Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa surah al-Ikhlas selain sebagai pemurni akidah ketauhidan, juga untuk mengenalkan Allah kepada kaum pagan Makkah, atau secara khusus kepada ‘Amir bin al-Thufail. Namun istimewanya, menurut Fakhrudin al-Razi surah ini secara implisit juga menjelaskan perihal 3 tingkatan pencari Tuhan. Jadi bukan terkhusus hanya diperuntukkan bagi orang yang belum mengenal Tuhan. Ajaibnya, makna implisit itu dapat kita gali dengan memerinci ketiga kata dari ayat pertamanya berikut,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah Yang Esa.” (Q.S. al-Ikhlas [122]: 1)
Baca Juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas
Tingkatan Pertama (هو)
“Dia,”
Lafal huwa adalah kata ganti (isim dlomir) yang berarti dia. Yang namanya kata ganti pastinya memiliki rujukan tertentu, contoh, “Beliau adalah Muhammad bin Abdullah. ‘Dia’ adalah nabi yang membawa agama Islam.”
Atas dasar ini, apabila kita mempergunakan kata ganti tanpa menyebutkan rujukan pasti, lawan bicara kita tidak akan dapat memahami apa yang kita katakan. Umpamanya, tiba-tiba kita menyampaikan berita kepada orang tua, “Ibu, di pasar tadi dia bilang kepada saya bahwa dia akan datang nanti malam.”
Ibu kita pastinya menjadi bingung dengan perkataan kita, sebab ia belum mengetahui benar siapa yang kita maksud dengan kata ganti “dia”. Boleh jadi “dia” yang kita maksud adalah tetangga sebelah, tunangan, atau rentenir penagih hutang. Maka muncullah pertanyaan, “Dia siapa yang kau maksud itu nak?”
Tingkatan pencari Tuhan yang pertama dan paling utama adalah apa yang diisyaratkan oleh kata ganti huwa (dia). Penjelasannya seperti ini; golongan pertama akan dapat mengetahui secara pasti bahwa maksud dari kata ganti “dia” adalah Allah swt., meskipun tidak ada rujukan atau indikasi jelas yang menegaskannya. Alasannya, bagi mereka satu-satunya yang ada dan eksis hanyalah Allah swt. Semua hal selain Allah itu tidak ada.
Dalam teologi Islam dijelaskan bahwa sesuatu (wujud) terbagi menjadi dua, mumkin al-wujud dan wajib al-wujud.
Mumkin al-Wujud adalah sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Hewan, tumbuhan dan manusia adalah termasuk macam bagian ini. Artinya kita dapat membayangkan ketiganya tidak ada dan tidak eksis di dunia ini. (Mi’yar al-‘Ulum, hal 331)
Wajib al-Wujud adalah sosok yang keberadaannya wajib ada; tidak mungkin Ia tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang wajib dan harus ada. Alasannya, kita telah menyaksikan bahwa hewan, tumbuhan dan manusia yang masih mumkin telah benar-benar eksis di dunia, maka perlu keberadaan Dzat yang menciptakannya.
Namun, sosok pencipta ini tidak boleh termasuk macam yang mumkin al-wujud. Ia harus wajib ada (wajib al-wujud). Sebab bilamana Dzat Allah swt. mungkin ada dan mungkin tidak ada, maka Ia membutuhkan pencipta yang mengadakan-Nya. Dan terus seperti itu; pencipta Allah membutuhkan pencipta lainnya. Alur pikir seperti ini akan mengakibatkan munculnya regresi tidak berbatas (tasalsul). Dalam bahasan filsafat logika, regresi tidak terbatas adalah hal yang mustahil. (Lentera Kehidupan, Mulyadhi Kartanegara, hal 17-18)
Bagi Al-Muqarrabin -gelar yang disematkan kepada tingkatan ini- makhluk tidak ada dan tidak eksis, karena keberadaannya hanya masih mungkin saja. Sedangkan Tuhan adalah satu-satunya Sosok yang ada dan eksis. Hati pikiran mereka hanya mengenal keberadaan Tuhan. Atas dasar ini, ketika disebutkan kata “dia” pasti itu merujuk kepada Tuhan sebagai satu-satunya sosok yang ada. Kata al-Razi,
وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِينَ نَظَرُوا إِلَى مَاهِيَّاتِ الْأَشْيَاءِ وَحَقَائِقِهَا مِنْ حَيْثُ هِيَ هِيَ
“Dan mereka ini adalah golongan orang yang benar-benar melihat sesuatu dari hakikatnya sebagaimana adanya.” (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 360)
Baca Juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali
Tingkatan Kedua (هو الله)
“Dialah Allah.”
Tidak seperti al-Muqarrabin, orang-orang di tingkatan ashab al-yamin (golongan kanan) belum mempunyai pemahaman bahwa Allah-lah satu-satunya sosok yang eksis. Bagi mereka ini, dunia dan segala isinya selain Allah, masih merupakan hal yang nyata dan belum bisa mereka singkirkan sepenuhnya dari hati pikirannya. Singkatnya, masih ada sosok lain yang eksis di alam kenyataan ini.
فَلَا جَرَمَ لَمْ يَكُنْ هُوَ كَافِيًا فِي الْإِشَارَةِ إِلَى الْحَقِّ، بَلْ لَا بُدَّ هُنَاكَ مِنْ مُمَيِّزٍ بِهِ يَتَمَيَّزُ الْحَقُّ عَنِ الْخَلْقِ فَهَؤُلَاءِ احْتَاجُوا إِلَى أَنْ يَقْرِنُوا لَفْظَةَ اللَّهِ بِلَفْظَةِ هُوَ،
“Maka tidak salah, bahwa kata “dia” belum cukup untuk mengenalkan mereka (ashab al-yamin) kepada Tuhan. Akan tetapi harus juga dibersamakan dengan indikasi lainnya yang membedakan Tuhan dari makhluk-Nya. Mereka masih membutuhkan suatu indikator (agar dapat mengenal Tuhan dari kata ganti “dia”); makanya lafal Allah disambungkan dengan lafal “dia” (huwa).” (Mafatih al-Ghaib, juz 32, hal 360)
Di dalam al-Quran, ashab al-yamin merupakan sebutan bagi mereka yang pada hari perhitungan akan menerima catatan amalnya dari sisi sebelah kanan atau dengan tangan kanan. Ini menunjukkan bahwa mereka mendapatkan keselamatan dari siksa akhirat. Ashab al-syimal adalah kebalikan dari kelompok ini. (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 8-9)
Baca Juga: Performasi Surat Al-Ikhlas: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer
Tingkatan Ketiga (هو الله احد)
“Dialah, Allah Yang Maha Esa”
Jika tingkatan kedua disebut ashab al-yamin, maka tingkatan ketiga adalah ashab al-syimal (golongan kiri). Ini adalah tingkatan terendah dan terhina. Sebab untuk mengenal Allah swt., golongan ini perlu untuk diberitahukan bahwa, “Dia adalah Allah Yang Esa.”
Alasannya, selain karena dunia dan segala isinya sudah memperkeruh eksistensi Tuhan di hati pikiran mereka, bagi mereka tuhan tidak hanya satu. Mereka telah terjebak dalam liang kemuysrikan. Untuk itulah dibutuhkan tambahan kata “Yang Maha Esa” untuk mempertegas kesalahan akidah mereka. (Mafatih al-Ghaib, juz 33, hal 361)
Pada titik ini, kita dapat menjumpai relevansi ayat dengan latar belakang kemunculan surah al-Ikhlas, yakni seperti yang disebutkan di muka, surah al-Ikhlas diturunkan Allah swt. sebagai jawaban dari pertanyaan seorang musyrik Makkah; ‘Amir bin al-Thufail yang meminta agar Nabi Muhammad menjelaskan hakikat dan esensi dari Tuhan yang Beliau sembah.
Wa Allahu a’lam.