Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang tidak menemukan air untuk berwudhu dan mandi besar, maka ia diperbolehkan bersuci dengan debu alias tayamum. Keterangan ini menimbulkan diskusi cukup panjang di antara ahli tafsir dan fikih. Yakni terkait pemahaman “tidak menemukan air”. Sejauh mana seseorang disebut tidak menemukan air?. Hal ini akan berhubungan dengan adakah syarat wajib mencari air sebelum tayamum?
Apakah tatkala kita hendak berwudhu dan ternyata pompa kamar mandi rusak, sehingga air tidak keluar, apakah sudah bisa disebut tidak menemukan air? Atau apakah kita perlu mencari air ke tetangga rumah atau tetangga desa? Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih
Baca juga: Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama
Redaksi Tidak Menemukan Air
Berawal dari redaksi “tidak menemukan air” dalam firman Allah yang salah satunya berbunyi:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)
Baca juga: Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an
Imam Ibn Katsir tatkala mengulas redaksi “tidak mendapati air” menjelaskan, lewat ayat ini, banyak ahli fikih yang menggali hukum tentang bahwa orang yang hendak melakukan tayamum sebab ketiadaan air, harus terlebih dahulu berusaha mencari air. Baru apabila tidak menemukan air, ia boleh tayamum. Mengenai rincian ketentuan usaha mencari air, Ibn Katsir mendorong untuk mempelajarinya dalam kitab-kitab fikih (Tafsir Ibn Katsir/2/318).
Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?
Imam Ar-Razi menjelaskan, menurut pendapat Imam As-Syafi’i, maksud tidak mendapati air adalah, tatkala sudah masuk waktu salat lalu kita berusaha mencari air ternyata kita tidak menemukan air, maka kita boleh tayamum lalu salat. Dan hal itu wajib dilakukan di setiap waktu salat. Sehingga apabila masuk waktu zuhur lalu bertayamum kemudian salat sebab sudah mencari air tapi tidak menemukannya, maka tatkala masuk waktu asar kita harus berusaha mencari air lagi sebelum bertayamum untuk salat asar. Hal ini berdasarkan ayat “tidak mendapati air” yang menunjukkan adanya usaha terlebih dahulu dalam mencarinya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/216).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, yang meyakini tidak wajib mencari air adalah Imam Syafi’i dan yang tampak dari Mazhab Malik. Sedang Imam Abu Hanifah meyakini sebaliknya. Dari dua pendapat ini, Imam Al-Qurthubi mensahihkan pendapat yang menyatakan wajibnya mencari air sebelum tayamum. Ia beralasan, selain sebab ayat di atas menunjukkan keharusan usaha mencari sebelum memutuskan ada atau tidaknya air, tayamum sendiri adalah cara alternatif bersuci sebagai pengganti wudhu. Sehingga sudah seharusnya perlu memastikan ketiadaan air terlebih dahulu yang kemudian berakibat tidak bisanya berwudhu (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/229).
Pentingnya Mentelaah Lebih Lanjut Pendapat Abu Hanifah
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa seakan-akan Imam Abu Hanifah meyakini bahwa tatkala kita tidak menemukan air di sekitar kita, kita boleh tayamum dan tidak wajib mencarinya. Pemahaman ini pada kenyataannya kurang tepat. Sebab Abu Hanifah tidak meyakini tidak wajib mencari air secara mutlak. Imam An-Nawawi dalam kitab perbandingan mazhabnya menuturkan, menurut Abu Hanifah wajib mencari air apabila ia memiliki keyakinan kuat keberadaan air di dekatnya. Apabila tidak, maka tidak wajib (Al-Majmu’/2/253).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menerangkan secara panjang lebar, bahwa sebenarnya tiap mazhab meyakini adanya kewajiban mencari air. Hanya saja, mereka memiliki istilah dan ukuran yang berbeda-beda terkait keharusan dan kondisi serta jarak tempuh yang harus dilalui dalam mencari air (Al-Fiqhu Al-Islami/1/572).
Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran
Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan ketiadaan air di sekitar kita sehingga kemudian boleh tayamum. Terlebih di zaman yang serba canggih, yang dalam memastikan keadaan sesuatu dapat dilakukan sebatas lewat gawai. Wallahu a’lam bish showab [].