BerandaTafsir TematikTiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Fakhr al-Din al-Razi atau umumnya hanya disebut al-Razi saja merupakan seorang ulama yang mutafannin, oleh karena itu seringkali dia menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dengan berbagai pisau analisis dari cabang keilmuan yang berbeda, termasuk filsafat dan ‘ilm al-nafs atau ilmu jiwa (psikologi).

Hal ini salah satunya bisa terlihat ketika dia menafsirkan frasa turja’una fihi ilallah dalam firman Allah pada surah Al-Baqarah [2]: 281 yang berbunyi,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan peliharalah dirimu dari hari yang ketika itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dirugikan

Sebelum menjelaskan tafsir ayat ini, al-Razi terlebih dahulu menerangkan bahwa menurut Ibn Abbas ayat ini merupakan ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah sesudah surah An-Nisa [4]: 176 (ayat kalalah) dan surah Al-Maidah (5): 3.

Kemudian al-Razi dalam Mafatih al-Gaib (7/113) menjelaskan bahwa setiap kali frasa turja’una fihi ilallah (pada hari itu mereka akan dikembalikan kepada Allah) muncul dalam Alquran, maka ia tidak akan lepas dari dua kemungkinan makna. Pertama, bahwa jiwa manusia itu melewati tiga fase kehidupan. Lalu kedua, bahwa manusia itu akan kembali kepada apa yang Allah janjikan berupa balasan kebaikan ataupun keburukan.

Baca Juga: Makna Esoterik Yang terkandung dalam Kalimat Taawudz Menurut Fakhruddin Ar-Razi

Tiga fase kehidupan jiwa manusia

Kedua makna atau takwil ini valid dalam pandangan al-Razi karena sesuai dan tidak bertentangan dengan kandungan lafal ayat. Adapun untuk makna yang pertama, dalam tafsirnya, al-Razi menguraikan lebih jauh bahwa tiga fase kehidupan jiwa manusia itu sebagai berikut.

Pertama, fase ketika seseorang masih berada dalam rahim ibunya. Pada fase ini manusia tidak memiliki kehendak, kemampuan atau daya apapun untuk mengendalikan hidupnya, sehingga pada fase ini manusia sepenuhnya ‘digerakkan’ oleh Allah tanpa bisa berpikir atau berbuat apapun.

Kedua, yakni ketika manusia terlahir ke dunia hingga dia wafat. Pada keadaan ini manusia diberikan taklif untuk memperbaiki keadaan dirinya dan saling mempengaruhi secara lahir satu sama lain.

Selain itu menurut al-Razi dalam kitab al-Nafs wa al-Ruh, Allah juga membekali jiwa manusia dengan dua daya untuk menjalani kehidupan dunia, yaitu daya teoretis (al-quwa al-nazhariyyah) dan daya praktis (al-quwa al-‘amaliyyah).

Kemudian sebagaimana dipaparkan oleh Samih Dagim dalam Mausu’at Mushthalahat al-Imam Fakhr al-Din al-Razi (hal. 820), kedua daya itu memiliki fungsi, tujuan, dan kesenangannya masing-masing.

al-Razi berpendapat bahwa kebahagiaan terbesar daya teoretis adalah dengan mendapatkan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan teragung adalah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Lalu daya praktis kebahagiaan terbesar adalah dengan mengerjakan perbuatan baik, dan perbuatan baik yang paling mulia adalah menghamba kepada Allah.

Dari pemaparan ini dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif al-Razi manusia itu baru akan benar-benar bahagia secara psikis jika dia melakukan dua hal, 1). Mendapatkan ilmu pengetahuan yang ujungnya akan mengantar pada ma’rifatullah dan 2). Melakukan perbuatan baik dan bisa berkontribusi (bermanfaat) untuk diri sendiri maupun orang lain.

Baca Juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi

Pada fase kedua inilah manusia diberikan oleh Allah kemampuan untuk memperbaiki keadaan dirinya serta menabung bekal untuk melanjutkan perjalanannya di fase ketiga, yakni kehidupan sesudah ia meninggalkan dunia yang fana ini.

Kemudian fase ketiga, yaitu fase sesudah jiwa atau nyawa manusia dicabut dari badannya. Pada fase ini manusia kembali sepenuhnya digerakkan oleh Allah seperti yang terjadi pada fase pertama ketika manusia masih berada di dalam rahim ibunya. Oleh karena itulah al-Razi menafsirkan frasa turja’una fihi ilallah dengan mengaitkannya pada tiga fase kehidupan jiwa manusia.

Demikian penafsiran al-Razi terhadap surah Al-Baqarah [2]: 281 tentang tiga fase kehidupan jiwa manusia, sebetulnya menarik untuk mengelaborasi pemikiran al-Razi tentang jiwa secara menyeluruh. Namun tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam. Wallah a’lam

Achmad Syariful Afif
Achmad Syariful Afif
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, peminat kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...