Seorang hamba wajar jika pernah melakukan kesalahan atau dosa. Cara untuk menebus kesalahan itu umumnya adalah dengan melakukan pertaubatan, yaitu menyesali dan memperbaiki diri dengan melaksanakan amalan yang diridhai oleh Allah Swt.
Terkadang muncul sebuah pertanyaan, apakah sama jalan pertaubatan orang awam dengan orang yang khas (ulama)? Bisakah kita menetapkan bahwa para ulama juga harus memperbanyak ibadah, zikir, dan istighfar sebagai penebusan kesalahan mereka? Ataukah ada cara lain yang ditawarkan al-Qur’an atau pun al-sunnah dalam menyikapi pertaubatan yang demikian? Nah, dengan alasan itulah tulisan ini hadir, untuk mengetahui bagaimana jalan pertaubatan orang khas dan orang biasa (awam).
Kata taubat dalam al-Qur’an diketahui terulang sebanyak 87 kali dalam 27 surah dengan beragam derivasinya (al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, 199-200). Di sini, penulis bukan hendak menelusuri seluruh ayat tersebut, melainkan hanya berfokus pada QS. al-Baqarah ayat 160. Alasannya bahwa ayat ini secara tekstual memiliki muatan nilai taubat yang menjadi persoalan yang akan dibahas, serta penulis pernah mendengar Gus Baha’ menyinggung ayat ini sebagai dalil jalan pertaubatan orang-orang yang berilmu, yaitu para ulama. Allah berfirman:
اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَاُولٰۤىِٕكَ اَتُوْبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Kecuali mereka yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.
Baca juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki
Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 160
Mayoritas mufassir menilai bahwa redaksi ayat ini berkenaan dengan kecaman Allah kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran Nabi Muhammad yang terdapat dalam Taurat. Yang dimaksud adalah Abdullah bin Aslam berserta keluarganya. Namun Allah mengecualikan laknat-Nya, dengan syarat mereka mau melakukan poin-poin yang ditawarkan, yaitu; bertaubat, memperbaiki diri, dan menjelaskan kebenaran. Ini merujuk pada tiga kata dalam ayat tersebut, taabuu, ashlahuu, dan bayyaanuu.
Sebagaimana yang dikatakan al-Thabari, bahwa ayat ini bersinggungan dengan kecaman Allah kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran, kecuali orag-orang yang ingin bertaubat. Sedangkan jalan yang harus ditempuhnya adalah mengikuti nilai al-Quran yang dibawa oleh Rasulullah saw., memperbaiki perilaku, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amal-amal saleh (Tafsir al-Thabari, Jil. 2).
Senada dengan itu, al-Qurthubi menilai bahwa hendaklah bagi orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri, melaksanakannya secara serius sambil aktif melakukan amal-amal kebajikan (Tafsir al-Quthubi, Jil. 2). Sebab, al-Quran berulang kali menerangkan bahwa Allah membuka pintu taubat yang seluas-luasnya bagi mereka yang hendak kembali ke tempat yang damai, dengan tekad serta niat yang kuat, dan diiringi pula dengan amal perbuatannya (Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 1).
Al-Thabari sedikit menyayangkan sebagian Mufassir yang menjelaskan kata bayyanuu dalam ayat ini dengan taubat secara ikhlas dalam melaksanakan amal perbuatannya. Agaknya, penafsiran yang demikian, menurut al-Thabari, sedikit menyimpang dari zhahir ayat. Karena ayat ini berangkat dari kecaman Allah kepada mereka yang menyembunyikan kebenaran Muhammad sebagai nabi terakhir dalam al-Kitab (Tafsir al-Thabari, Jil. 2).
Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Ibnu Katsir, bahwa kata bayyanuu dalam ayat ini, menunjukkan adanya tuntutan bagi seseorang (yang berilmu) agar tidak menyembunyikan kebenaran al-Quran. Sebagaimana dalam beberapa hadis dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ الْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَار
Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan dari api neraka (HR. Ibnu Majah) (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jil. 1).
Ini pula yang menjadi alasan Abu Hurairah meriwayatkan hadis-hadis Nabi setelah mendengar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 159. Ia menuturkan; “Seandainya bukan karena ayat dalam kitab Allah (al-Quran) itu, niscaya aku tidak akan meriwayatkan sesuatu kepada seseorang.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jil. 1).
Maka, jelas bahwa menyembunyikan suatu ilmu itu dilarang, apapun background ilmunya, baik yang diperintahkan agama untuk disampaikan, berupa ilmu pengetahuan atau ilmu yang berkaitan dengan hak manusia.
Meski demikian, menurut Quraish Shihab, redaksi hadis itu tidak seharusnya dipahami apa adanya, sebab ada ilmu yang memang dituntut untuk disebarluaskan seperti ilmu syari’at, dan ada pula ilmu yang tidak diharapkan sama sekali untuk disebarluaskan, atau baru disebarkan setelah mempertimbangkan; keadaan, waktu, atau sasaran. Intinya tidak semua informasi disampaikan, pun tidak semua pertanyaan perlu dijawab (Tafsir al-Misbah, Jil 1).
Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa
Dosa dan cara taubatnya orang alim
Gus Baha’ dalam ceramahnya ketika menghadiri Haul Mbah Kyai Hamid Pasuruan 15 Oktober lalu, menyampaikan bahwa surah Al-Baqarah ayat 160 ini termasuk dalil yang menegaskan kalau taubatnya para Alim adalah dengan muraja’ah (mengulang) ilmu dan menyampaikannya. Ini pula yang membedakan antara taubatnya orang awam dengan para ulama. (link ceramah: https://www.youtube.com/watch?v=hAtk7KdwYCs).
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pun mengklasifikasi taubat menjadi dua tingkatan, yaitu bagi orang-orang awam, dan yang sudah di tingkatan ma’rifat. Tingkatan pertama cukup meninggalkan perbuatan dosa, berzikir, dan senantiasa memperbaiki diri dengan ibadah dan amalan sholeh. Sementara tingkatan kedua cenderung berbeda, karena kedudukan mereka lebih tinggi dari kalangan awam. (Rahasia Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, 2010).
Namun demikian, bukan berarti orang yang memiliki tingkatan kedua tidak memperhatikan aspek tingkatan pertama. Sebaliknya, bisa diasumsikan bahwa mereka telah menyelesaikan tingkatan tersebut dan membuatnya berada pada posisi yang lebih tinggi.
Sebagaimana asy-Sya’rani yang menilai bahwa taubat memiliki dua tahapan yaitu; tahap awal dan akhir. Tingkatan pertama adalah tahapan awal. Sementara tingkatan kedua adalah tahapan akhir (al-Minnah al-Saniyyah). Kedua tahapan itu sudah semestinya dilalui oleh orang-orang yang hendak menekuni jalan taubat, yaitu diawali dengan meninggalkan dosa-dosa besar, kecil, perkara makruh, dan seterusnya, hingga ia mencapai derajat paling tinggi, yaitu ma’rifatullah. Wallahu a’lam.
Baca juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa