Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

surat An-Nur ayat 22
surat An-Nur ayat 22

Tafsir Surat An-Nur ayat 22 menyinggung tentang kisah salah satu sahabat senior, yaitu Abu Bakar. Diceritakan bahwa ayat ini merupakan teguran Allah swt kepada Abu Bakar yang karena kekecewaannya ia kemudian behenti bersedekah.

Salah satu wujud kecintaan Abu Bakar As-Siddiq kepada Islam ialah kerelaan dan kedermawanannya menyedekahkan harta benda untuk menjaga keluhuran kalimat Allah Swt. Diceritakan bahwa sebelum perang Tabuk berkecamuk, Abu Bakar merelakan seluruh hartanya untuk mencukupi keperluan perang. Bahkan tatkala ia ditanya Rasulullah terkait harta yang masih ia sisakan, ia menjawab bahwa harta yang masih disisakannya di rumah hanyalah Allah dan Rasul-Nya.

Selain itu, Abu Bakar As-Siddiq juga terkenal sebagai orang yang dermawan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kisah yang cukup terkenal ialah bahwa Abu Bakar ialah orang yang senantiasa menyedekahkan hartanya kepada Misthah, juga menanggung kebutuhan keluarga Misthah.

Akan tetapi karena suatu kejadian, Khalifah pertama pengganti Rasulullah ini pernah ditegur mengenai keputusannya untuk menghentikan sedekahnya kepada Misthah. Teguran ini pun terdokumentasikan dalam Al-Quran surat An-Nur [24] ayat 22.

وَلَا یَأۡتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن یُؤۡتُوۤا۟ أُو۟لِی ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِینَ وَٱلۡمُهَـٰجِرِینَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۖ وَلۡیَعۡفُوا۟ وَلۡیَصۡفَحُوۤا۟ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن یَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورࣱ رَّحِیمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak suka bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Q.S. An-Nur [24]: 22]


Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran


Sebab Turunnya Ayat

Dijelaskan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab Tafsir al-Jalalain, bahwasanya ayat ini diturunkan mengenai Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq yang bersumpah tidak lagi menyedekahkan hartanya kepada Mishthah. Misthah adalah anak dari bibi Abu Bakar, ia disebut sebagai orang miskin dari golongan kaum Muhajirin dan bagian dari orang yang mengikuti perang Badar.

Adapun alasan terlontarnya sumpah itu ialah karena kekecewaan Abu Bakar ketika mengetahui bahwa Misthah ternyata turut terlibat dalam kabar bohong (haditsul ifki) menyangkut ‘Aisyah, yang tidak lain adalah putri Abu Bakar dan istri Rasulullah. Penjelasan serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi.

Padahal sebelumnya Abu Bakar senantiasa berbuat baik kepadanya, dengan menjadi donatur tetap bagi Misthah dan keluarganya. Akibatnya, sebagian sahabat juga ada yang mengikuti perilaku Abu Bakar, yakni bersumpah tidak lagi bersedekah kepada orang yang terlibat dalam terciptanya kabar bohong itu.

Selain itu, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa ketika Abu Bakar mendengar Rasulullah membaca penggalan ayat “ala tuhibbuna an yaghfirallahu lakum”, Abu Bakar pun mengakui kesalahannya. Seraya berkata, “Ya, wahai Tuhanku. Aku sangat senang bahwa Engkau mengampuniku, dan aku telah melewati batas yang Engkau tentukan.” Peristiwa di balik ayat tersebut menjadi titik berangkat untuk memahami tafsir surat An-Nur ayat 22.


Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?


Tafsir Surat An-Nur Ayat 22

Apabila mengikuti penafsiran dalam kitab Tafsir al-Jalalain saja, maka kita hanya akan menjumpai bahwa “ulul fadhli” dan “as-sa’ah” memiliki makna yang sama, yaitu diartikan sebagai orang-orang yang berkecukupan (ashabul ghina). Terkait penafsiran tersebut, Syekh Ahmad ash-Shawi menambahkan bahwa kecukupan yang dimiliki Abu Bakar, serta yang dimaksud dalam ayat di atas ialah kecukupan ilmu, agama, dan kebaikannya.

Secara lebih rinci, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakruddin ar-Razi menjelaskan bahwa makna “ulul fadhli” dalam ayat ini maksudnya ialah orang yang memiliki keutamaan dalam hal agama, bukan dalam urusan keduniaan. Adapun alasan yang dikemukakan beliau ialah karena melalui ayat ini, Allah menampakkan pujian-Nya untuk Abu Bakar, sedangkan pujian Allah akan urusan keduniaan itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Sebagaimana dimengerti juga bahwa Abu Bakar itu disebut sebagai orang yang paling utama setelah Rasulullah Saw.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Quran surat An-Nur ayat 22 mengandung sebuah anjuran yang sangat kuat supaya tetap bercengkerama dengan orang-orang yang lemah dan orang-orang miskin. Lebih terkhusus lagi apabila orang-orang tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang erat.

Oleh karenanya, tafsir surat an-Nur ayat 22 ini mencoba mengatakan bahwa bukanlah menjadi sebuah alasan, jika hanya karena telah terlanjur bersumpah tidak akan berbuat baik kepada orang tertentu, lantas selamanya tidak mau berbuat baik kepada orang itu. Akan tetapi seyogyanya tetaplah berbuah baik, seraya menjalankan penebusan (kafarah) atas sumpah yang terlanjur diucapkan. Wallahu a’lam bish shawab.