Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37

tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37 menjelaskan bahwa kematian bukanlah cobaan semasa di dunia, sebab ia akan dialami oleh setiap makhluk. Pun cobaan tidak selalu berorientasi buruk, kadang ia bermanifestasi dengan bentuk yang baik dan menyenangkan. Tak terkecuali Muhammad Saw, yang juga diuji dengan sikap orang kafir kepadanya, beragam sikap buruk sudah ia terima, begitupun dengan ujian yang lain.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 33-34


Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37 juga menerangkan watak asal manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sabar, tergesa-gesa, dan penuh dengan hasrta nafsu. Maka, Islam menganjurkan manusia untuk merubah sikap tersebut dengan sikap yang kebih baik, seperti; sabar, behrhati-hati, dan tenga, yang demikian akan mengantarkan manusia pada kesuksesan.

Ayat 35

Dalam ayat ini Allah menyatakan lebih tegas lagi, bahwa setiap mahluk-Nya yang hidup atau bernyawa pasti akan merasakan mati. Tidak satu pun yang kekal, kecuali dia sendiri, dalam hubungan ini, Allah berfirman dalam ayat yang lain:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ

Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (al-Qashas/28: 88)

Selanjutnya dalam ayat ini Allah menjelaskan cobaan yang ditimpakan Allah kepada manusia tidak hanya berupa hal-hal yang buruk, atau musibah yang tidak disenangi, bahkan juga ujian tersebut dapat pula berupa kebaikan atau keberuntungan.

Apabila ujian atau cobaan itu berupa musibah, maka tujuannya adalah untuk menguji sikap dan keimanan manusia, apakah ia sabar dan tawakkal dalam menerima cobaan itu. Dan apabila cobaan itu berupa suatu kebaikan, maka tujuannya adalah untuk menguji sikap mental manusia, apakah ia mau bersyukur atas segala rahmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.

Jika seseorang bersikap sabar dan tawakkal dalam menerima cobaan atau musibah, serta bersyukur kepada-Nya dalam menerima suatu kebaikan dan keberuntungan, maka dia adalah termasuk orang yang memperoleh kemenangan dan iman  yang kuat serta mendapat keridaan-Nya.

Sebaliknya, bila keluh kesah dan rusak imannya dalam menerima cobaan Allah, atau lupa daratan ketika menerima rahmat-Nya sehingga ia tidak bersyukur kepada-Nya, maka orang tersebut adalah termasuk golongan manusia yang merugi dan jauh dari rida Allah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman-Nya pada ayat lain:

۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ  ١٩  اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ  ٢٠  وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ  ٢١  اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ  ٢٢

Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,  kecuali orang-orang yang melaksanakan salat. (al-Ma’ārij/70: 19-22)

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa bagaimana pun juga tingkah laku manusia dalam menghadapi cobaan atau dalam menerima rahmat-Nya, namun akhirnya segala persoalan kembali kepada-Nya juga.

Dialah yang memberikan balasan, baik pahala maupun siksa, atau memberikan ampunan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Ayat 36

Dalam ayat ini Allah menerangkan sikap dan kelakuan orang-orang kafir terhadap Nabi Muhammad, yaitu bahwa setiap kali mereka melihatnya, maka mereka menjadikan Nabi sebagai sasaran olok-olokan dan ejekan mereka, seraya berkata kepada sesama mereka, “Inikah orangnya yang mencela tuhan kamu? Padahal merekalah orang-orang yang ingkar dari mengingat Allah.”

Demikianlah ejekan mereka terhadap Rasulullah. Dan mereka tidak menginsafi bahwa yang sebenarnya merekalah yang selayaknya menerima ejekan, karena mereka menyembah patung-patung dan berhala, yang tidak kuasa berbuat apapun untuk mereka, bahkan tangan mereka sendirilah yang membuat tuhan-tuhan mereka itu sehingga mereka yang menjadi khalik sedang tuhan-tuhan mereka menjadi makhluk yang diciptakan.

Dengan demikian, keadaan menjadi terbalik daripada yang semestinya, karena tuhan semestinya sebagai pencipta bukan yang diciptakan.;


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 50-51: Tidak Ada Peluang untuk Menyekutukan Allah


Ayat 37

Pada ayat ini, mula-mula Allah menerangkan bahwa manusia dijadikan sebagai mahluk yang bertabiat suka tergesa-gesa dan terburu nafsu. Kemudian Allah memperingatkan kaum kafir agar mereka jangan meminta disegerakannya azab yang diancamkan kepada mereka, karena Allah pasti akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda dari azab-Nya itu.

Di sini dapat kita ketahui bahwa Allah melarang manusia untuk bersifat tergesa-gesa, meminta segera didatangkannya sesuatu yang belum tiba saatnya, dan pasti datangnya.

Di samping itu Allah menerangkan bahwa walaupun sifat tergesa-gesa itu sudah dijadikan-Nya sebagai salah satu sifat pada manusia, namun manusia telah diberi kemampuan untuk menahan diri dan mengatasi sifat tersebut, dengan cara membiasakan diri bersikap tenang, sabar, dan mawas diri.

Sifat tergesa-gesa dan terburu nafsu selalu menimbulkan akibat yang tidak baik serta merugikan baik diri sendiri atau orang lain, yang akhirnya akan menimbulkan rasa penyesalan yang tidak berkesudahan.

Sebaliknya, sikap tenang, sabar, berhati-hati dan mawas diri dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang ditujunya, dan mencapai sukses yang gemilang dalam hidupnya. Itulah sebabnya Al-Qur’an selalu memuji orang-orang yang bersifat sabar, dan menjanjikan kepada mereka bahwa Allah senantiasa akan memberikan perlindungan, petunjuk dan pertolongan kepada mereka.

Sedang orang-orang yang suka terburu-buru, lekas marah, mudah teperdaya oleh godaan iblis yang akan menjerumuskannya ke jurang kebinasaan, dan menyeleweng dari kebenaran akan mendapat kerugian.

Permintaan orang-orang kafir agar azab Allah segera didatangkan kepada mereka, dengan jelas menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap adanya azab tersebut, serta keingkaran mereka bahwa Allah kuasa menimpakan azab kepada orang-orang yang zalim.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 38-42