BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30

Sebelumnya telah dijelaskan tentang ibadah kurban yang bertepatan dengan momen ibadah haji. Adapun Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30 masih akan membahas perihal haji, yaitu tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh umat muslim setelah menunaikan ibadah haji dan kurban, supaya ibadahnya semakin sempurna.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2)


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30 bahwa semua yang telah diulas berkaitan dengan haji haruslah diperhatikan dengan seksama, baik yang sifatnya perintah ataupun larangan, sebab, itu adalah bagian dari menghormati ritual haji tersebut. Di sini, kembali akan diulas tentang apa-apa saja yang dilarang dan diperintahkan, dan yang termasuk dari hurmatillah.

Ayat 29

Ayat ini menerangkan bahwa setelah orang yang mengerjakan ibadah haji selesai menyembelih binatang kurbannya, hendaklah mereka melakukan tiga hal:

  1. Menghilangkan dengki atau kotoran yang ada pada diri mereka, yaitu dengan menggunting kumis, menggunting rambut, memotong kuku dan sebagainya. Hal ini diperintahkan karena perbuatan-perbuatan itu dilarang melakukannya selama mengerjakan ibadah haji.
  2. Melaksanakan nazar yang pernah diikrarkan, karena pada waktu, tempat dan keadaan inilah yang paling baik untuk menyempurnakan nazar.
  3. Melakukan tawaf di Ka`bah. Yang dimaksud dengan tawaf adalah mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali. Tawaf ada tiga macam, yaitu:
  4. Tawaf qudum, yaitu tawaf yang dilakukan ketika pertama kali memasuki/datang di Mekah.
  5. Tawaf Wada` yaitu tawaf yang dilakukan ketika akan meninggalkan Mekah setelah selesai melaksanakan ibadah haji.
  6. Tawaf Ifadah yaitu tawaf yang dilakukan dalam rangka melaksanakan rukun haji.

Dalam ayat ini Baitullah disebut Baitul ‘Atiq, yang berarti “rumah tua” karena Baitullah adalah rumah ibadah pertama kali didirikan oleh Nabi Ibrahim as beserta putranya Nabi Ismail as kemudian barulah didirikan Baitul Maqdis Palestina oleh Nabi Daud as beserta Nabi Sulaiman as.

Ayat 30

Ayat ini menerangkan bahwa semua yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu, seperti mencukur rambut, memotong kuku, memenuhi nazar, tawaf mengelilingi Ka`bah, termasuk kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang menunaikan ibadah haji.

Siapa yang melaksanakan semua yang diperintahkan itu selama mereka berihram, karena ingin mengagungkan dan mencari keridaan Allah, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang paling baik di sisi Allah dan akan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta surga yang penuh kenikmatan.

Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “Hurumātillāh”, ialah apa yang dilarang dilakukannya oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji, seperti berlaku fasik, bertengkar, bersetubuh dengan istri, berburu dan sebagainya.

Menghormati “Hurumātillāh”, ialah menjauhi semua larangan itu. Sedang menurut riwayat Zaid bin Aslam, yang dimaksud dengan “Hurumātillāh”, ialah al-Masyharil Haram, Masjidil Haram, Baitul Haram (Ka`bah), Bulan-bulan Haram dan Tanah Haram.

Menghormati “Hurumātillāh” itu adalah berbuat baik di tempat-tempat tersebut, tidak berbuat maksiat dan hal itu merupakan perbuatan yang paling baik di sisi Allah.


Baca Juga: Ghazwul Fikri Pada Umat Islam dan Peringatan Al-Qur’an Tentang Ajakan Para Penolak Kebenaran


Dalam ibadah haji terdapat dua macam ibadah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan anggota badan, disebut ibadah “badaniyah”, seperti tawaf, sa`i, melempar jumrah dan sebagainya. Yang kedua ialah ibadah yang berhubungan dengan harta, disebut “māliyah”, seperti menyembelih binatang kurban dan sebagainya.

Dalam ayat ini disebutkan makanan yang dihalalkan, dan perintah menjauhi perkataan dusta. Sekalipun perintah itu ditujukan kepada semua kaum Muslimin, tetapi orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji sangat diutamakan melaksanakannya.

Allah menerangkan bahwa dihalalkan bagi orang-orang yang beriman memakan dan menyembelih unta, lembu dan sebagainya, kecuali binatang-binatang yang telah ditetapkan keharamannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala…. (al-Mā`idah/5: 3);

Dan firman Allah:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ

Katakanlah, ”Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan  memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah…. (al-An’ām/6: 145)

Allah tidak pernah mengharamkan memakan daging binatang seperti yang diharamkan oleh kaum musyrik Mekah, perbuatan itu adalah perbuatan yang mereka ada-adakan saja. Mereka mengharamkan Bahirah, Sā`ibah, Washilah, Hām dan sebagainya, sebagaimana firman Allah:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ مِنْۢ بَحِيْرَةٍ وَّلَا سَاۤىِٕبَةٍ وَّلَا وَصِيْلَةٍ وَّلَا حَامٍ ۙوَّلٰكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ وَاَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ

Allah tidak pernah mensyariatkan adanya  Bahirah, Sa’ibah, Washilah dan Ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Mā`idah/5: 103)

Dalam ayat ini disebutkan dua macam perintah Allah, yaitu:

  1. Perintah menjauhi perbuatan menyembah patung atau berhala, karena perbuatn itu adalah perbuatan yang menimbulkan kekotoran dalam diri dan sanubari seseorang yang mengerjakannya dan perbuatan itu berasal dari perbuatan setan. Setan selalu berusaha mengotori jiwa dan diri manusia.
  2. Perintah menjauhi perkataan dusta dan melakukan persaksian yang palsu.

Dalam ayat ini penyebutan persaksian palsu dan penyembahan berhala secara bersamaan, karena kedua perbuatan itu pada hakekatnya adalah sederajat, semua sama berdusta dan mengingkari kebenaran. Dari ayat ini dapat dipahami pula betapa besar dosanya mengadakan persaksian palsu itu karena disebutkan setelah larangan menyekutukan Allah.

Dalam hadis Nabi Muhammad saw pun diterangkan bahwa persaksian palsu itu sama beratnya dengan menyekutukan Allah:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ قَائِمًا وَاسْتَقْبَلَ النَّاسَ بِوَجْهِهِ وَقَالَ عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ, عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ. (رواه أحمد وابو داود وابن ماجه والطبرانى)

Dari Nabi saw bahwa beliau salat Subuh, setelah selesai memberi salam, beliau berdiri dan menghadap kepada manusia dan berkata, “Persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah, persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah, persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dāud, Ibnu Mājah dan at-Thabarāni)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-32


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...