ (رواه الترمذى)
“Bacalah Alquran dengan lagunya seperti orang Arab dan suaranya orang Arab. Jauhilah lagu atau iramanya ahli kitab dan orang-orang fasiq, karena kelak akan ada orang yang datang setelah membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh. Sehingga itu tidak melampaui tenggorokan mereka, hati mereka terpikat, dan hati orang-orang yang menyukai diri mereka sendiri terpikat kemudian akan menimbulkan sebuah kefitnahan” (HR. Tirmidzi)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : إِنَّ الْأَذَنَ سَهْلٌ سَمْحٌ، فَاِنْ كَانَ أَذَانُكَ سَهْلاً سَمْحًا وَإِلاَّ فَلاَ تُؤَذِّنْ (رواه الدارقطني)
“Panggilan adzan itu mudah dan lembut, jadi jika adzanmu mudah dan lembut, jika tidak, maka jangan mengumandangkannya adzan”
Ulama’ sepakat, bahwasanya Rasulullah benar-benar melarang muadzin dengan melagukan adzannya. Maka hadis ini menunjukkan bahwa melagukan bacaan itu dimakruhkan. Para ulama juga berkata bahwasanya nyanyian dan lagu senang-senang itu telah mengembalikan pada sesuatu yang tidak terdapat pada Alquran, misalnya seperti menambah huruf. Dikatakan demikian, karena hal itu dapat menghendaki dengan memanjangkan sesuatu yang tidak dipanjangkan.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci
Adapun menjadikan Hamzah yang bukan Hamzah dan menjadikan suatu huruf menjadi beberapa huruf itu tidak dibolehkan juga. Sebab, hal ini sudah termasuk memalingkan huruf aslinya, memalingkan huruf dari lafadz-lafadz aslinya, dan menghayati makna yang terkandung dalam Al-Qu’ran.
Kemudian, pasalnya telah diriwayatkan dari Imam Ahmad, beliau berkata : “bacaan yang dilakukan itu tidak mengherankanku dan bacaan itu adalah bid’ah yang tidak didengarkan”. Lalu Imam Ahmad ditanya, “Apa yang kamu maksud dengan bacaan yang dilagukan?” maka Imam Ahmad menjawab, “Siapa namamu?” dia berkata, “Muhammad” kemudian Imam Ahmad berkata kepadanya, “Mudahkah bagimu menyebut namamu dengan sebutan Muhammad dengan nada panjang menjadi Muuhaammad (موحامد)? (Tafsir Ayatul Ahkam 2/6)
- Menurut mazhab imam Hanafi dan Syafi’i, melagukan atau melanggamkan dalam membaca Al-Qur’an hukumnya diperbolehkan, hal ini dinukilkan dari Sahabat Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin Aswad bin Zaid, dan dari golongan mufassirin yaitu Abu Ja’far At-thobri dan Abu Bakar bin ‘Arabiy.
Ulama yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan cara di talhin yaitu Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Mereka mengambil dalil yang diperbolehkan, berdasarkan landasan beberapa hadis sebagai berikut :
زَيْنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ (رواه أبو داود واحمد والنّساىٔي وابن ماجه)
“Perindahlah bacaan Alquranmu dengan suaramu” (HR. Abu Dawud, Ahmad, An-Nasa’I dan Ibnu Majah)
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِاالْقُرْآنِ (رواه البخاري)
“Bukan termasuk golongan kami seseorang yang tidak melagukan Alquran” (HR. Bukhari)
عَبْدُاللّٰه بِنْ مُغَفَّل قَالَ : لَقَدْ أَعْطَيْتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آل دَاود. فَقَالَ لَهُ أبُو مُوْسَى : لَوْعَلِمْتُ أَنَّكَ تَسْمَعُ لحبَّرْتُهُ لَكَ تَحْبِيْرًا
Abdullah bin Mughaffal berkata: “Engkau telah memberikan salah satu seruling dari seruling keluarga Daud”. Abu Musa berkata kepadanya: “Andai aku tahu bahwa kamu mendengarkanku maka aku akan melantunkannya kepadamu dengan indah”
مَاأَذِنَ اللّٰهُ لِشَيْءٍ أَذِنَهُ لِنَبِيٍّ حُسْنُ الصَّوْتِ يُتَغَنِّى بِاالْقُرْآنِ (رواه أبو هريرة)
“Apa yang Allah izinkan untuk apa pun, izin-Nya adalah untuk seorang nabi dengan suara yang bagus dengan melagukan Al-Qur’an” (HR Abu Hurairah)
Baca juga: Mengenal Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dan Kitabnya, al-Qawaid al-Asasiyah fi Ulum al-Qur’an
Perlu kita ketahui, pada dasarnya dalam membaca Alquran dan bersenang-senang dalam membacanya itu dapat menarik perhatian kepada para pendengarnya, lebih mengenal pada jiwa, meresap pada hati, dan lebih menghasilkan banyak faedah.
Pernah suatu ketika, Ibnu Mas’ud telah diherankan oleh bacaan iqomahnya Al Aswad. Kemudian karena saking bagusnya suara iqomahnya Al Aswad, maka Ibnu Mas’ud pun ingin dibacakan di hadapannya.
Pernah juga suatu ketika nabi Muhammad mendengarkan bacaan bagian para sahabatnya kemudian nabi diherankan dengan suara Bagus sebagian sahabatnya sehingga nabi berkata kepada abu Musa Al Asy’ari : “Engkau telah memberikan salah satu seruling dari seruling keluarga Daud” (Tafsir Ayatul Ahkam 2/9)
Baca juga: Kritik Ulama Terhadap Ayat (Taqsim) Al-Qur’an
Berdasarkan dari uraian di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya membaca Al-Qur’an dengan cara dilanggamkan itu dibolehkan, selagi tidak merusak tajwid dan Makharijul hurufnya, memunculkan huruf dari makhraj dengan benar, tidak mencacat atau tidak memanjangkan sesuatu yang tidak dipanjangkan, mempertimbangkan waqof, serta menyesuaikan hukum-hukum tajwid. Sebab, pada dasarnya Islam tidak memisahkan antara agama dan budaya, selagi tidak melenceng syariat Islam, maka sah-sah saja. Pun juga, sesungguhnya suara yang bagus itu dapat menambahkan keindahan dalam membaca al-quran, begitu juga dapat mendapatkan pahala bagi orang yang membacanya dan mendengarnya.
Wallahu a’lambisshawwab.