Dalam kajian Usul Fiqh mungkin para pembaca pernah mendengar salah satu sumber hukum ialah kebiasaan atau perilaku keseharian ahlu Madinah. Mungkin saat membacanya belum terbesit pertanyaan terkait latar belakang yang menyebabkannya bisa menjadi salah satu rujukan hukum. Nah, ulasan ragam kekhasan kajian madrasah tafsir Madinah kali ini mungkin bisa membantu memberikan jawaban terhadap nalar kritis tersebut.
Sebelum masuk pada pembahasan utama, ada beberapa hal yang perlu diketahui bahwa madrasah tafsir Madinah memiliki ciri khas yang begitu berbeda dari madrasah lainnya. Madrasah tafsir ini justru lebih terkenal akan kedalaman dan keluasan ilmu yang mereka miliki dalam bidang hadis.
Hal ini dibuktikan dengan ketenaran madrasah ini sebagai sumber hadis-hadis Shahih. Tidak hanya, ada beberapa kajian khas yang menjadikan madrasah tafsir ini berbeda dengan madrasah tafsir lainnya—sebagaimana disampaikan oleh Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in. Untuk lebih jelasnya silakan disimak uraian masing-masing poin di bawah ini.
Sangat Wara’ dalam Aktivitas Penafsiran
Madrasah Madinah dikenal sebagai madrasah yang paling sedikit meriwayatkan penafsiran yang berasal dari ijtihad mandiri mereka. Fenomena ini ditengarai oleh sikap wara’ mereka yang begitu tinggi. Para punggawa madrasah ini lebih suka jika aktivitas penafsiran Al-Qur’an dilakukan atas dasar tuntutan tertentu. Seperti halnya saat ada pertanyaan yang mendesak, permintaan atas suatu hukum fiqh tertentu maupun penjelasan mengenai sabab nuzul suatu ayat.
Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah
Penyebab lain dari minimnya aktivitas penafsiran di madrasah ini ialah banyaknya riwayat yang sampai pada mereka mengenai bahaya dan sanksi apabila menafsirkan Al-Qur’an tanpa adanya ilmu yang memadai. Selain itu mereka juga mendapati banyak riwayat penafsiran Nabi yang shahih sehingga mereka merasa cukup dengan riwayat yang mereka miliki. Tentu hal ini begitu berbeda dengan madrasah tafsir Kufah yang minim aktivitas penafsiran sebab sedikitnya riwayat shahih yang mereka miliki.
Menaruh Perhatian Besar Terhadap Penafsiran Berbasis Riwayat
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa madrasah tafsir Madinah merupakan salah satu madrasah yang memiliki riwayat hadis yang berlimpah. Keistimewaan tersebut membuat madrasah tafsir Madinah menjadi begitu gencar dalam menjadikan hadis sebagai kajian utama yang mereka geluti sehingga keseharian kehidupan intelektual mereka lebih dominan diisi oleh kajian hadis dari pada kajian lainnya. Walhasil, mereka pun kemudian dijadikan sebagai teladan dan bahkan setiap perilaku yang mereka kerjakan dianggap sebagai Sunnah. Hal ini didasarkan pada pendapat Zaid bin Tsabit serta praktek ahlu Madinah itu sendiri yang begitu menaruh perhatian terhadap Hadis.
Selain Hadis, Madinah juga terkenal dengan banyaknya riwayat kisah dan sejarah yang mereka miliki. Bahkan mereka juga terkenal dengan praktek fiqh mereka yang disebut sebagai fiqh atsari sebab praktek fiqh harian mereka secara dominan didasarkan pada riwayat bukan pada ijtihad dan qiyas.
Keunikan ini mungkin tidak bisa disamakan dengan madrasah tafsir yang berada di Iraq. Sebab secara geografis dan demografis, kedua daerah tersebut berbeda sehingga perbedaan yang ada berimplikasi pada perbedaan dalam masalah yang dihadapi dan metodologi dalam menyusun jawaban syar’i yang tepat.
Menghindari diri dari Penafsiran yang Sarat Hawa Nafsu dan Fitnah
Madrasah Madinah tersohor dalam kuatnya mereka mempertahankan metodologi pengajaran talaqqi. Metode ini merupakan metode terbaik dalam menjaga otentisitas riwayat yang mereka miliki. Selain itu, metode ini juga berimplikasi pada terminimalisirnya penggunaan akal sehingga juga meminimalisir terjadinya ketergelinciran pada hawa nafsu maupun fitnah.
Keketatan dalam metodologi pengajaran yang mereka terapkan juga berimbas pada aspek sosial mereka tatkala berjumpa dan menerima informasi dari orang yang bukan berasal dari Madinah. Hal ini tidak begitu saja terjadi, sikap ketat ini disebabkan oleh banyaknya terjadi fitnah politis di masa Tabi’in sehingga perlu ada proteksi terhadap hadirnya riwayat-riwayat berpenyakit.
Bahkan kepada orang-orang Iraq, para punggawa madrasah tafsir Madinah kerapkali terlihat berseteru. Mereka bahkan dalam beberapa riwayat terlihat merendahkan serendah-rendahnya kualitas riwayat yang dibawa oleh ahlu Iraq. Mungkin alasan tersebut bisa dijumpai pada artikel “Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah” di mana Kufah maupun Iraq secara umum merupakan daerah yang paling banyak terjadi fitnah siyasiyah pada saat itu. Maka, sikap Tabi’in Madinah mungkin bisa ditoleransi meskipun terlihat begitu ekstrem.
Memiliki Perhatian Pada Kajian Qira’at
Kekhasan ini mungkin terlihat serupa dengan madrasah tafsir Kufah. Namun pada realitanya sama sekali berbeda. Jika di Kufah, kajian Qira’at diaplikasikan dalam ranah penafsiran dan difungsikan sebagai alat bantu, namun di Madinah Qira’at dikaji validitasnya.
Sederhananya, Qira’at ditempatkan sebagai riwayat layaknya hadis maupun atsar yang kemudian ditelusuri kesahihannya baik dari sisi sanad maupun matan. Jadi argumentasi ini menjelaskan maksud dari perkataan Sufyan bin Uyainah yang mengajurkan untuk mengambil Qira’at dari ahlu Madinah, bahwa yang dimaksud adalah riwayat Qira’at yang valid atau shahih bukan lahjah Qira’at ahlu Madinah.
Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Madrasah Tafsir Bashrah
Satu poin penting yang perlu direfleksikan sebagai penutup ialah sikap kehati-hatian para punggawa madrasah tafsir Madinah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sikap hati-hati atau menjaga dari kesalahan penafsiran serta menyadari derajat keilmuan perlu ditanamkan dalam diri. Sebab yang coba diungkapkan maknanya bukan sembarang kitab melainkan kitabullah. Sikap ini akan memproteksi seseorang dari sikap sewenang-wenang dalam menafsirkan Al-Qur’an apalagi jika niatnya bukan demi kemaslahatan umat.
Sebab dewasa ini banyak sekali dijumpai orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan beraninya menafsirkan Al-Qur’an dengan ugal-ugalan dan tanpa adanya landasan keilmuan yang jelas. Maka implikasinya, penafsiran semacam ini akan membuat umat Islam semakin terbelakang sebab terbawa pada arus kepentingan personal yang dibalut baju keagamaan. Wallahu a’lam.