Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 2)

Tafsir Surah al-Hijr
Tafsir Surah al-Hijr

Setelah sebelumnya mengisahkan perjalan al-Quran di era Nabi, adapun Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 2) meneruskan kisah tersebut, yakni perjalanan al-Quran pada masa sahabat, khususnya ketika tampuk kepemimpinan khalifah empat, yakni dimulai dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Terutama sejarah panjang kodifikasi di masa khalifah Utsman, berikut uraiannya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1)


Ayat 9 (Part 2)

Sesudah Rasulullah saw wafat, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Pada permulaan masa pemerintahannya banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dan ada pula di antara mereka mendakwakan diri menjadi nabi.

Oleh karena itu, Abu Bakar memerangi mereka. Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur’an dan sebelum itu telah gugur pula beberapa orang. Atas anjuran Umar bin Khathtab dan diterima oleh Abu Bakar, maka Zaid bin Tsabit ditugaskan menulis kembali Al-Qur’an yang naskahnya telah ditulis pada masa Nabi dan didukung oleh hafalan para sahabat yang masih hidup.

Setelah selesai menuliskannya dalam lembaran-lembaran, diikat dengan benang, tersusun menurut urutan yang telah ditetapkan Rasulullah, mushaf itu kemudian diserahkan kepada Abu Bakar.

Setelah Abu Bakar meninggal, mushaf ini diserahkan kepada penggantinya Umar bin al-Khathab.

Setelah Umar meninggal mushaf ini disimpan di rumah Haf¡ah, putri Umar dan istri Rasulullah, sampai kepada masa pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Utsman bin ‘Affan.

Di masa khalifah Utsman bin ‘Affan, daerah pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan Azerbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat.

Dengan demikian, para sahabat waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia, dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al-Qur’an Al-Karim itu tetap menjadi imam mereka, di antara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an.

Mereka mempunyai naskah-naskah Al-Qur’an, tetapi naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan surah-surahnya karena dicatat sesuai dengan pemahaman mereka atau masih bercampur dengan penjelasan-penjelasan Rasul sebagai tafsirnya.

Hal ini menimbulkan pertikaian tentang bacaan Al-Qur’an di antara mereka. Asal mula perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membacakan dan melafazkan Al-Qur’an itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan Nabi supaya mereka mudah mengucapkan dan menghafal Al-Qur’an.

Tetapi kemudian timbul kekhawatiran bahwa pertikaian tentang bacaan Al-Qur’an ini kalau dibiarkan saja akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum Muslimin.

Orang yang mula-mula menunjukkan perhatiannya tentang hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman.


Baca Juga : Sejarah Kodifikasi Al-Quran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran


Beliau ikut dalam peperangan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Selama dalam perjalan-an, ia pernah mendengar kaum Muslimin bertikai tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur’an dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, “Bacaan saya lebih baik daripada bacaanmu.”

Ketika hal ini disampaikan kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan, beliau langsung menyetujui dilakukannya penulisan Al-Qur’an, maka segera dibentuk tim yang terdiri dari para penulis wahyu, seperti Zaid bin Tsābit yang menjadi ketua tim, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harist bin Hisyam, dan lain-lain.

Mushaf yang berisi lembaran bertuliskan Al-Qur’an, yang pernah disusun oleh Khalifah Abu Bakar, dan disimpan di rumah Hafshah, diminta  kembali oleh U£man.

Karena tim ini bertugas menyalin kembali tulisan Al-Qur’an yang ada di mushaf tersebut dan menyeragamkan bacaan dan tulisannya. Hasil kerja tim ini akan menjadi acuan dan rujukan bagi bacaan Al-Qur’an umat Islam di seluruh dunia.

Dalam menjalankan tugasnya, tim ini memberlakukan syarat-syarat berikut:

  1. Tidak ditulis kecuali yang diyakini betul-betul Al-Qur’an, dengan mengacu pada tulisan dan hafalan sahabat.
  2. Tidak ditulis kecuali ayat-ayat yang diyakini tidak pernah dinasakh.
  3. Jika ada kata yang memiliki beberapa bacaan berbeda, maka ditulis dengan dialek Quraisy karena mayoritas Al-Qur’an ditulis dalam dialek itu.
  4. Jika ada dua bacaan berbeda tetapi bisa ditampung dalam satu tulisan, ditulis dalam satu tulisan seperti malik dan m±lik.

Mushaf yang sudah diseragamkan bacaannya itu dikenal dengan nama al-Mushaf al-Imam atau al-Mushaf al-‘Utsman. Mushaf ini digandakan menjadi lima mushaf, masing-masing dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, Kufah, dan sebuah ditinggalkan di Medinah.

Demikianlah Al-Qur’an itu dibukukan pada masa sahabat. Semua mushaf yang diterbitkan kemudian harus disesuaikan dengan al-Mushaf al-Imam. Kemudian usaha menjaga kemurnian Al-Qur’an itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Hijr Ayat 9 (Part 3)