BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 berbicara tentang pembunuhan, menyambung pembahasan sebelumnya tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepada Habil serta pelarangan untuk membunuh sesama manusia karena tindakan itu setara dengan membunuh seluruh manusia.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32

Sedangkan dalam Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 ini, di awal dijelaskan tentang pembunuhan (qisas) yang diperbolehkan oleh syariat dengan ketentuan bahwa ia (pelaku pembunuhan) telah melakukan hal yang merugikan orang lain. Misalnya menggangu ketentraman dengan merampok atau membegal, ingkar terhadap hukum dengan menghalalkan pembunuhan dan lain sebagainya.

Ayat 33

Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat, merusak kepentingan umum seperti membinasakan ternak, merusak pertanian dan lain-lain, mereka dapat dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan.

Menurut jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu keamanan, perampokan dan semacamnya, yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai mati dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta, hukuman potong tangan bagi yang melakukan perampasan harta.

Sedangkan hukuman terhadap pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti adalah pembuangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukuman pembuangan itu berarti hukuman penjara atau boleh diganti dengan penjara.

Hukuman pada ayat ini ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerapkali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, perusakan dan lain-lain.

Oleh sebab itu kejahatan-kejahatan ini oleh siapa pun tidak boleh diberi ampunan. Orang-orang yang mendapat hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat ini selain dipandang hina di dunia, mereka di akhirat diancam dengan siksa yang amat besar.

Ayat 34

Para pengganggu keamanan dan hukumannya telah dijelaskan pada ayat 33 di atas, jika mereka bertobat sebelum ditangkap oleh pihak penguasa, maka bagi mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang tertera pada ayat 33, yang menurut istilah syariat disebut “hududullah”, dan juga tidak dilakukan lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti hukuman had, hukum sariqah dan hukum jinayah (pidana). Keringanan yang diberikan kepada orang yang bertobat itu sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!


Ayat 35

Allah memerintahkan orang-orang mukmin supaya selalu berhati-hati, mawas diri jangan sampai terlibat di dalam suatu pelanggaran, melakukan larangan-larangan agama yang telah diperintahkan Allah untuk menjauhinya.

Menurut sebagian mufasir, menjauhi larangan Allah lebih berat dibandingkan dengan mematuhi perintah-Nya. Tidak heran kalau di dalam Alquran, kata ittaqu yang maksudnya supaya kita menjaga diri jangan sampai melakukan larangan agama, disebut berulang sampai 69 kali, sedang kata ati’u yang berarti supaya kita patuh kepada perintah agama hanya disebutkan 19 kali.

Di samping menjaga diri memperketat terhadap hal-hal yang mungkin menyebabkan kita berbuat pelanggaran atau ketentuan-ketentuan agama, kita harus pula selalu mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan mengamalkan segala sesuatu yang diridai.

Ibnu Abbas, Mujahid, Abu Wali, al-Hasan, Zaid, Ata, as-Sauri dan lain-lain, mengartikan al-wasilah di dalam ayat ini dengan mendekatkan diri. Mengenai pengertian ini, Ibnu Kasir dalam tafsirnya (2/52), berkata:

وَهٰذَا الَّذِيْ قَالَهُ هٰؤُلاَءِ اْلأَئِمَّةُ لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُفَسِّرِيْنَ

Pengertian yang telah diberikan oleh para imam ini, tidak terdapat perbedaan antara para mufasir.

Kata wasilah ada kalanya berarti tempat tertinggi di surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَسَلُوا الْوَسِيْلَةَ، قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَمَا الْوَسِيْلَةُ؟ قَالَ: اَعْلَى دَرَجَةٍ فِى الْجَنَّةِ لاَ يَنَالُهَا اِلاَّ وَاحِدٌ وَاَرْجُوْ اَنْ اَكُوْنَ اَنَا هُوَ

(رواه أحمدعن أبي هريرة)

“Apabila engkau bersalawat kepadaku, maka mintakanlah untukku “wasilah”. Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasullullah, apakah wasilah itu?.” Rasullulah menjawab, “Wasilah itu ialah derajat yang paling tinggi di Surga tidak ada yang akan mencapainya kecuali seorang saja dan saya berharap, sayalah orang itu.” (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah).

Menjauhi dan meninggalkan larangan Allah serta melaksanakan perintah-Nya adalah hal-hal yang tidak mudah, karena nafsu yang ada pada tiap manusia itu selalu mengajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang baik, yaitu melanggar dan meninggalkan perintah Allah sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf /12:53).

Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mengekang hawa nafsu, mengatasi segala kesulitan dan mengelakkan semua rintangan yang akan menyebabkan kita bergeser dari jalan Allah agar kita berada di atas garis yang telah ditetapkan. Dengan demikian kita akan memperoleh kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah.

Ayat 36

Orang yang tidak mau bertakwa kepada Allah dan tidak mau membersihkan dirinya dari dosa-dosa yang diperbuatnya, serta tetap di dalam kekafiran mengingkari ketuhanan Allah lalu menyembah selain Allah dan sampai mati mereka tidak bertobat, maka di hari Kiamat mereka nanti akan menyesal.

Sekiranya semua yang ada di bumi ini adalah miliknya bahkan ditambah lagi sebanyak itu pula, dan ingin melepaskan diri dari azab yang menimpanya, maka semuanya itu tidak akan diterima-Nya.

Di dalam satu hadis Nabi Muhammad bersabda:

يُجَاءُ بِالْكَافِرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ: اَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ مِلْءُ اْلأَرْضِ ذَهَبًا اَكُنْتَ تَفْتَدِيْ بِهِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ

(رواه البخاري عن انس)

Didatangkan seorang kafir di hari kiamat dan dikatakan kepadanya “Sekiranya engkau memiliki emas sepenuh bumi ini, apakah engkau ingin menjadikannya tebusan (atas siksa yang akan kamu terima). Ia menjawab Ya saya ingin.” (Riwayat al-Bukhari dari Anas r.a.).

Tetapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Bagaimanapun juga keinginan mereka, tidak akan diterima dan tetap akan menjalani hukuman berupa siksaan yang amat pedih, karena di akhirat tidak mungkin dosa itu dapat ditebus dengan harta benda. Tetapi jika bertobat di masa hidupnya dan membersihkan diri dengan amal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya.

Ayat 37

Setelah mereka dimasukkan ke dalam neraka dan tidak tertahankan siksa yang dideritanya maka mereka ingin keluar, tetapi tidak ada jalan bagi mereka. Keadaan mereka sama halnya seperti yang disebutkan di dalam firman Allah:

كُلَّمَآ اَرَادُوْٓا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَآ اُعِيْدُوْا فِيْهَا

“Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (as-Sajdah/32:20).

Mereka akan merasakan sepanjang masa siksa yang kekal abadi yang tidak berkesudahan.

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 diakhiri dengan kesimpulan bahwa apabila ia (pelaku pembunuhan) menyesali perbuatannya sebelum tertangkap oleh pihak berwenang dan bertaubat dengan sepenuh hati maka Allah Maha Pengampun bagi hambanya.

Dan sudah selayaknya seorang yang bertakwa tidak melakukan hal yang merugikan orang lain. Karena sejatinya ia mencelakakan dirinya dengan mejatuhkan diri sendiri kedalam neraka yang penyesalannya tiada akhir.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 38-40

(Tafsir Kemenag)

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...