Penunjukan lafaz (dalalah) kepada makna yang dimaksud tidak semuanya qath’i. Al-Quran pun yang jelas dinyatakan datang langsung dari Allah juga tidak lepas dari hal itu. Dan dikali inilah peluang bagi para mujtahid untuk melakukan istidlal (pengalian) ayat tertentu untuk mengetahui makna atau hukumnya. Seperti firman Allah Swt. pada surah an-Nisa’ ayat 43:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Taubah Ayat 122 : Perintah Memperdalam Ilmu Agama
Secara umum ayat di atas menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan sebelum melakukan salat. Dalam literatur fikih akrab dengan istilah syurut as-salah. Bagi yang junub hendaklah mandi terlebih dahulu, yang sakit atau sedang melakukan perjalanan jika tidak bisa berwudu dengan air mereka boleh tidak mengganti dengan tayammum.
Tepat pada kata lamastum an-nisa, yang berkaitan dengan batalnya wudu ini. Ulama tafsir dan mazhab dengan amat serius membahas, mereka melakukan istidlal dengan berbagai motode guna untuk mengetahui makna yang diinginkan oleh kata lamastum pada ayat.
Dalam Tafsir al-Jalalayn halaman 142 bahwa makna kata lamastum pada ayat tersebut adalah al-lamsu/jassu bil al-yad (menyentuh dengan tangan) yakni makna hakikatnya. Sehingga lelaki yang menyentuh perempuan menggunkan tangannya maka dia harus melakukan wudu terlebih dahulu setiap kali ingin melakukan salat.
Tercantum pula dalam kitab tafsir Syekh ‘Ali as-Shabuni, Shafwa at-Tafasir pada halaman 234 bahwa yang dimaksud lamastum pada ayat adalah jimak. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas yang juga berpendapat demikian.
Baca juga: Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?
Makna Syar’i, Lughawi dan ‘Urfi
Diketahui bahwa kata lamastum adalah kategori lafaz yang mustarak (berserikat) antara makna “menyentuh dengan tangan” dan “jimak.” Pada bangsa Arab ketika ada lafaz yang memiki banyak makna dalam segala bentuk pasti mereka bermaksud pada salah satu maknanya saja. Kemudian untuk dapat diarahkan pada salah satu maknanya baik hakikat atau majas harus ada qarinah (hal pendukung), baik itu qarinah Syar’i, Lughawi atau ‘Urfi.
Makna dari kata lamastum tidak bisa diterapkan menggunkan makna Syar’i. Apalagi tidak ada indikasi dari Syari’ bahwa makna yang dimaksud adalah salah satu diantara dua makna itu. Sehingga menjadi peluang tersendiri bagi mujtahid untuk berijtihad menggunakan makna Lughawi atau ‘Urfi.
Dalam kitab Ghaya al-Ushul halaman 54 Imam Syafi’i dan sebagian pengikutnya lebih mengarahakan makna lamastum yang dapat membatalkan wudu ini pada makna menyentuh dengan tangan. Lebih-lebih kalau nanti sampai melakukan jimak yang sudah pasti saling menyentuh kedunya. Makna ini adalah makna hakikat Lughawi. Mulanya semua lafaz harus diarahkan pada makna hakikatnya selama tidak ada hal pendukung untuk diarahkan pada makna majas.
Sepintas dalam mazhab ini juga masih tidak seirama tentang status wudu dari orang yang disentuh. Sebagian mereka menyamakan bahwa keduanya sama-sama batal, sebagiannya lagi hanya mengkhusukan pada orang yang menyentuh saja.
Baca juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits
Imam Abu Hanifah adalah satu-satunya mazhab (diantara tiga mazhab lainnya) yang mangatakan bahwa makna yang diamksud dari lamastum adalah jimak. Dengan berlandas hadis sebagaimana dalam kitab Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyah jilid XVI halaman 234 berikut:
قَال الْحَنَفِيَّةُ : لاَ يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِمَسِّ الْمَرْأَةِ وَلَوْ بِغَيْرِ حَائِلٍ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. وَقَالُوا: إِنَّ الْمُرَادَ مِنَ اللَّمْسِ فِي الآْيَةِ الْجِمَاعُ ، كَمَا فَسَّرَهَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
Hanafiyah berkata:”tidak sampai membatalkan wudu hanya dengan menyentuh perempuan sekalipun tanpa penghalang. Kerena berdasar pada hadis yang diriwayatkan Aisyah Ra, bahwa sungguh suatu ketika Nabi mencium sebagian istri-istrinya lalu beliau keluar untuk salat tanpa mengambil wudu terlebih dahulu. Mereka (Hanafiyah) lalu berkata: yang dimaksud dari makna lamsun adalah jimak sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas Ra.”
Mazhab ini lebih pada kajian Urfi. Karena Al-Quran turun pada bangsa Arab maka tentu tradisi merekalah yang dapat menentukan. Dalam tradsi bangsa Arab ketika ada kata lamsun pasti yang dimaksud adalah jimak. Sekalipun makna jimak ini tergolong makna majas menurut pendapat sebelmnya, menurut mazhab ini tetap tidak kalah kuat dari makna hakikatnya. Sebab makna majas ini sudah masyhur dan spontanitas dipahami dalam urf (kebiasaan setempat) dibanding makna hakikatnya.
Demikian pula kata al-Ghaith pada ayat di atas yang memiliki dua makna, yaitu “hadas” dan “tempat untuk membuang air”. Namun yang digunakan untuk memahami makna ayat adalah makna majasnya, disamping sudah masyhur juga lebih masuk akal yaitu “setiap kali kamu hadas maka hendaklah melakukan wudu.” Bukan makna hakikatnya yang mengatakan, “setiap kali kamu mendatangi tempat membuang air maka hendaklah kamu wudu.”