Tafsir Surah Fathir Ayat 44-45 menjelaskan bahwa seharusnya orang kafir mampu belajar melalui sejarah dan peninggalan kuno, dimana kaum tedahulu pernah mendapat azab akibat menolak kebenaran. Dan seharusnya, mereka tidak mengulangi perbuatan mereka, supaya Allah tidak menurunkan murka-Nya yang mampu membuat mereka binasa.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 42-43
Tafsir Surah Fathir Ayat 44-45 juga meyerukan kepada manusia agar tidak menunda taubatnya, sebab tidak akan diketahui kapan Allah akan menurunkan azab. Jikapun, Allah belum menurunkan azab, itu dikarenakan sifat Rahmat-Nya yang luas, dan menunda azab pada waktu yang ia kehendaki, maka selagi ada kesempatan, laksanakan taubat dan taati perintah-Nya.
Ayat 44
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya memperingatkan kaum pendusta (musyrik), apakah mereka tidak pernah melakukan perjalanan untuk menyaksikan betapa dahsyatnya azab yang diturunkan pada bangsa-bangsa dahulu akibat keingkaran mereka pada kebenaran ajaran Allah.
Semula ayat ini ditujukan kepada kaum musyrik Mekah, yang umumnya bermata pencaharian berdagang. Pada musim-musim tertentu, kafilah Quraisy berangkat menuju Syam (Syiria) dan Iraq.
Pada daerah-daerah gurun pasir yang mereka lewati, banyak terdapat bekas-bekas negeri yang pernah dihuni manusia di zaman kuno, akibat kedurhakaan penduduknya kepada rasul utusan Allah.
Mereka disiksa, dan bumi tempat mereka berpijak dijungkirbalikkan sehingga hancur sama sekali. Allah memperingatkan kaum pedagang Quraisy, andaikata mereka juga mengikuti jejak bangsa yang mendustakan-Nya, maka kepada mereka pasti akan berlaku sunatullah. Mereka akan merasakan siksaan dan azab yang tidak sanggup mereka tolak.
Untuk meyakinkan mereka, ayat 44 ini lebih lanjut memberi penjelasan bahwa umat-umat yang telah merasakan balasan akibat sikap dan tindak-tanduk mereka yang menentang ajaran rasul itu adalah umat yang perkasa, berani, punya harta, dan anak keturunan yang banyak sekali. Namun demikian, keperkasaan, kekayaan, dan keturunan mereka yang besar itu ternyata tidak sanggup membela dan melindunginya dari azab Allah.
Maksud berjalan di muka bumi, menurut penafsiran Sayid Qutub dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an, adalah berjalan dengan mata hati terbuka dan pikiran yang segar sambil merenungkan peristiwa-peristiwa yang pernah menimpa umat dahulu, betapa dan bagaimana keadaan mereka sewaktu ditimpa azab Allah.
Perjalanan demikian, menurutnya, menambah perasaan takwa kepada Allah, membangunkan hati dari kelalaian dan kelengahan akan sunatullah yang pasti berlaku itu.
Mereka diingatkan bahwa Allah Yang Mahakuasa itu tidak pernah kewalahan untuk melaksanakan keputusan-Nya, apabila Dia telah menginginkan. Sebab dengan tegas dikatakan tiada satu daya dan kekuatan yang sanggup melemahkan Allah, baik kekuatan itu terdapat di langit maupun di bumi. Bagaimana Allah itu lemah?
Bukankah ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi kerajaan langit dan bumi? Bagaimana mungkin makhluk ciptaan-Nya, Sekalipun seluruh manusia bersatu menandingi kekuasaan Allah, tidak akan sanggup menjatuhkan atau menandingi kekuasaan-Nya, sedang semuanya dijadikan dengan fisik yang lemah? Allah berfirman:
يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (an-Nisa’/4: 28)
Perhatikanlah akhir ayat ini dengan penegasan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa terhadap segala makhluk ciptaan-Nya.
Dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa terhadap orang-orang yang harus mendapatkan siksaan dengan segera. Sebaliknya, orang yang tobat, dan ingin kembali kepada Tuhan dari kesesatannya, Dia memberi petunjuk kepadanya sehingga beriman sepenuhnya.
Ketika orang-orang musyrik meminta kepada Nabi Muhammad agar azab yang dijanjikan itu segera diturunkan, maka diterangkan kepada mereka bahwa Allah menentukan peraturan-Nya bagi umat ini, yakni siksaan tidak segera diturunkan kepada mereka yang melakukan kedurhakaan atau keingkaran terhadap ajaran rasul. Sebab diharapkan sebagian di antara mereka mungkin masih ada yang insaf dan kembali kepada ajaran Tuhannya.
Baca Juga : Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah
Ayat 45
Ayat ini menjelaskan manifestasi dari sifat rahman dan rahim dari Allah. Jika Allah langsung menyiksa orang-orang musyrik itu seperti apa yang mereka kehendaki, pasti mereka dan binatang-binatang mati kehausan akibat kurang minum.
Tetapi, Allah tidak bertindak begitu sekalipun Dia berkuasa, sebaliknya Dia tetapkan suatu ketentuan yakni siksaan itu ditunda sampai pada waktu yang hanya diketahui-Nya sendiri. Akan tetapi, kalau azab itu telah menimpa, tidak akan dikurangi dan mereka tidak akan bisa melepaskan diri.
Ketentuan Allah yang demikian itu hanya berlaku bagi umat Nabi Muhammad saja, sedang pada umat sebelumnya bila mereka bersalah, langsung dihukum tanpa penundaan.
Dalam Tafsir al-Wadih dijelaskan bahwa ketentuan itu adalah kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Muhammad, sebagai suatu hukum bagi beliau dan umatnya. Dengan harapan agar orang-orang yang masih belum mau beriman segera tobat, kembali kepada petunjuk dan ajaran-Nya.
Tetapi, bila janji Allah telah datang, tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Di situlah nanti masing-masing orang akan diperhitungkan perbuatannya. Yang baik dibalas dengan ganjaran kebaikan, yang jahat dibalas dengan azab.
Dengan kasih dan sayang Allah, Al-Qur’an menyerukan supaya manusia bertobat dan kembali kepada-Nya. Biarpun azab itu telah ditunda kedatangannya, namun kapan waktunya yang pasti, tiada seorang pun yang mengetahuinya.
Orang yang merasa dirinya bersalah tidak perlu berputus asa, sebab betapapun besarnya kesalahan, jika diakhiri dengan penyesalan dan tobat yang sesungguhnya, pasti akan diampuni Allah. Dialah Yang Maha Pengampun dan Penyayang. Dialah Yang Maha Mengetahui dan memperhatikan sekalian hamba-Nya.
(Tafsir Kemenag)