BerandaUlumul QuranSabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Sekian banyak sabab nuzul al-Qur’an, ada beberapa kisah yang sangat memorable (lekat di ingatan) hingga sekarang, terlebih untuk kalangan perempuan. Ini dikarenakan ada ayat al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW khusus dalam rangka merespon keluhan dan ‘protes’ dari seorang perempuan. Ini tentu sangat revolusioner mengingat tradisi saat itu adalah patriarki. Sekurangnya ada empat kisah perempuan dalam rekaman sabab nuzul al-Qur’an yang terdokumentasi dalam beberapa kitab tafsir.

Khawlah bint Tsa’labah (al Mujadilah [58]: 1-2)

Bagi pengkaji tafsir al-Qur’an, cerita tentang Khawlah bint Tsa’labah sudah tidak asing lagi. Ia adalah perempuan ‘penyebab’ turunnya surat al-Mujadilah ayat 1-2. Sebab kegigihan dan keteguhan Khawlah pula surat ini dinamai dengan al-Mujadilah yang mempunyai arti ‘perempuan yang mengadu’.

Dalam Tafsir At Thabari disampaikan bahwa Khawlah mengadu kepada Nabi Muhammad meminta keadilan untuk dirinya, karena suaminya, Aws bin Shamit telah menggantung status pernikahannya dengan ucapan ‘Bagiku kamu seperti punggung ibuku’. Ucapan ini menyebabkan Khawlah tidak lagi bisa disentuh oleh suaminya, pun juga belum dilepaskan dari status pernikahannya. Meski yang terjadi padanya dianggap ‘baik-baik’ saja oleh masyarakat ketika itu, Khawlah merasa itu tidak adil baginya, bukankah Islam mengajarkan untuk memperlakukan pasangan dengan baik atau kalau tidak lepaskan ia dengan baik-baik pula? Khawlah sempat kecewa karena Sang Nabi belum bisa memberi jawaban dan untuk sementara ‘mengiyakan’ kebiasaan setempat sampai wahyu turun untuk merespon masalah ini.

Khawlah tidak berputusa asa, ia terus berdoa dan memohon dengan setulus hati kepada Allah. Ia senantiasa menunggu dan tentunya berharap Allah akan merespon permasalahannya tersebut. Hingga akhirnya Allah merespon jeritan keadilan Khawlah dengan menurunkan wahyu al-Qur’an surat Al Mujadilah ayat 1-2 ini. Khawlah pun sangat bahagia mengetahui hal ini. Tidak hanya Khawlah, Aisyah yang sedari awal mendengar percakapan Khawlah dengan Nabi juga ikut senang.

Hingga sekarang, jika kita membaca atau hanya sekadar mengingat surat Al Mujadilah ayat 1-2 maka seketika itu juga kita akan teringat cerita pengaduan Khawlah bint Tsa’labah kepada Nabi Muhammad SAW., perempuan biasa, bukan siapa-siapa yang doa dan ‘jeritannya’ Allah respon langsung dengan al-Qur’an. Hal seperti ini berlaku hanya bagi orang yang mengetahui sejarah di balik turunnya ayat. Tentu akan berbeda jika orang tersebut tidak mau repot mencari tahu, hanya mencukupkan membaca teks al-Qur’an yang ada dalam mushaf saja.

Ummu Salamah (Ali Imran [3]: 159)

Jika hadis adalah tafsir pertama al-Qur’an, maka Ummu Salamah termasuk mufassir perempuan masa awal dari kalangan sahabat, ia salah satu istri Nabi Muhammad yang banyak meriwayatkan hadis selain Aisyah. Nur Mahmudah dalam Perempuan dalam Relasi Kuasa Tafsir Al-Qur’an melaporkan bahwa etidaknya ada 25 riwayat Ummu Salamah yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Selain merespon dan menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an, Ummu Salamah juga menjadi salah satu sahababat perempuan yang ‘menyebabkan’ turunnya al-Qur’an sebagai respon atas koplain dan pertanyaan-pertanyaannya.

Sebut saja surat Ali Imran ayat 195. Ditulis oleh at Tabari dalam tafsirnya bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW perihal orang yang ikut berhijrah, ‘laki-laki disebut dalam peristiwa hijrah, sementara kami (perempuan) tidak disebut?’ padahal kita semua tahu bahwa orang-orang yang ikut  berhijrah (muhajirin) tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Kemudain turun al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195, فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى…. ۚ(Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,….)

Ummu Salamah juga identik dengan surat Al Ahzab ayat 35 yang disebut-sebut sebagai simbol kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Dijelaskan dalam  Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini turun merespon protes Ummu Salamah tentang perihal dominasi penyebutan laki-laki dalam al-Qur’an, sementara perempuan tidak sama sekali.

Terlepas dari statusnya sebagai istri Nabi Muhammad SAW, Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang hidup pada masa yang patriarki. ‘Suaranya’ yang direspon oleh al-Qur’an pada masa itu menjadi sesuatu di luar kebiasaan setempat. Sekali lagi, Allah berbicara dengan siapapun, tanpa memandang jenis kelamin.

Habibah bint Zaid (an-Nisa’ [4]: 34)

Nama Habibah bint Zaid disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir ketika membahas sabab nuzul dari ayat 34 surat an-Nisa’. Diceritakan bahwa Habibah nusyuz kepada suaminya, Sa’d bin Rabi’, lalu suaminya menamparnya hingga berdarah. Habibah bersama ayahnya mengadukan kejadian ini kepada Nabi. Nabi marah dan menyuruh Habibah untuk melakukan hal yang sama kepada suaminya.

Tidak lama setelah itu, Nabi memanggil kembali Habibah dan merevisi perintahnya. Nabi berkata ‘Kembalilah, karena Jibril datang kepadaku dan Allah menurunkan ayat ini (surat an-Nisa’ ayat 34). Rasul melanjutkan ‘Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki perkara yang lain, dan yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang lebih baik.’

Terkait pengaduan Habibah, melalui surat an-Nisa’ ayat 34 ini, Allah mengoreksi tindakan suaminya. Dalam ayat ini disampaikan bahwa laki-laki (suami) itu pelindung -terjemah kemenag- bagi perempuan (istri). Jika di suatu hari sang istri dikawatirkan akan nusyuz maka jangan langsung dipukul, apalagi di wajah dan sampai berdarah. Suami menasihati sang istri terlebih dahulu, kemudian pisah ranjang, barulah (bila perlu) silahkan dipukul.

Ini merupakan respon yang revolusioner yang diberikan oleh al-Qur’an bagi kehidupan perempuan dan masa depannya.

Siti Aisyah (an-Nur [24]: 11-20)

Seperti halnya Khawlah yang menuntut keadilan untuknya, Aisyah pun demikian. Fitnah keji perselingkuhan yang dituduhkan kepadanya sempat membuat Nabi Muhammad SAW, sang suami meragukannya, apalagi orang lain, jangan ditanya lagi. Hampir sebulan Aisyah dirundung musibah ini tanpa ada titik terang, hingga akhirnya langsung Allah yang meresponnya dengan menurunkan surat an-Nur ayat 11-20. (M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah)

Mengamati respon al-Qur’an terhadap empat kisah di atas, sektidaknya ada empat model yang bisa kita lihat. Pertama, al-Qur’an merespon persoalan Tsa’labah dengan berani membuat tradisi baru sekaligus mengubah kebiasaan setempat, dalam hal hukum sekalipun. Kedua, tidak begitu beda dengan yang pertama, hanya saja kasus yang kedua ini tidak berkaitan dengan hukum. Ketiga, al-Qur’an tidak langsung mengubah adat setempat, melainkan mengoreksinya pelan-pelan. Keempat, fitnah dan hoax ini sifatnya umum, namun dalam kasus Aisyah menjadi sangat sensitif karena menimpa seorang perempuan. Untuk kasus yang sifatnya umum, seperti fitnah dan hoax maka al-Qur’an merespon dengan sangat tegas, dalam hal ini mengecam si pelaku.

Sedari awal turunnya, al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin, semuanya didengar dan direspon oleh al-Qur’an. Mengapa sekarang tidak?

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...