Tafsir Surah Hud Ayat 116-119 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai celaan Allah Swt kepada orang-orang yang memiliki potensi untuk berbuat baik namun tidak melakukannya. Kedua berbicara mengenai kemungkinan terjadinya penyeragaman umat.
Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 113-115
Ayat 116
Pada ayat ini Allah swt menyatakan celaan-Nya kepada orang-orang pintar, cerdik-pandai yang tidak melarang orang-orang sesamanya berbuat kerusakan di muka bumi, padahal akal sehat dan pikiran cerdas yang mereka miliki itu cukup untuk dapat mengerti dan memahami kebaikan yang diserukan oleh para rasul.
\Hanya sedikit saja di antara mereka yang mempergunakan akal sehat, pikiran, dan kecerdasannya, untuk melarang berbuat yang mungkar dan menyuruh berbuat yang baik.
Mereka yang sedikit itulah yang diselamatkan oleh Allah. Orang-orang dahulu yang cerdik pandai yang zalim lebih mementingkan kemewahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan yang menyebabkan mereka itu menjadi sombong, takabur, dan fasik.
Ajakan rasul kepada kebaikan ditentangnya, bahkan mereka berbuat sebaliknya. Kejahatan merebak, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarang orang lain berbuat yang mungkar.
Oleh karena dosa yang mereka perbuat itu sudah terlalu berat, maka Allah membinasakan mereka. Firman Allah:
وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا ١٦
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra’/17: 16)
Ayat 117
Pada ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri, jika penduduk negeri itu, masih berbuat kebaikan, tidak berbuat zalim seperti mengurangi timbangan sebagaimana halnya kaum Nabi Syu’aib a.s., tidak melakukan perbuatan liwat (homoseks, sodomi) seperti halnya kaum Nabi Lut a.s., tidak patuh kepada pimpinannya yang kejam dan bengis, seperti halnya Fir’aun, dan kejahatan lain, karena yang demikian, adalah suatu kezaliman. Allah tidak akan menyuruh melakukan yang demikian itu. Firman Allah:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ
Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fu¡¡ilat/41: 46); Dan firman-Nya:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْـًٔا
Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun. (Yµnus/10: 44);
Ayat 118
Ayat ini menjelaskan bahwa kalau Allah menghendaki, maka manusia menjadi umat yang satu dalam beragama sesuai dengan fitrah asal kejadiannya.
Sekalipun pada mulanya manusia itu merupakan umat yang satu tidak terdapat perselisihan di antara mereka, tetapi setelah mereka berkembang biak, timbullah keperluan dan keinginan yang berbeda-beda maka timbul pulalah perbedaan dan perselisihan yang tak habis-habisnya, sebagaimana firman Allah:
وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلَّآ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْا
Dan manusia itu dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. (Yµnus/10: 19)
Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia
Ayat 119
Perselisihan mereka tidak saja tentang agama yang dianut oleh masing-masing kaum seperti agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau syirik, tetapi juga penganut dari satu agama, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat dari Allah dan diberi taufik serta hidayah.
Mereka itu bersatu dan selalu mengusahakan persatuan agar manusia taat kepada peraturan dan ketentuan Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Demikian kehendak Allah mengenai keragaman manusia.
Ada yang mendapat rahmat, taufik, dan hidayah dari Allah, mereka bersatu dan menggalang persatuan, dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia yang akan menjadi penghuni surga.
Ada pula yang tak putus-putusnya berselisih dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka yang menjadi penghuni neraka. Malik bin Anas pernah berkata, “Manusia itu diciptakan sebagian berada di surga dan sebagian yang lain berada di neraka sa’ir.”
Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat ini dengan satu ketegasan bahwa telah menjadi ketentuan-Nya akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia yang selalu berbuat jahat dan dosa di muka bumi ini.
Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 120-123
(Tafsir Kemenag)