BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 47

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 47

Maryam mengarahkan kata-katanya kepada Allah yang telah mengutus Jibril, yaitu, “bagaimana aku akan memperoleh seorang putra, padahal aku tidak bersuami. Apakah kejadian yang demikian itu dengan perkawinan dahulu, ataukah dengan kodrat Allah semata-mata”.

Mungkin maksud kata-kata Maryam itu untuk menyatakan kekagumannya pada kekuasaan Allah dan memandang hal itu sebagai suatu mukjizat yang besar. Allah menjelaskan bahwa kelahiran demikian akan terjadi bilamana Allah menghendaki-Nya, Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Jika Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka hanya cukup berkata kepadanya “jadilah engkau”, lalu jadilah dia.

Allah menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk menciptakan hal-hal yang ajaib, yang menyimpang dari kebiasaan seperti menciptakan anak tanpa ayah. Bahkan Nabi Adam telah diciptakan-Nya tanpa ayah dan ibu.

Ayat di atas memberikan inspirasi kepada manusia untuk belajar, menuntut ilmu dan meneliti, akan tetapi hasil atau keluaran dari penelitian tidak selalu dapat diterapkan atau dipakai. Hal ini tergantung pada pengkajian yang melandaskan pada asas manfaat bagi manusia dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum dalam agama Islam.

Sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka hasil penelitian dapat dipakai atau diterapkan dalam masyarakat. Ilmu genetika, misalnya, sebagaimana cabang ilmu lainnya didorong oleh Islam untuk didalami. Namun apabila di dalam penelitiannya ada bagian yang mengarah pada pelanggaran hukum Islam, penerapannya harus dipertimbangkan kembali.

Demikian halnya dengan ilmu genetika. Apabila arah suatu penelitian sudah masuk ke daerah yang “rawan” tersebut, ada baiknya dilakukan evaluasi untuk mengambil keputusan untuk meneruskan atau menghen-tikannya, atau membelokkan arah penelitian ke arah yang lebih mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi manusia.

Persepsi tentang cloning terdapat bermacam-macam pendapat. Cloning bukanlah penciptaan. Apabila dilihat secara cermat, apa yang dilakukan dalam kegiatan cloning hanyalah menghancurkan inti sel dari indung telur dan menggantikannya dengan inti sel dari individu donor. Inti sel dapat diambil sel somatic (somatic cells), dan tidak harus dari sel reproduksi (reproductive cells). Proses ini akan menghasilkan anakan yang identik dengan individu donor. Semuanya dilakukan pada jenis yang sama.

Apabila cloning dipandang sebagai gambaran dari kepercayaan Islam mengenai “dilahirkan kembali”, maka hal itu tidak benar, karena dalam ayat di bawah ini jelas, bahwa “kelahiran kembali” manusia dikendalikan oleh Allah swt. Allah berfirman:

“Dan Dialah yang memulai penciptaan kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (ar-Rum/30: 27).

Pandangan Islam tentang ilmu genetika, dapat dicontohkan dalam ayat di bawah:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fussilat/41: 53)

Ayat tersebut menjadi inspirasi manusia untuk berusaha “membaca” gennya sendiri. Ini dalam rangka usahanya untuk mengenali dirinya sendiri dan bersyukur kepada Allah swt. Dengan membaca pemetaan genetika, kita akan mengetahui mengenai antara lain, ada atau tidaknya penyakit turunan. Dengan demikian, ilmu ini akan memberikan kontribusi kepada kesehatan manusia dalam usahanya mencegah timbulnya penyakit tertentu dan cara penanggulangannya.

Akan tetapi, apabila dalam perjalanan pengungkapan ilmu pengetahuan, kemudian bercabang kepada sesuatu yang cenderung merugikan manusia, maka Islam akan menolaknya. Cloning manusia misalnya, Islam dengan tegas menolaknya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan mengenai alasan penolakan Islam terhadap cloning manusia, antara lain:

  1. Manusia diciptakan Allah dalam bentuknya yang paling sempurna, dan lebih tinggi dari mahluk lainnya. Ayat di bawah ini mengatakan demikian:

“Dan sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas banyak dari mahluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (al-Isra’/17: 70)

Dengan melakukan cloning pada dirinya sendiri, maka manusia sudah merendahkan dirinya sendiri di depan mahluk ciptaan Allah lainnya. Semuanya kembali terserah kepada diri kita sendiri.

2. Cloning bertentangan dengan keanekaragaman ciptaan. Allah menciptakan alam semesta dengan dasar keanekaragaman. Sedangkan cloning manusia didasarkan pada keseragaman dengan cara menduplikasi semua karakter dari manusia yang menjadi donor. Keseragaman, misalnya dalam rupa dan fisik, akan sangat mengganggu kegiatan hidup sehari-hari. Misal, dalam satu kelas, semua muridnya adalah hasil cloning dari individu yang sama. Apabila salah satu murid melakukan kesalahan, sangat sulit bagi si guru untuk menciri mana anak yang salah, karena rupa dan fisik semua murid persis sama.

3. Apabila cloning manusia diijinkan, bagaimana kita harus mengatur hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antara individu hasil cloning dengan individu donor. Apakah keduanya dapat disebutkan sebagai adik-kakak, atau anak-ayah, atau mereka berdua adalah dirinya sendiri? Situasi ini akan sangat membingungkan semua orang. Bahkan mungkin saja situasi ini akan menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada saat ini.

4. Cloning bertentangan dengan pola hukum alam yang menyatakan bahwa setiap ciptaan terdiri atas pasangan-pasangan sebagaimana diuraikan pada Surah az-Zariyat/51 ayat 49 (“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengerti.”). Cloning mengingkari ayat ini, karena bayi tidak dihasilkan dari pertemuan sperma dan indung telur. Yang diperlukan dalam cloning hanyalah satu orang (apakah laki-laki atau perempuan saja) sebagai donor.

5. Hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak akan terjadi. Sedangkan hubungan ini sangat penting dalam membentuk karakter si anak.

Dari sedikit daftar di atas, dapat dilihat bahwa terlalu banyak hukum alam yang akan dilanggar apabila cloning manusia diijinkan. Masih banyak ilmu pengetahuan lain yang perlu diungkapkan guna mendukung kesejahteraan perikehidupan manusia.

Demikianlah penggambaran kodrat Allah serta kepastian kehendak-Nya. Gambaran tentang kecepatan terwujudnya apa yang dikehendaki oleh Allah tanpa batas waktu dan tanpa ada faktor penyebab, diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَمَآ اَمْرُنَآ اِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ ۢبِالْبَصَرِ  

Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.(al-Qamar/54: 50)

Apa yang diperintahkan pasti segera terjadi. Perintah seperti itu dinamai perintah takw³n. Orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah, tidak membenarkan Isa dilahirkan dengan tidak berayah, karena pikiran mereka hanya terbatas kepada kejadian-kejadian yang biasa saja.

Mereka tidak menyadari bagaimana terjadinya alam semesta ini, sedang mereka pun tidak mempunyai suatu dalil ‘aqli yang memustahilkan kejadian seorang anak tanpa ayah. Setiap hari kita menyaksikan kejadian-kejadian yang luar biasa yang disangka tidak mungkin terjadi. Ada di antaranya yang mempunyai sebab yang sudah diketahui, lalu dinamai penemuan baru. Ada pula yang tidak diketahui sebab-sebabnya lalu dinamai penyimpangan alam dari hukumnya.

Orang mukmin berkeyakinan bahwa sesuatu yang terjadi tidak menurut sebab yang biasa, membuktikan kekuasaan Allah dan bahwa sebab-sebab bagi terjadinya sesuatu tidak selamanya harus sesuai dengan pertimbangan akal. Generasi sekarang telah melihat dan menyaksikan adanya kejadian-kejadian yang aneh dan luar biasa. Hal seperti itu jika dilihat oleh orang-orang dahulu, tentulah mereka akan menganggapnya sebagai suatu perbuatan sihir, atau perbuatan jin. Mereka itu tidak berusaha mencari alasan dalam mengingkari sesuatu kejadian yang ia sendiri belum mengetahui sebab-sebabnya.

Para filosof dan ilmuwan zaman sekarang menetapkan bahwa mungkin terjadi suatu binatang lahir dari sesuatu yang bukan binatang. Maka kalau demikian halnya, jika ada seekor binatang lahir dari seekor binatang lain yang berbeda macamnya, adalah sangat mungkin dan masuk akal.

(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU