BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Hukum Zhihar dan Beberapa Ketentuannya

Tafsir Ahkam: Hukum Zhihar dan Beberapa Ketentuannya

Termasuk hal yang dilarang dalam hubungan rumah tangga adalah perkataan seorang suami yang menyamakan istri dengan ibunya. Dalam literatur fiqih, ungkapan tersebut dinamakan zhihar. Zhihar merupakan persoalan yang serius meskipun tampaknya ringan. Seseorang yang melakukan zhihar kepada istrinya, maka istrinya menjadi haram baginya. Sebab, ungkapan tersebut seakan berbunyi, “haram bagiku melakukan hubungan suami istri denganmu sebagaimana haram bagiku melakukannya dengan ibuku”. Lantas bagaimana dengan hukum zhihar menurut pandangan Al-Quran?

Hukum zhihar dalam Al-Quran disinggung oleh Allah dalam ayat yang bercerita kisah terkenal tentang Khaulah bint Tsa’labah di surat Al-Mujadalah ayat 1-2,

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ  ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ  ()  اَلَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهٰتِهِمْۗ اِنْ اُمَّهٰتُهُمْ اِلَّا الّٰۤـِٔيْ وَلَدْنَهُمْۗ وَاِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ

Artinya: “Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang diantara kamu yang menzhihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mujadalah [58]: 1-2)

Ayat mengenai zhihar di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah yang telah di-zhihar suaminya.  Suaminya yang bernama Aus bin Shamit adalah seorang lelaki yang emosional. Saat emosinya memuncak, ia men-zhihar istrinya. Lalu Khaulah mengadukan permasalahan rumah tangganya tersebut kepada Rasulullah saw.

Perihal zhihar, sebenarnya telah ada di masa jahiliyah. Khitab atau sasaran pada lafal ‘minkum’ menurut az-Zamakhsyari, menunjukkan adanya unsur taubikh yakni Allah mencela orang Arab jahiliyah yang pada saat itu memiliki kebiasaan menyamakan istri dengan ibunya.


Baca Juga: Kisah Khaulah binti Tsa’labah, Istri yang Berani Menggugat dalam Al-Quran


Bagaimana Hukum Zhihar, Boleh atau Haram?

Zhihar pada masa jahiliyah adalah bagian dari talak, bahkan jenis talak yang efeknya lebih mengena. Sebab, keharamannya bersifat ‘alat ta’bid atau selamanya. Dengan demikian, jika seorang suami melakukan zhihar, seorang istri otomatis tertalak darinya. Namun, saat Islam datang, hukumnya menjadi berbeda. Berdasarkan ayat di atas, fuqaha’ dari kalangan Syafi’i menggolongkannya sebagai dosa besar. Sementara mayoritas ulama sepakat bahwa hukum zhihar itu diharamkan. Berbeda dengan talak yang diperbolehkan berdasarkan adanya faktor-faktor tertentu, sehingga jika zhihar dilakukan, maka mewajibkan adanya kaffarah.

Istilah zhihar sendiri diambil dari kata azh-zhahru yang berarti punggung. Pada masa jahiliyah dikatakan zhihar saat seorang laki-laki berkata, “anti ‘alayya ka zhahri ummi” yang berarti “engkau menurutku sama dengan punggung ibuku”. Mengapa ungkapan seperti ini berdampak pada keharaman atas seorang istri?


Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Ar-Razi berpendapat, seorang ibu berstatus mahramah yakni perempuan yang diharamkan. Sedangkan istri adalah muhallalah yakni perempuan yang dihalalkan. Menyamakan perempuan yang dihalalkan dengan perempuan yang diharamkan dalam hubungan suami-istri adalah perkataan “wazuran” yaitu dusta.Pada ayat di atas dikatakan bahwa ibu adalah perempuan yang melahirkan (lelaki yang men-zhihar) serta menyusuinya. Maka sudah jelas, ia memiliki hukum-hukum tersendiri sebagai seorang ibu yang tidak dimiliki oleh perempuan lain termasuk istri, seperti yang paling mendasar adalah haram dinikahi dan dijimak. Sementara itu, istri tidak termasuk dalam kategori tersebut. Oleh karenanya, apa yang haram bagi ibu juga menjadi haram bagi istri jika keduanya disamakan.

Apakah Zhihar itu Dikhususkan Pada Ibu?

Jawabannya adalah iya. Jumhur ulama berlandaskan pada ayat di atas serta keterangan yang terdapat dalam kisah Khaulah di atas. Oleh karenanya, jika seorang lelaki berkata, “anti ‘alayya ka zhahri ukhti aw binti” (menyamakan dengan saudara atau anak perempuan), maka hal tersebut tidak dikatakan zhihar.

Berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat as-Syafi’i yang mengkiaskan seluruh perempuan mahram pada ibu. Sehingga, seorang suami yang menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya tersebut bisa dikatakan zhihar. Baik perempuan mahram yang disebabkan nasab, pernikahan, atau susuan. Sebab ‘illat atau faktor penyebabnya adalah sama-sama haram yang bersifat seterusnya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak

As-Shabuni menjelaskan, perkataan “wahai saudara perempuanku” atau “wahai ibu” yang ditujukan laki-laki kepada istrinya, jika tujuannya adalah memuliakan atau memuji, maka tidak termasuk zhihar. Hanya saja hal ini berhukum makruh berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Daud tentang pelarangan Nabi saw kepada salah seorang sahabat yang melakukan hal demikian.

Maka, dari semua penjelasan di atas dapat dipahami bahwa shighat zhihar adakalanya berupa ungkapan yang sharih (jelas) dan kinayah (sindiran) sebagaimana banyak dijelaskan dalam literatur fiqih. Untuk ungkapan sharih sebagaimana penjelasan di awal, maka sudah jelas dikatakan zhihar meskipun saat lelaki tersebut mengatakannya tidak berniat untuk zhihar. Sedangkan, jika ungkapan yang digunakan adalah kinayah, maka di-ta’liq (digantungkan) pada niatnya. Jika berniat zhihar, maka dikatakan zhihar dan jika tidak maka tidak ada zhihar baginya.

Wallahu A’lam

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...