BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

Mayoritas ulama’ menetapkan bahwa menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk tujuan seperti makan dan minum dihukumi terlarang. Dan ternyata ini tidak berlaku pada wadah yang terbuat dari keduanya saja, tapi juga berlaku pada wadah yang hanya sekedar berhiaskan emas atau perak saja. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Komentar Dalam Kitab Tafsir

Allah berfirman:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas dan di dalamnya (surga) terdapat apa yang diingini oleh hati dan dipandang sedap oleh mata serta kamu kekal di dalamnya (QS. Az-Zukhruf [43] :71)

Tatkala mengulas ayat di atas Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang keharaman memakai wadah dari emas atau perak berdasar beberapa hadis. Ia juga mengutip pernyataan Imam Malik yang menunjukkan ketidak sukaan beliau pada prilaku minum dari wadah yang ditambal dengan emas, serta berkaca pada cermin yang memiliki semacam tali dari emas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’annya (Tafsir Al-Qurthubi/16/113 dan Ahkamul Qur’an/7/117).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Sedang Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir menegaskan, bahwa tindakan minum dari wadah yang bertambalkan emas atau perak atau bercermin pada cermin yang memiliki semacam tali dari keduanya, adalah sesuatu yang terlarang (Tafsir Munir/25/191).

Beberapa pengikut Imam Malik memahami bahwa ketidak sukaan Imam Malik pada wadah bertambalkan emas atau perak serta cermin berhiaskan emas, menunjukkan larangan. Dan meski larangan tersebut bisa berarti hukum haram dan makruh, beberapa ulama’ mazhab malikiyah lebih mengarahkan bahwa larangan ini menunjukkan hukum makruh (Mawahibul Jalil/1/425).

Makna Bertambalkan Emas Atau Perak

Wadah bertambalkan emas atau perak tidaklah selalu bermakna wadah yang pecah dan kemudian ditambal emas atau perak. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ahli fikih juga memaksudkan istilahkan bertambalkan emas atau perak pada wadah yang sebenarnya tidak pecah, tapi ada lapisan dari emas dan perak yang diletakkan pada wadah tersebut untuk tujuan hiasan (Al-Majmu’/1/255).

Mengenai hukum pemakaian wadah tersebut, cukup banyak perbedaan pendapat serta rincian hukum di antara para ulama’ terkait permasalahan ini. Penulis mencoba akan membatasi penjelasan pada mazhab syafiiyah saja. Dimana ulama’ mazhab syafiiyah ada yang mencoba membedakan wadah antara bertambalkan emas serta perak, dan ada juga yang menyamakan keduanya.

Imam An-Nawawi meyakini bahwa hukum tambalan emas berbeda dengan perak. Dan ia mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa tambalan emas hukumnya haram. Entah bobot tambalan itu sedikit atau banyak, untuk tujuan kebutuhan atau sekedar hiasan. Imam An-Nawawi beralasan bahwa tambalan perak memiliki banyak dasar yang menoleransi pemakaiannya, sedangkan emas tidak. Contohnya pada hadis yang menerangkan bolehnya memakai cincin dari perak (Sahih Bukhari/5/2202).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Hukum pemakaian wadah bertambalkan perak sendiri memiliki perincian sebagai berikut: tidak makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan kebutuhan; makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan hiasan atau banyak untuk tujuan kebutuhan; haram bila ukurannya banyak dan untuk tujuan hiasan. Ukuran banyak atau sedikitnya tambalan dapat dinilai lewat perbandingan antara ukuran tambalan serta wadah yang ditambal  (Al-Majmu’/1/258).

Mengenai adanya pernyatakaan bahwa ulama’ sepakat bahwa memakai wadah bertambalkan emas atau perak hukumnya diperbolehkan, bisa dipastikan bahwa itu hanya klaim belaka. Pada kenyataannya ulama’ dari empat mazhab memiliki banyak pro kontra terkait permasalahan ini (Mausu’atul Ijma’/1/141). Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....