Akhir-akhir bulan Mei tahun 2021, postingan penulis kondang Indonesia yakni Tere Liye, sempat heboh di dunia maya setelah pemilik akun Twitter @harisFQ mengungkapkan keresahannya terhadap kata-kata kasar Tere Liye. Dilansir dari suara.com (5/21), penulis kenamaan tersebut mengkritik keras terhadap pembeli buku bajakan. Kenyataan di atas merupakan satu dari sekian banyak upaya para penulis di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, yang dirugikan oleh oknum predator buku-buku laris. Sejatinya, masalah semacam inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum-hukum tentang hak cipta.
Menurut undang-undang dasar Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui
Sejarah tatanan hukum hak cipta dimulai sejak manusia tidak mengenal apa-apa tentang alat untuk memperbanyak buku kecuali hanya dengan menyalin secara manual. Mengutip Ahmad Sarwat, mesin cetak diciptakan pertama kali oleh seorang ilmuwan bernama Gutenberg pada tahun 1440.
Sejak saat itu, banyak buku yang bisa dicetak dalam waktu relatif singkat, hingga dapat menggairahkan bisnis buku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri percetakan satu persatu pun bermunculan, sembari berlomba mencetak buku sebanyak-banyaknya untuk diperjual belikan. Sejak itulah, muncul pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan berlipat ganda hanya dengan menggandakan buku, sementara penerbit yang telah bekerja sama dengan pemilik karya justru merasakan rugi.( Hak Cipta Dalam Kajian Fiqh Kontemporer, hlm. 13)
Pro dan kontra legitimasi hukum hak cipta
Ketika mesin cetak masuk ke dalam dunia Islam, cendekiawan muslim kontemporer dihadapkan dengan masalah hak cipta yang sebelumnya tidak pernah didengar dalam Islam. Perselisihan pendapat pun tak terelakkan, sebagian mengakui, sebagian lain menolak.
Tidak sekadar omong kosong, pihak yang tidak mengakui hak cipta mengemukakan berbagai argumentasi untuk melandasi kesimpulan mereka, bahwa Islam tidak mengakui adanya hak cipta. Di antara dalil yang mereka gunakan untuk mendukung kesimpulan mereka adalah ayat dan hadis yang berbicara tentang tindakan menyembunyikan ilmu. Dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 159, Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati”
Begitu pula, mereka melandaskan argumentasi pada Hadis sahih, yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmuzdi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
من كتم علماً يعلمُه أُلجم يوم القيامة بلجام من نار
“Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang telah ia ketahui maka kelak dia akan dicambuk dengan cambuk dari api”
Menurut kelompok ini, di antara bentuk menyembunyikan ilmu yang dikecam oleh ayat dan Hadis di atas adalah tindakan seorang penulis, yang tidak mau menyebarluaskan karyanya kecuali dibayar dengan sejumlah uang.
Menurut mereka, isi dalam sebuah buku adalah ilmu, sedangkan ilmu merupakan anugerah Tuhan. Manusia tidak memiliki hak apapun atas ilmu yang mereka peroleh, sehingga semua ilmu harus disebarluaskan, tanpa meminta sejumlah uang sebagai kompensasinya. Karena itu, Islam melarang tindakan menyembunyikan ilmu. Di antara bentuk penyembunyian itu adalah melarang orang lain mencetaknya secara ilegal. (Ahmad Hasan, Haq al-Ibtikar Fi Fiqhi al-Islami, hlm.4)
Paparan tersebut merupakan satu dari sederet dalil yang mereka gunakan sebagai argumentasi untuk menjustifikasi pandangan mereka. Tentunya, mengambil kesimpulan hukum melalui Alquran dan al-Hadis tidak semudah itu. Tetapi, harus mempertimbangkan banyak hal yang logis, lalu menarik kesimpulan.
Baca juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua
Berseberangan dengan pendapat tersebut, banyak pemikir muslim kontemporer yang melayangkan kritik. Mereka berpikir secara kontekstual, dengan mempertimbangkan banyaknya kasus pembajakan karya. Seperti yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Usman Syabir dalam kitab Muamalah Muashirah-nya dan Dr. Ahmad Hasan dalam sebuah makalahnya. Di antara kritikan mereka, tertuju pada alur pikir yang digunakan terhadap ayat 159 Alquran di atas. (al-Mu’amalah al-Mu’ashirah hlm. 47)
Menurut Dr. Ahmad Hasan, nalar kubu yang menolak hak cipta, dalam memahami ayat di atas tidak sepenuhnya benar. Beliau melayangkan beberapa kritik.
Pertama, pengharaman menyembunyikan ilmu dalam ayat di atas mengandung banyak kemungkinan makna, seperti bisa dengan memalsukan kebenaran (izharul az-zaif) atau membuat samar yang telah jelas (ikhfa al-haq) seperti yang ditunjukkan oleh sabab nuzul ayat itu.
Isi sabab nuzul tersebut ialah, suatu ketika, sahabat Muaz bin Jabal, Kharijah bin Zaid dan Saad bin Muaz bertanya kepada sekelompok pendeta Yahudi tentang sebagian isi kitab Taurat. Para pendeta itu menolak. Mereka tidak mau memberi tahu dan menyembunyikan apa yang sesungguhanya mereka ketahui. Karena itulah, Allah kemudian menurunkan ayat di atas. Jika demikian, ayat di atas keluar dari konteks masalah tentang hak cipta.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Bagi Pencuri dan Beberapa Ketentuannya
Kedua, keharaman menyembunyikan ilmu tidak lantas meniscayakan disebarluaskannya karya-karya buku secara suka rela dan tidak menganggapnya sebagai harta. Karena, hal serupa juga terjadi dalam keharaman menimbun makanan untuk meraup keuntungan. Menimbun makanan memang haram, tetapi tidak lantas harus mendistribusikan secara suka rela, begitu juga hak cipta atas suatu karya tulis. (Haq Ibtikar Dr. Ahmad Hasan hlm. 4)
Adanya sebagian ulama kontemporer muslim yang menolak hak cipta dengan berbagai argumentasi-argumentasi dari Alquran, Hadis, dan asumsi-asumsi logis, menimbulkan masalah tersendiri bagi oknum-oknum masyarakat yang berani melakukan pelanggaran hak cipta dengan dalih adanya ulama yang menolak. Seperti yang dialami Tere Liye, bahwa di antara komen netizen yang kontra dengannya mengatakan seperti yang dikatakan oleh sebagian pemikir muslim, yang tidak mengakui hak cipta itu. Wallahu a’lam.