BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiTafsir Tarbawi: Tiga Jenjang Belajar dalam Menuntut Ilmu

Tafsir Tarbawi: Tiga Jenjang Belajar dalam Menuntut Ilmu

Ada tiga jenjang belajar yang harus dilalui oleh pelajar, yaitu jenjang belajar bagi pemula, menengah dan atas. Ketiga jenjang ini mutlak harus dilalui sebagai bagian daripada proses menuntut ilmu. KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim menegaskan seyogyanya pelajar mengambil ilmu dari level pemula dulu lalu ke jenjang yang lebih tinggi. Menurutnya, hal tersebut bagian dari adab menuntut ilmu.

Ilmu tidak dapat diraih secara instan, melainkan membutuhkan proses yang panjang. Dalam hal ini, proses menuntut ilmu dilakukan secara gradual dan sistematis, serta tidak melompat-lompak sehingga menghasilkan pemahaman yang utuh. Karena itu, artikel ini akan mengulas tiga jenjang belajar dengan mendasarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Simak selengkapnya.

Belajar dari Yang Mudah Dahulu (Tingkatan Ibtidaiyah)

Bagi pelajar, hendaknya ia mempelajari bab atau materi yang mudah dahulu. Jangan terburu-buru atau terbawa nafsu untuk melahap semua keilmuan karena hal itu menyia-nyiakan waktu dan melelahkan otak. Dalam keilmuan pesantren, ada istilah mubtadi’ untuk tingkat pemula, mutawassith untuk tingkat menengah, dan muntahi untuk tingkat tinggi. Hal ini juga tercermin dalam karya ulama, Al-Ghazali, misalnya dalam mengulas ilmu tasawuf atau tazkiyatun nufus (menjernihkan hati dari penyakit sombong, iri dengki dan sebagainya), kalau kita urutkan kitabnya yang mengulas hal ini adalah Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin dan Ihya’ Ulumiddin. Jadi, sekelas Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, beliau dalam menyusun sebuah kitab juga berjenjang tidak asal sembarangan.

Kewajiban menempuh jenjang belajar pemula ini secara tersirat ditegaskan dalam firman-Nya Q.S. Al-Muzammil [73]: 20,

فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِ

“Oleh karena itu, bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah (bagimu)”. (Q.S. Al-Muzammil [73]: 20)

Dari ayat tersebut, jikalau Allah saja memerintahkan kepada kita untuk membaca ayat Al-Quran yang mudah, mengapa kita terkadang dalam belajar justru suka menyulitkan diri dengan sesuatu yang belum waktunya kita pelajari. Ayat ini sebetulnya menjadi renungan bagi kita semua, terutama pelajar, bahwa Allah tidak ingin menyulitkan manusia, justru Allah ingin mempermudah.

Baca Juga: Tiga Niat dalam Menuntut Ilmu

Yang lebih menarik lagi adalah sambungan dari ayat tersebut menjelaskan jikalau manusia dalam kesulitan, baik sakit, bepergian, maupun bekerja, maka bacalah apa yang menurutmu mudah dari Al-Quran. Allah swt tegaskan dalam firman-Nya,

عَلِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰىۙ وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ۙوَاٰخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖفَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُۙ

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah serta yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya (Al-Qur’an).” (Q.S. Al-Muzammil [73]: 20)

Quraish Shihab menggarisbawahi pernyataan “maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran”. Menurutnya, ungkapan ini menyiratkan kewajiban membekali diri dengan ilmu. Sebab, membaca Al-Qur’an berarti menuntut pengetahuan, pembacaan yang sempurna adalah yang berdasarkan pemahaman ayat-ayatnya, pemahaman demikian tidak akan tercapai tanpa pengetahuan ilmu-ilmu bantu yang mencakup berbagai disiplin ilmu umum maupun agama.

Karena itu, KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim berpesan kepada pelajar untuk memulai aktivitas belajarnya dari level yang mudah dulu,

وَكَذَلِكَ يَحْذُرُ فِى ابْتِدَاءِ طَلَبِهِ مِنَ الْمُطَالَعَاتِ فِيْ تَفَارِيْقِ الْمُصَنَّفَاتِ فَإِنَّهُ يُضِيْعُ زَمَانِهِ وَيُفَرِّقُ ذِهْنِهِ بَلْ يُعْطَى الْكِتَابُ الَّذِيْ يُقْرَؤُهُ اَوِ اْلفَنِّ الَّذِيْ يَأْخُذُهُ كَلِّيَتُهُ حَتَّى يُتْقِنَهُ

“Demikian pula, ketika seorang pelajar dlaam tahap permulaan (ibtida’) hendaknya ia menghindarkan diri mempelajari berbagai macam buku dan kitab karena hal itu bisa menyia-nyiakan waktunya dan hati tidak bisa konsentrasi, tidak fokus pada satu pelajaran. Bahkan, ia harus memberikan seluruh kitab dan pelajaran yang ia ambil kepada gurunya untuk dilihat sampai di mana kemampuannya sehingga guru bisa memberikan bimbingan dan arahan sampai pelajar memiliki keyakinan dan mampu menguasai pelajarannya”.

Level Menengah

Jenjang belajar berikutnya adalah jenjang menengah (mutawassith). Di jenjang ini, pelajar mulai meningkatkan bacaannya yang lebih tinggi atau mempelajari kitab/ materi yang lebih tinggi dari yang awal. Peningkatan kualitas bacaan atau pembelajaran ini bertujuan untuk memperluas cakrawala pengetahuannya. Dan termasuk dalam tahap ini juga adalah pelajar mulai mempelajari diskursus perbedaan pendapat/ paradigma (ikhtilaf) di antara ulama. Allah swt berfirman,

وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ

“… Jadilah kamu sekalian seorang rabbaniyyin ketika kalian mengajarkan Al-Quran dan mempelajarinya”. (Q.S. Ali Imran [3]: 79)

Dalam ayat di atas, ungkapan rabbaniyyin menarik untuk dicermati. Lantas, apa makna rabbaniyyin ini? Abdullah bin Abbas menjelaskan bahwa rabbani ialah orang-orang yang mendidik manusia mulai dari hal-hal yang mendasar sebelum melangkah ke sesuatu yang lebih sukar, sulit dan besar”.

Senada dengan itu, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memaknai kata rabbaniyyin dengan pendidik dan pelindung. Secara kebahasaaan, kata rabbani terambil dari kata rabba yang berarti pembimbing, pengayom, penjaga, pelindung dan semacamnya. Jika kata ini berdiri sendiri maka yang dimaksud tidak lain, kecuali Allah SWT.  Mereka yang dianugerahi kitab, lanjut Shihab, hikmah, dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani. Dalam arti, semua aktivitas, gerak-gerik dan aktivitasnya, niat dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah swt. Yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ibn Syihab Al-Zuhri dalam Jami’ al-Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, bahwa belajar itu harus bertahap mulai dari level pemula, menengah hingga atas. Ia berkata,

مَنْ رَامَ الْعِلْمَ جُمْلَةً ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً، وَإِنَّمَا يَطْلُبُ الْعِلْمَ عَلَى مٌرًّ الْأَيَّامِ وَالَّليَالِي

“Barang siapa yang mengambil ilmu sekaligus (tanpa melalui jenjang pemula), maka akan hilang semuanya dalam waku sekejap. Karena ilmu hanya bisa didapatkan dengan berjalannya siang dan malam”.

Lebih dari itu, pelajar yang sudah berada di level menengah hendaknya tidak meninggalkan pengetahuannya yang telah lalu. Hal ini ditegaskan KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim,

اَنْ يَتَّبِعَ فَرْضُ عَيْنِهِ بِتَعَلُّمِ كِتَابِ اللهِ الْعَزِيْزِ فَيَتَّقِنَهُ إِتْقَانًا جَيِّدًا

“Setelah pelajar mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardhu a’in, maka hendaklah ia meningkatkan pengetahuannya dengan kitab Allah (tafsir Al-Quran) sehingga ia mempunyai keyakinan dan I’tiqad yang sangat kuat”.

Level Tinggi

Dalam tradisi pesantren, level ini disebut muntahi atau diniyah. Pada tahapan jenjang belajar ini, pelajar mulai mendapat pengayaan perspektif melalui studi perbandingan yang digali dari pandangan para ulama atau ilmuwan. Dalam tahapan ini pula, para pelajar mulai mendalami diskursus atau diversitas wacana keilmuan di luar mainstream. Tentu, ada prasyarat yang harus dilalui. Misalnya, jika sudah mumpuni atau mengkhatamkan materi ini, mempelajari dasar-dasar ilmu ini dan semacamnya, barulah diperbolehkan mempelajari materi di luar mainstream.

Lebih jauh, di level ini para pelajar hampir pasti mendapat kesulitan yang luar biasa. Karena itu, ia akan diuji ketahanan semangat belajarnya dan kekuatan kritisnya, apakah justru ia putus asa atau semakin memacu diri untuk tetap lanjut. Sebab, di dalam kesulitan beserta kemudahan sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya,

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. (Q.S. Al-Insyirah [94]: 5-6)

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri ayat di atas dengan mengutip hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Hasan al-Basri,

أَبْشِرُوْا أَتَاكُمُ الْيُسْرَ , لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

“Ketahuilah bahwa akan datang kepada kalian kemudahan. Karena satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan kemudahan”.

Dalam riwayat yang lain, disebutkan,

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ، لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ فَإنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“Tidak mungkin satu kesulitan dapat mengalahkan dua kemudahan dan satu kesulitan mengalahkan dua kemudahan karena beserta kesulitan diserta kemudahan. Sungguh beserta kesulitan ada kemudahan”.

Makna hadits Rasul saw di atas menjelaskan bahwa kesulitan apapun yang tengah dihadapi pasti di dalamnya disertai kemudahan. Ayat tersebut menggunakan kata hubung ma’a, yang artinya bersama, bukan sesudah. Jadi sesulit apapun hidup ini pasti satu paket dengan kemudahan. Mustahil kalau Allah mempersulit hamba-Nya, karena itu Ia menyediakan satu paket kesulitan beserta kemudahan.

Artinya, seorang pelajar harus meyakini bahwa kesulitan yang ia alami pasti di dalamnya Allah sertakan kemudahan. Yang diperlukan bagi seorang pelajar adalah bersabar dan tekun beribadah agar Allah senantiasa membimbing dan memberi petunjuk sehingga tetap istikamah belajar dan tidak mudah putus asa.

Baca Juga: Menghormati Guru Adalah Bagian dari Jihad

Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari berpesan kepada pelajar,

وَإِمَّا إِذَا انْتَهَى وَتَأَكِّدْتَ مَعْرِفَتُهُ فَالْاُوْلَى اَنَ لَا يَدْعُ فَنًّا مِنَ الْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ اِلَّا نَظَرَ فِيْهِ

“Apabila pelajar sudah memiliki basis kemampuan yang memadai dan menukil suatu rujukan hanya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki, maka hal itu sebaiknya ia tidak meninggalkan satupun pelajaran yang telah lalu – terutama pelajaran ilmu agama (syara’) karena yang bisa menolongnya hanyalah Allah swt”.

Sebagai penutup, semoga kita semua mampu memahami bahwa sesungguhnya mencari ilmu butuh proses, butuh waktu yang tidak lama, dan dibutuhkan ketekunan dan keistikamahan di dalamnya. Karena segala sesuatu yang didapatkan secara instan, kelak ia akan hilang sekejap. Karena itu, penting bagi pelajar untuk dapat melewati tahap demi tahap proses pembelajaran agar ilmu yang didapat berkah, manfaat dan diridhai Allah swt. Amin.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...