Tafsir Surah Ghafir Ayat 34-37 menerangkan bahwa sejak dulu (sebelum Musa) keingkaran sudah pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya, mereka menentang seruan para Rasul, serta menolak ketauhidan Allah Swt. Maka, tak heran pada saat Musa diutus, hal demikian kembali terulang, khususnya oleh Fir’aun dan kaumnya Bani Israil.
Tafsir Surah Ghafir Ayat 34-37 juga mengisahkan bagaimana perjuangan pemuda yang beriman dalam mendakwahkan ketauhidan Allah kepada Fir’aun, namun hal itu gagal, karna keangkuhan dan kesombongan Fir’aun yang sudah terlampau besar, dan hatinya yang berselimut gelap dari kebenaran.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 30-33
Ayat 34
Orang itu selanjutnya menyatakan bahwa dulu sebelum Nabi Musa, Allah telah mengutus Nabi Yusuf kepada rakyat Mesir. Nabi Yusuf telah mengajak mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran tentang iman kepada Allah dan berbuat baik, serta mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepadanya.
Akan tetapi, mereka tetap tidak mau percaya kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar negara. Hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih terpengaruh oleh kebesaran jabatan duniawi daripada jabatan seorang rasul, dan karena itulah mereka lebih menyukai Fir’aun yang kejam daripada Nabi Musa yang membawa kebenaran.
Setelah Nabi Yusuf meninggal, mereka menyatakan bahwa setelah dia tidak akan ada lagi seorang rasul pun. Itu mereka katakan karena tidak ingin ada lagi seorang rasul yang mengajak mereka kepada kebenaran.
Ternyata rasul itu ada yaitu Nabi Musa dan karena itulah mereka membangkang kepadanya dan menjadi orang-orang yang sesat. Dengan demikian, kesesatan mereka itu adalah karena ketamakan mereka terhadap kemegahan duniawi, sebagaimana dilakukan Fir’aun.
Kesesatan mereka itu juga disebabkan oleh sifat mereka yang selalu meragukan kebenaran, padahal yang disampaikan kepada mereka adalah wahyu Allah yang pasti benar.
Baca Juga : Tafsir La Raiba Fih: Tiga Bantahan Terhadap Orang yang Meragukan Al-Qur’an
Ayat 35
Kemudian Allah menjelaskan bagaimana tindakan orang-orang yang bersifat tamak dan selalu meragukan kebenaran wahyu itu. Mereka itu selalu menolak kebenaran ayat-ayat Allah yang disampaikan kepada mereka.
Mereka juga selalu mempermasalahkan bukti-bukti yang disampaikan mengenai kebenaran wahyu itu. Akan tetapi, penolakan mereka itu tidak memiliki kekuatan apa pun. Kepercayaan mereka hanya berdasar tradisi nenek moyang mereka, dan itu hanyalah kepatuhan membabi buta tanpa dipikirkan.
Kepatuhan seperti ini tidak dibenarkan karena Allah memberi manusia pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran.
Oleh karena itu, orang yang menolak kebenaran wahyu dan lebih percaya pada tradisi nenek moyang itu tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian, mereka sangat dibenci Allah dan orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Allah menerangkan hukum-hukum-Nya bagi orang yang menutup hatinya untuk menerima kebenaran wahyu, yaitu bahwa Ia akan menutup hati mereka.
Hati yang tertutup terjadi karena mereka selalu menolak kebenaran wahyu dan mempermasalahkannya. Penolakan yang terus-menerus akan membawa kepada kesombongan.
Selalu mempermasalahkan kebenaran akan membawa kepada kesewenang-wenangan. Karena sombong dan sewenang-wenang itu, maka mereka akan selalu menolak dan menentang kebenaran. Akhirnya hati mereka tertutup dengan sendirinya. Demikian hukum yang ditentukan Allah bagi tertutupnya hati manusia.
Ayat 36-37
Fir’aun tetap tidak menerima nasihat salah seorang keluarganya itu. Ia tetap membangkang dan tidak mau menerima dakwah Nabi Musa. Oleh karena itu, ia ingin mengejek Nabi Musa. Ia memerintahkan Haman, perdana menterinya, untuk membangun sebuah istana besar dan megah yang menjulang ke angkasa.
Dalam ayat lain diinformasikan bahwa istana itu dibangun dari batu bata yang dibuat dari tanah liat yang dibakar:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرِيْۚ فَاَوْقِدْ لِيْ يٰهَامٰنُ عَلَى الطِّيْنِ فَاجْعَلْ لِّيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْٓ اَطَّلِعُ اِلٰٓى اِلٰهِ مُوْسٰىۙ وَاِنِّيْ لَاَظُنُّهٗ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ
Dan Fir’aun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarkanlah tanah liat untukku wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan aku yakin bahwa dia termasuk pendusta.” (al-Qa¡a¡/28: 38).
Maksud pembuatan bangunan besar, megah, dan menjulang ke angkasa itu adalah sebagai tempat atau tangga untuk mengintai atau menyaksikan adanya Tuhan Nabi Musa. Ia menyatakan bahwa Nabi Musa sebenarnya seorang pembohong karena ia yakin tidak ada Tuhan di langit.
Maksud ucapannya itu adalah untuk mengelabui rakyatnya, bahwa memang tidak ada Tuhan di langit sebagaimana yang dikatakan Nabi Musa tersebut. Dengan demikian, ia menginginkan agar rakyatnya tidak percaya kepada Nabi Musa dan tetap mengikutinya.
Fir’aun bertindak demikian karena ia dikuasai oleh ambisinya untuk mengalahkan Nabi Musa. Ia juga dikuasai oleh nafsu agar rakyatnya tidak menemukan kebenaran yang disampaikan Nabi Musa. Ia ingin agar rakyatnya tetap mematuhinya, dan untuk itu ia berbuat segala cara, dari memutarbalikkan kebenaran sampai mengejek.
Ambisi dan nafsu itulah yang banyak menjerumuskan manusia, sebagaimana dilukiskan syair Arab berikut:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلٰى
حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Nafsu itu bagaikan bayi, jika kau biarkan, ia akan dewasa dengan terus-menerus ingin menyusu,
tapi bila kau sapih, ia akan tersapih sendirinya.
Kemudian ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa tipu muslihat Fir’aun untuk mengalahkan Nabi Musa dan mematikan agama tauhid yang ia bawa gagal dan membawa kerugian besar. Gagal karena dakwah Nabi Musa tetap tidak dapat dibendungnya. Rugi karena biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit, sedangkan hasilnya tidak ada.
Hal itu karena Allah selalu membinasakan kebatilan yang dikerjakan manusia dan menghancurkan akibat yang ditinggalkan perbuatan batil itu, sebagaimana difirmankan-Nya:
اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيْهِ وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raf/7: 139)
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 38-42