BerandaKhazanah Al-QuranResepsi Al-Qur’an Masyarakat Gogodalem: Khataman Rabu Pon

Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Gogodalem: Khataman Rabu Pon

Resepsi (penerimaan) simbolis terhadap sebuah karya sastra pada dasarnya terjadi secara dinamis. Karena manusia sebagai pelaku resepsi juga diciptakan secara beragam, kendati tumbuh dan besar dalam kultur yang sama. Buah dari kedinamisan ini yang boleh jadi menyebabkan adanya perkembangan dalam bentuk resepsi, pemunculan model baru misalnya. Apa yang hendak penulis ulas ini barangkali dapat menjadi contoh perkembangan resepsi sebagaimana dimaksud. Resepsi Al-Qur’an sebagai seperangkat simbol-simbol.

Namun demikian, perlu dicatat sebelumnya bahwa ketika penulis mengatakan ‘resepsi terhadap Al-Qur’an’, bukan berarti penulis mengklaim Al-Qur’an sebagai sebuah ‘karya sastra’. Tetapi lebih kepada penjelasan kemungkinan adanya resepsi Al-Qur’an dikarenakan wujudnya yang menyastra.

Selapanan Malam Rabu Pon

Jika term tradisi hanya boleh disematkan kepada sesuatu yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang, sebagaimana KBBI menyebutkan, praktek ini mungkin belum boleh disebut sebagai tradisi. Namun jika menilik tradisi sebelumnya dan prediksi akan mentradisinya praktek ini, boleh lah kita sebut praktek ini sebagai tradisi.

Termasuk bagi masyarakat Gogodalem, tradisi ini memang terbilang cukup baru mengingat perjalanannya yang baru berusia 8 lapan (hingga tulisan ini dibuat). Lapan atau selapan sendiri adalah hitungan kalender Jawa berjumlah 35 hari. Diambil dari hasil perkalian jumlah hari yang ada 7 dengan jumlah pasaran yang ada 5. Namun demikian, akar dari tradisi ini sesungguhnya cukup kuat, yakni tradisi khataman mushaf Blawong yang diselenggarakan setiap tanggal 19 Sya‘ban, sehari sebelum haul awliya’ Gogodalem diadakan.

Karena ‘mengakar’ dari tradisi sebelumnya yang serupa, maka agenda utamanya juga tidak jauh berbeda, yakni khataman mushaf Blawong. Bedanya, tradisi baru ini diadakan selapan sekali, setiap malam Rabu Pon, dengan jumlah yang dibaca dari mushaf Blawong hanya satu juz setiap selapan-nya. Oleh karenanya tradisi ini sering disebut dengan selapanan malam Rabu Pon.

Baca juga: Mengenal Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis (Part 1)

Memang ada baiknya jika sebelum mengulas tradisi ini, terlebih dahulu penulis mengulas tradisi khataman 19 Sya‘ban, supaya tidak terjadi jumping. Namun karena waktu penyelenggaraannya yang hanya setahun sekali, penulis belum berkesempatan mengikutinya secara langsung untuk kemudian mengamati dan menjelaskan detail ritualnya.

Ritual Tradisi

Rangkaian selapanan malam Rabu Pon ini dimulai usai dilakukannya salat Isya’ di Masjid At-Taqwa. Jamaah dan beberapa ‘tamu’ dari wilayah lain yang berminat mengikuti akan berkumpul bersama-sama di serambi masjid. Mereka duduk bersama membentuk lingkaran dengan jamaah perempuan menempati bagian selatan dan laki-laki di bagian utara. Terkadang ruang yang dipakai bahkan sampai pada teras luar masjid karena saking banyaknya peserta.

Usai menunggu Pak Kiai dan kehadiran peserta juga dianggap telah mencukupi, acara kemudian dimulai oleh seorang MC, membacakan susunan acara yang akan berlangsung.

Acaranya sendiri sebenarnya sangat fleksibel. Seperti kesempatan yang penulis ikuti saat itu, acara yang diselenggarakan sekaligus diperuntukkan peringatan Isra’ dan Mi‘raj Nabi Muhammad Saw. Sehingga acara yang umumnya hanya terdiri dari khataman, tahlil dan doa, kini ditambah dengan mau‘idzoh hasanah.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, selapanan malam Rabu Pon ini merupakan versi mini dari khataman 19 Sya‘ban, karena itu, jumlah yang dibaca dari mushaf Blawong juga hanya satu juz secara berurutan setiap selapan-nya. Kebetulan yang penulis ikuti saat itu sampai pada juz ke-8.

Adalah KH. Saifuddin yang mendapat kehormatan membaca mushaf Blawong. Kiai Saifuddin memang sudah menjadi ‘pembaca tetap’ pada setiap acara yang berkaitan dengan pembacaan mushaf Blawong, seperti pada khataman 19 Sya‘ban dan selapanan malam Rabu Pon. Beliau sendiri adalah pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Muta‘allimin yang juga dzuriyah awliya’ Gogodalem.

Sementara sisa juz yang tidak dibaca dari mushaf Blawong dibaca dengan Al-Qur’an juz-juzan yang dibagi secara sukarela kepada sejumlah volunteer yang hadir, seperti khataman lainnya. Mereka yang tidak kebagian jatah akan membaca surat Yasin, memperbanyak bacaan surat Al-Ikhlas atau zikir-zikir lain seperti sholawat. Dan ketika semua bacaan telah selesai, Kiai Saifuddin selaku imam ritual akan memberikan komando untuk bersama-sama membaca serangkaian bacaan tahlil dan menutup ritual dengan doa khatam Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Bentuk Resepsi Masyarakat

Penulis mengamati bahwa selapanan malam Rabu Pon ini merupakan bentuk resepsi Al-Qur’an oleh masyarakat secara umum dan mushaf Blawong secara khusus. Masyarakat percaya bahwa pembacaan terhadapnya merupakan salah satu media ber-tawasul, menyelesaikan masalah-masalah yang masyarakat tengah hadapi, seperti Covid-19 atau spesifik pada masalah yang melanda wilayah pertanian Gogodalem, yakni hama tikus dan lain sebagainya.

Selain tawasul, tradisi khataman juga dipahami sebagai wujud tabarukan bacaan Al-Qur’an secara umum dan mushaf Blawong secara khusus. Hal ini dapat dilihat pada perilaku warga yang membawa air minum dalam botol-botol untuk ditaruh di depan pembaca mushaf Blawong.

Juga menjadi ajang bersedekah. Terlihat bagaimana masyarakat membawa jamuan masing-masing untuk dinikmati bersama-sama. Menurut penuturan Kiai Ahsin, acara selapanan yang digabung dengan Isra’ Mi‘raj ini terbilang acara besar sehingga jamuannya juga berupa makan besar, nasi tumpeng. Tetapi jika murni acara khataman biasanya hanya dicukupkan dengan snack atau makanan ringan.

Sepanjang perjalanan acara, penulis menyaksikan bagaimana acara ini mampu membangun kedekatan interaksi antar elemen masyarakat. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, kiai dan masyarakat awam, pejabat atau warga sipil, kesemuanya bersatu padu nyengkuyung berlangsungnya acara yang menjadi warisan leluhur Gogodalem.

*****

Terlihat bagaimana sebuah ritual tradisi khataman memiliki muatan nilai-nilai yang sangat kompleks. Tak hanya resepsi terhadap mushaf Al-Qur’an Blawong dan awliya’ yang mendiami Gogodalem. Lebih dari itu, syarat akan rasa persaudaraan dan persatuan. Bagaimana kesemuanya itu diramu dalam sebuah ritual seremonial berbentuk resepsi Al-Qur’an. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Penulis mengajak kepada seluruh pembaca mengunjungi Desa Gogodalem dan mengikuti secara langsung setiap acara yang diselenggarakan disana, entah itu selapanan malam Rabu Pon, mujahadah Ahad Pahing, khataman 19 Sya‘ban atau haul awliya’ Gogodalem, atau sekadar berziarah di makam Sentono, makam para wali Gogodalem.

Baca juga: Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem, Semarang

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...