Ayat 146
Orang-orang munafik masih diberi kesempatan untuk bertobat selama ajal mereka belum tiba, asal mereka betul-betul menyesali perbuatan mereka atas dasar kesadaran yang keluar dari hati nurani mereka, dan memperbaiki perbuatan mereka dengan melakukan amal saleh dan berpegang teguh pada tuntunan Ilahi.
Dengan kata lain, ancaman Tuhan yang sangat keras itu tidak akan menimpa mereka, apabila mereka bertobat dan menyesali perbuatannya, kemudian melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
- Mereka betul-betul berusaha untuk melakukan amal saleh yang dapat menghilangkan noda kemunafikannya dengan selalu bersifat jujur, baik dalam berkata maupun dalam berbuat, dapat dipercaya, memenuhi janji, ikhlas terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan tetap melakukan salat dengan khusyuk serta tekun, baik di hadapan orang maupun pada waktu sendiri-sendiri.
- Berpegang teguh kepada ajaran Allah, yaitu meniatkan tobat dan amal saleh kepada keridaan Allah serta berpegang teguh pada Alquran, berakhlak mulia serta berperangai baik sesuai dengan ajaran Alquran, menjalani semua perintah dan menjauhi segala larangan Allah.
- Mengikhlaskan diri kepada Allah yaitu memohon pertolongan hanya kepada-Nya, baik pada waktu senang atau dalam keadaan susah.
Apabila mereka melakukan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Allah berjanji akan memasukkan mereka ke dalam barisan orang-orang mukmin di hari kiamat, karena mereka telah beriman, dan beramal seperti orang-orang mukmin, bahkan mereka itu akan diberi pahala seperti pahala yang diterima oleh orang-orang mukmin.
Ayat 147
Allah tidak akan menyiksa seseorang secara semena-mena. Allah menyiksa orang-orang munafik, hanyalah karena perbuatan mereka sendiri. Kepada mereka telah diberi akal, panca indera dan perasaan tetapi tidak mereka pergunakan sebagaimana mestinya sehingga mereka tidak mau menerima petunjuk-petunjuk Allah, dan jiwa mereka menjadi kotor serta penyakit kemunafikan bersemi di dalam diri mereka.
Apabila Allah memberikan pahala kepada mereka, sesudah mereka bertobat adalah karena kesadaran dan keikhlasan yang timbul dari hati mereka sendiri, dan telah melakukan amal saleh yang didasarkan kepada iman yang benar. Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Pembalas jasa kepada hamba-Nya yang mau bersyukur dan Maha Mengetahui setiap amal perbuatan yang dilakukannya, dengan memberikan pahala yang tidak terhingga. Allah berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrahim/14:7).
Ayat 148
Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun. Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin. Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak memberinya pahala.
Dalam hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman.
Jika seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, orang yang teraniaya melontarkan ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya.
Hal ini dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak dan keadilan akan lenyap. Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk akibatnya, sesuai dengan kaidah:
اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Melakukan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan.”
Orang yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya. Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya, kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan yang buruk.
Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.
Ayat 149
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa menyatakan suatu perbuatan baik dengan membeberkannya memang baik, seandainya orang yang melakukan perbuatan itu dapat menjaga diri dari sifat ria serta hatinya penuh dengan keikhlasan dan keimanan, sehingga menjadi teladan bagi orang lain.
Sedangkan mengerjakan kebaikan secara tersembunyi akan lebih memelihara kehormatan fakir miskin. Pemberian maaf yang dilakukan seseorang kepada orang-orang yang telah berbuat salah terhadapnya termasuk perbuatan yang akan mendapat balasan dan pahala dari Allah, sebab Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.
Ayat 150-151
Di antara manusia ada yang beriman kepada Allah dan sebagian rasul-Nya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi berkata, “Kami percaya hanya kepada Musa, tidak percaya kepada Muhammad.” Dan orang Nasrani berkata, “Kami percaya kepada Musa dan Isa, tetapi tidak percaya kepada Muhammad.” Kepercayaan seperti itu berarti mencampur-adukkan antara iman dan kafir, padahal sesungguhnya iman dan kafir itu adalah dua hal yang sangat bertentangan.
Jika orang Yahudi itu sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Musa, tentulah beriman pula kepada Nabi Muhammad saw, demikian pula orang Nasrani, jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Isa, tentulah mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw karena perihal kedatangan Nabi Muhammad saw itu disebut-sebut pula dalam kitab Taurat dan Injil, dan Nabi Muhammad pun membenarkan kitab Taurat dan Injil yang asli yang menjadi pegangan mereka.
Alasan-alasan yang menunjukkan atas kebenaran kenabian Muhammad saw adalah sempurna, karena Nabi Muhammad saw seorang yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis), dibesarkan dalam masyarakat jahiliah, kepadanya diturunkan Alquran yang sempurna, yang menerangkan segala yang benar.
Kedua golongan yang membeda-bedakan kepercayaan terhadap sebagian rasul itu dinyatakan Allah sebagai orang kafir. Terhadap mereka Allah menyediakan siksaan yang menghinakan, azab yang mengandung penghinaan dan penderitaan.
(Tafsir Kemenag)