Sudahkah kita tahu bahwa sejarah perang dalam Islam itu berawal dari ‘diizinkan’ bukan ‘diperintahkan’. Redaksi yang dipilih oleh Allah ini tentu membawa konsekuensi pada tujuan awal perang, yaitu untuk membela diri. Surat Al-Hajj ayat 39 diyakini oleh para mufasir sebagai ayat pertama yang turun berkenaan dengan perizinan perang.
Para ulama salaf mulai dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Mujahid, al-Dhahhak, Urwah ibn Zubair, Qatadah, Muqatil, az-Zuhri, dan Zaid ibn Aslam sepakat bahwa surat Al-Hajj ayat 39 merupakan ayat pertama yang mengizinkan Nabi untuk berperang melawan kaum kafir Makkah.
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ – ٣٩
“Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sung-guh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu”
Dalam Tafsir al-Sya’rawi, kalimat “udzina lilladzina yuqatiluna” dalam ayat tersebut bermakna sebagai bentuk pemberian izin kepada kaum mukmin untuk berperang dan membela diri atas penindasan kaum kafir Makkah. Kemudian, kalimat “bi annahum dzulimu” bermakna sebagai illah atau alasan dari ditetapkannya pemberian izin perang tersebut.
Intinya izin untuk melakukan perang [perlawanan) itu disebabkan kaum mukmin telah dizalimi terlebih dahulu oleh kaum kafir Makkah. Terakhir, kalimat “wa inna Allah ‘ala nashrihim laqadir” menunjukkan makna bahwa pertolongan dan kemenangan dari Allah pasti akan datang bagi kaum mukmin.
Surat Al-Hajj ayat 39 juga dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Munir karya Syaikh Wahbab az-Zuhaili. Menurutnya, ayat ini turun berkenaan ketika para kaum kafir Makkah mengusir Nabi Muhammad. Sebagaimana dalam riwayat yang berasal dari Abdullah ibn ‘Abbas berikut:
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَخْرَجُوْا نَبِيَّهُمْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ! لَيَهْلِكُنَّ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى “أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمِ لَقَدِيْرٌ
“Nabi Muhammad Saw pergi meninggalkan Makkah, lalu Abu Bakar berkata: mereka telah mengusir Nabi mereka, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Sungguh mereka akan binasa. Kemudian turunlah ayat tersebut”
Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur menjelaskan dalam karyanya Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, bahwa pada saat umat Islam berada di Makkah, mereka mendapatkan perlawanan dan gangguan yang sangat dahsyat dari kaum kafir Makkah. Bahkan, pada suatu ketika terdapat beberapa orang mukmin yang datang kepada Nabi dengan keadaan luka dan babak belur. Mereka mengadu agar Nabi memberikan perlawanan terhadap berbagai bentuk penyiksaan kaum kafir Makkah tersebut.
Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [2]: Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi
Namun, Rasulullah melarang mereka untuk membalas penindasan kaum kafir Makkah tersebut, serta menyarankan kepada mereka agar tetap bersabar dan tabah. Hal ini dikarenakan belum adanya wahyu yang turun kepada Nabi tentang perintah untuk berperang dan melakukan perlawanan terhadap penindasan kaum kafir tersebut. Hingga akhirnya pada saat Nabi berhijrah ayat ini turun.
Riwayat tafsiriyah dari surat Al-Hajj ayat 39 ini menunjukkan bahwa diizinkannya perang untuk melawan kaum kafir Makkah sama sekali tidak dilandasi atas dasar balas dendam atau pemenuhan hawa nafsu.
Perang tersebut murni dilakukan atas dasar menjalankan perintah Allah, sekaligus sebagai bentuk pembelaan diri akibat kedzaliman yang telah kaum kafir Makkah lakukan terlebih dahulu. Oleh karena itu, jihad dalam Islam tidak pernah bertujuan untuk offensive (menyerang), tetapi memiliki tujuan utama sebagai bentuk defensive (bertahan diri).
Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran
Perang itu bagian kecil dari jihad
Selain itu, menjadi semakin membingungkan ketika perang dan jihad disamakan arti dan pemahamannya, padahal keduanya tidak sepenuhnya sama. Terlebih akhir-akhir ini ada video yang viral tentang ajakan jihad, “Hayya ‘ala al-Jihad” yang jika dilihat dari bahasa tubuh para penyerunya seperti mengajak untuk melawan.
Pengertihan jihad itu sendiri memiliki dimensi makna yang sangat luas, dimana perang menjadi salah satu bagian kecil dari makna kata “jihad” tersebut. Sebagaimana hadis Nabi yang terdokumentasi dalam Az-Zuhd Al-Akbar karya Al-Baihaqi.
Di situ diceritakan bahwa pada suatu kesempatan, ada sekelompok sahabat pulang dari sebuah peperangan menghadap Nabi Muhammad saw, dan kemudian Nabi bersabda ‘kalian telah menyelesaikan jihad kecil menuju jihad yang lebh besar’. ‘apa itu jihad yang lebih besar?’ tanya sahabat ‘jihad melawan hawa nafsu’ jawab Nabi
Syaikh Usamah Sayyid al-Azhary dalam karyanya yang sudah diterjemahkan yaitu “Islam Radikal: Telaah Kritis Radikalisme dari Ikhawanul Muslimin hingga ISIS”, menjelaskan bahwa perintah jihad sangat berkaitan erat dengan maqashid al-syari’ah, yaitu bertujuan untuk berdakwah agar tersampainya hidayah dan menghidupkan jiwa-jiwa manusia, bukan malah menjadikan pembunuhan sebagai tujuan utama dari jihad.
Kalaupun keadaan memaksa untuk melakukan jihad dalam bentuk perang, syari’at Islam tetap mengharuskan jihad tersebut dibarengi dengan keluhuran budi yang bijaksana. Selain itu, poin yang terpenting adalah jihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Jihad harus dilakukan secara proporsional dan menghitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Apabila jihad yang dilakukan tersebut keluar dari batasan dan porsinya, maka ia tidak lagi disebut jihad, tetapi berubah menjadi aksi kejahatan, dan kedzaliman. Wallahu A’lam